Anda di halaman 1dari 16

POTRET DEMOKRASI DI ASIA TENGGARA

(Ali Maksum, Ph.D, 2018)

Nama : Supardi Fahmi


NIM : 3161111043
Dosen Pengampu : Windawaty Pinem, S,Sos., M.IP
Mata Kuliah : Perbandingan Sistem Pemerintahan

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
October 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Dzat yang
telah menjadikan kita semua dengan berbagai macam suku bangsa dengan aneka
ragam budaya dan bahasa. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah-
Nya kepada kita semua.
Laporan ini di buat dalam rangka menyelesaikan tugas critical book report
Mata KuliahKapitaSelektaKewarganegaraanyang di berikan oleh bapak/ibu dosen.
Dan semoga makalah ini dapat menjadi contoh bagi teman-teman khususnya
reguler c angkatan 2016.
Namun dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat kami
harapkan guna perbaikan makalah berikutnya.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Rasionalisasi Pentingnya CBR.................................................................. 1
B. Tujuan Pentingnya CBR ........................................................................... 1
C. Manfaat CBR ........................................................................................... 1
D. Identitas Buku ........................................................................................... 1
BAB II:RINGKASAN ISI BUKU ......................................................................... 2
BAB III: PEMBAHASAN ....................................................................................... 8
BAB IV: PENUTUP ................................................................................................ 12
A. Kesimpulan ........................................................................................... 12
B. Rekomendasi ........................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rasionalisasi Pentingnya CBR
Dalam melakukan critical book report, kita sering sekali bingung memilih
buku yang ingin di kritik menjadi sumber referensi dalam mengkritik sebuah
buku. Terkadang kita memilih salah satu buku, namun itu tidak cukup untuk
memuaskan hati kita dalam mengkritik buku tersebut. Misalnya dalam
memilih buku kita mempertimbangkan dari beberapa aspek yang cukup
membuat kita bimbang dalam memlilihnya, misalnya dari segi kualitas buku
yang kurang, warna buku dan lain sebagainya. Pembahasan dalam critical
book report ini adalah mengenai Potret Demokrasi di Asia Tenggara dan buku
perbandingan Demokrasi dan Civil Society di Indonesia.
B. Tujuan Penulisan CBR
1. Mengulas isi sebuah buku
2. Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari informasi buku
3. Membandingkan isi buku pertama dan kedua serta mengkritisi topik
bahasan materi perbandingan demokrasi di Asia tenggara dengan dua
perbandingan negara
C. Manfaat CBR
1. Untuk menambah wawasan mengenai demokrasi di Asia Tenggaran dengan
dua perbandingan negara
2. Untuk mengetahui analisis demokrasi di negara Asia Tenggara dengan
perbandingan dua negara
3. Untuk mengetahui interpretasi demokrasi di Negara Indonesia dan denggan
dua negara lainnya di Asia Tenggara
D. Identitas Buku Yang Di Review: (Buku Utama)
1. Judul : Potret Demokrasi di Asia Tenggara
2. Edisi : Ed. Cet. I
3. Pengarang : Ali Maksum, Ph.D
4. Penerbit : The Phinisi Press Yogyakarta
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Tahun Terbit : 2018

1
7. ISBN : 978-602-6941-32-9
Buku Pembanding
1. Judul : Demokrasi dan Civil Society di Indonesia
2. Edisi : E-Book
3. Pengarang : Muhammad AS Hikam
4. Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI
5. Kota Terbit : Jakarta
6. Tahun Terbit : 2015
7. ISBN : 979-8391-63-2

2
BAB II
RINGKASAN BUKU
1. Demokrasi di Indonesia
Pasca lengsernya Suharto dan Orde Baru, maka perpolitikan Indonesia
memasuki babak baru yaitu Era Reformasi. Era Reformasi juga menandai
“runtuhnya bangunan demokrasi Pancasila yang sebelumnya dipraktekkan.
Artinya muncul perubahan yang sangat fundamental dalam kehidupan demokrasi
khususnya di pemerintahan. Perubahan tersebut terutama dalam aspek tiga isu
penting yaitu berakhirnya isu ancaman komunis, peraturan tentang peran legistalif
(DPR, Dewan Perwakilan Rakyat) yang baru, dan berubahnya pola hubungan
antar lembaga eksekutif (Presiden) dan legislatif (Schneier, 2009). Namun,
dampak politik yang dirasakan masyarakat paling besar adalah runtuhnya praktek
Demokrasi Pancasila. Sebagai gantinya, para pemangku kekuasaan menggantinya
dengan sistem demokrasi liberal ala Barat yang syarat dengan unsur-unsur
kebebasan, pragmatis, dan cenderung bertentangan dengan Demokrasi Pancasila.
Secara prinsip, Demokrsi Pancasila adalah praktek demokrasi dengan
mengutamakan nilai-nilai dan kepribadian Pancasila dalam setiap pengambilan
keputusan. Misalnya mengutamakan musyawarah-mufakat berbanding voting dan
mengutamakan untuk kepentingan umum, gotong-royong, dan mengusung norma-
norma keagamaan-kemanusiaan. Dengan Demokrasi Pancasila adalah yang sesuai
dengan Sila ke-4 Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Tjarsono, 2013; Yunus,
2015). Dalam implementasinya pasca Reformasi, mulai ada beberapa perubahan
fundamental dalam kehidupan politik ketata negara Indonesia. Misalnya
amandemen UndangUndang Dasar (UUD) 1945 dan dikeluarkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang baru. Dampak amandemen tersebut, ada
beberapa aspek penting yang berubah dan cukup mempengaruhi kehidupan
demokrasi misalnya sistem pemilu, tentang tata cara pemilihan presiden, termasuk
peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu isu yang menarik adalah tentang dihapusnya
syarat Presiden Indonesia yang harus “orang Indonesia Asli.” Hal ini tidak lain
akibat dampak “serangan” demokrasi dan hak asasi manusia yang “anti-

3
diskriminasi” pasca Perang Dingin. Bagaimanapun hal ini harus dilihat secara
lebih teliti bahwa penghapusan syarat tersebut tidak lepas dari upaya “pelemahan”
bangsa Indonesia yang ingin memperkuat kapasitas politiknya.
Padahal, jika bangsa Indonesia ingin mendefinisikan persyaratan politik
bagi calon Presiden menurut perspektifnya sendiri, juga merupakan hak yang
harus dihormati sebagai konsekuensi demokrasi. Namun, upaya mensyaratkan
calon presiden tersebut justru dianggap sebagai upaya diskriminasi. Sebagai
perbandingan misalnya, di AS sebagai salah satu negara paling demokratis dengan
masyarakatnya yang sangat rasional, masih menyimpan “mitos” terutama terkait
siapa yang layak menjadi presiden AS. Di AS, seorang presiden harus memenuhi
syarat yaitu W.A.S.P. (M), di mana W (White), A (Anglo), S (Saxon), P
(Protestant), dan M (Male) (MacDonald, 2015-16). Jika diterjemahkan secara
bebas, yang layak menjadi presiden AS adalah mereka yang berkulit putih,
keturunan Inggris, beragama protestan dan laki-laki. Artinya bahwa di AS yang
sangat demokratis masih memberikan batasan dan definisi politik identitasnya
dalam rangka “melindungi” kelompok tertentu atau jika bisa dikatakan juga
mempraktikkan sistem ologarki politik. Di Malaysia juga sama ada semacam
mitos yaitu perdana meneteri Malaysia mengikuti siklus RAHMAN dan harus
beretnis Melayu. Percaya atau tidak politik identitas selalu dipraktekkan di mana-
mana dalam alam demokrasi. Oleh karena itu, jika di Indonesia muncul sebuah
politik identitas maka merupakan sebuah kewajaran yang harus diterima.
Tahun 2014 juga merupakan masa-masa yang sangat penting bagi
kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal ini dimulai dengan inisiasi SBY
“membudayakan” transisi kepemimpinan yang berjalan dengan penuh
persahabatan melalui sebuah seremonial sederhana tetapi syarat akan pesan
kebersamaan sebagai anak bangsa. Ini tentu menjadi sejarah bagi bangsa
Indonesia terkait tradisi baru tersebut yang sebelumnya tidak ada dan mustahil
berjalan dengan baik. Mulai dari Sukarno-Suharto, Suharto-Habibie, HabibieGus
Dur, Gus Dur-Megawati, dan Megawati-SBY berlangsung dengan suasana yang
tidak bersahabat. Menurut SBY: “Transisi ini penting dan apa yang kita lakukan
penting, dan dengan niat yang baik, saudara mengetahui sudah beberapa kali
mengatakan, saya dulu tidak beruntung mengalami masa transisi ini sehingga jauh

4
lebih baik kalau pemerintahan yang lama memberikan sesuatunya agar lebih
sukses dan lebih siap lagi” (Detik, 6 September 2014). Dengan demikian jelas
bahwa SBY pada dasarnya ingin mewariskan (legacy) sebuah tradisi yang baik
dalam kehidupan berbangsa terutama dalam konteks suksesi kepemimpinan
nasional berlangsung dengan lancer dan penuh rasa persaudaraan. Selain itu,
dengan adanya proses tersebut tentu mau tidak mau, SBY juga ingin menunjukkan
sebagai negarawan sejati. Bagaimanapun, pasca SBY masuk ke pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan hasil Pemilu 2014.
2. Demokarasi di Filipina
Filipina bisa dikatakan sebagai salah satu negara paling demokratis di Asia
Tenggara setelah Indonesia. Secara umum, Filipina merupakan negara kesatuan
berbentuk republik dengan sistem presidensial. Meskipun Filipina merupakan
negara kesatuan, namun memiliki satu daerah otonomi khusus yaitu Autonomous
Region in Muslim Mindanao (ARMM). Filipina juga mengalami dinamika yang
menarik terkait proses pembentukan negara dan bangsa. Hal ini berlangsung
serius terutama sejak pemerintahan Fidel Ramos dengan upaya-upaya
mentransformasikan sistem ke pemerintahan berbentuk federal, unicameral, dan
parlementer. Presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan dan komandan tertinggi angkatan bersenjata Filipina.
Budaya politik “nepotisme” akibat dari kerangka politik patron-client masih
menjadi dominasi dalam diskursus publik. Budaya patron-client tersebut
nampaknya sudah ada sejak lama dalam budaya politik masyarakat Filipina. Jika
ditelusuri lebih jauh, mengakarnya budaya politik patron-client tidak lain akibat
politik kesukuan atau “clan politics” yang tumbuh dalam tradisi politik (Putzel,
1995). Dalam istilah lain, “clan politics” yang tumbuh dari tatanan sosial
feodalistik mengakibatkan apa yang disebut Benedict Anderson sebagai “Cacique
Democracy” (Anderson, 1988).
Dampaknya pengalaman-pengalaman feodalisme akan selalu tumbuh
meskipun telah mengalami pergantian rezim berkali-kali. Artinya ada semacam
budaya untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan. Jika tidak berkuasa
secara formal, minimal bisa “memelihara” kekuasaannya tidak masalah siapapun
yang akan berkuasa. Hal ini tidak lain akibat dampak penjajahan Spanyol dan

5
menjadi budaya yang sama di kalangan negara-negara Amerika Latin (Dove,
2004). Di awal tahun 1990an, dinamika politik Filipina mulai menggeliat
menyusul pesta demokrasi Pemilihan Umum 1992. Tatanan sosial dan politik
sejak awal termasuk mendekati Pemilihan Umum 1992, menyaksikan keterlibatan
aktif lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat berpengaruh di
masyarakat. Pemilihan Umum 1992 yang akhirnya dimenangkan oleh Presiden
Fidel Ramos, tidak lepas dari kuatnya peran LSM dalam mempengaruhi hasil
pemungutan suara dan partisipasi politik. Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa, dalam konteks Pemilihan Umum 1992, “kampanye” LSM bisa
dikategorikan dalam dua narasi. Pertama, LSM yang fokus pada isu
pemberdayaan masyarakat dan kedua, menekankan pada isu-isu seputar
pendidikan politik bagi masyarakat umum (Rood, 1992). Peran LSM memang
sangat penting dalam dinamika politik di Filipina. Masyarakat Filipina juga
dikenal sebagai masyarakat yang sangat aktif terlibat dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan melalui LSM. Bahkan bisa dikatakan LSM menjadi tulang
punggung pembangunan Filipina (Asian Development Bank, 2007). Menarik
untuk dibahas bahwa LSM di Filipina memang menjadi jangkar pembangunan
Filipina di tengah maraknya praktik nepotisme dan korupsi di pemerintahan
Filipina. Hal ini tidak lain bersumber dari budaya politik nepotisme sebagaimana
dijelaskan di atas yang sangat kuat di Filipina. Di era Presiden Marcos misalnya
korupsi sangat masif dan sentralistik di lingkarang kekuasaan sang Presiden
(Roumasset , 2008). Dalam perjalanannya, peran serta LSM di Filipina tidak
semudah yang dibanyangkan. Di tengah masifnya korupsi dan budaya politik
klan/nepotisme peran LSM seolah di persimpangan jalan. Namun, seiring
berjalannya waktu, peran LSM semakin diperhitungkan dan mengambil peran
penting dalam proses liberalisasi politik dan ekonomi di Filipina (Reid, 2008).
Pada tahun 2013 misalnya tercatat sekitar 60.000 LSM terdaftar termasuk 10.000
kelompok sosial kemasyarakatan/ civil-society groups.
Dalam konteks demokrasi Filipina pasca Perang Dingin, terlihat bahwa
Filipina yang sudah lama menjadi sahabat dekat Barat khususnya AS dan fondasi
demokrasi kuat maka tidak terlalu menghadapi tekanan asing. Namun, akhir 1990-
an internal Filipina terlihat cukup tergoncang diterjang badai krisis ekonomi Asia

6
sebagaimana menimpa negara-negara lain. Menariknya, perlawanan kelompok
komunis yang menjadi narasi utama selama Perang Dingin baru saja bisa
dihentikan secar a signifikan ketika Presiden Duterte memerintah Filipina.
3. Demokrasi di Malaysia
Secara umum jelas menunjukkan bahwa politik dan demokrasi di Malaysia
pasca Mahathir tidak mengalami perubahan signifikan. Namun ada beberapa isu
yang sangat serius dan menjadi perhatian pemerintah Najib. Misalnya semakin
meningkatnya dukungan kepada kelompok oposisi dan adanya simpati sebagian
kalangan pemuda Melayu mendukung partai yang mengusung konsep pluralisme
dan bukannya politik rasialis. Bahkan keberanian kelompok oposisi ditunjukkan
dengan gelaran aksi demonstrasi besarbesaran pasca pemilihan umum 2008 yang
didominasi oleh pendukung PKR dan PAS termasuk kalangan menangah atas
lintas-etnis. Umumnya mereka mendesak komisi pemilihan umum atau
Suruhanjaya Pilihan Raya menganulir hasil pemilu 2008 yang dinilai penuh
dengan kecurangan. Selain itu, muncul juga beberapa lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang cenderung anti pemerintah misalnya Hindu Rights
Action Force (HINDRAF). Lalu muncul juga gerakan yang dinamakan BERSIH.
Tuntutan utama BERSIH adalah pelaksanaan demokrasi di Malaysia terutama
dalam pelaksanaan pemilihan umum yang adil dan bebas termasuk isu kebebasan
media, kebocoran anggaran, penyelewengan kekuasaan, korupsi dan ketidakadilan
sosial. Media alternatif terutama blog justru mampu memprovokasi golongan
menengah terpelajar secara signifikan (Chin & Wong, 2009).
Bahkan dalam sebuah survey menunjukkan mayoritas pelajar Melayu di
perguruan tinggi di Pahang menginginkan perubahan dan sebagian besar memilih
partai oposisi. Lebih mencenngangkan lagi, sekitar 19% responden juga
menyatakan bahwa siapa saja layak untuk menjadi Perdana Menteri, apapun
etnisnya (Mohd Nasir Haji Ibrahim, 2008).

7
BAB III
PEMBAHASAN
Perbandingan Demokrasi di Indonesia Dengan Negara Filiphina dan
Malaysia
INDONESIA FILIPHINA MALAYSIA
Praktik demokrasi di Secara umum demokrasi Politik dan demokrasi
Indonesia sudah melenceng di Filipina sudah sangat Malaysia pasca Perang
dari konsep demokrasi matang. Hal ini ditandai Dingin, mengalami
umumnya. Apalagi jika dengan berbagai dinamika yang
dibandingkan dengan indicator. menarik. Sebagaimana
konsep Demokrasi 1. Kedewasaan di Indonesia, pada
Pancasila, semakin menjauh demokrasi di kalangan tahun 1997/1998
dibuktikan dengan semakin elite politik meskipun Malaysia juga
terpinggirnya nilai-nilai kerap terjadi gejolak. dihantam krisis
Pancasila akibat dominasi 2. Peralihan kekuasaan ekonomi yang
tekanan modal. Pancasila yang relatif mulus dan berimbas ke krisis
digunakan tidak lebih lancar melalui proses sosial dan politik
sebagai pembenar atas apa konstitusional. nasional. Namun,
yang dilakukan oleh 3. Partisipasi pemilih Malaysia berhasil
kelompok politik beserta sangat tinggi karena keluar dari lubang
pendukung modalnya. didukung oleh tingginya krisis dan berhasil
1. Pasca berakhirnya Perang keterlibatan masyarakat memulihkan ekonomi
Dingin nyata berdampak dalam lembaga swadaya nasional bahkan lepas
pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. dari cengkraman IMF
berbangsa dan bernegara Namun, seringnya terjadi dan Bank Dunia
Indonesia. Perubahan isu huru-hara politik yang melalui kebijakan
politik internasional dari melibatkan militer dalam moneter kontroversial.
perang melawan serangkaian aksi kudeta Menguatnya politik
komunisme ke isu menjadi catatan penting identitas di Malaysia
demokrasi dan hak asasi dalam perjalanan tidak lepas dari latar
manusia jelas demokrasi di Filipina. belakang kolonialisme
mempengaruhi perubahan Demokrasi di Filipina dan membanjirnya
politik, sosial dan ekonomi juga perlu diperbaiki imigran Cina dan India
di Indonesia. Dalam terutama masih atas persetujuan
konteks ini masyarakat timpangnya Inggris. Kaum pribumi
Indonesia jelas belum pembangunan di Filipina Melayu di Malaysia
sepenuhnya siap menerima Selatan. Perlakuan termasuk cerdik dan
perubahan tersebut. Dan diskriminatif Manila berhasil mengamankan
yang terjadi adalah terhadap komunitas kepentingan politiknya
ketidakmatangan berpolitik Muslim di Mindanao dengan politik rasialis
dan berdemokrasi baik di menjadi catatan buruk yang bisa “diterima”
tingkat elite maupun di proses berdemokrasi. semua pihak yang
masyarakat bawah. Tetapi, akar tergabung dalam
Dibuktikan dengan masih permasalahan selain koalisi BN. Namun,
banyaknya indikator ketidakadilan ekonomi semuanya berubah

8
rendahnya tingkat dan politik adalah pasca tergulingnya BN
demokrasi misalnya akutnya penyakit oleh PH secara
“serangan fajar, koruspi, korupsi, kolusi dan mengejutkan.
dan pengaruh pemodal.” nepotisme yang sudah Dinamika akan terus
2. pasca Reformasi 1998 menggurita di dalam terjadi di tengah
dan amandemen UUD pemerintahan dan mengendurnya
1945, nasib dan politik masyarakat Filipina dukungan kepada BN
identitas kelompok pribumi termasuk di Filipina dan masih
mayoritas semakin Selatan. Hal ini tentu berprosesnya
terpinggirkan. Meskipun di menjadi pelajaran komunikasi politik di
alam demokrasi semua penting bagi Indonesia koalisi PH.
ditentukan oleh suara yang akan terus
mayoritas. Selain itu, ada melakukan perang
upaya-upaya penghapusan melawan korupsi.
demokrasi ala Indonesia
yaitu Demokrasi yang
mengedepankan
musyawarah dan bukan
ditentukan oleh suara
terbanyak semata-mata.
Kedua, pasca Perang
Dingin disusul dengan
Reformasi 1998,
mengakibatkan banyaknya
perubahan kehidupan
demokrasi di Indonesia
yang sangat penting yaitu
peran Majelis
Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Dampaknya MPR
tidak lagi sebagai lembaga
terpenting yang mewakili
rakyat untuk melakukan
“musyawarah” dalam
menentukan pemimpin
negara. Artinya dengan
sendirinya menggerus
politik identitas sebagai
landasan masyarakat bawah
semakin dan demokrasi
menjadi liberal tidak
terkontrolakibat dominasi
para pemodal dan politisi
tamak.
3. liberalisasi demokrasi
yang menjauh dari nilai-
nilai Pancasila juga
diartikulasikan dalam

9
pelaksanaan Pilkada
Serentak sebagai
konsekuensi penerbitan
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Bukannya perbaikan yang
muncul, jutsru tren yang
muncul adalah adanya
“raja-raja kecil” dan politik
dinasti serta nepotisme di
daerah.
4. Indikasi adanya
permainan modal juga
semakin jelas dalam Pilpres
2014 dan Pilkada DKI
2017. Hal ini jelas sangat
tidak menguntungkan bagi
masyarakat kecil. Artinya
masyarakat sebetulnya
belum siap hidup
menghadapi demokrasi
liberal yang penuh dengan
persaingan politik, ekonomi
dan sosial tak terkawal.
Lebih-lebih politik identitas
semakin tergerus
sebagaimana digambarkan
dalam Pilkada DKI 2017
yang akhirnya terpaksa
membawa sentimen agama
dan etnis
5. Umat Islam sebagai
mayoritas di Indonesia jelas
sangat dirugikan meskipun
pada dasarnya
kesejahteraan ditujukan
untuk semua kalangan.
Namun fakta sosiologis
menunjukkan bahwa ada
upaya-upaya depolitisasi
peran politik umat Islam
melalui berbagai skenario
politik. Lagi-lagi semua
diprakarsai oleh para

10
pemilik modal yang
semakin menggurita di
Indonesia tanpa
mempertimbangkan aspek-
aspek sosial, etika dan nilai-
nilai lokal sebagai
mayoritas.

11
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Walaupun praktik di Indonesia belum berjalan sebagaimana
mestinya ndibandingkan dengan negara filipina yang suda matang
dengan demokrasi nya dan malaysia yang memiliki dinamika dalam
demokrasinya. Tetapi diskursus mengenai demokrasi telah jauh
berkembang. Sehingga diskusi mengenai demokrasi tidak cukup lagi
dengan bahasan umum yang abstrak. Saat ini di perlukan pembahasan
yang lebih elaboratif menelaah semua elemen yang membentuknya
seperti civil society.
Sebagai elemen penting dalam demokrasi, civil society selama ini
belum mendapat perhatian yang semestinya. Padahal tumbuhnya tatanan
demokratis selalu mengandalkan civil society yang kuat dan mandiri dan
hegemoni state.
B. Rekomendasi
Semoga demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik lagi
kedepannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Masum, Ali. 2018. Potret Demokrasi di Asia Tenggara. Yogyakarta: The Phinisi
Press Yogyakarta. Edisi. Cet. Ke-1
Hikam, Muhammad AS. 2015. Demokrasi dan Civil Society di Indonesia. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI.

13

Anda mungkin juga menyukai