Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kesehatan jiwa adalah kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kesehatan emosional
(Videbeck, 2008). Menurut WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang
diseluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar (10%) orang
dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan (25%) penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Masalah utama dari ganguan jiwa adalah schizofrenia.
Schizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan
berkomunikasi, menerima, menginterpretasikan realitas, merasakan,
menunjukkan emosi, dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat
diterima secara sosial.
Salah satu contoh gangguan jiwa yaitu risiko perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku kekerasan atau amuk adalah perasaan
marah atau jengkel yang kuat disertai dengan hilangnya kontrol diri atau
kendali diri (Stuart dan Sundeen, 1998). Faktor-faktor penyebab
perilaku kekerasan menurut (Stuart, 2006) antara lain, faktor biologis,
psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis misalnya faktor yang
mendukung, yaitu masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, sering
mengalami kegagalan, kehidupan penuh tindakan agresif, lingkungan
yang tidak kondusif. Faktor psikologis misalnya dorongan agresif karena

1
kegagalan mencapai sesuatu sehingga terjadi frustasi. Faktor sosial
budaya yaitu agresi yang dipelajari melalui observasi atau imitasi dari
lingkungan dan penguatan untuk bertindak agresif. Faktor yang
mencetus seseorang melakukan perilaku kekerasan antara lain,
kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri,
kehilangan orang atau obyek yang berharga, konflik interaksi sosial
(Stuart, 2006).
Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan keyakinan yang
diketahui tentang dirinya yang mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen 1991). Dimana
konsep diri di dalamnya menyangkut gangguan harga diri rendah dan
ganggguan isolasi sosial. Menarik diri adalah suatu
keadaan pasien yang mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan di sekitarnya
secara wajar. Pada pasien dengan perilaku menarik diri sering
melakukan kegiatan yang ditujukan untuk mencapai pemuasan
dimana pasien melakukan usaha untuk melindungi diri sehingga ia jadi
pasif dan berkepribadian kaku, pasien menarik diri juga melakukan
pembatasan (isolasi diri), termasuk juga kehidupan emosionalnya,
semakin sering pasien menarik diri, semakin banyak kesulitan yang
dialami dalam mengembangkan hubungan sosial dan emosional dengan
orang lain (Stuart dan Sundeen, 1998).
Untuk itulah peran dari perawat pelaksana keperawatan jiwa
haruslah didesain untuk memenuhi tantangan ini dengan menyediakan
pendekatan yang sistematik dalam melakukan strategi pelaksanaan
terhadap pasien halusinasi setiap 5 hari ada 4 cara, yaitu menghardik
halusinasi, mengontrol halusinasi, melaksanakan aktifitas yang terjadwal
kepada pasien dan melatih pasien menggunakan obat secara teratur.
Namun pada kenyataan tingkat keberhasilan intervensi yang dilakukan
belum tercapai dengan baik. Pemberian strategi pelaksanaan yang tepat

2
pada klien dengan masalah gangguan jiwa halusinasi sangatlah
diperlukan untuk menghindari dampak yang muncul yang dapat
membahayakan kondisi klien, seperti perubahan persepsi sensori :
halusinasi, resiko tinggi menciderai diri sendiri,orang lain serta
lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998, dalam Fitria, 2009).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis merumuskan
rumusanmasalahsebagai berikut.
1) Apa sajakah konsep dasar dari risiko perilaku kekerasan?
2) Bagaimana asuhan keperawatan pada risiko perilaku kekerasan?
3) Apa sajakah konsep dasar dari defisit perawatan diri?
4) Bagaimana asuhan keperawatan pada defisit perawatan diri?
5) Apa sajakah konsep dasar dari halusinasi?
6) Bagaimana asuhan keperawatan pada halusinasi?

1.3 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai konsep dasar dan asuhan
keperawatan dari risiko perilaku kekerasan, defisit perawatan diri,
dan halusinasi.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pembuatan makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui konsep dasar dari risiko perilaku kekerasan.
2) Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari risiko
perilaku kekerasan.
3) Untuk mengetahui konsep dasar dari defisit perawatan diri.
4) Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari defisit
perawatan diri.

3
5) Untuk mengetahui konsep dasar dari halusinasi.
6) Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari
halusinasi.

1.4 MANFAAT
Selain tujuan, adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu
sebagai berikut.
1) Makalah ini secara praktis diharapkan dapat meyumbangkan
pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan
konsep dasar dan asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa tertentu.
2) Hasil makalah ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan tentang
konsep dasar dan asuhan keperawatan dengan risiko perilaku
kekerasan, defisit perawatan diri, dan halusinasi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR DARI RISIKO PERILAKU KEKERASAN


A. Pengertian
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang
lain atau lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan
verbal (NANDA, 2016). Risiko perilaku kekerasan terbagi menjadi
dua, yaitu risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for
self-directed violence) dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang
lain (risk for other-directed violence).
NANDA (2016) menyatakan bahwa risiko perilaku kekerasan
terhadap diri sendiri merupakan perilaku yang rentan dimana
seorang individu bisa menunjukkan atau mendemonstrasikan
tindakan yang membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik,
emosional, maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk
risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan
langsung kepada orang lain.
SDKI (2016) menyatakan bahwa risiko perilaku kekerasan
adalah berisiko membahayakan secara fisik, emosi dan atau seksual
pada diri sendiri atau orang lain.
Kemarahan adalah suatu emosi yang terentang mulai iritabilitas
sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang, biasanya
kemarahan adalah reaksi terhadap stimulus yang tidak
menyenangkan dan mengancam (Stuart, 2006).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah
suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat

5
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) perilaku kekerasan atau
amuk adalahperasaan marah atau jengkel yang kuat disertai dengan
hilangnya kontrol diri atau kendali diri.

B. Rentang Perilaku Kekerasan


Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang
adaptif sampai maladaptif. Rentang respon marah menurut Stuart
(2006), dimana amuk (perilaku kekerasan) dan agresif berada pada
rentang maladaptif, seperti pada gambar berikut:

Gambar 1. Rentang Respon Kemarahan (Sumber : Stuart, 2006)


Keterangan:
a) Asertif, merupakan ungkapan rasa tidak setuju atau kemarahan
yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
sehingga akan memberikan kelegaan dan tidak menimbulkan
masalah. Asertif merupakan bentuk perilaku untuk
menyampaikan perasaan diri dengan kepastian dan
memperhatikan komunikasi yang menunjukkan respek pada
orang lain (Stuart & Laraia, 2005).
b) Frustasi, adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
yang tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
c) Pasif, merupakan kelanjutan dari frustasi, dalam keadaan ini
individu tidak menemukan alternatif lain penyelesaian masalah,

6
sehingga terlihat pasif dan tidak mampu mengungkapkan
perasaannya.
d) Agresif, adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol.
Perilaku yang tampak berupa muka masam, bicara kasar,
menuntut, dan kasar.
e) Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri, sehingga
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

C. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2013), masalah perilaku kekerasan dapat
disebabkan oleh adanya factor predisposisi (faktor yang
melatarbelakangi) munculnya masalah dan faktor presipitasi (faktor
yang memicu adanya masalah).
Di dalam faktor predisposisi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah perilaku kekerasan, seperti faktor
biologis, psikologis, dan sosiokultural. :
1) Faktor biologis
a. Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
b. Teori psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respons psikologi
terhadap stimulus eksternal maupun internal. Sehingga,
sistem limbik memiliki peran sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.

7
2) Faktor psikologis
a. Teori agresif frustasi (Frustation-agression theory)
Teori ini menerjemahkan perilaku kekerasan terjadi sebagai
hasil akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau
terhambat. Keadaan frustasi dapat mendorong individu untuk
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui perilaku kekerasan.
b. Teori perilaku (Behavioral theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang
mendukung. Reinforcement yang diterima saat melakukan
kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam maupun
di luar rumah.
c. Teori eksistensi (Existential theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai
perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui
perilaku konstruktif, maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

D. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ini berhubungan dengan pengaruh stressor
yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor
dapat disebabkan dari luar dapat berupa serangan fisik, kehilangan,
kematian, dan lain-lain. Stressor yang berasal dari dalam dapat
berupa kehilangan keluarga atau sahabat yang dicintai, ketakutan
terhadap penyakit fisik, penyakit dalam, dan lain-lain. Selain itu,
lingkungan yang kurang kondusif, seperti penuh penghinaan, tindak
kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.

8
E. Faktor Risiko
SDKI (2016) menyatakan faktor-faktor risiko dari risiko perilaku
kekerasan yaitu:
1. Pemikiran waham/delusi
2. Curiga pada orang lain
3. Halusinasi
4. Berencana bunuh diri
5. Disfungsi sistem keluarga
6. Kerusakan kognitif
7. Disorientasi atau konfusi
8. Kerusakan kontrol impuls
9. Persepsi pada lingkungan tidak akurat
10. Alam perasaan depresi
11. Riwayat kekerasan pada hewan
12. Kelainan neurologis
13. Lingkungan tidak teratur
14. Penganiayaan atau pengabaian anak
15. Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau
orang lain
16. Impulsif
17. Ilusi

F. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan
pasien dan didukung dengan hasil observasi.
a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai

9
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul benda/orang lain

G. Mekanisme Koping
Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk membantu
klien mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Secara umum, mekanisme koping yang
sering digunakan antara lain: mekanisme pertahanan ego, seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, denial, dan reaksi
formasi.

H. Perilaku
Klien dengan gangguan perilaku kekerasan memiliki beberapa
perilaku yang perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan
perilaku kekerasan dapat membahayakan bagi dirinya sendiri, orang
lain, maupun lingkungan sekitar. Adapun perilaku yang harus
dikenali dari klien gangguan risiko perilaku kekerasan, antara lain:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena
kegiatan sistem saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat, peristaltic gaster menurun, pengeluaran urine dan

10
saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat,
disertai ketegangan otot seperti: rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku, dan disertai reflek yang
cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam
mengekspresikan kemarahannya, yaitu perilaku pasif,
agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Dengan
perilaku tersebut, individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat
konflik perilaku untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.

I. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan risiko perilaku kekerasan dirumuskan
jika klien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan, tetapi pernah
melakukan perilaku kekerasan dan belum mampu mengendalikan
perilaku kekerasan tersebut.
Gambar. Pohon Masalah Diagnosis Risiko Perilaku Kekerasan

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Risiko perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan

11

Anda mungkin juga menyukai