PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus,
genus Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul
sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
Menurut data WHO (2014) penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara
pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar ke berbagai Negara. Sebelum
tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi
penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika,
Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya
kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara,dan Pasifik Barat telah melewati
1,2 juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013
dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus
merupakan DBD berat. Perkembangan kasusu DBD ditingkat global semangkin
meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus
hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus dihampir 60 negara tahun
2000-2009 (WHO, 2014).
Menurut Soedarto (2012) Indonesia adalah daerah edemis DBD dan mengalami
epidemic sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan banyaknya genangan air
bersih dan menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk yang tinggi dan cepatnya
transportasi antar daerah, menyebabkan sering terjadinya DBD. Indonesia termasuk
dalam salah satu Negara yang edemik DBD dengan jumlah penderitanya yang terus-
menerus bertambah dan penyebarannya semakin luas.
3. Biologi
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14) yaitu agen yang aktif mengendalikan nyamuk.
Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar
6.36. Pada tahun 2016 terdapat 10 provinsi dengan angka kesakitan kurang dari 49 per
100.000 penduduk. Provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi yaitu Sulawesi
Selatan sebesar 105,95 per 100.000 penduduk, Kalimantan Barat sebesar 62,57 per
100.000 penduduk, dan Bali sebesar 52,61 per 100.000 penduduk. Angka kesakitan pada
provinsi Kalimantan Barat meningkat lima kali lipat dibandingkan tahun 2016. Sulawesi
Selatan yang sebelumnya berada pada urutan ke-10 provinsi dengan angka kesakitan
tertinggi tahun 2016, meningkat menjadi provinsi dengan angka kesakitan tertinggi tahun
2017. Sementara itu, angka kesakitan pada provinsi Bali menurun drastis hampir sepuluh
kali lipat dari tahun 2016. Sebagian besar provinsi lainnya juga mengalami penurunan
angka kesakitan. Hal ini disebabkan oleh program pencegahan penyakit DBD telah
berjalan cukup efektif melalui kegiatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik, meskipun kegiatan
tersebut belum dilaksanakan di seluruh provinsi maupun kabupaten/kota.
Kematian CFR akibat DBD lebih dari 1% dikategorikan tinggi. Walaupun secara umum
CFR tahun 2017 menurun dibandingkan tahun sebelumnya, terdapat 10 provinsi yang
memiliki CFR tinggi dimana 3 provinsi dengan CFR tertinggi adalah Kalimantan Selatan
(2,18%), Kalimantan Tengah (1,55%), dan Gorontalo (1,47%). Pada provinsi-provinsi
dengan CFR tinggi masih diperlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
dan peningkatan pengetahuan masyarakat untuk segera memeriksakan diri ke sarana
kesehatan jika ada gejala DBD sehingga tidak terlambat ditangani dan bahkan
menyebabkan kematian.
Selain belum memenuhi target program, ABJ tahun 2017, yaitu sebesar 46,7% menurun
cukup jauh dibandingkan tahun 2016 sebesar 67,6%. ABJ merupakan output yang
diharapkan dari kegiatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Untuk itu perlu optimalisasi
kegiatan tersebut dari seluruh kabupaten/kota, optimalisasi dana DAK untuk
pemenuhan kebutuhan logistic yang mendukung pengendalian DBD, serta monitoring
dan pembinaan kepada dinas kesehatan provinsi dalam manajemen sistem pelaporan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan
orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai
ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Resti, 2014).
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa
inkubasi antara 13 – 15 hari, rata- rata 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami:
a. Deman akut atau suhu meningkat tiba – tiba (selama 2 – 7 hari)
b. Sering di sertai menggigil.
c. Perdaran pada kulit (petekie, ekimosis, hematoma) serta perdarahan lain seperti epitaksis,
hematemesis, hematuria, dan melena.
d. Keluhan pada saluran pernafasan (batuk, pilek, sakit waktu menelan)
e. Keluhan pada saluran cerna (mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi)
f. Keluhan sistem tubuh yang lainnya (nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh, kemerahan
pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia,
otot – otot sekitar mata sakit bila di sentuh.
g. Hepatomegali, splenomegali.
Cara Pencegahan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Kimia
Dengan cara pemberian abatisasi (abate), pengasapan dan fogging.
2. Fisik
Dalam sekurang-kurangya seminggu sekali, maka cegahlah dengan cara 3 M plus:
e. Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air
seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es,
dan lain-lain.
f. Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum,
kendi, toren air, dan sebagainya.
g.Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi
untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
h.Plus, adalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti:
1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk.
3) Menggunakan kelambu saat tidur.
4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk.
5) Menanam tanaman pengusir nyamuk.
6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah.
7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat
istirahat nyamuk, dan lain-lain.
3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami tentang pokok bahasan makalah ini
bagi para pembacanya dan khususnya bagi mahasiswa yang telah menyusun makalah
ini. Semoga makalh ini dapat bermanfaan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA