Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281787852

STUDI KASUS: ASPEK BIOKIMIAWI MIKROBIAL KOROSI DAN CARA


PENANGGULANGANNYA DALAM DUNIA INDUSTRI

Article · December 2011

CITATIONS READS

0 2,139

1 author:

Raden HARYO BIMO Setiarto


Indonesian Institute of Sciences
29 PUBLICATIONS   14 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

DIPA tematik 2016 View project

DIPA tematik 2015 View project

All content following this page was uploaded by Raden HARYO BIMO Setiarto on 16 September 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI KASUS: ASPEK BIOKIMIAWI MIKROBIAL KOROSI DAN CARA
PENANGGULANGANNYA DALAM DUNIA INDUSTRI
R. Haryo Bimo Setiarto
Bidang Biokimia Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Jalan Raya Jakarta – Bogor Km 46, Komplek Cibinong Science Center LIPI
hp: 081327025330, email: haryobimo42@yahoo.com atau haryobimo42@hotmail.com
INTISARI
Korosi adalah degradasi yang dialami oleh logam akibat terjadinya reaksi reduksi-oksidasi
antara logam dengan berbagai zat di lingkungannya. Korosi dapat terjadi karena proses
fisika, kimia maupun biologi. Korosi biologi yang disebabkan aktivitas mikroba dikenal
dengan istilah mikrobial korosi. Mikrobial korosi merupakan salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan pada pembangunan instalasi pembangkit listrik, industri minyak dan gas,
industri kimia, perakitan sarana transportasi, pembangunan sistem water treatment, dan
industri kertas pulp. Mikroorganisme yang berperan utama menyebabkan korosi antara lain
bakteri pereduksi sulfat, bakteri pengoksidasi sulfur-sulfida, bakteri besi mangan oksida,
jamur, alga, dan protozoa. Inhibitor mikrobial korosi yang umumnya digunakan dalam
industri ialah natrium hipoklorit, garam kuaterner, imidazoline, amida, campuran amida-
imidazolin maupun inhibitor organik. Akan tetapi karena sifat bahaya dari bahan kimia
sintesis tersebut, harganya yang mahal, dan tidak ramah lingkungan maka diperlukan
alternatif untuk memproteksi serangan korosi mikroba pada logam. Salah satu alternatif
inhibitor tersebut adalah ekstrak bahan alam seperti ekstrak daun tembakau, teh, kopi, lidah
buaya, dan daun pepaya yang mengandung atom N, O, P, S, serta atom-atom lain yang
memiliki pasangan elektron bebas.
Kata kunci: mikrobial korosi, bakteri pereduksi sulfat, bakteri pengoksidasi sulfur-sulfida,
inhibitor mikrobial korosi, ekstrak bahan alam
ABSTRACT
Corrosion is degradation that experienced by metal effect its happening oxidation-
reduction reacted among metal with environmental substantion. Corrosion can happened
by physics, chemical and also biological process. Reverential biological corrosion because
microba activity is known with terminology microbial corrosion. Mikrobial corrosion is
one of factor constitutes which shall be regarded on power station installation
development, oil and gas industry, chemical industry, industrial transportation assembly,
development water treatment system, and pulp paper industry. Microorganism that gets
main role caused corrosion for example are sulfate reducing bacteria, sulfur oxydizing
bacteria, manganese iron oxide bacteria, fungi, alga, and protozoa. Inhibitor microbial
corrosion that generally been utilized deep industrial are sodium hypochlorite, quaterner's
salt, imidazoline, amida, mixture amida-imidazolin and also organic inhibitor. But then
since dangerous character of syntesys chemical material, expensive price, and non
environmentally-friendly therefore needfull alternative for protection microbial corrosion
attack on metal. One of alternative inhibitor that is nature material extract such as extract
of tobacco leaf, tea, coffee, aloe, and papaw leaf that contain N, O, P, S atom, and other
atoms that have free electron couple.

1
Keywords: microbial corrosion, sulfate reducing bacteria, sulfur oxydizing bacteria,
microbial corrosion inhibitor, nature material extract
PENDAHULUAN
Korosi adalah kerusakan (degradasi) yang dialami oleh logam akibat terjadinya
reaksi redoks (reduksi-oksidasi) antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungan
sekitarnya (terutama air dan oksigen), sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang
tidak dikehendaki. Dalam bahasa keseharian korosi lebih dikenal dengan perkaratan.
Korosi dapat juga diartikan sebagai serangan yang merusak logam karena logam bereaksi
secara kimia maupun elektrokimia dengan lingkungan. Ada definisi lain yang mengatakan
bahwa korosi adalah kebalikan dari proses ekstraksi logam dari bijih mineralnya.
Sementara itu menurut (Fontana, 1986) korosi adalah peristiwa perusakan logam karena
interaksinya dengan lingkungan, ketika logam tersebut dipakai atau dioperasikan. Secara
garis besar korosi dibedakan menjadi dua jenis yaitu korosi internal dan korosi eksternal.
Korosi internal adalah korosi yang terjadi akibat adanya kandungan CO2 dan H2S pada
lingkungan, sehingga apabila terjadi kontak dengan air akan membentuk asam yang
merupakan penyebab korosi. Sementara itu korosi eksternal adalah korosi yang terjadi
pada bagian permukaan dari sistem perpipaan dan peralatan, baik yang kontak dengan
udara bebas dan permukaan tanah akibat adanya kandungan oksigen dari tanah. Deret
Volta dan hukum Nernst akan membantu untuk mengetahui dan memprediksi berbagai
kemungkinan tentang terjadinya korosi. Kecepatan korosi sangat tergantung pada banyak
faktor, diantaranya keberadaan lapisan oksida dan gerakan logam dalam suatu media.
Lapisan oksida dapat menghalangi beda potensial terhadap elektroda lain yang tentunya
akan sangat berbeda bila masih bersih dari oksida.
Peristiwa korosi sering terjadi pada berbagai sektor kehidupan, terutama di
lingkungan industri yang sangat banyak memanfaatkan logam seperti industri kimia,
industri minyak dan gas, petrokimia dan berbagai industri infrastuktur lainnya. Korosi
dapat menimbulkan kerugian ekonomis bahkan membahayakan keselamatan manusia
apabila tidak segera diatasi secara serius. Dari segi ekonomi, penyelesaian masalah korosi
sangat mahal karena menyangkut umur, penyusutan dan efisiensi pemakaian suatu bahan
logam dalam kegiatan industri. Pada tahun 1980, institut Battelle menaksir bahwa setiap
tahun perekonomian Amerika Serikat mengalami kerugian sebesar 70 miliar dolar akibat
korosi. Milyaran dolar AS telah dibelajakan setiap tahun untuk merawat peralatan kantor,
kendaraan bermotor, mesin-mesin industri, dan peralatan elektronik lainya agar konstruksi
bertahan lebih lama. Korosi juga sangat memboroskan sumber daya alam dan
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi manusia, bahkan terkadang dapat mendatangkan
maut. Sebagai contoh kasus pada tahun 1985, atap sebuah kolam renang berusia 13 tahun
di Swiss runtuh sehingga menewaskan banyak orang dan melukai beberapa orang lainya.
Diperkirakan penyebabnya adalah korosi pada baja tahan karat terbuka yang menyokong
200 ton atap beton bertulang (Threthewey and J Chamberlain, 1991). Melihat fenomena
tersebut, maka kajian tentang korosi logam sangat diperlukan karena logam banyak
digunakan dalam berbagai bidang dan kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat besar
bahkan dapat membahayakan keselamatan manusia.
Korosi dapat terjadi karena proses fisika, kimia maupun biologi. Korosi biologi
yang disebabkan aktivitas mikroba dikenal dengan istilah mikrobial korosi. Mikroba dalam
proses korosi dianggap sebagai suatu penyebab, yang dalam kerjanya dapat sendiri atau
merupakan gabungan dari beberapa koloni mikroba yang berbeda (Rochati, 1995; Dexter,

2
1996; Supardi, 1997). Salah satu mikroba yang turut berperan dalam proses korosi secara
mikrobiologi adalah bakteri pereduksi sulfat yang hidup secara anaerob dan dapat tumbuh
pada kisaran pH 2 sampai 9, tetapi optimalnya pada pH 7. Habitat bakteri ini adalah di
tanah dan air, terutama yang banyak mengandung bahan organik (Dart, 1977; Bradford,
1992; Supardi, 1997). Dalam suasana anaerob, asam sulfat akan direduksi oleh bakteri
pereduksi sulfat menghasilkan gas H2S dan H2O. H2S yang dihasilkan akan bereaksi
dengan besi membentuk FeS dan Fe(OH)2. Mikroba lain yang berperan dalam proses
korosi logam adalah bakteri yang hidup secara aerob, contohnya mikroba Thiobacillus
yang dapat menghasilkan suatu lingkungan asam yang korosif. Dalam kondisi yang aerob
bakteri ini akan mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfat yang mempercepat terjadinya
korosi (Bradford, 1992; Pohlman, 1996; Bagnall, 1996; Bryson, 1996; Davison,1996;
Supardi, 1997).
PERMASALAHAN DAN HIPOTESIS
Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Mikrobial Korosi Bagi Dunia Industri
Seiring dengan tumbuhnya perindustrian di Indonesia, semakin banyak pula
perusahaan yang bergerak di bidang industri baik yang bergerak dalam industri jasa
maupun industri barang. Pada permulaan tumbuhnya sebuah perusahaan industri tidak
mengalami banyak masalah, namun pada perkembangannya masalah demi masalah timbul
sebagai reaksi atas hal-hal yang belum diperhatikan oleh pihak perusahaan. Masalah-
masalah yang muncul dapat berupa masalah internal ataupun eksternal. Permasalahan yang
muncul antara lain kerusakan peralatan akibat kurangnya pemeliharaan maupun kerusakan
alat produksi akibat perkaratan (korosi) karena serangan mikroba. Korosi oleh mikroba
biasanya terjadi pada pipa logam dalam tanah yang dibungkus oleh aspal yang terbuka dan
menjadi tempat tumbuhnya koloni bakteri pereduksi sulfat. Bentuk korosinya sering berupa
bekas lilitan kain pada pipa. Tanpa disadari pula sebelumnya dampak serangan mikroba
semakin berbahaya. Sebagai contoh kasus adalah terjadinya korosi sehingga menimbulkan
lubang yang luas pada permukaan dinding bagian dalam tangki air stainless steel. Korosi
jenis ini merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan pada pembangunan
instalasi pembangkit listrik, industri minyak dan gas, industri kimia, perakitan sarana
transportasi dan industri kertas pulp. Selama tahun 1980 dan berlanjut hingga awal tahun
2000, fenomena tersebut telah dimasukkan sebagai bahan perhatian dalam biaya
operasional dan pemeriksaan sistem industri.
Dari fenomena tersebut, banyak institusi berusaha mempelajari dan memecahkan
masalah ini dengan berbagai kegiatan penelitian guna mengurangi bahaya korosi akibat
serangan mikroba. Pada mulanya penelitian korosi yang disebabkan oleh bakteri yang bersifat
anaerob dilakukan di Belanda yaitu pada pipa-pipa yang terpendam. Baru kemudian diselidiki
di Afrika selatan, Inggris, Australia, Jerman dan Uni Soviet. Banyak teori mekanisme korosi
yang disebabkan oleh bakteri anaerob. Semua teori tersebut didasarkan pada lapisan molekul
hidrogen hasil korosi pada permukaan logam, sehingga terjadi sel galvanik (Dexter, 1995;
Rochati, 1995; Koger, 1996; Supardi, 1997). Semua korosi pada dasarnya merupakan suatu
proses elektrokimia, akan tetapi cara khas bakteri dalam memulai proses korosi secara
biokimiawi menjadi topik pembahasan yang sangat menarik untuk dikaji.

Diperkirakan bahwa, sekitar 10% kerugian korosi logam di Inggris baik secara
langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh mikroba. Di Amerika Serikat kerugian
oleh korosi mikroba pada pipa di dalam tanah berkisar antara US$ 500-2000 juta setiap
tahun. Konstruksi baja yang ditempatkan di laut sebagai tiang pancang juga dapat

3
mengalami korosi, hal ini disebabkan adanya mikroba yang dapat meningkatkan
konsentrasi oksigen (Hamilton, 1985). Melihat keadaan iklim dan kelembaban udara di
Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Eropa maupun Amerika Serikat.
Serangan korosi akibat mikroba sangat memungkinkan terjadi di Indonesia, bahkan
sanggup menimbulkan dampak yang lebih besar. Korosi yang diakibatkan oleh mikroba
juga telah banyak menimbulkan masalah dalam industri minyak dan gas. Pernah juga
ditemukan kasus korosi (perkaratan besi) yang diakibatkan oleh serangan koloni bakteri
dalam jumlah besar dalam sistem water treatment pada sebuah perusahaan di Bontang.
Masalah ini cukup membuat kewalahan personil perusahaan terkait yang menangani sistem
water treatment tersebut. Bagaimana tidak, karena unit pengolahan air menjadi salah satu
sumber kehidupan yang vital bagi semua karyawan dan penduduk disekitarnya (untuk
mandi, minum, dan keperluan sehari-hari).
Korosi yang diakibatkan oleh mikroba tidak hanya terjadi pada logam saja namun
juga pada bahan yang lain seperti kayu, jenis plastik tertentu, karet dan bahkan juga terjadi
pada beton. Tidak semua kegiatan mikroba mengakibatkan korosi. Beberapa jenis mikroba
merusak bahan tanpa mengurangi massa bahan tesebut, namun mengubah sifat fisik
maupun kimianya. Kegiatan mikroba yang menimbulkan korosi tidak mudah untuk segera
dapat dideteksi, karena memerlukan penelitian yang berkaitan dengan korosi lain. Korosi
tersebut biasanya terjadi juga bersama-sama dengan proses korosi lainnya seperti korosi
kimia maupun korosi mekanik. Meskipun tidak semuanya, namun banyak jenis bakteri,
fungi, dan alga yang merupakan mikroba penyebab korosi. Dari berbagai jenis mikroba
tersebut, bakteri merupakan penyebab korosi yang utama. Sementara itu produk kegiatan
alga, fungi dan protozoa dapat membentuk lingkaran yang menguntungkan bagi
pertumbuhan bakteri penyebab korosi.
Mikroba Yang Berperan Dalam Korosi Logam
Mikroorganisme umumnya berasosiasi dengan permukaan korosi kemudian
menempel pada permukaan logam dalam bentuk lapisan tipis atau biodeposit, yang disebut
juga lapisan film tipis atau biofilm. Pembentukan lapisan tipis terjadi pada saat 2 – 4 jam
pencelupan, sehingga pembentukan lapisan ini hanya terlihat berupa bintik-bintik kecil
dibandingkan menyeluruh di permukaan. Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara
bakteri dan permukaan logam yang ditempeli. Interaksi ini terjadi karena adanya beberapa
faktor yaitu: kelembaban permukaan, nutrisi yang tersedia, pembentukan matriks
ekstraseluller (eksopolimer) yang terdiri dari polisakarida, faktor-faktor fisikokimia
(seperti interaksi muatan permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan Van Der Waals, pH,
tegangan permukaan, dan pengkondisian permukaan). Dengan kata lain terbentuknya
biofilm disebabkan adanya daya tarik antara kedua permukaan (fisikokimia) dan adanya
alat yang menjembatani pelekatan (matriks eksopolisakarida). Lapisan film berupa
biodeposit ini biasanya membentuk diameter beberapa centimeter di permukaan, namun
dapat terekspos sedikit di permukaan sehingga dapat meyebabkan korosi lokal. Organisme
di dalam lapisan deposit mempunyai efek besar secara biokimiawi lingkungan untuk
pelekatan antara permukaan logam/film maupun logam/deposit tanpa melihat efek dari
sifat elektrolit.
Penelitian telah dilakukan dengan merendam spesimen baja karbon dalam air laut
saja dan dalam air laut berisi 5.5 x 105 Sulphate Reducing Bacteria/ ml selama 18 minggu.
Semua wadah yang dipakai untuk merendam diatur sedemikian rupa sehingga terbebas dari
oksigen dan peralatan disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Dari hasil penelitian

4
tersebut diketahui bahwa kecepatan korosi baja karbon dalam air laut saja selama 18
minggu adalah 13.07 mg/dm2/hari. Sedangkan apabila direndam dalam air laut yang berisi
Sulphate Reducing Bacteria sebanyak 5.5 x 105 Sulphate Reducing Bacteria/ml selama
waktu yang sama (18 minggu), kecepatan terkorosinya baja karbon ini menjadi 34.55
mg/dm2/hari. Sehingga diketahui bahwa kecepatan korosi naik hampir 3 (tiga) kali lipat
akibat aktivitas Sulphate Reducing Bacteria (Hamilton, 1985; King, 1971).
Jenis-jenis mikroba yang secara umum berperan dalam terjadinya mikobial korosi adalah:
1.Bakteri pereduksi sulfat (Sulphate Reducing Bacteria)
Sulphate Reducing Bacteria merupakan mikroba yang paling berperan besar dalam
proses korosi logam. Produk korosi dari mikroba ini adalah sulfida yang berwarna hitam.
Pada kondisi anaerob, beberapa bakteri ini dapat mereduksi ion sulfat untuk menghasilkan
oksigen dan ion sulfida. Ion sulfida bergabung dengan ion fero membentuk besi sulfida.
Permukaan logam yang terlarut oksigen akan bereaksi dengan hidrogen membentuk
molekul air. Beberapa bakteri pereduksi sulfat akan menghasilkan hidrogen sulfida yang
dapat menyebabkan retakan sulfida. Acidithiobacillus thiooxidans (bakteri penghasil asam
sulfat) adalah bakteri yang sering menyebabkan kerusakan pada pipa pembuangan.
Ferrobacillus ferrooxidans secara langsung dapat mengoksidasi besi menjadi besi oksida
dan besi hidroksida. Banyak pula jenis bakteri lain yang memproduksi asam organik dan
asam mineral atau amonia.
Sulphate Reducing Bacteria bekerja mereduksi sulfat menjadi sulfit, aktivitas
bakteri ini terlihat dengan peningkatan kadar H2S atau besi sulfida. Ketiadaan sulfat di
lingkungan hidupnya, dapat digantikan oleh beberapa turunan senyawa organik seperti
piruvat yang dapat dikonversi menjadi asam asetat, hidrogen dan CO2. Sebagian besar
bakteri jenis ini memproduksi enzim hidrogenase yang mengkonsumsi hidrogen. Salah
satu spesies Sulphate Reducing Bacteria adalah Desulfovibrio desulfuricans yang
memperoleh energi dengan mereduksi sulfat dan pada saat yang bersamaan mengoksidasi
bahan organik lainnya. Bakteri tersebut termasuk gram negatif dan dapat membentuk
spora. Desulfovibrio desulforicans mempunyai enzim hidrogenase yang dapat melakukan
depolarisasi pada permukaan logam. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut (Tiller,
1983):
NC + MSO4 + H2O → M(Ac)2 +CO2 + H2S (1)
Dimana, C adalah bahan organik dan M adalah logam. Reaksi ini berjalan melalui
hidrogen sulfat oleh enzim hidrogenase.
H2SO4 + 8H → H2S + 4H2O (2)
Pada suasana asam, hidrogen yang diperlukan pada polarisasi katoda dapat
digunakan untuk reaksi (2) sehingga terjadi proses depolarisasi katode dan
menyebabkan lebih banyak besi telarut. Jenis bakteri lain yang dapat memproduksi enzim
hidrogenase adalah bakteri-bakteri pembentuk metana, asam cuka, pereduksi asam nitrat
dan perhidrol.
Bakteri pereduksi sulfat memperoleh energi dari oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+.
Sebagian besar koloni bakteri ini banyak dijumpai dalam pipa (khas seperti gundukan 1/2
lingkaran) di atas lubang pada permukaan baja. Desulfovibrio desulforicans adalah salah
satu jenis bakteri pereduksi sulfat yang sangat berperan dalam proses korosi. Bakteri ini
5
termasuk gram negatif, fakultatif anaerob yang hidupnya tidak tergantung tersedianya zat
organik, akan tetapi memerlukan tersedianya gas CO2 yang dijadikan sebagai sumber
karbon. Apabila ditunjang dengan ketersediaan zat organik maka peranan bakteri ini dalam
proses korosi akan meningkat. Clostridium nigrificans bersifat gram negatif dan thermofil,
juga berperan sebagai bakteri pereduksi sulfat. Desulfomonas pigra adalah salah satu jenis
bakteri pereduksi yang telah berhasil di isolasi dari kawasan PLTP Kamojang Jawa Barat
dan sangat korosif terhadap logam (Dexter, 1995; Dexter, 1996; Supardi, 1997; Suhartanti,
2004). Bakteri pereduksi sulfat yang sangat berperan dalam proses korosi pada besi dan
baja yaitu dari genus Desulfovibrio, Desulfotomaculum dan Desulfomonas kesemuanya
hidup secara anaerob. Peranan bakteri pereduksi sulfat adalah sebagai akseptor yang akan
menghasilkan H2S secara anaerob. Bakteri pereduksi sulfat diduga kuat juga berperan
dalam proses korosi logam termasuk baja (Dexter, 1996; Supardi,1997).
Dalam suasana anaerob, asam sulfat (H2SO4) akan direduksi oleh bakteri pereduksi
sulfat menghasilkan gas H2S dan H2O, dengan reaksi berikut: H2SO4 H2S+4H2O.
Sementara itu H2S yang dihasilkan akan bereaksi dengan besi di anoda, dengan persamaan
reaksi sebagai berikut: H2S + Fe+2 FeS + 2H+. Sewaktu membentuk FeS, juga dibentuk
Fe(OH)2 sebagai hasil korosi, pada reaksi antara besi dengan ion hidroksil bebas melalui
reaksi berikut: 3 Fe2++ 6(OH)- 3 Fe(OH)2. Hasil akhir berupa 4Fe+H2SO4+2H2O FeS
+ 3Fe(OH)2. Jika di lingkungan tidak tersedia sulfida tetapi material lain misalnya karbon
dioksida, maka akan terbentuk besi karbonat dengan reaksi: FeS + H2CO3 FeCO3+H2S.
Reaksi ini didahului oleh reaksi antara CO2 dan air membentuk asam karbonat. Hidrogen
sulfida yang terbentuk oleh mikroba pada penguraian secara anaerob, oleh mikroba lain
disintesis menjadi bagian bahan organik atau diubah menjadi senyawa sulfida logam di
alam (Dexter, 1996; Supardi, 1997).

Gambar 1 Contoh korosi logam oleh Sulphate Reducing Bacteria (Sumber:


http://www.corrosionclinic.com/types_of_corrosion/microbiologically_influenced_
biological_microbial_corrosion.htm)
Secara umum dapat disimpulkan bahwa korosi logam oleh Sulphate Reducing
Bacteria: a) tidak merata pada keseluruhan logam tetapi membentuk pitting (lubang-lubang
kecil) pada logam, b) terjadi pada lingkungan anaerob dan memerlukan air, c)
menghasilkan ferrosulfida (kadang-kadang terdapat juga belerang) sebagai produk
metabolisme, d) pada besi cor akan membentuk endapan karbon. Bakteri anaerob
pereduksi sulfat (Sulphate Reducing Bacteria) akan menyebabkan korosi pada struktur baja

6
yang ditimbun dalam tanah, dengan pembentukan lapisan nonprotektif seperti FeS dan
Fe2O3.H2O apabila bakteri ini pada awalnya tidak aktif. Bila Sulphate Reducing Bacteria
telah aktif sejak awal, maka produk korosi yang terbentuk adalah FeS dan sedikit FeCO3
pada pH 7. Mikroba ini menyebabkan terjadinya proses korosi dengan bentuk serangan
korosi merata, sumuran, ataupun sel konsentrasi. Mekanisme korosi oleh bakteri pereduksi
sulfat dapat dikelompokkan dalam proses-proses berikut :
a) Memproduksi sel aerasi diferensial.
b) Memproduksi metabolit korosif.
c) Interferensi terhadap proses katodik dalam kondisi bebas oksigen.
(Dexter, 1996) menyebutkan bahwa korosi oleh Sulphate Reducing Bacteria dalam
lingkungan anaerob dan netral, reaksi katodiknya tidak mungkin berupa reduksi O2
ataupun reduksi H+. Namun serangan korosi yang terjadi bisa sangat parah, hal ini berarti
ada reaksi katodik lain yang berlangsung yang melibatkan Sulphate Reducing Bacteria.
Sulphate Reducing Bacteria menggunakan hidrogen katodik untuk reduksi disimilasi sulfat
menurut reaksi berikut :
Reaksi anodik : 4 Fe 4Fe2+ + 8 e-
Dissosiasi air : 8 H2O 8 H+ + 8 OH-
Reaksi katodik : 8 H+ + 8 e- 8 Ho
Berikut depolarisasi Katodik oleh Sulphate Reducing Bacteria:
SO42- + 8 Ho S2- + 4 H2O
Produk korosi yang dihasilkan dari reaksi di atas:
Fe2+ + S2- + FeS dan 3 Fe2+ + 6 OH- + 3 Fe(OH)2
Reaksi Keseluruhan:
4 Fe + SO42- + 4 H2O 3 Fe(OH)2 + FeS + 2OH-
Salah satu spesies bakteri pendukung korosivitas Sulphate Reducing Bacteria
adalah bakteri besi berfilamen. Organisme ini mengoksidasi besi yang terlarut di dalam
larutan menjadi ferric hidrat yang tak larut dan membentuk sarung yang menutupi sel, serta
memproduksi semacam batang berbentuk filamen.
2. Bakteri pengoksidasi sulfur-sulfida (Sulphur Oxydizing Bacteria)
Bakteri pengoksidasi sulfur maupun sulfida termasuk golongan bakteri aerob yang
memperoleh energi dari oksidasi sulfida atau elemen sulfur menghasilkan sulfat. Beberapa
tipe bakteri aerob, dapat mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfur, pada pH dibawah 1,0
(Bradford, 1992; Dart, 1977, Dexter, 1995; Dexter, 1996; Supardi, 1997). Bakteri
Thiobaccilus umumnya ditemukan dalam deposit mineral dan dapat menyebabkan drainase
tambang menjadi asam. Sifat korosif ini akan diperberat pada lingkungan dengan pH yang
rendah, akibatnya akan terjadi reaksi dengan besi membentuk ferrosulfida. Dengan
demikian reaksi keseluruhan menjadi:

7
4Fe + SO4- + 4H2O → FeS + 3Fe(OH)2 +2OH
Ferrosulfida dapat dioksidasi menjadi ion ferri dan dimanfaatkan oleh bakteri
pengoksidasi belerang (Sulphur Oxydizing Bacteria), sehingga korosi dapat berdampak
lebih parah. Dampak korosi akan menjadi lebih besar apabila terjadi perubahan kondisi
aerob dan anaerob secara silih berganti pada suatu lingkungan tertentu.
3. Bakteri besi mangan oksida
Bakteri jenis ini memperoleh energi dari proses oksidasi Fe2+ dan Fe3+ dimana
deposit logam berhubungan dengan bakteri korosi. Bakteri ini sebagian besar ditemukan di
tubercle (gundukan hemispherikal berlainan) di atas lubang pit pada permukaan baja.
Bakteri pengoksidasi besi juga bisa ditemukan di lingkungan dengan struktur filamen yang
panjang. Varietas bakteri ini bersifat aerob dan akan menghabiskan oksigen yang ada di
bawah tubercles (tuberkel). Di dalam endapan lendir tersebut, bakteri berfilamen akan
hidup bersama dengan bakteri pereduksi sulfat, dan bergabung untuk menghasilkan produk
korosi pada stainless steel.
Masalah mikrobial korosi dalam lingkungan dipengaruhi beberapa variabel penting yaitu :
a) Temperatur: Umumnya kenaikan suhu dapat meningkatkan laju korosi, hal ini tentunya
sangat bergantung pada karakteristik mikroorganisme tertentu, serta suhu optimum
pertumbuhan mikroba tersebut.
b) pH: Kondisi pH dapat mempengaruhi metabolisme mikroorganisme tersebut, bahkan
akan meningkatkan laju korosi logam apabila kondisi pH optimum untuk pertumbuhan
mikroba tersebut.
c) Kadar Oksigen: Sebagian besar bakteri khususnya yang bersifat aerob, memerlukan O2
untuk tumbuh, namun pada organisme fakultatif jika kadar O2 berkurang maka dengan
cepat bakteri tersebut akan mengubah metabolismenya menjadi bakteri anaerob.
d) Kecepatan alir: Jika kecepatan alir biofilm rendah maka proses mikrobial korosi akan
mudah terganggu, sedangkan apabila kecepatan alir biofilm tinggi tentunya akan
menyebabkan lapisan korosi lebih tipis dan padat.
e) Kebersihan: Hal yang dimaksudkan disini adalah kebersihan air dari kadar endapan
padatan, kadar endapan padatan meskipun dalam jumlah yang kecil (rendah) akan
menciptakan kondisi optimum di permukaan logam untuk menunjang aktifitas mikroba
dalam proses korosi.
Korb (1996) menyebutkan bahwa kerusakan bahan melalui proses korosi dapat
disebabkan oleh senyawa biotik maupun abiotik. Di samping itu proses korosi juga sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Umumnya mikroorganisme dapat terlibat pada
proses korosi dengan dua cara, yaitu :
1) Adanya pertumbuhan dan hasil metabolisme mikroba dalam bentuk asam, alkali
maupun ion-ion lainnya yang menyebabkan lingkungan menjadi korosif.
2) Mikroba masuk langsung ke dalam salah satu reaksi elektrokimia pada permukaan
logam, sehingga mempercepat terjadinya reaksi potensial pada elektroda.

8
Selain ketiga kelompok bakteri diatas masih ada mikroba yang menghasilkan
produk-produk metabolisme yang dapat menyebabkan terjadinya korosi, misalnya fungi
yang mampu memproduksi asam, sehingga menyebabkan korosi pada tembaga dalam
lingkungan lembab dan berair. Ada pula jenis bakteri yang tidak menyebabkan korosi
tetapi menghasilkan O2 yang pada akhirnya juga dapat menjadi penyebab terjadinya korosi
karena akan meningkatkan konsentrasi oksigen. Simbosis yang terjadi antara mikroba yang
mampu memproduksi enzim hidrogenase dengan mikroba penghasil oksigen akan lebih
berbahaya, karena keduanya akan saling mempengaruhi (sinergis) dan lebih tahan terhadap
desinfektan dan juga lebih resisten terhadap lingkungannya (Supardi, 1997).
Hipotesis
Mekanisme terjadinya mikrobial korosi yang disebabkan oleh keberadaan bakteri
pertama kali di tulis oleh Kurh dan Vlugt (Supardi, 1997). Ada 4 (empat) hipotesis
mengenai mekanisme korosi yang disebabkan oleh bakteri yaitu:
a) Mikroba dapat mengeluarkan inhibitor mineral dari media fosfat dan nitrat. Fosfat dan
nitrat mempunyai sifat inhibitor pada aluminium, akan tetapi digunakan dalam
metabolisme bakteri. Media yang tertinggal akan menjadi korosi, sementara itu dengan
adanya sumber protein dapat menetralkan pengaruh dari inhibitor. Sebenarnya konsentrasi
nitrat 12mMol sudah efektif untuk inhibitor, tetapi di lingkungan 0.2 – 0.8 mMol Nitrat
sudah dapat menjadi inhibitor. Dengan adanya bakteri maka jumlah konsentrasi ini
menjadi tidak berfungsi.
b) Mikroba dapat merubah hidrokarbon menjadi produk yang cukup korosif dan walaupun
telah diuraikan masih tetap dapat menyerang alumunium.
c) Akibat hidupnya, mikroba dapat menimbulkan sel konsentrasi oksigen sehingga akan
memicu munculnya elemen galvanik yang dapat menyebabkan korosi sumur. Dalam sumur
tersebut didapatkan bakteri Desulfovibrio desulfuricans dan akan menghasilkan senyawa
sulfida. Tipe korosi ini analog dengan dengan korosi besi sampai terbentuk besi sulfida.
d) Mikroba akan mengambil sumber elektron dari logam.
SOLUSI (PEMECAHAN MASALAH)
Klasifikasi Inhibitor Korosi
Inhibitor adalah zat yang apabila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan dalam
jumlah kecil, secara sinambung atau berkala, dapat menurunkan laju korosi logam.
Pemakaian inhibitor korosi adalah salah satu upaya untuk mencegah korosi. Ada berbagai
jenis inhibitor yang dikenal dan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan bahan
dasarnya, reaksi yang dihambat, serta mekanisme inhibisinya. Menurut bahan dasarnya,
inhibitor korosi dapat dibedakan menjadi inhibitor organik dan anorganik. Inhibitor
organik bersifat menghambat korosi dengan cara teradsorpsi kimiawi pada permukaan
logam, melalui ikatan logam-heteroatom. Inhibitor ini terbuat dari bahan organik.
Contohnya adalah : gugus amine, tio, fosfo, dan eter. Sementara itu inhibitor anorganik
merupakan inhibitor yang terbuat dari bahan anorganik (Jones, 1992; Rozenfeld, 1981;
Widharto, 2001).
Berdasarkan mekanisme reaksi yang dihambat, inhibitor korosi dibedakan menjadi
3 yaitu inhibitor katodik, inhibitor anodik, dan inhibitor campuran. Pada inhibitor katodik

9
yang dihambat adalah reaksi reduksi. Molekul organik netral teradsorpsi di permukaan
logam, sehingga mengurangi akses ion hidrogen menuju permukaan elektroda. Dengan
berkurangnya akses ion hidrogen yang menuju permukaan elektroda, maka hydrogen
overvoltage akan meningkat, sehingga menghambat reaksi evolusi hidrogen yang
berakibat menurunkan laju korosi. Inhibitor katodik dapat dibedakan menjadi: a) Inhibitor
racun, b) Inhibitor presipitasi katodik, c) Oxygen scavenger. Inhibitor racun dapat
menghambat penggabungan atom-atom H adsorbsi menjadi molekul gas H2 di permukaan
logam, dapat mengakibatkan perapuhan hidrogen pada baja kekuatan tinggi, bersifat racun
bagi lingkungan, contohnya: As2O3, Sb2O3. Inhibitor presipitasi katodik bersifat
mengendapkan CaCO3, MgCO3, CaSO4, MgSO4 dari dalam air, contohnya ZnSO4 +
dispersan. Oxygen scavenger bersifat mengikat O2 terlarut, contoh reaksinya adalah N2H4
(Hydrazine) + O2 N2 + 2 H2O. Inhibitor anodik adalah inhibitor yang menghambat
reaksi oksidasi, pada inhibitor jenis ini molekul organik teradsorpsi di permukaan logam,
sehingga  katalis FeOHad berkurang akibatnya laju korosi menurun. Contoh inhibitor
anodik adalah molibdat, silikat, fosfat, borat, kromat, nitrit, dan nitrat. Inhibitor jenis ini
sering dipakai dan ditambahkan pada saat chemical cleaning peralatan pabrik. Inhibitor
campuran merupakan jenis inhibitor yang tersusun dari campuran inhibitor katodik dan
anodik (Jones, 1992; Rozenfeld, 1981; Widharto, 2001).
Menurut mekanisme (cara kerja) inhibisinya, inhibitor korosi dibedakan menjadi 3
yaitu inhibitor pasivator, inhibitor presipitasi, inhibitor adsorbsi. Inhibitor pasivator dapat
menghambat korosi dengan cara menghambat reaksi anodik melalui pembentukan lapisan
pasif, sehingga merupakan inhibitor berbahaya, bila jumlah yang ditambahkan tidak
mencukupi. Inhibitor Pasivator terdiri dari a) Inhibitor pasivator oksidator, misalnya :
Cr2O72-, CrO42-, ClO3-, ClO4-. Senyawa Cr2O72- mempasivasi baja dengan peningkatan
reaksi katodik dari Cr2O72- menjadi Cr2O3, dan menghasilkan lapisan pasif Cr2O3 dan
Fe(OH)2. b) Inhibitor pasivator non oksidator, contohnya: ion metalat (vanadat,
ortovanadat, metavanadat, molybdat), NO2-. Inhibitor vanadium umumnya dipakai di unit
CO2 removal pabrik ammonia, karena larutan Benfield yang bersifat korosif. Molybdat
(MoO42-) menginhibisi dengan cara membentuk lapisan pelindung yang terdiri dari
senyawa ferro-molybdat menurut reaksi berikut: Fe + ½ O2 + H+ Fe2+ + OH- dan
MoO42- + Fe2+  FeMoO4. Inhibitor presipitasi akan membentuk kompleks tak larut
dengan logam atau lingkungan sehingga menutup permukaan logam dan menghambat
reaksi anodik dan katodik, contohnya Na3PO4, Na2HPO4. Contoh inhibitor presipitasi yang
bereaksi dengan logam antara lain: Na3PO4 +3H2O 3Na++3OH- + H3PO4 dan Fe + 2 OH-
 FeO + H2O + 2e-. Contoh inhibitor presipitasi yang bereaksi dengan lingkungan, antara
lain: 2 Na3PO4 +2Ca2+ (dalam air)  2Ca3(PO4)2  + 3Na2+. Inhibitor adsorpsi harus
memerlukan keberadaan gugus aktif (gugus heteroatom) agar reaksi adsorpsi dapat terjadi.
Gugus ini akan teradsorpsi di permukaan logam. Contoh inhibitor ini antara lain senyawa
asetilen, senyawa sulfur, senyawa amine dan senyawa aldehid (Jones, 1992; Rozenfeld,
1981; Widharto, 2001).
Berdasarkan tingkat keamanannya inhibitor dibedakan menjadi 2, yaitu inhibitor
aman dan inhibitor berbahaya. Inhibitor aman (tidak berbahaya) adalah inhibitor yang
apabila ditambahkan dalam jumlah yang kurang (terlalu sedikit) dari konsentrasi kritisnya,
tetap akan mengurangi laju korosi. Inhibitor aman ini umumnya adalah inhibitor katodik,
contohnya adalah garam-garam seng dan magnesium, kalsium, dan polifosfat. Inhibitor
berbahaya adalah inhibitor yang apabila ditambahkan di bawah harga kritis akan
mengurangi daerah anodik, namun luas daerah katodik tidak terpengaruh. Sehingga
kebutuhan arus dari anoda yang masih aktif bertambah hingga mencapai harga maksimum
10
sedikit di bawah konsentrasi kritis. Laju korosi di anoda-anoda yang aktif itu meningkat
dan memperhebat serangan korosi sumuran. Beberapa contoh inhibitor berbahaya adalah
inhibitor anodik, seperti molibdat, silikat, fosfat, borat, kromat, nitrit, dan nitrat (Jones,
1992; Rozenfeld, 1981; Widharto, 2001).
Inhibitor Mikrobial Korosi
Setelah diketahui bahwa korosi menimbulkan dampak negatif berupa kerugian
material dalam jumlah yang besar bagi industri, maka berbagai penelitian dilakukan untuk
menginhibisi korosi. Salah satu inhibitor mikrobial korosi yang umum digunakan di
industri ialah natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit juga diketahui mampu menghambat
metabolisme bakteri. Saat ini telah dilakukan penelitian untuk mempelajari keefektifan
natrium hipoklorit dalam menginhibisi mikrobial korosi pada baja oleh Sulfate Reducing
Bacteria dan menentukan dosis optimum natrium hipoklorit sebagai inhibitor korosi tanpa
membahayakan lingkungan (Freiter, 1992).
Beberapa macam inhibitor lain yang digunakan untuk mencegah mikrobial korosi
antara lain garam kuaterner, imidazoline, amida maupun campuran amida-imidazolin.
Senyawa inhibitor tersebut umumnya dimanfaatkan untuk menghambat proses korosi pada
baja. Peristiwa korosi baja banyak terdapat pada perusahaan minyak dan gas. Inhibitor
yang digunakan dalam industri minyak dan gas pada umumnya jenis kationik dan termasuk
imidazolin, amina primer, diamina, amino-amina dan amina oxyalkylated. Mekanisme
reaksi senyawa kimia tersebut adalah membentuk sebuah film monolayer pada logam
teradsorpsi permukaan baja. Dengan demikian, setiap perubahan dari molekul inhibitor
yang disebabkan oleh degradasi mikroba pada saat digunakan, dapat mempengaruhi
kinerja spesifik mereka selama proses inhibisi korosi (Freiter, 1992).

Di samping bersifat merugikan dan menjadi agen penyebab korosi, beberapa


mikroba dapat menghambat proses korosi (perkaratan) karena dapat memproduksi
senyawa metabolit yang dapat bereaksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga
memperlambat proses korosi. Salah satu cara untuk menghambat proses korosi adalah
dengan menggunakan bakteri buatan (bakteri organik) yang disebut inhibitor organik.
Inhibitor organik berupa larutan penghambat korosi (inhibitor corrosion) yang dapat
digunakan untuk menghambat perkaratan pada saluran pipa minyak. Hasil penelitian
(Jones, 1992) menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor organik untuk menghambat
perkaratan pipa memberikan hasil sekitar 60-70% permukaan pipa terlindungi dari proses
perkaratan. Meskipun tidak seluruh permukaan pipa minyak dapat terlindung dari korosi,
namun setidaknya 60-70% permukaannya terlindungi sehingga minyak yang diolah dan
diproduksi dapat dijaga kualitasnya. Tindakan yang perlu dilakukan yaitu dengan melapisi
permukaan pipa dengan cairan organik penghambat korosi secara berkala, karena cairan ini
juga tidak dapat bertahan lama. Keunggulan pemanfaatan inhibitor organik ini berdasarkan
hasil penelitian tersebut adalah a) biaya operasional yang lebih rendah karena konsentrasi
bahan kimia yang digunakan lebih rendah, b) dosis yang digunakan lebih rendah dan
tindakan pengendalian lingkungan lebih efektif, c) Tindakan inhibisi korosi dan adhesi
terhadap bakteri penyebab korosi dapat dilakukan dengan simultan.

Pemanfaatan Ekstrak Bahan Alam Sebagai Alternatif Inhibitor Mikrobial Korosi

Umumnya inhibitor mikrobial korosi berasal dari senyawa-senyawa organik dan


anorganik yang mengandung gugus-gugus dengan pasangan elektron bebas, seperti: nitrit,

11
kromat, fosfat, urea, fenilalanin, imidazolin, dan senyawa-senyawa amina. Namun pada
kenyataannya bahan kimia sintesis ini merupakan senyawa berbahaya, harganya mahal,
dan tidak ramah lingkungan. Berbagai kendala tersebut membuat industri-industri kecil
dan menengah jarang menggunakan inhibitor pada sistem pendingin, sistem perpipaan, dan
sistem pengolahan air produksi mereka untuk melindungi besi maupun baja dari serangan
korosi. Untuk itu diperlukan alternatif penggunaan inhibitor mikrobial korosi yang aman,
mudah didapatkan, bersifat biodegradable, biaya murah, dan ramah lingkungan.

Salah satu alternatifnya adalah ekstrak bahan alam khususnya senyawa yang
mengandung atom N, O, P, S, dan atom-atom yang memiliki pasangan elektron bebas.
Unsur-unsur yang mengandung pasangan elektron bebas ini selanjutnya dapat berfungsi
sebagai ligan yang akan membentuk senyawa kompleks dengan logam. Dari beberapa hasil
penelitian Fraunhofer (1996), diketahui bahwa ekstrak daun tembakau, teh, kopi efektif
sebagai inhibitor pada sampel logam besi, tembaga, alumunium dalam medium larutan
garam. Keefektifan ini diduga karena ekstrak daun tembakau, teh, dan kopi memiliki unsur
nitrogen yang berfungsi sebagai pendonor elektron terhadap logam Fe2+ untuk membentuk
senyawa kompleks.

Sudrajat dan Ilim (2006) juga mengemukakan bahwa ekstrak daun tembakau, lidah
buaya, daun pepaya, daun teh, dan kopi efektif menurunkan laju korosi mild steel dalam
medium air laut buatan yang jenuh CO2. Efektivitas ekstrak bahan alam sebagai inhibitor
mikrobial korosi tidak terlepas dari kandungan nitrogen yang terdapat dalam senyawa
kimianya seperti daun tembakau yang mengandung senyawa-senyawa kimia antara lain
nikotin, hidrazin, alanin, quinolin, anilin, piridin, amina (Reynolds, 1994). Lidah buaya
mengandung aloin, aloenin, aloesin dan asam amino. Daun pepaya mengandung N-asetil-
glukosaminida, benzil isotiosianat, asam amino (Andrade et al., 1943). Sedangkan daun teh
dan kopi banyak mengandung senyawa kafein, dimana kafein dari daun teh lebih banyak
dibandingkan kopi.

Mekanisme Ekstrak Bahan Alam Dalam Mencegah Mikrobial Korosi

Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap besi maupun baja dari serangan
korosi mikroba diperkirakan hampir sama dengan mekanisme proteksi oleh inhibitor
organik. Reaksi yang terjadi antara logam Fe2+ dengan medium korosif seperti CO2
diperkirakan menghasilkan FeCO3, oksidasi lanjutan menghasilkan Fe2(CO3)3 dan reaksi
antara Fe2+ dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks.
Inhibitor ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang
elektronnya pada permukaan logam mild steel ketika ion Fe2+ terdifusi ke dalam larutan
elektrolit, reaksinya adalah Fe  Fe2+ + 2e- (melepaskan elektron) dan Fe2+ + 2e- Fe
(menerima elektron).

Produk yang terbentuk tersebut mempunyai kestabilan yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan Fe saja, sehingga sampel besi maupun baja yang diberikan inhibitor
ekstrak bahan alam akan jauh lebih tahan (terproteksi) terhadap serangan korosi mikroba.
Contoh lainnya, dapat juga dilihat dari struktur senyawa nikotin dan kafein yang terdapat
dalam ekstrak daun tembakau, teh, kopi. Diketahui bahwa kafein dan nikotin yang
mengandung gugus atom nitrogen akan menyumbangkan pasangan elektron bebasnya
untuk mendonorkan elektron pada logam Fe2+ sehingga terbentuk senyawa kompleks
dengan mekanisme yang sama seperti diatas.

12
Gambar 2 Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap proses mikrobial korosi

Indonesia dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua setelah Brasil dan


kekayaan bahan alam yang melimpah, pastilah menyimpan potensi untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Dalam sudut
pandang pengembangan inhibitor alternatif untuk mencegah mikrobial korosi. Berbagai
ekstrak bahan alam yang mengandung atom N, O, P, S, dan atom-atom yang memiliki
pasangan elektron bebas lainnya sudah selayaknya dapat dieksplorasi melalui berbagai
kegiatan riset biokimiawi. Sehingga ke depannya dapat dibuat database tumbuhan-
tumbuhan yang potensial sebagai alternatif inhibitor mikrobial korosi.

KESIMPULAN

Mikrobial korosi merupakan korosi yang disebabkan oleh mikroorganisme dan


dapat terjadi baik pada logam maupun non logam. Korosi oleh mikroba biasanya menyerang
pipa-pipa logam dalam tanah yang terbungkus aspal, menyerang permukaan dinding bagian
dalam tangki air stainless steel. Selain itu korosi mikroba juga menyerang konstruksi baja
yang ditempatkan di laut sebagai tiang pancang. Mikrobial korosi merupakan salah satu
faktor yang harus dipertimbangkan pada pembangunan instalasi pembangkit listrik,
industri minyak dan gas, industri kimia, perakitan sarana transportasi, pembangunan sistem
water treatment, dan industri kertas pulp. Mikroorganisme yang berperan utama
menyebabkan korosi antara lain bakteri pereduksi sulfat, bakteri pengoksidasi sulfur-
sulfida, bakteri besi mangan oksida, jamur, alga, dan protozoa. Salah satu inhibitor
mikrobial korosi yang umum digunakan dalam industri ialah natrium hipoklorit yang
diketahui mampu menghambat metabolisme bakteri. Beberapa macam inhibitor lain yang
juga dapat digunakan untuk mencegah mikrobial korosi antara lain garam kuaterner,
imidazoline, amida, campuran amida-imidazolin maupun inhibitor organik. Akan tetapi
karena sifat bahaya dari bahan kimia sintesis tersebut, harganya yang mahal, dan tidak
ramah lingkungan maka diperlukan alternatif untuk memproteksi serangan korosi mikroba
pada logam. Salah satu alternatif inhibitor tersebut adalah ekstrak bahan alam seperti
ekstrak daun tembakau, teh, kopi, lidah buaya, dan daun pepaya yang mengandung atom
N, O, P, S, serta atom-atom lain yang memiliki pasangan elektron bebas. Unsur-unsur yang
mengandung pasangan elektron bebas ini selanjutnya dapat berfungsi sebagai ligan yang
akan membentuk senyawa kompleks dengan logam.
DAFTAR PUSTAKA
Andrade, Silva M. 1943. Histamine and proteolytic enzymes, Liberation of histamine by
papain. Journal of Biological Chemistry, 149: 7-9.

13
Bagnall C. 1996. Corrosion in Liquid Metals. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals
Handbook. Vol.13.
Bradford AS. 1992. Corrosion Control. New York: Van Nostrand Reinhold.
Bryson HJ. 1996. Corrosion of Carbon Steel. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals
Handbook. Vol. 13.
Dart RK, Stretton RJ. 1977. Microbiological Aspect of Pollution Control. Amsterdam:
Elsevier Scientific Publishing Company.
Davison MR. 1996. Corrosion of Stainless Steels. ASM Handbook. Formerly 9th ed.
Metals Handbook. Vol. 13.
Dexter CS. 1995. Localized Biological Corrosion. College of Marine Studies University of
Delaware.
Dexter CS. 1996. General Biological Corrosion. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals
Handbook. Vol. 13.
Dexter CS, Duquette DJ, Siebert OW, Videla HA. 1991. Use and limitations of
electrochemical techniques for investigating microbiological corrosion. Corrosion,
47: 308-318.
Fraunhofer JA. 1996. From Dentistry to Anti-Freeze and Paint. From R&D Innovator
Volume 5, Number 8. August 1996.
Freiter ER.1992. Effect of a corrosion inhibitor on bacteria and microbiologically
 influenced corrosion. Corrosion 48,(4): 266-276.
Fontana MG. Corrosion Engineering. Third Ed. Tokyo: Mc Graw Hill Book Company,
Inc.
Hamilton WA. 1985. Sulfate Reducing Bacteria and Anaerobic Corrosion. Annu Rev
Microbiology, 39:195-217.
Ilim, Jefferson A, De Marco R, Kinsella BJ. 2003. Oligomeric Poly 4 – Vinyl Pyridine as a
Carbon Dioxide Corrosion Inhibitor. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-hasil
Penelitian, 19-20 September. Universitas Lampung. Pp 64-68.
Jones DA. 1992. Principle and Prevention of Corrosion. New York: Macmillan Publishing
Company.
King RA, Miller JDA. 1971. Corrosion by Sulphate Reducing Bacteria, Nature, 233:491-
492.
Koger WJ. 1996. Molten – Salt Corrosion. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals
Handbook. Vol.1.
Korb JL. 1996. Corrosion. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals Handbook. Vol. 13.3.
Licina GJ. 2001. Monitoring Biofilms on Metallic Surfaces in Real Time. Paper No. 01442.
Corrosion. NACE International, Houston, TX.

14
View publication stats

Pohlman LS. 1996. Atmospheric Corrosion. ASM Handbook. Formerly 9th ed. Metals
Handbook. Vol. 13.
Priandani, Manik. 2001. Studi Pengaruh Inhibitor Formaldehid Terhadap Korosi Baja
Karbon ASTM A 283 oleh Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB) di dalam Air Laut.
Master Thesis. Program Khusus Rekayasa Korosi, Program Studi Rekayasa
Pertambangan, ITB.
Reynolds RJ. 1994. Truth Found Expose The Facts About The Tobacco Industry and Its
Practise. www.thetruth.com
Roberge PR. 1998. Handbook of Corrosion Engineering. New York: McGraw-Hill Inc.
Rochati D. 1995. Pengembangan Desain Produk Pipa dan Pelat Baja Tahan Korosi dalam
Lingkungan Gas. Bandung: Departemen Perindustrian, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik.
Rozenfeld IL. 1981. Corrosion Inhibitors. New York: McGraw-Hill Inc.
Smith CA. 1981. The microbiology of Corrosion. anti Corrotion journal.
Sudrajat, Ilim. 2006. Studi Penggunaan Inhibitor Organik yang Mengandung Nitrogen
dari Ekstrak Bahan Alam terhadap Laju Korosi Baja Lunak dengan Metode
Gravimetri. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Suhartanti D. 2004. Isolasi dan Identi-fikasi Bakteri Pereduksi Sulfat dari Kawasan PLTP
Kamojang Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Hasil-Hasil Penelitian,
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Supardi R. 1997. Korosi. Bandung: Penerbit Tarsito.
Threthewey, Chamberlain J. 1991. Korosi untuk Mahasiswa dan Rekayasawan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Tiller AK. 1983. Electrochemical aspects of Microbial Corrosion; an overview. London:
The Metal Society.
Videla HA, Saravia SGG, Guiamet PS. 2000. Microbial degradation of film-forming
inhibitors and its possible effects on Corrosion inhibition performance. Corrosion,
paper no.00386 (Houston, TX, NACE International).
Widharto S. 2001. Karat dan Pencegahannya. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

15

Anda mungkin juga menyukai