Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern


Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena
begitu pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan
dunia ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai
wujud pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan
lebih sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu
menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa
dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda
dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman
seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin
dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah
yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa
dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan
dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan
kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama
sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia
beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam
kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan
tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang
dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang berbentuk
syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan khatib dan
lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yang
pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu
sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua
ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis
sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung
dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba
bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus
paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan
utama adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam
arti mata dan telinga) adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau
pendengaran yang ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu
direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat
bersemayam taqwa, jika penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif
dalam arti sesuatu yang dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika
hati sudah kotor maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada
aktualisasi kehidupan nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan
sulit mencapai sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat
plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal
yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi
muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari
hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan
besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus
kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini,
untuk dibawa kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya
kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya
kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus
digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa
adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan,
serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya, karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam
Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.

BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2. Bagaimana Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern?
3. Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian iman dan taqwa


Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah
syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga
‫ا َ ا ا‬
tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan ‫ هلل ِال ِاله ل‬dan yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang
sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang
berbau tak sedap atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah
dengan syariah atau perpaduan keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika tidak
melaksanakan ketentuan Allah dan rasulnya maka orang itu belum bias dikatakan
beriman.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman lebih dari tujuh puluh atau
enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan yang paling rendahnya
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari
keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614). Adapun
cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan yang
kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan
menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya, ”Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu” (QS. Al-Baqarah:143). Para ahli tafsir menyatakan,
yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul
maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para
sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati
dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat
kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal
(tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala
yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang
dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar dengan
macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa
ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan
berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam
keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani,
atau Majusi.” (HR. Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja
secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan
yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak
mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang
menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam
kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia
menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti
kuat adanya Allah.
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat
suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah
Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau diperintah
memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua
belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman
Allah, ”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”.
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)

Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi


larangan. Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa
kepada Allah SWT. Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataan-nya
banyak orang yang belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan
arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa
dan terang-terangan makan di tempat umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya
apa?” jawab-nya muslim, ada juga yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik
kanan-kiri dan ketika ditanya ” mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma sebentar
kan boleh. Ya… Allah, manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh bagaimana
lingkungan di sekitar kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum mampu
mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU’ artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik kepada aturan
Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan diri.
Qof = Qona’ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua aspek, baik
ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah, kebahagiaan atau
teguran dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati yang lapang dada.
Wau = Wara’ artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui hal yang
bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh
Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya memelihara
iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan dari
sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah
sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali menutup
mata akan hal ini. “Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah,
dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan
beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan untuk
mencapai taqwa, iaitu ;
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu
beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam
sehari semalam dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami
beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari bahawa
Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu apa sahaja.
Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah kepada Allah swt.
dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua muraqabah
dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara
total. Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga
adab-adab kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah
dalam mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah serta memohon
pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr: 18, “Wahai
orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan se-
tiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai
melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha.
Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi
hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan kesilapan
ataupun kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini lahir selepas Muslim melakukan
ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau pukulan
memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat berusaha
menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama meskipun dia
berasa berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang sentiasa
bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69 adalah
apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya,
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari
sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada
akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya dan menjadi sikap yang
melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah swt. telah berfirman dalam Al-Quran
yang bermaksud: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kamu mati melainkan di dalam
keadaan Islam”. (‘Ali Imran: 102)

3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern


Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya
dampak negatif (residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang berdampak
terjadinya pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun tumbuhan,
munculnya beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan yang makro
yaitu berlobangnya lapisan ozon dan penasan global akibat akibat rumah kaca.
Manusia tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda berat
seperti sekuat gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang melebihi
kecepatan kuda dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk lain adalah dari
Akalnya. Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah
melahirkan manusia yang konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena
begitu pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan
dunia ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai
wujud pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan
lebih sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu
menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa
dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda
dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman
seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin
dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah
yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa
dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan
dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan
kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama
sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia
beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam
kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan
tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang
dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang berbentuk
syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan khatib dan
lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yang
pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu
sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua
ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis
sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung
dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba
bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus
paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan
utama adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam
arti mata dan telinga) adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau
pendengaran yang ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu
direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat
bersemayam taqwa, jika penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif
dalam arti sesuatu yang dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika
hati sudah kotor maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada
aktualisasi kehidupan nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan
sulit mencapai sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat
plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal
yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi
muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari
hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan
besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus
kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini,
untuk dibawa kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya
kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya
kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus
digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa
adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan,
serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya, karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam
Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.

Problem dalam Hal Ekonomi


Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo
economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya dan
melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah – kaidah
moral.Ekonomi kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa berkorban sekecil
– kecilnya dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar – besarnya telah
membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois dan serakah (saya sendiri
mengakuinya).
Problem dalam Bidang Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi. Ini tidak lain
hanyalah kata lain dari penanaman nilai – nilai Barat yang menginginkan lepasnya
ikatan – ikatan nilai moralitas agama yang menyebabkan manusia Indonesia pada
khususnya selalu “berkiblat” kepada dunia Barat dan menjadikannya sebagai suatu
symbol dan tolok ukur suatu kemajuan.
Problem dalam Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada faham
Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan dari
urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut dengan split
personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada saat yang
sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
Problem dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak kepemikirannya
yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme dimana tolok
ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih ditekankan.
Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar apabila telah memenuhi criteria ini. Tentu
apabila direnungkan kembali hal ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji
kebenaran agama yang kadang kala kita harus menerima kebenarannya dengan
menggunakan keimanan yang tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan – ilmuwan
karena keterbatasan rasio manusia dalam memahaminya. Anda merasakan itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah falsifikasi.
Apa itu? Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat gugur ketika ada
penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan bertolak belakang dengan bidang
keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka akan banyak anda temukan banyak
ilmuwan yang telah menganut faham atheis (tidak percaya adanya tuhan) akibat dari
masalah – masalah dalam bidang keilmuan yang telah tersebut di atas.
Kalau bersama – sama kita telah melihat sebagian kecil dari beberapa bagian besar
problematika dalam kehidupan kita saat ini, apa yang sebaiknya menjadi solusi
bersama dalam meningkatkan ketahanan tubuh Negara kita terhadap prediksi –
prediksi kehancuran moral bangsa Indonesia akibat dari kekurang selektifan kita
terhadap apa yang namanya Westernisasi?
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan
elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat
hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang
terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan
yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh
keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari.
Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna
serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang
filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk
semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia
harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak merupakan
kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu bukti adanya
Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya
menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tindak laku
manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian
hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam
kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat
tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini
menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah
faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta
penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan
istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab
tersebut kepada selai Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya
sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan filsafat juga
sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada Kholiq
(Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap
tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan
berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab
(berusaha).Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan
sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus
membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci
dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan
tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini
semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam
membentuk membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti
perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang
menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian,
bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman. Iman adalah sesuatu
yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen
sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat
yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan
jiwa. Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis Bacon,
William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah
menumbuhkan keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya,
bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup,
manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Dalam Islam pengaruh iman
diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini
harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya
dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor
diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat
yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya
bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab
yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan.
Iman dan Taqwa landasan mencapai kesuksesan
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk
bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
َْ ‫ا‬ ْ ‫ا‬ ْ ‫ا‬ ُ ْ ْ ُ َ ْ ‫ا ا‬ ‫ا اا‬ ْ
‫نس ال ِج ان خلقت او اما‬‫ون ِإل اوا ِإل‬
ِ ‫ون أن أ ِريد او امآ رزق من ِمنهم امآأ ِريد ِل اي ْعبد‬
ِ ‫للا ِإن يط ِعم‬ ‫الرزاق‬‫الق او ِة ذو هو‬
ْ
‫ال ام ِتي‬
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga Allah pun
menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum
mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan
tertentu dalam firmanNya :
‫ا ا َ ا َا ُ ا ً ا َ ْ ا ُ َا َ ا‬
‫ت ْر اجعون ل ِإل ْينا اوأنك ْم ع ابثا خلقناك ْم أن اما أف اح ِس ْبت ْم‬
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main
saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya
untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak
dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung
dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional
dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir
seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan
taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah
yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
‫ا َ ْ ُ ا‬ ُ ‫ا ا َْ ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬
‫للا ِعند أ ك ار امك ْم ِإن‬
ِ ‫خ ِبي ع ِليم للا ِإن أتقاك ْم‬
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1. I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan
berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini
kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang
berikutnya, yaitu;
2. I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta
memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan
mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari
rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal,
pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya
dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada
I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang
yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi
seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi melindungi seseorang dari kehancuran.
Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan
diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan
selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah
memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan
dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata
menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi
hablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah
memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan.
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan
mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim.
Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan
kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita
semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan
tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan.
Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan
diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.

Hubungan manusia dengan lingkungan hidup


Bagi insan yang bertaqwa, kita harus memandang alam dari empat segi,yaitu: 1.
Apresiasi 2. Kreatif 3. Proaktif 4. Produktif.
Peran iman dan taqwa di dalam problem dan tantangan kehidupan moderen
Adalah suatu masalah besar yang harus di hadapi oleh setiap orang (Manusia) karna
seperti yang kita lihat selama ini semakin bertambahnya Zaman pasti akan ada
perubahan! baik dalam segi moral, agama, budaya, maupun dalam segi sosial
kehidupan di dalam masyarakat. Dan yang paling utama dalam segi agama,
kepercayaan dan keyakinan sehingga dalam segi iman dan taqwapun berkurang.
Peranan Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan
beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah.
Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan
manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan
pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul,
jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah
ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan
orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS.
an-Nisa/4:78.
3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan
bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan
orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah),
dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah surat
ar-Ra’d/13:28.
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan
kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah
dalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa
pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan
apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia
senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162
7. Iman memberi keberuntungan
Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan
demikian orang yang beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh
manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan
manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum,
berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti
gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari
serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh
yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja
bermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar
hipofise yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar
hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia
masih berbentuk zigot dalam rahim ibunya. Dalam hal ini iman mampu mengatur
hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika dalam kehidupan modern
yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang terjadi, baik dibidang
ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran penting dalam kehidupan dunia modern,
dalam kehidupan modern yang serba cepat sering kali memicu timbulnya stress dan
berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran antara lain:
1) Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2) Iman dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3) Iman dan taqwa menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
4) Iman dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5) Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6) Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7) Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan
diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun
billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau
keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan
sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Sedangkan takwa adalah
menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian
rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah
menjaga diri dari perbuatan dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa,
menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa
nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan
menciptakan rasa cinta dan bahagia.Pegaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan
moral dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala segala situasi, diucapkan
kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat
merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana
bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang
dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena itusangat patut sekali apabila
dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.

DAFTAR PUSTAKA
v Imtihana,aida.dkk.2009.Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum.Palembang:Universitas
Sriwijaya.
v Labay,Mawardi.2000.Zikir dan Do’a Iman Pengaman Dunia.Jakarta:Al Mawardi
Prima
v http://google.search./implementasi.imandantaqwa .com
v “IMAN DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT”, Oleh: Prof. DR. K. H. Achmad
Mudlor, SH.
v http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/pengertian-iman-dan-taqwa.html (Onlin
e ) Di Akses Tanggal 17 oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai