Oleh :
RIZAL AFANDI
118100084
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas kehendak dan
keridhoannya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai upaya untuk memenuhi salah satu tugas yang
tercantum dalam kurikulum Sistem Politik Indonesia,semester dua Dalam
makalah ini menyajikan tentang Sistem Politik Indonesia.
Pada kesempatan ini, saya penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada dosen pembimbing mata kuliah Sistem Politik
Indonesia, yang telah banyak membantu dan memberi pengarahan dalam
membuat makalah ini.
Akhirnya saya dari tim penyusun mengharap saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini.
Rizal Afandi
NPM. 118100084
1. 5 pokok yang dipelajari dalam Ilmu Politik
Ilmu politik dilihat dari aspek kenegaran adalah ilmu yang memperlajari
Negara, tujuan Negara, dan lembaga-lembaga Negara serta hubungan
Negara dengan warga nwgaranya dan hubungan antar Negara.
Ilmu politik dilihat dari aspek kekuasaan adalah ilmu yang mempelajari
ilmu kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar, proses,
ruang lingkup, dan hsil dari kekuasaan itu.
Ilmu politik dilihat dari aspek kelakuan politik yaitu ilmu yang
mempelajari kelakuan politik dalam system politik yang meliputi budaya
politik, kekuasaan, kepentingan dan kebijakan.
Ilmu Politik ialah yang mempelajari tentang rakyat yang berdaulat yang
mendiami suatu wilayah tertentu secara geopolitik serta mampu mengurus
negaranya itu, karena mempunyai pemerintahan yang didukung oleh
rakyatnya sehingga mampu melaksanakan hubungan internal dan eksternal
serta mempunyai fungsi dan pengaruh di dalam dunia internasional.
Ilmu Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan
antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang
dikenal dalam ilmu politik.
2. A.
Sedangkan sistem politik David Easton dan Gabriel Abraham Almond dalam
melihat dinamika dan proses politik di Indonesia adalah :
Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga
tulisannya yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A
System Analysis of Political Life.[3] Di dalam buku pertama yang terbit tahun
1953 (The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya
membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara
lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan
politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi.
Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu
hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab
itu: (a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber
dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik; danBagi Easton sangat penting bagi negara untuk
selalu beroperasi secaralegitimate.
David Easton: “seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas prilaku sosial,
melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat”
Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik Easton.
Namun, Almond kurang sreg dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak.
Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian
politik dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton
meluncurkan karyanya The Political System tahun 1953 - Gabriel Abraham
Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai
bentuk metodetrial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan
sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand
theory, maka Almond membangun suatumiddle-range theory. Secara umum, teori
sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran
Easton ini mengikuti pendapat Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-
karya penelitian Almond.[11]
Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya
inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di
dalamnya. Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-
aktor) politik formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh
politik struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu
perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada di
wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang
mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia,
ataupun pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton
menghindari kajian atas struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru
mengapresiasi signifikansinya.
Sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapatdalam semua masyarakat yang
bebas/merdeka dalammelaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi(baik
dalam masyarakatnya maupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya)
melaluipenggunaan paksaan fisik yang lebih kurang bersifatabsah.
B.
Pertama sebagai alat atau mekanisme rakyat untuk memilih pemimpin. Pemilihan
umum di negara yang mengedepankan sistem demokratis mengutamakan
kehendak rakyat sebagai suara tertinggi disistem pemerintahan dan politik,
dengan mengedepankan kehendak rakyat maka pemilu sebagai alat untuk
menyaring kehendak rakyat dalam mempresentasikan pemimpin keinginan
rakyat.
Ketiga fungsi pemilihan umum yang tidak lepas dari sistem meilih wakil-wakil.
- Plurality system. Plurality sistem atau dikenal dengan first-past-the post, adalah
sistem pemilu yang sederhana karena seseorang kandidat perlu memiliki suara
yang lebih banyak daripada penantang yang lain.
- Majority system. Sistem majority adalah sistem yang lebih kompleks daripada
sistem plurality
- District. Jenis district melihat pilihan pertama yang berkaitan degan district
magnitude
- Preference. pilihan ini ada di negara dengan sistem proporsional dengan daftar
tertutup, dimana pemilih tidak diizinkan untuk mengekspresikan pilihan untuk
calon individu dan anggota dipilih dengan patokan daftar partai politik.
Pilpres 2019 mendatang tentu tidak lepas dari adanya isu kesejahteraan dimana
masyarakat sangat berharap pada negara untuk memenuhi segala tuntutan
meskipun negara mempunyai keterbatasan terhadap akses dan tuntutan serta
masyarakat memanfaatkan pemenuhan pelayanan dasar seperti saluran informal.
Sebagai alternatif untuk memenuhi segala tuntutan yang berada pada pelayanan
dasar. Pilpres 2019 di masa mendatang menjadikan ajang para aktor-aktor politik
untuk bertarung memenangkan hati masyarakat melalui isu kesejahteraan.
Tak jarang para aktor politik menurut kajian tentang politik patronase dalam
pemilu Indonesia
tahun 2014 (Aspinall dan Sukmajati, 2015) menyatakan bahwa berbagai skema
kesejahteraan sering dikembangkan terutama bertujuan untuk memperoleh
dukungan elektoral dan dikelola dengan memelihara ikatan klientelisme.
Target utama dari aktor-aktor politik dalam pilpres yaitu kelompok yang
berpendapatan rendah dan rakyat miskin. Sejumlah kajian yang menyatakan
bahwa kesejahteraan, dalam bentuk kemakmuran ekonomi adalah prasyarat untuk
perkembangan demokrasi. Kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi
telah mendorong banyak negarawan barat dan komentator politik untuk
memutuskan bahwa problem politik mendasarkan kepada tekanan dari
industrialisasi yang cepat. (Lipset, 2007:35).Kemakmuran ekonomi mendorong
peningkatan jumlah penduduk yang berpendidikan, menumbuhkan kelas sadar
politik, penegakan hukum yang baik dan kompetesi ekonomi yang jujur. Dalam
momentum pilpres 2019 mendatang hal mendasar yang mesti dipenuhi
masyarakat dalam memilih pemimpin dengan rasionalitas yaitu melalui
pendidikan politik yang baik di suatu negara.
Sedangkan kajian lain menyatakan bahwa demokrasi ialah syarat yang mesti
dipenuhi oleh negara-negara yang memiliki esensi demokrasi mekanisme
memilih pemimpin melalui kontestasi mendapatkan suara rakyat sehingga
pemimpin yang terpilih tersebut bisa membuat keputusan-keputusan politik
sebuah negara. (Schumpeter, 2003:411).
Terkait dengan isu pilpres 2019 mendatang yaitu negara menyelenggarakan suatu
kesempatan
dimana masyarakat dengan bebas dan merdeka untuk menerima segala visi misi
yang digaungkan oleh para kandidat dan program-program yang dicanangkan para
aktor-aktor politik ataupun menolak program-program maupun visi misi aktor
yang tidak sesuai dengan keinginan dan kondisi rakyat dengan tidak memilih
pasangan di hari pencoblosan.
Sementara di Indonesia merupakan negara yang memilih sistem demokrasi hal ini
tergambar dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 berbunyi kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar 1945.
Sistem demokrasi yang dipilih tentu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,
sistem ini berkaitan dengan hak politik yang ada di
setiap warga negara Indonesia. Identitas sebagai warga negara tentu memiliki hak
untuk mengontrol langsung pada pemerintahan, sebelum berada di jabatan politis
yang mempengaruhi arah kebijakan pemerintahan tentunya melalui mekanisme
pemilu.
Indonesia akan menjajaki babak baru dalam praktek demokrasi yakni dengan
selenggara pemilihan presiden serta wakil presiden, pemilihan DPR, DPD, DPRD
provinsi,DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 mendatang. Kegiatan pemilu
pilpres pada tahun 2019 mendatang di Indonesia menggunakan sistem plurality
sistem. Sistem plurality yang dikenal sebagai first-past-the-post (FPTP). FPTP
adalah sistem pemilu yang sederhana karena seseorang kandidat perlu memiliki
suara yang lebih banyak dari pada penantangnya yang lain.Cara memilih presiden
dan wakil presiden dengan sistem suara terbanyak atau suara mayoritas.
Praktik lain yang bisa terjadi menurut kajian politik patronase dalam pemilu
Indonesia 2014 (Aspinall Dan Sukmajati, 2015) menyatakan bahwa berbagai
skema kesejahteraan seringkali dikembangkan terutama bertujuan untuk
memperoleh dukungan electoral dan dikelola dengan memelihara ikatan
klientisme. Patronase didefinisikan sebagai pertukaran keuntungan demi
memperoleh dukungan politik. Barang-barang kelompok (Club goods ) sebagai
praktek patronase yang diberikan keuntungan kelompok sosial ketimbang
keuntungan individual. Adanya pork barrel yaitu kegiatan yang ditujukan kepada
public dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan
dukungan politik kepada kandidat tertentu.
Pilpres 2019 tidak lepas dari dukungan partai politik sebagai alat pendemokrasian
di Indonesia. Menurut Miriam Budiarjo (darmawan, 2015:144) partai politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut
atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idil dan materil. Yang dimaksud dengan sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan ialah sekelompok orang yang memiliki tujuan sama,
idiologi sama untuk menjadikan partai sebgai alat mencapai tujuannya yakni
kekuasaan.
Partai pengusung pilpres yakni PDI-P dan Gerindra, ditahun lalu mengusung
calon pilpres yang sama pada tahun 2019 dengan partai yang sama. Kedua partai
ini mendapatkan koalisi pendukung untuk lolos di putaran pemilihan calon
presiden dan wakil presiden di masa 2019 mendatang. Peneliti berpendapat bahwa
partai pengusung dan partai koalisi yang bertarung mesti meletakan aktor sebagai
hal utama untuk meraih suara terbanyak memenangi pertarungan pilpres 2019
dimasa mendatang. PDIP mengusung bapak jokowi sebagai calon presiden dan
Gerindra mengusung ketua partai yakni bapak Prabowo sebagai calon presiden.
Popularitas aktor selain menunjang suara dari masyarakat juga berpengaruh
terhadap pamor-nya suatu partai. Pada tahun 2014 pilpres, PDI-P nomor urut 2
mendapatkan total suara 53 % sementara partai Gerindra nomor urut 2
mendapatkan 47% dari total suara.
Aktor-aktor politik yang bertarung dalam pilpres 2019 tentu akan menggunakan
isu-isu pelayanan dasar, pertumbuhan ekonomi yang menuju kebijakan kepada
kaum miskin dan perekonomian pendapatan yang rendah. Disisi lain para aktor
menyadari keterbatasan negara dalam memenuhi kebutuhan masyrakat dalam
menjamin kesejahteraan, hingga isu-isu yang di mainkan aktor untuk melawan
politiknya petahana dalam hal ini menyinggung permasalahan pelayanan dasar,
kemiskinan, perekonomian serta adanya isu-isu kegagalan pemerintah yang
dijadikan isu menarik suara dan simpati masyarakat.
Isu Black Campaign Pilpres 2019
Pada pilpres 2019 dimasa mendatang sangat rentan dengan pertarungan yang
menghalalkan segala cara untuk meraih simpatisan masyarakat termasuk black
campaign. Dalam hal ini black campign termasuk hoax, money politics, vote
buying, dan sebagainya yang melanggar norma-norma sosial dan kode etik.
Blackcampaign yang sering terjadi yaitu politik uang. Politik uang sering terjadi
di Indonesia menjelang pemilu. Politik uang dijadikan pintu gerbang para pemilik
modal untuk mendapatkan akses terhadap jabatan politik. Para pemilik modal
melakukan perkawinan terhadap politik untuk menyelamatkan usaha mereka,
untuk mengontrol kebijakan agar tidak merugikan mereka. Politisi yang terjun
juga ada istilah mahar politik. Mahar politik ini dijadikan sebagai modal awal
untuk meraih jabatan tertentu yang strategis dengan menyumbangkan uang
kepada partai politik dan koalisi partai untuk memenuhi syarat mendapatkan
jabatan tertentu.
Dalam Pemilu legislatif 2019, ada 7,968 caleg untuk DPR. Di antara para caleg
ada sekitar 500 calon petahana -– mereka yang sekarang duduk sebagai anggota
DPR. Jika dibandingkan dengan jumlah caleg DPR dalam Pemilu 2019, memang
jumlah calon petahana terlihat kecil, sekitar 6 persen saja.
Namun, jika dibandingkan dengan jumlah anggota DPR saat ini, terlihat banyak
politisi yang sekarang duduk sebagai anggota DPR yang ikut bertarung dalam
Pemilu 2019. Jumlahnya bisa melebihi 90 persen dari anggota DPR saat ini.
Ada banyak sudut pandang dalam melihat fenomena itu. Salah satunya adalah
partai politik (parpol) lebih disukai diprioritaskan daripada didorong anggota DPR
yang ada untuk calon petahana dalam Pemilu 2019. Tentu saja preferensi parpol
itu punya alasan.
Terkait pengurus parpol yang diterima, preferensi yang terkait dengan biaya yang
diperlukan oleh caleg dalam Pemilu 2019. Para calon petahana menerima lebih
banyak tentang keuangan, serta memiliki jaringan dan sudah dikenal di daerah
pemilihan (dapil) masing-masing.
Biaya yang dibutuhkan oleh caleg pada Pemilu 2019 memang sangat tinggi. Dan
kedua hal tadi -– yaitu kesiapan finansial dan kadar popularitas- menjadi sangat
menentukan.
Para caleg yang benar-benar baru menggunakan gelanggang politik elektoral dan
tidak dikenal di dapilnya, paling bisa dipastikan, akan membutuhkan modal lebih
besar daripada calon petahana. Terkecuali, jika caleg baru itu tergolong sebagai
pesohor yang telah dikenal oleh masyarakat atau mereka yang memiliki modal
sosial di dapilnya.
Untuk keperluan kampanye Pemilu 2014, seperti terungkap dalam hasil penelitian
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM
UI), rata-rata caleg DPR mengeluarkan dana sebesar Rp1,18 miliar. Itu angka
rata-rata, dengan kisaran antara Rp787 juta hingga lebih dari Rp9,3 miliar. Ini
hanya untuk kampanye saja.
Pada Pemilu 2019, biaya yang dikeluarkan para caleg meningkat beberapa kali
lipat dibandingkan Pemilu sebelumnya. Sementara ada calon petahana dalam
Pemilu yang mengharapkan kenaikan itu akan mencapai 10 kali lipat.
Biaya kampanye caleg pada Pemilu 2019 tidak bisa lagi dimulai dalam satuan
juta, disetujui harus dimulai dalam satuan miliar rupiah. Dua miliar rupiah
disebut-sebut sebagai angka paling kecil untuk membiayai caleg dalam Pemilu
2019.
Kenaikan biaya politik terjadi karena, di tengah persaingan yang semakin ketat,
ekspose yang lebih luas dan intens sangat dibutuhkan oleh para caleg. Dengan
demikian, semakin banyak kebutuhan yang dibutuhkan, dan juga kebutuhan yang
semakin intensif.
Biaya yang harus dikeluarkan para caleg memang bukan melulu biaya alat peraga
kampanye. Para caleg juga harus membantu dana untuk membayar pendapat di
tempat-tempat pemungutan suara. Bahkan ada juga kasus caleg yang harus
mengeluarkan dana khusus agar mendapatkan “nomor urut cantik” di Pemilu.
Pemilu adalah kegiatan politik. Namun demikian, hubungan antara tiga pihak
penting dalam proses itu - caleg, parpol, dan pemilih - memilih tidak mendukung
politis. Relasi antara caleg dan parpol bisa berlangsung tidak dalam peradaban
ideologi, atau pengaderan politik. Relasi antara pemilih dan caleg tidak selalu
relasi amanat politik partisipasi.
Selama ini, banyak kader parpol yang dicalonkan dari wilayah yang bahkan belum
pernah diinjakkannya di sana. Jalan pintasnya, cari tokoh terkenal. Inilah faktor
penting yang mendorong biaya tinggi bagi caleg di Pemilu.
Anggota DPR periode 2014-2019, misal, diperkirakan menerima gaji setiap bulan
sebesar Rp55.294.000 atau Rp663.528.000 dalam pertemuan. Dalam 5 tahun, ia
akan berpenghasilan dari gajinya sebesar Rp3,3 miliar.
LPSDK ini merupakan tahapan laporan dana kampanye yang wajib diserahkan
oleh setiap peserta pemilu. Sebelumnya, peserta pemilu baik parpol maupun
pasangan capres-cawapres telah menyerahkan Laporan Awal Dana Kampanye
(LADK) pada September lalu.
Berikut daftar peserta pemilu dengan laporan awal dan laporan sumbangan dana
kampanye:
Partai Gerindra
Partai Golkar
Partai Nasdem
Partai Garuda
Partai Berkarya
Partai Perindo
Laporan Awal : Rp 1 juta
Dilihat dari rincian biaya diatas sebenenya dana itu bisa saja dipakai untuk
memperbaiki negara kita dari pada uang sebanyak itu dipakai untuk
memperebutkan jabatan yang ujung-ujungnya akan timbul korupsi.
Jika biaya pencalonan melebihi potensi dari itu, dari mana kelak ia akan
mengembalikan modal yang telah dibelanjakannya selama proses Pemilu? Pada
titik inilah godaan melakukan korupsi lebih terbuka lebar.
Demi kehidupan politik yang sehat, para caleg dan capres yang bertarung dalam
Pemilu 2019 berusaha lebih rasional dalam menyusun belanja politiknya.
Para pemilih pasti lebih berharap relasinya dengan para caleg adalah relasi politik
perwakilan. Itu susah diwujudkan jika para caleg, sejak awal, sudah terbebani dan
motif-motif finansial.
Sidang sengketa Pilpres di MK digelar pertama kali pada Jumat (14/6). Sejumlah
drama terjadi dalam sidang, terutama dari kubu 02, yang berkukuh bahwa ada
kecurangan dalam Pilpres 2019.
Permohonan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan kubu 02 ini terdiri dari berkas
awal dan berkas perbaikan. Pada Intinya, pemohon meminta MK
mendiskualifikasi paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin karena melakukan
kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif (TSM) dan menetapkan
Prabowo-Sandi sebagai presiden-wapres terpilih.
Faktanya, dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2019 Majelis Hakim MK
menepis semua dalil atau permohonan yang diajukan oleh Prabowo Sandi.
Misalnya, pertama, soal dugaan ketidaknetralan aparat Polri dan Badan Intelijen
Negara (BIN). .
Keempat, soal klaim perolehan suara. Kubu Prabowo menyatakan kubu 02 meraih
68.650.239 suara atau 52 persen sedangkan Jokowi-Ma'ruf hanya meraih suara
63.573.169 suara atau 48 persen. Klaim itu berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU
pada 21 Mei 2019 yang justru menyatakan Jokowi-Ma'ruf mendapatkan
85.607.362 atau 55,5 persen. Sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 68.650.239
suara.
Kelima, soal tudingan 22 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) siluman. Jumlah itu
diklaim berdasarkan penambahan 5,7 juta Daftar Pemilih Khusus (DPK). Pihak
kubu 02 pun meminta KPU membuka dafar hadir pemilih (C7) agar semuanya
terang.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan KPU sudah melakukan perbaikan daftar
pemilih. Terlebih, kubu 02 tak mampu menghadirkan bukti bahwa orang yang
masuk 22 juta DPT tambahan itu menggunakan hak pilihnya dan merugikan
mereka.
Misalnya, kasus di TPS 17 di Desa Lembur Situ, Kecamatan Situ Mekar, Kota
Sukabumi, Jawa Barat. Di TPS itu perolehan suara paslon 01 adalah 42 suara,
paslon 02 adalah 161 suara. Namun dalam Situng tertulis paslon 01 memperoleh
161 suara dan paslon 02 dapat 42 suara.
KPU sebelumnya menyebut bahwa Situng merupakan upaya check and balances
terhadap hasil pemilu, dan tidak menentukan hasil pemilu.
Terlebih, kubu 02 belum pernah melaporkan hal itu ke Bawaslu. MK hanya bisa
memproses soal dana kampanye itu jika Bawaslu pernah memprosesnya.