DISUSUN OLEH :
VENNA ERVI PERMATASARI
15742010078
Puji syukur kehadirat Allah yang maha Esa atas rahmat berkat dan
hidayahnya saya diberi kesempatan untuk merampungkan makalah yang
berjudul “Kenakalan Anak Dan Sistem Pidana Peradilan Anak.” sebagai
tugas dan prasyarat saya untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
dalam mata kuliah Hukum Peradilan Anak.
Seperti yang banyak kita ketahui bahwasanya sistem pidana anak
memiliki porsi yang khusus dalam ruang lingkup peradilan yang mana hal
tersebut disebabkan karena usia dari pelaku pidana (dalam hal ini seorang
anak) masihlah dibawah umur, sehingga memerlukan penanganan khusus
dalam penyelesaian perkara termasuk juga dalam hal bimbingan pasca
penyelesaian putusan.
Anak merupakan asset masa depan bangsa dan negara, di tangan
merekalah negeri ini kita wariskan. Maka sejatinya diperlukan adanya
penanganan khusus berupa konseling untuk membantu pemulihan
kondisi psikologis anak seperti yang tercantum dalam asas terakhir
Pancasila; Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian yang telah saya sampaikan, kiranya paragraph singkat
diatas cukup untuk mewakili sebagian dari isi pikiran saya atas system
pidana peradilan anak.
Sekian dan terima kasih.
Venna E.P.
BAB I :
PENDAHULUAN
Istilah “anak” saat ini sudah relative memiliki definisi yang lebih tegas, yakni
subjek hukum yang berusia dibawah 18 tahun. Batasan usia 18 tahun ini antara
lain ditemukan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008
tentang Pornografi, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Batas usia minimal untuk disebut anak bisa sangat
rendah, misalnya sejak di dalam kandungan seperti terbaca dalam Pasal 1 butir 1
UU No. 35 Tahun 2014.
Rumusan Masalah :
1. Definisi Anak
2. Kenakalan yang diperbuat Anak
3. Sistem peradilan pidana Anak
Tujuan :
1. Mengetahui definisi Anak dalam aspek hukum kriminologi ataupun dari
sudut pandang hukum
2. Mengetahui batasan apa saja perbuatan melanggar hukum yang subjek
hukumnya seorang Anak
3. Mengetahui dan memahami bagaimana system peradilan pidana
menangani kasus yang berhubungan dengan Anak (Juvenile justice
system)
BAB II.
PEMBAHASAN
i. DEFINISI ANAK
Perlindungan hukum terhadap anak diupayakan sejak awal, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat,
baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa
dan lembaga pendidikan.
Hal tersebut merupakan suatu kewajaran jika kita mengacu kepada pendapat
dari Soerjono Soekanto, yang mengatakan sebagai berikut:
Pesatnya perkembangan dunia saat ini telah merubah wajah dunia menjadi
tanpa batas, yang ditandai dengan kemajuan tehnologi, baik alat transportasi maupun
komunikasi. Sehingga proses perpindahan budaya dan nilai-nilai sosial dari satu
wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat. Khususnya di Indonesia, perubahan
nilai-nilai sosial semakin nyata dalam jangka waktu yang sangat singkat. Pergaulan
anak-anak dan remaja di era 80-an sangat jauh berbeda dengan era 90-an bahkan
pada saat sekarang ini. Hal yang dahulu dianggap tabu, menjadi hal yang biasa pada
saat ini. Perubahan nilai-nilai tersebut, kemudian menjadi pemicu atau merupakan
salah satu kriminogen dari munculnya perilaku menyimpang dari seorang Anak.
Anak sebagai salah satu komponen penggerak generasi muda, menjadikannya sangat
penting untuk diperlakukan secara khusus. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa
generasi muda dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Kanak-kanak : 0 – 12 tahun
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa
yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.
Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dari tahun ke tahun selalu
menuai kritikan baik dari akademisi, praktisi maupun masyarakat. Hal ini lebih
banyak disebabkan kepada kultur yang dipelihara dari generasi ke generasi dalam
pola pikir penegak hukum dalam menangani pelaku tindak pidana.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang
(dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda,
sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian
diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara
ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
John Gray dalam “Children are from Heaven”[17] menuturkan betapa anak-anak
dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara
bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar.
Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk
membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada
dukungan kita untuk tumbuh. Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu
berbeda dengan orang dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak
lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam
dunia kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan
dampak yang panjang dan permanen.
Masuknya anak ke dalam klasifikasi pelaku suatu tindak pidana, dimana kasus-kasus
kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa
fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi sudah
menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak
perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku
terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban dan
hak yang diperoleh anak.
Perlu diakui bersama bahwa Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara.
Dimana dalam konstitusi Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini secara
tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah
yang bertujuan untuk melindungi anak.
Perhatian terhadap anak sudah ada sejak lama ada sejalan dengan peradapan
manusia itu sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra
kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan
pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya
secara maksimal.
Apabila ditinjau dari sisi sejarah dan perkembangan dari pengaturan tentang
pengadilan anak maka dapat dilihat mulai dari sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);[18]
Sejak tahun 1901, di dalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan
pidana yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh
anak-anak beserta akibat hujumnya. Ketentuan-ketentuan pidana itu oleh para
penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana anak.
Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No. P.1/20, tanggal 30 Maret
1951 menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana
melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas)
tahun. Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan anak-anak
kedepan pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). Bagi anak
nakal masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak
faedahnya. Lembaga yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor
Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana.
Bahwa ide tentang lahirnya peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970,
seperti termaksud dalam penjelasan Pasal 27 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan
Kehakiman). Dimana dalam pasal tersebut membuka peluang bagi badan-badan
peradilan yang sudah ada untuk membentuk peradilan khusus sebagai
pengkhususan pada masing-masing peradilan.
Dari sisi penamaan, UU SPA lebih jelas bermakna bahwa Undang-undang tersebut
merupakan pengaturan secara formil atau hukum acara dalam proses peradilan
pidana dimana anak sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini kemudian justru
memperjelas bahwa di Indonesia memang belum memiliki institusi khusus
Pengadilan Anak. Sehingga dalam memproses anak sebagai pelaku tindak pidana
tidak lagi mengacu kepada KUHAP.
“Orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum kawin”
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(untuk selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak) bahwa yang dimaksud dengan
definisi Anak termuat di dalam Pasal 1, anak adalah:
“Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
kawin.”
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) ternyata pula memberikan
pengertian tentang anak yang berbeda pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
angka 1 sebagai berikut:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, berkaitan
dengan anak sebagai subyek hukum pada peradilan pidana, maka Pasal 45 KUHP
memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam
belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka
hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang
tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan
suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan
lahirnya UU Pengadilan Anak.[31]
Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan, bahwa selama seseorang yang
masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua
wali ataupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.
Dalam ranah Hukum Perdata, pengertian anak dan batasan usia anak pun diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 1 angka 26
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk
selanjutnya disebut UUK), yang menegaskan sebagai berikut:
“Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.”
Selain itu diatur pula dalam Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) menyatakan bahwa:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
dan tidak lebih dahulu kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka
yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga,
keempat, kelima, dan keenam bab ini.”
Pengaturan lebih lanjut dapat pula dijumpai pada 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan
batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita adalah:[32]
“Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, orang itu
masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan
pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan
menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki, seperti
halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya”
Menurut Zakiah Daradjat, batas usia anak dan dewasa berdasarkan pula remaja yang
menyatakan pula bahwa : Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu
tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa anak-
anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi
anak-anak bentuk badan, sikap berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang
dewasa.[33]
Sedangkan dalam Pasal 1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak
Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak
adalah:[34]
“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-
undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Di dalam Pasal 2.2 huruf (a) The Beijing Rules menegaskan sebagai berikut: [35]
“Seorang anak adalah adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem
hukum masing-masing dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan
cara yang berbeda dari perlakukan terhadap orang dewasa.”
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia
maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum
sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang
subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-
perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.[36]
Dari berbagai literatur mengenai Hukum Perlindungan Anak, hampir seluruh ahli
hukum Anak selalu mengutarakan berbagai macam dasar hukum serta berbagai
definisi mengeni Anak, sehingga memunculkan kebingungan bukan hanya dalam
diri masyarakat, bahkan Mahasiswa Fakultas Hukum pun tak jarang menjadi
dilematis ketika berkaitan dengan definisi Anak. Pemahaman yang perlu ditanamkan
adalah bahwa perbedaan usia anak tersebut bergantung kepada perbuatan hukum
yang bersinggungan dengan si Anak. Batasan usia anak pada ranah hukum pidana
tidak dapat diterapkan dalam batasan Anak dalam ranah hukum Perdata, karena
berbeda perbuatan hukumnya.
Menurut Penulis batasan tersebut bukanlah merupakan definisi atau pengertian dari
Anak, namun batasan tersebut adalah batasan usia yang merupakan wilayah
kewenangan bagi penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum. Sehingga jika
seorang anak, diluar batasan usia tersebut dalam artian beum mencapai batas
minimal, khususnya dalam ranah hukum pidana, maka aparat hukum tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum.
Jika si Anak melakukan tindak pidana dalam batasan usia yang telah ditentukan,
maka menimbulkan kewajiban hukum bagi aparat penegak hukum untuk
menerapkan hukum acara khusus anak, dan terlarang baginya untuk menerapkan
hukum acara yang bersifat umum. Namun, jika si Anak dalam melakukan tindak
pidana, sudah berada di luar batasan usia tersebut, maka memberikan kewenangan
bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum acara yang bersifat umum.
anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
b. lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
UU Pengadilan Anak menggunakan istilah ‘Anak Nakal’ bagi seorang anak baik
karena melakukan tindak pidana ataupun karena melakukan penyimpangan
perilaku. Penggunaan istilah ‘Anak Nakal’ merupakan bagian dari proses labeling
atau stigmatisasi bagi seorang anak, yang dalam kajian sosiologis dan psikologis
dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental si Anak.
Sejalan dengan semangat legal reform dalam UU SPA, maka istilah ‘Anak Nakal’
sudah tidak lagi dipergunakan. Pasal 1 UU SPA menggunakan istilah ‘Anak yang
Berhadapan dengan Hukum’, dimana istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan
Hukum’ merupakan istilah yang memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau disebut Anak;[37]
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
1. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak Korban;[38]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
1. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi.[39]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.
Sedangkan menurut UNICEF, bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum (child
in conflict with law) adalah:[40]
“Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem
peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan
tindak pidana.”
Dan pada Pasal 2.2 huruf (c) the Beijing Rules menggunakan istilah ‘a juvenile
offender’ (pelaku/pelanggar hukum berusia remaja) yang menegaskan sebagai
berikut:[41]
“Seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau seorang anak
muda yang diduga telah melakukan suatu pelanggaran hukum.”
Dengan memperbandingan definisi berkaitan mengenai istilah ‘Anak yang
Berhadapan dengan Hukum’, maka Indonesia telah selangkah lebih maju. Dimana
pada UU Pengadilan Anak, digunakan istilah yang mengandung
makna labeling yaitu Anak Nakal. Sehingga berdampak baik pelaku, secara
psikologis menjadi penghambat bagi perkembangan mental, maupun masyarakat
dan korban, secara psikologis terpola dengan pemahaman ‘Anak Nakal’
memberikan efek negatif bagi masyarakat secara umum. Sehingga pembinaan
sebagai tujuan dari UU Pengadilan Anak tidak pernah tercapai.
1. Asas-Asas dan Hak-Hak Anak dalam Hukum Perlindungan Anak
Pada hakikatnya sasaran studi hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas
hukum, kaedah hukum dalam arti sempit (norma atau nilai), dan peraturan hukum.
Doktrin memberikan banyak pengertian mengenai asas hukum ini.[42]
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang
masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar
yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum
itu dapat dilaksanakan.
Asas dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘principle’ sedangkan di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni
sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu, asas juga
diartikan sebagai dasar cita-cita.
Menurut Bellefroid, bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum. Jadi asas hukum merupakan pengendapan hukum positif di
dalam masyarakat. Demikian pula yang diungkapkan oleh Paul Scholten, yang
menyatakan bahwa Asas Hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat
umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang
tidak boleh tidak harus ada. [43]
Sedangkan Asas Hukum menurut Van der Velden yakni tipe putusan yang
digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berperilaku. Sejalan dengan pemikiran Bellefroid, maka Van Eikema
Hommes memberikan pengertian bahwa Asas Hukum bukanlah norma-norma
hukum konkrit tetapi adalah dasar pikiran umum atau petunjuk bagi hukum yang
berlaku.
Sejalan dengan pendapat tersebut, sebagaimana diungkapkan pula oleh Asser[44],
yang menyatakan bahwa Asas Hukum berisikan penilaian susila, pemisahan yang
baik dari yang buruk yang menjadi landasan hukum, sehingga di dalam asas hukum
terdapat sifat etis.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo[45], menyatakan bahwa Asas Hukum
bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum
dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit
tersebut.
Dari berbagai batasan tersebut, menurut Siti Ismijati Jenie[46], dapat disimpulkan
bahwa asas hukum itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar;
2. Asas hukum itu bukan peraturan hukum konkrit melainkan latar belakang dari
peraturan hukum konkrit;
3. Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunya dimensi etis;
4. Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim.
Berkaitan dengan pengertian dari asas hukum tersebut, maka dapat diketahui fungsi
dari asas hukum, menurut Klanderman, dalam suatu sistem hukum, yaitu:[47]
1. Bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat
para pihak, karena eksistensinya didasarkan pada rumusan pembentuk undang-
undang dan hakim;
2. Melengkapi sistem hukum dan membuat sistem hukum tersebut luwes.
Selanjutnya Paul Scholten membagi asas hukum menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai
berikut:
1. Asas Hukum yang bersifat universal, yaitu asas hukum yang berlaku kapan saja
dan dimana saja tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat;
2. Asas Hukum umum, yaitu asas hukum yang berlaku pada semua bidang hukum;
3. Asas Hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku hanya pada satu bidang
hukum saja.
Apabila kita membaca suatu peraturan hukum mungkin kita tidak menemukan
pertimbangan etis disitu tetapi azas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis
(setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk kearah itu). Karena azas
hukum mengandung tuntutan etis maka azas hukum merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa tidak bisa
hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja melainkan harus menggalinya
sampai kepada azas-azas hukumnya.
1. UU Perlindungan Anak
Asas Perlindungan Anak di dalam UU Perlindungan Anak, termuat di dalam Pasal
2, yang menegaskan sebagai berikut:
1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Berkaitan dengan asas tersebut, maka dapat kita cermati penjelasan dari Pasal 2 UU
Perlindungan Anak tersebut, yang menegaskan sebagai berikut:
Pembimbing Kemasyarakatan
Pekerja Sosial dan
Pekerja Sosial Sukarela
1. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana kekeluargaan. Oleh
karena itu Hakim, Penuntut Umum Dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.
1. Keadilan;
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak
harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.
1. Non diskriminasi;
Yang dimaksud dengan ”non diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang
berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau
mental.
1. Kepentingan terbaik bagi anak;
Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak.
1. Proporsional;
Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak
harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.
1. Penghindaran pembalasan.
Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan
upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula
beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam
konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana
materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.[54]
Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:
1. Asas manfaat.
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan
(baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana
serta menciptakan ketertiban masyarakat.
Asas inimengingatkan kita kepada salah satu tokoh filosuf, Jeremy Betham
melalui utility theoryatau Utilitarianisme, yang mengutamakan bahwa tujuan
pembentukan hukum adalah kebahagiaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
bagi masyarakat.
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen, dimana Fungsi hukum
menurut Hans Kelsen adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dimana
konsep adil dipahami sebagai suatu penciptaan terhadap sebanyak-banyaknya
kebahagiaan dalam masyarakat.[55]
Bahwa pembentukan hukum tersebut hendaknya mencerminkan adanya manfaat
yang sebesar-besarnya baik bagi masyarakat maupun individu dalam tataran
implementasinya. Sehingga, masih menurut Betham, bahwa tindakan pemerintah
dalam tataran implementasi baru dapat dikatakan selaras dengan hukum jika
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Betham
tidak hanya menekankan adanya utility pada ranah peraturan perundang-undangan
namun juga utility pada ranah tindakan.[56]
2. Asas keadilan.
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak
bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga
diberikan pada pelaku kejahatan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali
juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[57]
Pemberian rasa keadilan kepada masyarakat tidak dapat serta merta diakui secara
umum hanya berlandaskan kepada konsepsi hak kodrati atau hukum alam yang
menegaskan bahwa dalam diri manusia telah terdapat hak-hak kodrati yang suka
atau tidak suka harus diakui baik adanya pengakuan ataupun tidak, sebagaimana
ditegaskan dalam prinsip universalisme dalam ranah Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, sebagaimana bentuk kritik dari Aliran Positivisme kepada Teori Hak
Kodrati dan Teori Hukum Alam, dimana pengakuan terhadap hak-hak seseorang
haruslah berasal institusi yang berwenang dan memiliki kekuasaan.
3. Asas keseimbangan.
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat
yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak
korban.
Asas ini secara tidak langsung ingin menjelaskan bahwa pemidanaan badan yang
dikenal dalam sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan, dewasa ini, tidaklah
berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Sistem pemidanaan yang didasarkan kepada retributive theory (pidana absolut) tidak
memberikan pemenuhan hak-hak korban, sehingga seringkali putusan pengadilan
memicu rasa ketidakpuasan dari masyarakat. Kondisi ini sudah terjadi puluhan
tahun di Indonesia bahkan hampir diseluruh dunia. Sehingga para ahli hukum
mencoba menggali konsep-konsep yang ada untuk memunculkan konsep baru
dalam hal pemidanaan yang memberikan rasa keseimbangan tersebut guna
pemenuhan hak-hak korban.
Konsep terakhir yang muncul adalah diwacanakannya konsep restorative justice.
Menurut John Braitwaite, bahwa restorative justice adalah proses yang melibatkan
semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk
datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan
menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.[61]
Sejalan dengan pemikiran John Braitwaite, maka Marian Liebmann dengan bahasa
yang lebih sederhana, mengatakan sebagai berikut:[62] “restorative justice sebagai
suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban,
pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran
atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Konsep tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 1 angka 6 UU SPA yang
menegaskan sebagai berikut:
Terkait dengan pembahasan asas-asas hukum yang diakui secara universal tersebut,
maka kemudian memunculkan hak-hak bagi subyek hukum. Dalam kaitannya
dengan penulisan ini, maka Hak-hak terhadap subyek hukum anak terdapat dalam
KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:[63]
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak
untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2)
hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri
anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup
bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala
bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang
bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh
perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya
dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai
dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya
dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala
perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak
anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan
latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat
kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan
yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).
Berkenaan dengan hak-hak yang termuat dalam KHA tersebut, maka pada UU
No.39/1999 tentang HAM telah merumuskan seperangkat hak sipil, politik, sosial,
ekonomi dan sosial bagi anak adalah sebagai berikut:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-
upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: [66]
1. Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang
membahayakannya,
2. Pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
3. Pengawasan,
4. Penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya,
5. Pembinaan (mental, fisik, sosial),
6. Pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
7. Pengasuhan (asah, asih, asuh),
8. Pengganjaran (reward),
9. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: [67]
1. Pencegahan orang lain merugikan,
2. Mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan
kewajiban,
4. Penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
5. Pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
6. Pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak,
7. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan
itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan
yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua,
petugas dan pembina.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang
terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang
pendidikan.[68]
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan
hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of
children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.[69]
Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan
dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti:[70]
1. Kedudukan anak sah dan hukum waris;
2. Pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin;
3. Kewajiban orang tua terhadap anak;
4. Kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47
KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara Lain
Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal 305, Pasal
308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.