Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Gambar VI.0 Etika merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan
atau panduan dalam bersikap dan bertingkah laku
Gambar VI.2: Meminta doa restu orang tua merupakan salah satu etika sebelum
berangkat sekolah
Sumber: http://www.anneahira.com/adab-terhadap-orang-tua.htm
Gambar VI.3: Korupsi merupakan penyakit moral yang kronis yang perlu
disembuhkan. (Sumber: http://loperkoran.wordpress.com/)
Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan
adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari
tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini
mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan
pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”.
Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati,
ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya
diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur,
terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan
toleran (Mudhofir, 2009: 216--219). Orang yang memelihara metabolisme
tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan
sebagai bentuk penguasaan diri dan disiplin, sebagaimana nasihat
Hippocrates berikut ini.
“All parts of the body which have a function, if use moderation and exercise in
labours in which each is accustomed, become thereby healthy, well-developed
and age slowly, but if unused and left idle they become liable to disease,
defective growth, and age quickly” 1
Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral
menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan
kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asas-
asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau
jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak
etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai
berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya.
Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya kebenaran dan
kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan
(Mudhofir, 2009: 214). Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme,
hedonisme, utilitarianisme.
Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban
moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau
akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya,
kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung
kemestian untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban
moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsep-
konsep nilai moral (yang baik) dapat didefinisikan berdasarkan pada kewajiban
moral atau kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak
dapat dianalisis (Mudhofir, 2009: 141).
1 (http://www.medscape.org/viewarticle/554276)
Teleologis Konsekuensi Kebenaran dan Aliran etika yang berorientasi
atau akibat kesalahan pada konsekuensi atau hasil
didasarkan pada seperti: Eudaemonisme,
tujuan akhir Hedonisme, Utilitarianisme.
Setelah Anda mendapat gambaran tentang pengertian etika dan aliran etika,
maka selanjutnya perlu dirumuskan pengertian etika Pancasila, dan aliran
yang lebih sesuai dengan etika Pancasila. Etika Pancasila adalah cabang
filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh
karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut
membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.
Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang
mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai
agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus,
artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan
kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan
mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah
air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang
lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas
nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan
teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan
karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu
kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan
artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang
tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang
berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan
memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.
Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam
hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui
batas dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai
rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait
dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).
Gambar VI.4: Salah satu etika dalam berdemokrasi adalah menolak berbagai macam bentuk
suap dalam proses pemilihan wakil-wakil rakyat.
Sumber: kompas.com
Anda perlu mengetahui bahwa Pancasila sebagai sistem etika tidaklah muncul
begitu saja. Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik
untuk mengatur sistem penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan
apabila dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika
yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara negara,
niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai
sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di
Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama
generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara.
Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai
dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat
globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi
ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi
justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral,
antara lain: penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa
hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan
para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem
etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan
karakter di sekolah-sekolah.
Kedua, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara
tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan
tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai
sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk
(bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan
buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis
dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan
buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai
peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat
terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan
kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui
pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih
rendah, padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam
membiayai APBN. Pancasila sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan
wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban perpajakannya dengan
baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka program pembangunan yang
tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan dengan sumber penerimaan dari
sektor perpajakan. Berikut ini diperlihatkan gambar tentang iklan layanan
masyarakat tentang pendidikan yang dibiayai dengan pajak.
Gambar VI.5: Pajak yang telah dibayar oleh masyarakat salah satunya digunakan untuk
membiayai pendidikan di Indonesia, membangun gedung sekolah, mendanai Bantuan
Operasional Sekolah, maupun untuk membeli buku-buku pelajaran agar jutaan anak
Indonesia dapat terus bersekolah. (Sumber: www.pajeglempung.com)
Gambar VI.7: Menanam pohon sebagai bentuk kesadaran atas lingkungan hidup yang asri.
Sumber: http://seminarhasilpenelitian.wordpress.com/2010/03/24/10-alasan-untuk-
menanam-pohon/
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk
sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai
Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral
telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde
lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden
Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui
penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir
Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari
para peneliti BP-7. Untuk memudahkan pemahaman tentang butir-butir sila
Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto, 1993: 53--55).
SILA PANCASILA CARA PENGAMALAN
1. Ketuhanan Yang a. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama
dan para penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Kemanusiaan yang a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan
Adil dan Beradab kewajiban asasi antar sesama manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, dikembangkan sikap hormat menghormati
dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Persatuan a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, keselamatan
Indonesia bangsa dan bernegara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang
berbhineka tunggal ika.
4. Kerakyatan yang a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai
Dipimpin oleh kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan mengutamakan
Hikmat kepentingan negara dan masyarakat.
Kebijaksanaan b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
dalam
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
Permusyawara-tan/
kepentingan bersama.
Perwakilan
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Dengan itikad yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
g. Putusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
5. Keadilan Sosial a. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap
bagi Seluruh dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Rakyat Indonesia b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-
pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik.
Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh
penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan
korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.
2. Sumber Sosiologis
Tujuan
Politik
Sarana Aksi
Gambar VI.8 Hubungan antara dimensi tujuan, sarana, dan aksi politik
Anda diminta untuk menggali sumber politis tentang Pancasila sebagai
sistem etika dalam bentuk perilaku politik yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian, mendiskusikannya dalam kelompok
Anda dan melaporkannya secara tertulis.
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia
bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku
warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada
norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama,
maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh
pengikut-pengikutnya.
Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan
manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan
dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan
kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara
dan sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan
antarmanusia dan antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan
yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama
sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas
kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada
semangat kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk
menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk
mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai
orang lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata
(deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih
menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan
itu sendiri.