Anda di halaman 1dari 40

KENAKALAN ANAK DAN SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

DISUSUN OLEH :
VENNA ERVI PERMATASARI
15742010078

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang maha Esa atas rahmat berkat dan
hidayahnya saya diberi kesempatan untuk merampungkan makalah yang
berjudul “Kenakalan Anak Dan Sistem Pidana Peradilan Anak.” sebagai
tugas dan prasyarat saya untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
dalam mata kuliah Hukum Peradilan Anak.
Seperti yang banyak kita ketahui bahwasanya sistem pidana anak
memiliki porsi yang khusus dalam ruang lingkup peradilan yang mana hal
tersebut disebabkan karena usia dari pelaku pidana (dalam hal ini seorang
anak) masihlah dibawah umur, sehingga memerlukan penanganan khusus
dalam penyelesaian perkara termasuk juga dalam hal bimbingan pasca
penyelesaian putusan.
Anak merupakan asset masa depan bangsa dan negara, di tangan
merekalah negeri ini kita wariskan. Maka sejatinya diperlukan adanya
penanganan khusus berupa konseling untuk membantu pemulihan
kondisi psikologis anak seperti yang tercantum dalam asas terakhir
Pancasila; Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian yang telah saya sampaikan, kiranya paragraph singkat
diatas cukup untuk mewakili sebagian dari isi pikiran saya atas system
pidana peradilan anak.
Sekian dan terima kasih.

Venna E.P.
BAB I :
 PENDAHULUAN

Istilah “anak” saat ini sudah relative memiliki definisi yang lebih tegas, yakni
subjek hukum yang berusia dibawah 18 tahun. Batasan usia 18 tahun ini antara
lain ditemukan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008
tentang Pornografi, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Batas usia minimal untuk disebut anak bisa sangat
rendah, misalnya sejak di dalam kandungan seperti terbaca dalam Pasal 1 butir 1
UU No. 35 Tahun 2014.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya anak merupakan subjek


hukum yang berusia dibawah 18 tahun dan istilah anak telah banyak disebutkan
dalam berbagai Undang-Undang yang berlaku, maka kiranya anak sebagai subjek
hukum menempati porsi khusus dalam penilaian kenakalan ataupun dalam hal
peradilan yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku maupun korban.

Rumusan Masalah :
1. Definisi Anak
2. Kenakalan yang diperbuat Anak
3. Sistem peradilan pidana Anak
Tujuan :
1. Mengetahui definisi Anak dalam aspek hukum kriminologi ataupun dari
sudut pandang hukum
2. Mengetahui batasan apa saja perbuatan melanggar hukum yang subjek
hukumnya seorang Anak
3. Mengetahui dan memahami bagaimana system peradilan pidana
menangani kasus yang berhubungan dengan Anak (Juvenile justice
system)
BAB II.
 PEMBAHASAN

i. DEFINISI ANAK

Anak dalam Aspek Kriminologi

Perlindungan hukum terhadap anak diupayakan sejak awal, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat,
baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa
dan lembaga pendidikan.

Hal tersebut merupakan suatu kewajaran jika kita mengacu kepada pendapat
dari Soerjono Soekanto, yang mengatakan sebagai berikut:

“Perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh


karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat
itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab
intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-
penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu
revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu
perubahan dapat terjadi dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi
kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem
pendidikan yang maju.”

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita


perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional ke depan, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk melakukan
perlindungan baik dari segi hukum maupun segi pendidikan serta bidang-bidang lain
yang terkait.
Sebagai ‘kertas putih dan bersih’, seorang anak rentan akan pengaruh-pengaruh
negatif yang bukan hanya berasal dari ruang lingkup lingkungannya saja, namun juga
dari ruang lingkup di luar lingkungannya, maka sudah menjadi kewajiban bagi semua
elemen masyarakat untuk menjaga perkembangan fisik dan psikisnya.
Namun pada kenyataannya, masalah perilaku delinkuensi anak kini semakin
menggejala di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.
Perkembangan masyarakat yang berawal dari kehidupan agraris menuju kehidupan
industrial telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan tata nilai
sosiokultural pada sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yang bersumber dari
kehidupan industrial semakin menggeser nilai-nilai kehidupan agraris dan proses
tersebut terjadi secara berkesinambungan sehingga pada akhirnya membawa
perubahan dalam tata nilai termasuk pola-pola perilaku dan hubungan masyarakat.

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati


perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas
maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran yang
dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua.
Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-
olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku.

Pesatnya perkembangan dunia saat ini telah merubah wajah dunia menjadi
tanpa batas, yang ditandai dengan kemajuan tehnologi, baik alat transportasi maupun
komunikasi. Sehingga proses perpindahan budaya dan nilai-nilai sosial dari satu
wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat. Khususnya di Indonesia, perubahan
nilai-nilai sosial semakin nyata dalam jangka waktu yang sangat singkat. Pergaulan
anak-anak dan remaja di era 80-an sangat jauh berbeda dengan era 90-an bahkan
pada saat sekarang ini. Hal yang dahulu dianggap tabu, menjadi hal yang biasa pada
saat ini. Perubahan nilai-nilai tersebut, kemudian menjadi pemicu atau merupakan
salah satu kriminogen dari munculnya perilaku menyimpang dari seorang Anak.

Anak sebagai salah satu komponen penggerak generasi muda, menjadikannya sangat
penting untuk diperlakukan secara khusus. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa
generasi muda dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Kanak-kanak : 0 – 12 tahun

Masa ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Masa bayi : 0 – menjelang 2 tahun


2. Masa Kanak-Kanak I : 2 – 5 tahun
3. Masa kanak-Kanak II : 5 – 12 tahun
2. Masa Remaja : 13 – 20 tahun
3. Masa Dewasa Muda : 21 – 25 tahun
Pada masa-masa inilah, seorang anak berada dalam kondisi labil dan dalam
posisi pencarian jati diri. Proses pembentukan pola pikir yang tidak stabil
menjadikannya mudah terintimidasi oleh apa pun, artinya kondisi dan suasana
apapun dapat saja menjadi pemicu munculnya behavioral deviation (penyimpangan
perilaku), yang kemudian mengarah kepada juvenile delinquency (kenakalan
remaja).

ii. KENAKALAN YANG DIPERBUAT ANAK (JUVENILE


DELINQUENCY)
Menurut Kartini Kartono, kenakalan Remaja merupakan gejala patologis
sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya,
mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Sedangkan
menurut Santrock bahwa kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai
perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan
kriminal.

Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang,


pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim dalam bukunya “Rules of
Sociological Method” bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-
batas tertentu dianggap melanggar fakta sosial yang normal dan dalam batas-batas
tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara
tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak
menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-
batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja.

Kenakalan remaja (juvenile delinquency) sebagai salah satu bentuk


penyimpangan perilaku (behavioral deviation) merupakan salah satu akibat
kegagalan pertumbuhan intelegensia dalam diri anak tersebut, yang memang harus
diakui karena masih dalam masa pertumbuhan. Kemampuan intelegensi tersebut,
menurut Alfed Biner, memuat 3 (tiga) aspek, yaitu:
1. Direction; Kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang harus
dipecahkan.
2. Adaptation; Kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang
dihadapinya atau fleksibel didalam menghadapi masalah.
3. Criticisem; Kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang
dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka nampak jelas bahwa perkembangan
seorang anak, baik dari sisi fisik maupun non-fisik, masih sangat jauh dari stabilitas.
Kemampuan intelegensi seorang anak tidak akan mampu menganalisa dan
menelaah problem sosial dan perkembangan sosial serta perubahan sosial karena
pesatnya globalisasi industri komunikasi, sehingga faktor eksternal, sebagaimana
diungkapkan oleh Soerjono Soekanto, menjadi faktor utama dalam memicu sifat-
sifat negatif yang alamiah ada pada diri manusia dini.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa
yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.

Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang


pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan
watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki
kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.

Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan


membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil
emosi sudah menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan
pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana
yang berlaku terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus
kewajiban dan hak yang diperoleh anak.

Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dari tahun ke tahun selalu
menuai kritikan baik dari akademisi, praktisi maupun masyarakat. Hal ini lebih
banyak disebabkan kepada kultur yang dipelihara dari generasi ke generasi dalam
pola pikir penegak hukum dalam menangani pelaku tindak pidana.

Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak-anak banyak dipengaruhi oleh


beberapa faktor, mengingat tingkat kelabilan yang masih ada dalam diri anak,
menurut Romli Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :


1. Faktor intelegentia
2. Faktor usia
3. Faktor kelamin
4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :


1. Faktor rumah tangga
2. Faktor pendidikan dan sekolah
3. Faktor pergaulan anak
4. Faktor mass media

Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang anak


melakukan kenakalan, namun demikian menurut Penulis, kebijakan legislatif dapat
pula muncul sebagai salah satu faktor kriminogen dalam hal terciptanya perilaku
menyimpang dari anak berupaka kenakalan anak (juvenile delinquency). Walaupun
memang kebijakan legislatif bukanlah faktor yang secara langsung bersinggungan
dengan maraknya kenakalan anak. Namun demikian, istilah law as a tools of social
engineering pada tujuan dari pembentukan suatu Undang-undang tertentu, juga
dapat menimbulkan efek samping negatif bagi masyarakat. Dimana Undang-undang
sebagai instrumen dalam melakukan pembangunan bagi masyarakat dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan, sehingga memunculkan perilaku menyimpang.
Dari berbagai Kongres PBB yang membicarakan “Crime Trends and Crime
Prevention Strategies”, antara lain disimpulkan bahwa:

1. Pembangunan pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-


hasil pembangunan itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat
serta menunjang kemajuan seluruh kondisi sosial;
2. Pembangunan dapat besifat kriminogen atau meningkatkan kriminalitas, apabila
pembangunan itu direncanakan secara tidak rasional, timpang atau tidk seimbang,
mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral serta tidak mencakup strategis
perlindungan masyarakat yang intergral.

Ketidakjelasan redaksional pasal yang menimbulkan beragam penafsiran


mampu menimbulkan peluang munculnya calon-calon pelaku kejahatan/tindak
pidana. Sebagai contoh pada Sistem Peradilan Pidana (SPP), dimana sebagai bentuk
subproses sosial, SPP tak lepas dari sifat kriminogen lantaran adanya praktik-praktik
yang tidak konsisten, yang justru bisa “menciptakan” kejahatan. Sebuah tindak
pidana bisa saja menjadi bukan tindak pidana atau sebaliknya. Persepsi masing-
masing penegak hukum, profesionlisme, infrastruktur, budaya – bahkan kepentingan
politik — dapat membawa pandangan bahwa hukum adalah sebatas pembalasan
semata. Penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap (pelaku) tindak pidana yang
sama adalah kriminogen.
Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan sebagai berikut:
1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap
menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah,
dan lain-lain.
2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala prilaku
anak yang dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang
dewasa juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum
bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.

Lebih terinci kenakalan anak ini bisa berbentuk :

1. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas dan


membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2. Prilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan
sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif
yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan;
3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran),
sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersmbunyi
ditempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam
kedurjanaan dan tindakan a-susila;
5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret,
menyerang, merampok, menggangu, menggarong, melakukan pembunuhan
dengan jalan menyembalih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan
pelanggaran lainnya;
6. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau
orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang
mengganugu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial atau
didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut
pengakuan diri, defresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam, kekecewaan ditolak
cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;
8. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bisu, drug, opium, ganja) yang erat
berkaitan dengan tindak kejahatan;
9. Tindakan-tindakan imoral sosial secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling,
tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali
(promiscuity) yang didorong oleh hyperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan
usaha-usaha kompensasi lainnnya yang kriminal sifatnya;
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada
anak remajadisertai dengan tindakan-tindakan sadis;
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga
menimbulkan akses kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan
pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan
remaja psikopatik, neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
15. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics lethargoical)
dan ledakan maningitis serta post-encephalitics, juga luka-luka di kepala dengan
kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang
yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri;
16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang
menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang
(dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda,
sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian
diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara
ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut


bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu
perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.

Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai


berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan /
kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau
tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency,
sebagai:
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi
anak-anak merupakan Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana,
seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial
termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan


yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan
tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum
bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan
(crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang
berusia di bawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).

iii. SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

ASPEK HUKUM PERADILAN ANAK

John Gray dalam “Children are from Heaven”[17] menuturkan betapa anak-anak
dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara
bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar.
Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk
membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada
dukungan kita untuk tumbuh. Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu
berbeda dengan orang dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak
lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam
dunia kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan
dampak yang panjang dan permanen.
Masuknya anak ke dalam klasifikasi pelaku suatu tindak pidana, dimana kasus-kasus
kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa
fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi sudah
menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak
perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku
terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban dan
hak yang diperoleh anak.

Perlu diakui bersama bahwa Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara.
Dimana dalam konstitusi Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini secara
tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah
yang bertujuan untuk melindungi anak.

Perhatian terhadap anak sudah ada sejak lama ada sejalan dengan peradapan
manusia itu sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra
kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan
pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya
secara maksimal.

Apabila ditinjau dari sisi sejarah dan perkembangan dari pengaturan tentang
pengadilan anak maka dapat dilihat mulai dari sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);[18]
Sejak tahun 1901, di dalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan
pidana yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh
anak-anak beserta akibat hujumnya. Ketentuan-ketentuan pidana itu oleh para
penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana anak.

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak 1925,


ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 Nomor 647 jo Ordonansi 1949 Nomor 9 yang
mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula
Stb. 1926 Nomor 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di
atas kapal.[19]
Ternyata ketentuan-ketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah dimasukan
kedalam KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan konkordansi
dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsc Indiedengan Firman Raja Belanda
tanggal 15 Oktober 1915 dan berlaku sejak 1 Januari 1918. Selanjutnya, dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 termuat dalam
Berita Negara RI Nomor 9 dan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tanggal 29
September 1958 diberlakukan di seluruh Indonesia.[20]
Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285,
287, 290, 292, 293, 294, 295, dan 297 KUHP memberikan perlindungan anak di
bawah umur, dengan memperberat hukuman, atau mengkualifikasi sebagai tindak
pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan
tersebut bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. [21]
Sebelum lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, hukum pidana anak diatur dalam KUHP hanya meliputi tiga pasal
tersebut diatas, sedangkan Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya
sedikit sekali menyinggung tentang anak, yaitu Pasal 153 (3), Pasal 153 (5), Pasal
171 sub a.

Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No. P.1/20, tanggal 30 Maret
1951 menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana
melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas)
tahun. Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan anak-anak
kedepan pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). Bagi anak
nakal masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak
faedahnya. Lembaga yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor
Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana.
Bahwa ide tentang lahirnya peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970,
seperti termaksud dalam penjelasan Pasal 27 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan
Kehakiman). Dimana dalam pasal tersebut membuka peluang bagi badan-badan
peradilan yang sudah ada untuk membentuk peradilan khusus sebagai
pengkhususan pada masing-masing peradilan.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman memang tidak dijelaskan


peradilan anak, namun dapat kita lihat di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum[22] (untuk selanjutnya disebut UU
Peradilan Umum) yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan
pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum,
misalnya Pengadilan Lalu lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi,
sedangkan yang dimaksud dengan “yang diatur dengan undang-undang” adalah
susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya”.
Untuk merealisir lahirnya Undang-undang Peradilan Anak di Indonesia pada tanggal
10 November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden Nomor
R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-undang Peradilan Anak kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapat persetujuannya.[23]
Akhirnya dengan diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak maka berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak
tersebut secara jelas memuat ketentuan bahwa Pasal 45, 46, dan 47 KUHP
dinyatakan tidak berlaku lagi sedangkan ditinjau dari aspek analogis peraturan-
peraturan lainnya tetap berlaku dalam praktik peradilan penanganan sidang anak di
Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997.[24]
Dengan diundangkannya UU Pengadilan Anak, maka telah berakhirlah suatu
perjalanan panjang dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah
dibahas sejak tahun 1970.

Dengan melihat latar belakang lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang


termuat dalam konsiderannya, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak
mewujudkan sebuah penanganan terhadap perkara anak yang terlibat tindak pidana
yang lebih baik dari yang terdahulu.

Lahirnya UU Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak


nakal, selain itu undang-undang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana
anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik dan berkualitas,
karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak di masa yang akan
datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya
UU Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi
penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi
pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan pembinaan
yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan
dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa
depan. Termasuk, munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan anak,
bahkan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri,
maupun masyarakat.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa munculnya UU Pengadilan Anak


bukanlah menandakan adanya institusi baru dalam dunia peradilan. Tidak seperti
halnya pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)[25] ataupun
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)[26]merupakan institusi yang terpisah
berdasarkan Undang-undang khusus.
Pendapat Penulis ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 UU Pengadilan Anak
yang menegaskan sebagai berikut:

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di


lingkungan Peradilan Umum.”
Dan pula termuat dalam Pasal 3 UU Pengadilan Anak yang menegaskan sebagai
berikut:
“Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang ini.”
Melihat dari penyebutan istilah Sidang Anak sebagai representatif dari Sidang
Pengadilan Anak, hal tersebut menandakan bahwa walaupun Undang-Undangnya
tersebut menggunakan penamaan ‘Pengadilan Anak’, namun bukan berarti ada
institusi khusus pengadilannya, namun Undang-undang tersebut sejatinya hanya
merupakan Undang-undang yang memuat hukum acara dari suatu proses peradilan
anak.

UU Pengadilan Anak hanya menampilkan secara simbolis adanya Hakim Anak


menandakan keberadaan Pengadilan Anak, namun secara institusi TIDAK ADA.
Oleh karena tindak pidana yang pelakunya adalah anak, maka sesuai Penjelasan
Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Anak itu berada di bawah Badan
Peradilan Umum. Jadi yang diatur secara istimewa dalam UU Pengadilan Anak itu
hanyalah masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara sidang orang dewasa.
Dengan demikian kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) Pengadilan Anak, ada
pada peradilan umum.[27]
Sepanjang perjalanan UU Pengadilan Anak mulai dari tahun 1997 hingga 2012,
telah banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para pegiat LSM Perlindungan
Anak, dimana di dalam prakteknya UU Pengadilan Anak tidak sepenuhnya
merupakan Undang-undang yang bersifat lex specialist dikarenakan terdapat
beberapa bagian hukum acaranya masih mengacu kepada KUHAP. Sehingga
semangat pembaharuan hukum (legal reform) dalam peradilan anak menjadi tidak
ada perubahan yang signifikan dalam proses peradilan anak.[28]
Sehingga bergulirlah wacana untuk meng-amandemen UU Pengadilan Anak. Setelah
melalui pembahasan lama di DPR, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem
Peradilan Anak akhirnya disahkan dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR
Senayan,Jakarta, pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (untuk selanjutnya disebut
UU SPA).

Dari sisi penamaan, UU SPA lebih jelas bermakna bahwa Undang-undang tersebut
merupakan pengaturan secara formil atau hukum acara dalam proses peradilan
pidana dimana anak sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini kemudian justru
memperjelas bahwa di Indonesia memang belum memiliki institusi khusus
Pengadilan Anak. Sehingga dalam memproses anak sebagai pelaku tindak pidana
tidak lagi mengacu kepada KUHAP.

1. Anak Dalam Sistem Hukum Nasional


2. Batasan Usia Anak Secara Umum
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau
person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).[29]
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan
batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak anatara
satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu: [30]
“Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur
antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 8-
16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan
negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan
bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur
antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara
Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.”
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius
constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku
universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak. Terdapat
beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak, dan pada umur berapa
seorang itu dikategorikan anak-anak. Pengertian anak dapat dilihat dalam
perumusan berbagai peraturan perundang-undangan maupun pendapat para pakar
dengan batasan yang dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) pada tanggal
20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam
pasal 1 pengertian anak, adalah:
“Semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan
kedewasaan dicapai lebih awal.”
Menurut UU Pengadilan Anak pada Pasal 1 menyatakan anak adalah :

“Orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum kawin”
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(untuk selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak) bahwa yang dimaksud dengan
definisi Anak termuat di dalam Pasal 1, anak adalah:

“Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
kawin.”
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) ternyata pula memberikan
pengertian tentang anak yang berbeda pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
angka 1 sebagai berikut:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, berkaitan
dengan anak sebagai subyek hukum pada peradilan pidana, maka Pasal 45 KUHP
memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam
belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka
hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang
tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan
suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan
lahirnya UU Pengadilan Anak.[31]
Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan, bahwa selama seseorang yang
masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua
wali ataupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.

Dalam ranah Hukum Perdata, pengertian anak dan batasan usia anak pun diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 1 angka 26
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk
selanjutnya disebut UUK), yang menegaskan sebagai berikut:

“Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.”
Selain itu diatur pula dalam Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) menyatakan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
dan tidak lebih dahulu kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka
yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga,
keempat, kelima, dan keenam bab ini.”
Pengaturan lebih lanjut dapat pula dijumpai pada 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan
batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita adalah:[32]
“Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, orang itu
masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan
pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan
menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki, seperti
halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya”
Menurut Zakiah Daradjat, batas usia anak dan dewasa berdasarkan pula remaja yang
menyatakan pula bahwa : Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu
tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa anak-
anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi
anak-anak bentuk badan, sikap berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang
dewasa.[33]
Sedangkan dalam Pasal 1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak
Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak
adalah:[34]
“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-
undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Di dalam Pasal 2.2 huruf (a) The Beijing Rules menegaskan sebagai berikut: [35]
“Seorang anak adalah adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem
hukum masing-masing dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan
cara yang berbeda dari perlakukan terhadap orang dewasa.”
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia
maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum
sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang
subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-
perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.[36]
Dari berbagai literatur mengenai Hukum Perlindungan Anak, hampir seluruh ahli
hukum Anak selalu mengutarakan berbagai macam dasar hukum serta berbagai
definisi mengeni Anak, sehingga memunculkan kebingungan bukan hanya dalam
diri masyarakat, bahkan Mahasiswa Fakultas Hukum pun tak jarang menjadi
dilematis ketika berkaitan dengan definisi Anak. Pemahaman yang perlu ditanamkan
adalah bahwa perbedaan usia anak tersebut bergantung kepada perbuatan hukum
yang bersinggungan dengan si Anak. Batasan usia anak pada ranah hukum pidana
tidak dapat diterapkan dalam batasan Anak dalam ranah hukum Perdata, karena
berbeda perbuatan hukumnya.

Menurut Penulis batasan tersebut bukanlah merupakan definisi atau pengertian dari
Anak, namun batasan tersebut adalah batasan usia yang merupakan wilayah
kewenangan bagi penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum. Sehingga jika
seorang anak, diluar batasan usia tersebut dalam artian beum mencapai batas
minimal, khususnya dalam ranah hukum pidana, maka aparat hukum tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum.

Jika si Anak melakukan tindak pidana dalam batasan usia yang telah ditentukan,
maka menimbulkan kewajiban hukum bagi aparat penegak hukum untuk
menerapkan hukum acara khusus anak, dan terlarang baginya untuk menerapkan
hukum acara yang bersifat umum. Namun, jika si Anak dalam melakukan tindak
pidana, sudah berada di luar batasan usia tersebut, maka memberikan kewenangan
bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum acara yang bersifat umum.

2. Pengertian Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum


Di dalam sistem Hukum Perlindungan Anak, ditemukan 2 (dua) istilah yang
berbeda berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan hukum. Pada UU
Pengadilan Anak, menggunakan istilah Anak Nakal sedangkan pada UU SPA
menggunakan istilah Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Pada Pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Anak ditegaskan sebagai berikut:

Anak Nakal adalah:

a. anak yang melakukan tindak pidana; atau

anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
b. lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
UU Pengadilan Anak menggunakan istilah ‘Anak Nakal’ bagi seorang anak baik
karena melakukan tindak pidana ataupun karena melakukan penyimpangan
perilaku. Penggunaan istilah ‘Anak Nakal’ merupakan bagian dari proses labeling
atau stigmatisasi bagi seorang anak, yang dalam kajian sosiologis dan psikologis
dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental si Anak.

Sejalan dengan semangat legal reform dalam UU SPA, maka istilah ‘Anak Nakal’
sudah tidak lagi dipergunakan. Pasal 1 UU SPA menggunakan istilah ‘Anak yang
Berhadapan dengan Hukum’, dimana istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan
Hukum’ merupakan istilah yang memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau disebut Anak;[37]
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

1. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak Korban;[38]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

1. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi.[39]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.

Sedangkan menurut UNICEF, bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum (child
in conflict with law) adalah:[40]
“Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem
peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan
tindak pidana.”
Dan pada Pasal 2.2 huruf (c) the Beijing Rules menggunakan istilah ‘a juvenile
offender’ (pelaku/pelanggar hukum berusia remaja) yang menegaskan sebagai
berikut:[41]
“Seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau seorang anak
muda yang diduga telah melakukan suatu pelanggaran hukum.”
Dengan memperbandingan definisi berkaitan mengenai istilah ‘Anak yang
Berhadapan dengan Hukum’, maka Indonesia telah selangkah lebih maju. Dimana
pada UU Pengadilan Anak, digunakan istilah yang mengandung
makna labeling yaitu Anak Nakal. Sehingga berdampak baik pelaku, secara
psikologis menjadi penghambat bagi perkembangan mental, maupun masyarakat
dan korban, secara psikologis terpola dengan pemahaman ‘Anak Nakal’
memberikan efek negatif bagi masyarakat secara umum. Sehingga pembinaan
sebagai tujuan dari UU Pengadilan Anak tidak pernah tercapai.
1. Asas-Asas dan Hak-Hak Anak dalam Hukum Perlindungan Anak
Pada hakikatnya sasaran studi hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas
hukum, kaedah hukum dalam arti sempit (norma atau nilai), dan peraturan hukum.
Doktrin memberikan banyak pengertian mengenai asas hukum ini.[42]
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang
masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar
yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum
itu dapat dilaksanakan.
Asas dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘principle’ sedangkan di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni
sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu, asas juga
diartikan sebagai dasar cita-cita.
Menurut Bellefroid, bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum. Jadi asas hukum merupakan pengendapan hukum positif di
dalam masyarakat. Demikian pula yang diungkapkan oleh Paul Scholten, yang
menyatakan bahwa Asas Hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat
umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang
tidak boleh tidak harus ada. [43]
Sedangkan Asas Hukum menurut Van der Velden yakni tipe putusan yang
digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berperilaku. Sejalan dengan pemikiran Bellefroid, maka Van Eikema
Hommes memberikan pengertian bahwa Asas Hukum bukanlah norma-norma
hukum konkrit tetapi adalah dasar pikiran umum atau petunjuk bagi hukum yang
berlaku.
Sejalan dengan pendapat tersebut, sebagaimana diungkapkan pula oleh Asser[44],
yang menyatakan bahwa Asas Hukum berisikan penilaian susila, pemisahan yang
baik dari yang buruk yang menjadi landasan hukum, sehingga di dalam asas hukum
terdapat sifat etis.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo[45], menyatakan bahwa Asas Hukum
bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum
dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit
tersebut.
Dari berbagai batasan tersebut, menurut Siti Ismijati Jenie[46], dapat disimpulkan
bahwa asas hukum itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar;
2. Asas hukum itu bukan peraturan hukum konkrit melainkan latar belakang dari
peraturan hukum konkrit;
3. Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunya dimensi etis;
4. Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim.
Berkaitan dengan pengertian dari asas hukum tersebut, maka dapat diketahui fungsi
dari asas hukum, menurut Klanderman, dalam suatu sistem hukum, yaitu:[47]
1. Bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat
para pihak, karena eksistensinya didasarkan pada rumusan pembentuk undang-
undang dan hakim;
2. Melengkapi sistem hukum dan membuat sistem hukum tersebut luwes.
Selanjutnya Paul Scholten membagi asas hukum menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai
berikut:
1. Asas Hukum yang bersifat universal, yaitu asas hukum yang berlaku kapan saja
dan dimana saja tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat;
2. Asas Hukum umum, yaitu asas hukum yang berlaku pada semua bidang hukum;
3. Asas Hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku hanya pada satu bidang
hukum saja.
Apabila kita membaca suatu peraturan hukum mungkin kita tidak menemukan
pertimbangan etis disitu tetapi azas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis
(setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk kearah itu). Karena azas
hukum mengandung tuntutan etis maka azas hukum merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa tidak bisa
hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja melainkan harus menggalinya
sampai kepada azas-azas hukumnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-atmadja, dimana beliau


menegaskan bahwa hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah
moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan
cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup.[48]
Dalam kajian hukum internasional, maka pengakuan terhadap hak anak mengacu
kepada Konvensi Hak anak (KHA) yang merupakan turunan dari instrument bills of
right. Sehingga pembahasan mengenai asas-asas hukum yang termuat di dalam KHA
tidak terlepas dari asas-asas hukum yang termuat di dalam instrument bills of right.
Dimana secara umum asas hukum internasional memuat 3 (tiga) jenis asas hukum,
yaitu sebagai berikut:
1. Kesetaraan
2. Non Diskriminasi
3. Kewajiban Negara
Dari ketiga asas tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam berbagai konvensi
internasional yang sifatnya merupakan asas hukum khusus. Namun pada umumnya
baik KHA maupun the Beijing Rules, memuat asas-asas sebagai berikut:
1. Kepentingan terbaik bagi anak;
2. Penghargaan terhadap pendapat anak.
3. Ulitimum Remidium
Berkaitan dengan prinsip the best interest for children tersebut, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5.1 the Beijing Rules, maka dapat disimpulkan adanya dua sasaran
dibentuknya peradilan anak, yaitu:[49]
1. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile),
Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam
sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan
penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat
menghukum.
Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai
‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi
PBB 45/113 tentang UN Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Their
Liberty.[50];
2. Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality).
Prinsip yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi
yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini
mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata
sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-
mata sebagai suatu lembaga sosial.[51]
Dalam konteks keindonesiaan, asas hukum pada perlindungan anak dimuat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. UU Perlindungan Anak
Asas Perlindungan Anak di dalam UU Perlindungan Anak, termuat di dalam Pasal
2, yang menegaskan sebagai berikut:

1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Berkaitan dengan asas tersebut, maka dapat kita cermati penjelasan dari Pasal 2 UU
Perlindungan Anak tersebut, yang menegaskan sebagai berikut:

“Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang


terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam
semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik
bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah
penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya
dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya.”
2. UU Pengadilan Anak
Undang-undang pengadilan anak dalam pasal-pasalnya mengaut beberapa asas yang
membedakannya dengan siding pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu
adalah sebagai berikut:[52]
1. Pembatasan umum (pasal 1 butir 1 jo pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan
secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksumum 18
(delapan belas tahun) dan belum pernah kawin

1. ruang lingkup masalah di batasi (pasal 1 ayat 2)


Masalah yang dapat diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas
menyangkut perkara anak nakal.

1. Ditangani pejabat khusus (pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)


UU Pengadilan Anak menentukan perkara anak nakal harus ditangani oleh pejabat-
pejabat khusus seperti :

 Ditigkat penyidikan oleh penyidik anak


 Di tingkat penuntutan oleh penutut umum
 Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim kasasi anak.
1. Peran pembimbing kemasyarakatan (pasal 1 ayat 11)
UU Pengadilan Anak mengakui peranan dari:

 Pembimbing Kemasyarakatan
 Pekerja Sosial dan
 Pekerja Sosial Sukarela
1. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana kekeluargaan. Oleh
karena itu Hakim, Penuntut Umum Dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.

1. Keharusan splitsing (pasal 7)


Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil
maupun militer, kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa,
maka si anak diadili dalam siding pengadilan anak, sementara orang dewasa diadilan
dalam siding biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.

1. Acara Pemeriksaan Tertutup (pasal 8 ayat (1))


Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi
kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam siding yang
terbuka untuk umum.

1. Diperiksa Hakim Tunggal (pasal 11, 14, dan 18)


Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri, banding atau
kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

1. Masa penahanan lebih singkat (pasal 44 -49)


Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahanan menurut
KUHAP

1. Hukuman lebih ringan (pasal 22 – 32)


Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan daripada ketentuan
yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah sepuluh
tahun.

3. UU Sistem Peradilan Anak


Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:[53]
1. Perlindungan;
Yang dimaksud dengan ”perlindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan
tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

1. Keadilan;
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak
harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

1. Non diskriminasi;
Yang dimaksud dengan ”non diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang
berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau
mental.
1. Kepentingan terbaik bagi anak;
Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak.

1. Penghargaan terhadap pendapat anak;


Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah
penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya
dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi
kehidupan Anak.

1. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;


Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah
hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.

1. Pembinaan dan pembimbingan anak;


Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas,
ketakwaan kepadaTuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam
maupun di luar proses peradilan pidana.

Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk


meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan
rohani klien pemasyarakatan.

1. Proporsional;
Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak
harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

1. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;


Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir”
adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa
guna kepentingan penyelesaian perkara.

1. Penghindaran pembalasan.
Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan
upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula
beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam
konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana
materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.[54]
Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:

1. Asas manfaat.
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan
(baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana
serta menciptakan ketertiban masyarakat.

Asas inimengingatkan kita kepada salah satu tokoh filosuf, Jeremy Betham
melalui utility theoryatau Utilitarianisme, yang mengutamakan bahwa tujuan
pembentukan hukum adalah kebahagiaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
bagi masyarakat.
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen, dimana Fungsi hukum
menurut Hans Kelsen adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dimana
konsep adil dipahami sebagai suatu penciptaan terhadap sebanyak-banyaknya
kebahagiaan dalam masyarakat.[55]
Bahwa pembentukan hukum tersebut hendaknya mencerminkan adanya manfaat
yang sebesar-besarnya baik bagi masyarakat maupun individu dalam tataran
implementasinya. Sehingga, masih menurut Betham, bahwa tindakan pemerintah
dalam tataran implementasi baru dapat dikatakan selaras dengan hukum jika
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Betham
tidak hanya menekankan adanya utility pada ranah peraturan perundang-undangan
namun juga utility pada ranah tindakan.[56]
2. Asas keadilan.
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak
bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga
diberikan pada pelaku kejahatan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali
juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[57]
Pemberian rasa keadilan kepada masyarakat tidak dapat serta merta diakui secara
umum hanya berlandaskan kepada konsepsi hak kodrati atau hukum alam yang
menegaskan bahwa dalam diri manusia telah terdapat hak-hak kodrati yang suka
atau tidak suka harus diakui baik adanya pengakuan ataupun tidak, sebagaimana
ditegaskan dalam prinsip universalisme dalam ranah Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun, sebagaimana bentuk kritik dari Aliran Positivisme kepada Teori Hak
Kodrati dan Teori Hukum Alam, dimana pengakuan terhadap hak-hak seseorang
haruslah berasal institusi yang berwenang dan memiliki kekuasaan.

Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan hal-hal mana yang


dibatasi oleh keadilan dari pihak lain, maka mutlak diperlukannya suatu pengaturan
yang bersifat tegas dan jelas. Hal ini sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan terhadap rasa keadilan, sehingga diperlukan sarana untuk melakukan
perubahan perilaku di dalam masyarakat (law as a tools of social engineering)
sehingga menurut Mochtar Kusuma-Atmadja, sangat diperlukan sarana berupa
peraturan perundang-undangan.[58]
Namun, dikarenakan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut
diserahkan dan menjadi tanggung jawab lembaga politik yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, sehingga produk perundang-undangan seringkali diintervensi oleh kekuatan-
kekuatan politik dan kepentingan pihak ketiga.

Sehingga Mochtar Kusuma-Atmadja memberikan batasan yang tegas bahwa Hukum


adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila,
kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (living law).
Oleh karena itu, seyogyanya, penerapan hukum dalam memberikan rasa keadilan
tidak terkekang oleh Ajaran Legisme[59], maka seharusnya Hakim sebagai institusi
terakhir dalam penegakan hukum, mampu membaca the living law yang ada di
masyarakat melalui instrumen rechtsvinding dan rechtschepping sebagaimana
diamanatkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman[60], yang menegaskan sebagai
berikut:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sehingga antara peraturan perundang-undangan dengan putusan pengadilan
seharusnya tidak menunjukan posisi yang lebih superior antara satu dengan lainnya.
Dikarenakan keduanya diharapkan dapat berkolaborasi dengan satu tujuan yaitu
memberikan rasa keadilan.

3. Asas keseimbangan.
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat
yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak
korban.
Asas ini secara tidak langsung ingin menjelaskan bahwa pemidanaan badan yang
dikenal dalam sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan, dewasa ini, tidaklah
berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Sistem pemidanaan yang didasarkan kepada retributive theory (pidana absolut) tidak
memberikan pemenuhan hak-hak korban, sehingga seringkali putusan pengadilan
memicu rasa ketidakpuasan dari masyarakat. Kondisi ini sudah terjadi puluhan
tahun di Indonesia bahkan hampir diseluruh dunia. Sehingga para ahli hukum
mencoba menggali konsep-konsep yang ada untuk memunculkan konsep baru
dalam hal pemidanaan yang memberikan rasa keseimbangan tersebut guna
pemenuhan hak-hak korban.
Konsep terakhir yang muncul adalah diwacanakannya konsep restorative justice.
Menurut John Braitwaite, bahwa restorative justice adalah proses yang melibatkan
semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk
datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan
menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.[61]
Sejalan dengan pemikiran John Braitwaite, maka Marian Liebmann dengan bahasa
yang lebih sederhana, mengatakan sebagai berikut:[62] “restorative justice sebagai
suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban,
pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran
atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Konsep tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 1 angka 6 UU SPA yang
menegaskan sebagai berikut:

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan


pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Melalui konsep restorative justice ini lah kemudian diharapkan dapat memenuhi
keseimbangan hak antara pelaku tindak pidana, korban tindak pidana dan
masyarakat sebagai komunitas yang terganggu sistem sosialnya.
4. Asas Kepastian Hukum.
Dalam konsep hukum di Indonesia, asas kepastian hukum atau asas legalitas
tersebut termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menegaskan sebagai berikut:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan


perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Walaupun redaksional dari Pasal 1 ayat (1) KUHP lebih menekankan kepada suatu
kepastian pemidanaan berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun jika kita
cermati pada frase “…………..kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada”, maka frase tersebut mengidikasikan bahwa suatu
perbuatan/tindakan adalah sah apabila terdapat pengaturannya di dalam peraturan
perundang-undangan.
Sehingga Asas ini dapat pula memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi
aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan
perlindungan hukum pada korban kejahatan, sepanjang ketentuan mengenai
perlindungan terhadap korban tertuang di dalam suatu redaksional dalam sebuah
pasal pada peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan pembahasan asas-asas hukum yang diakui secara universal tersebut,
maka kemudian memunculkan hak-hak bagi subyek hukum. Dalam kaitannya
dengan penulisan ini, maka Hak-hak terhadap subyek hukum anak terdapat dalam
KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:[63]
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya.

Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin


kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6).
Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan
tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan,
khusuSnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).

Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-


program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2)
menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan
kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah
melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan
mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6)
mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta
penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan
praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.

Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak
untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2)
hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri
anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup
bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala
bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang
bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh
perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya
dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai
dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya
dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala
perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak
anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan
latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat
kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan
yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights);


Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan
keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi.
Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang
cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak
dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan
masyarakat negara.

Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan


pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari
penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan
seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan,
penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi
anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights);


Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non
formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal
28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan
dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-
macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat
imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4)
mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di
sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak
untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4)
hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan
kepribadian, (6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar
pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights).


Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal
yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk
berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk
mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk
berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh
imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan


anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan
hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

Berkenaan dengan hak-hak yang termuat dalam KHA tersebut, maka pada UU
No.39/1999 tentang HAM telah merumuskan seperangkat hak sipil, politik, sosial,
ekonomi dan sosial bagi anak adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk dilindungi orang tua, keluarga, misalnya dan negara


2. Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan tariff kehidupan
3. Hak atas nama dan status kewarganegaraan
4. Hak anak cacat untuk perawatan, pendidikan dan pelatihan khusus
5. Hak untuk beribadah, berpikir dan berekspresi sesuai dengan usia dan tingkat
intelektualitasnya.
6. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuk orangtuanya sendiri
7. Hak untuk mengetahui orang tuanya angkat atau angkat atau wali bila mereka
meninggalkan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai perlakuan buruk
9. Hak untuk dipisahkan dari orang tua bertentangan dengan kehendak anak sendiri
10. Hak untuk mendapatkan perlindungan dengan kehendak anak sendiri
11. Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingakat
intelektualitas dan usianya serta nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan
12. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya dan sesuai dengan minatnya
13. Hak atas pelayanaan kesehatan dan jaminan sosial yang layak
14. Hak untuk tidak dilibatkan dalam pristiwa yang mengandung kesehatan
15. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi seksual, perdagangan anak, narkoba
16. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi
17. Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum
18. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana
19. Hak atas bantuan hukum, untuk memebela dari dan memperoleh keadilan di
pengadilan anak yang bebas dan tidak memihak.
Sedangkan hak-hak Anak dalam proses peradilan pidana, adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk diperiksa dalam suasana kekeluargaan pada Sidang Anak;


2. Hak untuk diadili secara khusus berbeda dengan orang dewasa;
3. Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup untuk umum;
4. Hak untuk dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa, dan selama masa
tahanan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi;
5. Hak untuk dikeluarkan dari tahanan demi hukum apabila jangka waktu
penahanan telah habis;
6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat
Hukum sejak ditangkap atau ditahan dan pada setia tingkat pemeriksaan;
7. Hak untuk berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi
tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang pada saat ditangkap atau ditahan;
8. Hak untuk didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum
dan Pembimbing Kemasyarakatan selama proses pemeriksaan;
9. Hak untuk menjalani pidana atau dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang
harus terpisah dari orang dewasa, serta memperoleh pendidikan dan latihan
sesuai bakat dan kemampuannya
10. Hak untuk menembuh proses divertion (diversi/pengalihan).
Terkait dengan adanya hak-hak tersebut, maka mendapatkan perlindungan
merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti
terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan
pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi
anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa
depan”.[64]
Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi
kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu
keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya
telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini
berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk
hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan
dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para
pelindungnya.[65]
Menurut Pasal 1 angka 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak disebutkan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-
upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: [66]
1. Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang
membahayakannya,
2. Pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
3. Pengawasan,
4. Penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya,
5. Pembinaan (mental, fisik, sosial),
6. Pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
7. Pengasuhan (asah, asih, asuh),
8. Pengganjaran (reward),
9. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: [67]
1. Pencegahan orang lain merugikan,
2. Mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan
kewajiban,
4. Penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
5. Pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
6. Pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak,
7. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan
itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan
yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua,
petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini


ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang
berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak
secara langsung oleh para partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang
terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang
pendidikan.[68]
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan
hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of
children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.[69]
Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan
dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti:[70]
1. Kedudukan anak sah dan hukum waris;
2. Pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin;
3. Kewajiban orang tua terhadap anak;
4. Kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47
KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara Lain
Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal 305, Pasal
308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya
diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Pada Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya
mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam konteks peradilan anak. Dan yang terakhir melalui Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPA), yang merupakan
bentuk legal reform dari konsepsi perlindungan anak, dimana
lembaga divertion telah diperkenalkan dalam proses pemeriksaan perkara pidana
anak.
Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial
dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian
upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas
pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan
yang lebih lengkap dan canggih.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan


anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan
kesejahteraan anak.
DAFTAR PUSTAKA :
[1] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo,
1997), hlm. 99.
[2] Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif
Victimology (belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah,
Pekan baru, 2006, hlm.8.
[3] Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 103.
[4] Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan ANak, (Jakarta: Djambatan, 2005),
hlm. 1
[5] Kartini Kartono, Psikologi Remaja. (Bandung : Rosda Karya, 1988), hlm. 93
[6] Soerjono Soekanto, Bahan Bacaan Teoritis Dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 73.
[7] Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum,
Sumber: http://lushiana.staff.uns.ac.id/files/2010/07/keadilan-restoratif-bagi-anak-
yang-berhadapan-dengan-hukum.pdf, diakses tanggal 17 November 2012.
[8] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1.
[9] Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006),
hlm. 17
[10] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 9
[11] Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,
Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%
20PENGADILAN%20ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES%20
PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2012.
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 219
[13] Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.
[14] Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2). Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1992), hlm. 7
[15] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung:
Armico, 1983), hlm.40
[16] Gatot Supramono, Op.cit, hlm. 9
[17] John Gray, Children are from Heaven, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), hlm. 1.
[18] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indoneia. Teori, Praktek dan
Permasalahannya, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 8
[19] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003),
hlm. 4
[20] Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 9.
[21] Darwin Prinst, Op. cit., hlm. 5
[22] Saat ini UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan yang kedua melalui
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,sedangkan perubahan pertama melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
[23] Darwan Prinst, Op.cit, hlm. 8
[24] Lilik Mulyadi, Op. cit., hlm. 11
[25] Dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
[26] Dibentuk dengan Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
[27] Darwin Prinst, Op. Cit., hlm. 13
[28] Penulis berpendapat bahwa sistem peradilan tersebut merupakan satu kesatuan
rangkaian proses mulai dari proses penyidikan di Kepolisian hingga eksekusi
putusan pengadilan.
[29] Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm.
[30] Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan
Penanggulangannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 8
[31] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hlm. 3
[32] Romli Atmasasmita Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja, (Bandung,
Amico, 1986), hlm. 34
[33] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hlm. 84
[34] C. De Rover, To Serve And To Protect, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 369
[35] “A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems,
may bedealt with for an offence in a manner which is different from an adult.”
[36] Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Grasindo, 2000), hlm. 24.
[37] Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak, Pasal 1 angka 3
[38] Ibid., Pasal 1 angka 4
[39] Ibid., Pasal 1 angka 5
[40] UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection
INFORMATION Sheet, 2006, hlm. 19.
[41] Teks Asli: A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have
committed or who has been found to have committed an offence
[42] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm.
4.
[43] Ibid., hlm. 5.
[44] Siti Sumarti Hartono, Penuntunan Dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda. Bagian Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm.
89.
[45] Sudikno Mertokusumo, Loc.cit
[46] Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hkm Khusus Menjadi
Asas Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, diucapkan di depan Rapat Terbuka
Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 10 September 2007 di
Yogyakarta, hlm. 3
[47] Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 6.
[48] Shidarta, et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum
Pembangunan. Eksistensi dan Implikasi, (Jakarta: Epistema Institute, 2012), hlm. 19.
[49] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm.
113
[50] Barda Nawawi Arief, “Masalah perlindungan anak “, Makalah Seminar
Nasional Perlindungan anak, diselenggarakan UNPAD, Bandung: Hotel Panghegar,
tanggal 5 Oktober 1996, hlm. 13
[51] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm.
114
[52] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003),
hlm. 15.
[53] Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak
[54] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993),
hlm. 50
[55] Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (terj. Mohamad
Radjab), (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982), hlm. 6-7.
[56] Jeremy Betham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation,
1781, Sumber: http://www.utilitarianism.com/jeremy-bentham/index.html, diakses
tanggal 5 Desember 2012.
[57] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004), hlm. 239.
[58] Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan. Sebuah Kajian Deskriptif Analitis,
Sumber: http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_kajian%20deskriptif%20analitis%20teori%20huku
m%20pembangunan.pdf, diakses tanggal 5 Desember 2012.
[59] Ajaran Legismen berpendapat bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif dan
hanya sebagai “terompet undang-undang” (la bounche de la loi).
[60] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menegaskan sebagai berikut:
[61] John Braitwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (London:
Oxford University Press, 2002), hlm. 10.
[62] Marian Liebmann, Restorative Justice: How it Works, (London and
Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25
[63] Absori, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya di
Indonesia pada Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret
2005, hlm. 80.
[64] Arief Gosita, Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak
dan Tanggung Jawab Bersama, Makalah Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung, 5 Okober 1996, hlm. 1
[65] Ibid., hlm. 14
[66] Ibid, hlm. 6
[67] Ibid, hlm. 7
[68] Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak, (Jakarta: Gramedia Indonesia, 2000), hlm. 40
[69] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 156
[70] Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Peradilan Anak, Makalah Seminar
Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel
Panghegar, 5 Oktober 1996, hlm. 3

Anda mungkin juga menyukai