Anda di halaman 1dari 37

MINI BOOK ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

MAKLUMAT TUNTASKAN REFORMASI

Dosen : Hari Kusuma Satria Negara.,SE.,M.Acc.,Ak

Ditulis oleh :

1. Muhammad Alfisyahrin (142180126)


2. Dimas Aji Wijaya (142180148)
3. Dionysius Dahana Pekerti (142180151)

PRODI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas mini book yang berjudul “​Maklumat Tuntaskan Reformasi”.​ Penulisan
mini book ini merupakan tugas yang diberikan dalam mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Dalam Penulisan mini book ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
mini book ini.

Dalam penulisan mini book ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan mini book ini,
khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. RUU Ketenagakerjaan

B.Isu Kelingkungan

C.RUU KUHP

D.RUU Pertanahan

E.RUU PKS

F.RUU KPK

G.Kriminalisasi Aktivis

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi saat ini belum berumur 21 tahun, sayangnya upaya perubahan bangsa kepada
kemajuan justru menemui kemunduran telak akibat beragam kebijakan yang mengkorup
agenda-agenda Reformasi. Tidak hanya itu, beragam kebijakan yang disusun oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, semakin bertentangan dengan pokok- pokok
reformasi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No.X Tahun 1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Negara.

Kami menilai bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak belajar dari
beragam kesalahan yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru. Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat justru membuai serangkaian kebijakan yang mendorong negara pada
sistem pemerintahan yang korup, otoriter, dan menciptakan ekonomi yang eksploitatif. Atas
dasar itu, kami turun kejalan untuk menyampaikan beragam tuntutan yang menjadi
keresahan bersama Rakyat Indonesia.

Salah satu yang bisa dilakukan untuk mengajukan kembali klaim terhadap demokrasi
adalah melalui penguatan masyarakat sipil. Berdasarkan minimnya akses vertikal yang ada,
masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi lebih dalam untuk merumuskan civic
engagement yang terstruktur untuk memperkuat posisinya dalam menentukan arah kebijakan
negara. Upaya untuk merebut kembali kontrol atas demokrasi dan arah kebijakan kepada
masyarakat mengarah kepada perubahan relasi kekuasaan yang selama ini berlangsung. Pada
praktiknya, proses pembuatan kebijakan publik tidak semata-mata dilakukan oleh negara,
karena dalam arena pengelolaan urusan publik senantiasa berlangsung pertarungan
kepentingan. Terutama kepentingan dari oligark yang ingin mempertahankan kekuasaanya
seperti yang dijelaskan oleh Winters.
Lebih dalam lagi oligarki melakukan kontrol atas demokrasi dan arah kebijakan tidak
publik lewat regulasi dan aturan yang diproduksi seperti RUU yang akhir-akhir ini
meresahkan. Namun, oligarki juga melakukan politik diskursus untuk mengklaim kebenaran
tentang kebijakan publik diambil. Wacana yang diciptakan adalah batasan-batasan tentang
kriteria bagaimana kebijakan publik diambil secara demokratis, seperti pada konsep good
governance yang didenisikan secara instrumental seperti nilai -nilai akuntabilitas,
transparansi, dan sebagainya. Meskipun pada praktiknya nilai tersebut tidak terlaksana
secara maksmimal. Wacana yang mempersempit hanya menekankan nilai-nilai pada good
governance akan mengabaikan praktik yang berbeda yang bisa dilakukan oleh masyarakat
sipil. Masyarakat sipil perlu keluar dari tempurung wacana yang dibuat dengan cara
melakukan tindakan menjadikan isu dan kepentingan masyarakat yang semula terabaikan
atau tereksklusi menjadi agenda dan kepentingan publik melalui aksi maupun deliberasi .
Merawat partisipasi dalam demokrasi dalam artian mendorong kesadaran masyarakat untuk
merebut kembali akses di ruang publik, baik mengikuti proses pembuatan keputusan,
keterlibatan dalam networking civil society, merumuskan advokasi kebijakan alternatif, atau
mengisi ruang publik melalui aksi turun ke jalan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa permasalahan atau hal yang dituntut oleh mahasiswa?


2. Bagaimana pendapat dari para ahli?
3. Apa yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai bentuk respon

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui permasalahan atau hal yang dituntut oleh mahasiswa


2. Untuk mengetahui pendapat dari para ahli
3. Untuk mengetahui yang akan dilakukan oleh mahasiswa dari permasalahan atau hal
yang dituntut
BAB II

PEMBAHASAN

A. RUU Ketenagakerjaan

Dalam RUU Ketenagakerjaan, pemerintah jelas tidak memperhatikan kesejahteraan


buruh. RUU Ketenagakerjaan yang dirancang demi pasar tenaga kerja yang lebih
kompetitif, secara langsung memeras keringat buruh. Terkait pesangon misalnya, masa
kerja minimal yang lebih panjang yakni 9 tahun, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU,
maka gelombang PHK akan terjadi di mana-mana.

Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah minimum jadi
dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan buruh. Ditambah lagi, usulan
pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin
memberatkan buruh dengan segala ketidakpastiannya. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan
jelas tidak berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli kesejahteraan
buruh.

Kebijakan ekonomi yang eksploitatif dan tidak berbasis pada ekonomi rakyat semakin
terlembaga dalam berbagai kebijakan. Gagalnya pemerintah dan pemerintah daerah dalam
melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam kegiatan usaha eksplotiatif seperti
tambang dan perkebunan telah menciptakan dampak ekologis masif tidak hanya bagi
generasi saat ini namun juga generasi di masa yang akan datang. Dari aspek pembentukan
peraturan perundang-undangan PP No.24 Tahun 2018 semakin memperburuk
perlindungan lingkungan hidup dengan menggerus keberlakukan Amdal.

Kebijakan yang telah buruk semakin diperparah dengan RUU Sumber Daya Air yang
dinilai berpotensi memonopoli akses terhadap air, RUU Pertanahan yang juga semakin
mendorong monopoli kepemilikan tanah, dan wacana revisi Undang- Undang
Ketenagakerjaan yang dinilai tidak melibatkan buruh.

Maka kami meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan
hal-hal berikut:

● Selesaikan konflik agraria dan laksanakan reforma agraria sejati


● Mencabut Undang-Undang Sumber Daya Air yang menghalangi akses rakyat
terhadap air.
● Menolak RUU Minerba yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat yang dalam
konflik pertambangan
● Menolak RUU Pertanahan yang berpotensi memperparah ketimpangan
kepemilikan tanah.
● Mencabut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018, dan dengan serius
melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha yang berdampak penting bagi
lingkungan.
● Hentikan kriminalisasi Petani

B. ISU KELINGKUNGAN
● Permasalahan/Hal yang dituntut oleh mahasiswa
❖ M
​ enuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung
jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
❖ Masalah kebakaran hutan belakangan disorot karena area titik apinya terus
meluas. Kebakaran tersebar di sebagian Sumatera dan kalimantan.
❖ Kepolisian telah menetapkan puluhan tersangka pembakaran hutan dan

sembilan korporasi yang bertanggung jawab.


❖ Masyarakat menuntut para pelaku diadili hingga menyasar ke aktor
intelektual.
❖ Proses hukum juga harus dilakukan secara terbuka.
● Pendapat dari para Ahli

❖ Sudibyakto, M.S, Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI)


mengatakan, kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman besar bagi
Indonesia. Selain merusak ekosistem lahan tropika basah, juga akan
mempercepat proses perubahan iklim. “Kegagalan mengelola hutan dan lahan
gambut akan mempengaruhi perubahan iklim yang menimbulkan dampak luas
masa mendatang,”katanya, pekan lalu di Yogyakarta. Kebakaran ini, katanya,
merupakan bencana nonalam. Sedang iklim, seperti El-Nino yang menguat
pada November ini, tak berhubungan langsung dengan kebakaran. “El-Nino
memang mempengaruhi kekeringan. Ancaman kekeringan meningkatkan
risiko kebakaran hutan dan lahan, tetapi bukan penyebab.”

Dia mendesak, penyusunan standar operasi prosedur (SOP) pengendalian


kebakaran dan hutan dengan cara memperkuat peraturan perundang-undangan.
Kesiapsiagaan pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam penilaian dan
manajemen risiko menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan sejalan dengan
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030.

❖ Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Hartono mengatakan, kebakaran hutan


dan lahan kali ini mirip 1997 dan jauh lebih parah karena asap mengganggu
banyak kehidupan. Dampak kebakaran merugikan secara ekonomi,
biodiversitas dan kesehatan, pendidikan dan jelas melepas emisi karbon.
“Kerugian ekonomi jelas, hilang produk perdagangan, pariwisata, penerimaan
pemerintah berkurang, sampai berbagai pembatalan penerbangan. Kerugian
biodiversitas, sinar matahari berkurang, hilang tanaman obat-obatan dan
spesies langka,” katanya. Untuk itu, perlu usaha sungguh-sungguh karena
penyebab dapat ditelusuri dan memberikan hukuman tegas pada pembakar
hingga memberikan rasa keadilan. Penginderaan jauh, katanya, bisa
menampilkan data dalam ruang dan waktu untuk mengkaji kebakaran.

❖ Azwar Maas, Ketua Pokja Karhutla IABI, ikut bicara. Dia menilai, sulit
mengatasi kebakaran karena pembuatan kanal di lahan gambut tak
memperhatian satuan hidrologis. Air tanah menyusut karena tidak ada sumber
air pengisi (luapan pasang surut, hujan atau kubah) dan zona perakaran
dangkal kering. Gambut semula suka air (hydrophilic) menjadi tidak suka air
(hydrophobic), kering dan berdebu. “Tanaman penutup tanah, cover crop dan
rumput atau semak menjadi kering karena zona perakaran tidak mampu
menyerap air,” katanya.
Dengan kondisi ini, katanya, sebenarnya ada beberapa cara dari jangka pendek
hingga panjang. Untuk jangka pendek, terkait teknis kedaruratan, yaitu aplikasi
teknis mengatasi kebakaran. Jangka menengah prioritas utama teknis non
kedaruratan dan jangka panjang membuat perencanaan strategis tentang peraturan
perundangan, peraturan teknis, peraturan-peraturan lain pendukung peraturan
mendasar.

❖ Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik,


menyebut, dalam karhutla tahun ini, titik api tercatat di area konsesi yang
sama, yakni kelapa sawit dan bubur kertas mengindikasikan "pemerintah tidak
serius dalam hal penegakan hukum" dan menjadi alasan utama "mengapa
karhutla kembali terjadi setiap tahun". "Kita bisa lihat ternyata
perusahaan-perusahaan yang dari 2015 sampai 2018 lokasinya terbakar, tapi
tidak ada satupun yang mendapat sanksi, baik sanksi administratif atau sanksi
perdata," ujar Kiki kepada BBC Indonesia, Selasa (24/09). "Tahun ini, setelah
kita monitor dari sisi fire hot spot ternyata kita masih menemukan banyak
sekali titik-titik api di wilayah konsensi-konsensi tersebut, yang ternyata
berulang," lanjutnya.

Padahal, merujuk UU lingkungan ada ketentuan tentang strict liability, atau


pertanggungjawaban mutlak, yang mengatur jika ada lahan dalam konsesi yang
terbakar, maka perusahaan harus bertanggungjawab penuh atas hal itu.

"Dan kita lihat dari hasil analisis kita tidak ada satupun [yang
bertanggungjawab]," ungkap Kiki.

❖ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan


keseriusannya dalam menegakkan hukum. "Kalau mereka memang tahun 2015


kami kasih sanksi dan terbakar saat ini lagi, kami lihat bahwa mereka
melakukan langkah-langkah yang tidak benar, mereka tidak menyiapkan
peralatan-peralatan yang memadai, tidak melakukan penanggulangan dengan
baik kebakaran lahan di lokasi mereka, tentu kami akan lakukan penegakkan
hukum," ujar Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Rasio Ridho Sani melalui sambungan telpon.

❖ Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal


Polisi Dedi Prasetyo mengatakan penetapan tersangka dilakukan karena


diangggap lalai dan membiarkan karhutla terjadi. "Tersangka korporasi
bertambah," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (25/9). 15 korporasi
yang ditetapkan sebagai tersangka tak hanya di satu kepolisian daerah (Polda).
Di Polda Kalimantan Sementara itu, Jambi menetapkan PT Mega Anugerah
Sawit sebagai tersangka. Polda Kalimantan Selatan menetapkan PT Monrad
Intan Barakat (MIB) dan PT Borneo Indo Tani (BIT) sebagai tersangka.Polda
Kalimantan Barat menetapkan PT Surya Agro Palma (SAP) dan PT Sepanjang
Inti Surya Usaha (SISU) sebagai tersangka. Polda Lampung menetapkan PT
Sweet Indo Lampung (SIL), PT Indo Lampung Perkasa (ILP), PTPN 7, PT
Paramitra Mulya Lampung (PML), dan PT Sweet Indo Lampung (SIL)
sebagai tersangka."Korporasi diduga lalai dalam rangka untuk mengendalikan
kebakaran hutan dan lahan, di mana lahan konsesi yang seharusnya menjadi
tanggung jawab korporasi tersebut," ucap Dedi.

● Peran Kita Sebagai Mahasiswa

​Tuntutan mahasiswa untuk pemerintah berkaitan dengan isu lingkungan. Mahasiswa


menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas
kerusakan lingkungan di wilayah Indonesia. Karena posisi mahasiswa ada diantara
pemerintah dengan masyarakat.

Pembukaan lahan dengan cara membakar ditengarai menjadi asal muasal asap yang
mengepung kota. Titik panas, berdasar pantauan satelit Resource Watch, hanya berada di
hutan-hutan pinggiran lahan sawit. Sementara tanaman lain, tentu saja termasuk sawit, tidak
terbakar. Kemungkinan besar, lahan-lahan itu ditujukan untuk sawit atau tanaman penghasil
lain.

Dampak dari kebakaran hutan pertama adalah gajah. Banyak nyawa meninggal, 6000
orang terkena inspeksi pernapasan (ispa), dan pandangan yang kabur.

Langkah Mahasiswa Untuk Menjaga Lingkungan

1. Kurangi Konsumsi Air Kemasan

Aktivitas yang Anda lakukan sehari-hari tentu tidak lepas dari air mineral. Namun,
tidak ada salahnya melakukan sedikit perubahan. Langkah tepat dalam menjaga lingkungan
yang paling sederhana adalah mengurangi konsumsi air kemasan. Anda bisa membawa
tempat minum dari rumah agar berkurangnya limbah plastik. Selain menjaga lingkungan,
Anda bisa lebih berhemat karena tidak perlu berulang kali membeli produk air kemasan.

Jika kebiasaan ini masih terlalu sulit, lakukan bersama sahabat atau keluarga Anda.
Agar kebiasaan baik ini akan terasa lebih menyenangkan, Anda bisa mulai dengan mengajak
kerabat kantor untuk menggunakan gelas yang sudah disediakan. Usahakan tidak membawa
air kemasan ke dalam kantor. Saat ini teknologi seperti alat penyaring air minum yang sudah
canggih memudahkan Anda untuk ikut serta menjaga lingkungan dengan lebih mudah.

2. Mengelola Limbah Rumah Tangga

Sudah mencoba untuk mengelola sampah rumah tangga milik Anda? Apapun profesi
Anda saat ini, menjaga lingkungan dapat Anda lakukan dengan cara sederhana seperti
membuang sampah sesuai dengan kategorinya. Selain menjaga lingkungan, pemilihan
sampah juga akan memudahkan para pencari nafkah yang sering mengumpulkan
barang-barang seperti karton, kerdus, koran, dan majalah.
Jenis sampah kering lain yang bisa dimanfaatkan dan menambah kreativitas Anda
adalah gelas plastik, botol saus, bungkus ​detergent ​dan masih banyak lagi. Sampah-sampah
tersebut bisa menjadi aksesoris cantik yang bisa Anda kreasikan bersama keluarga di rumah.
Sedangkan untuk jenis sampah organik hijau dan hewani, bisa Anda pisahkan sebagai hasil
kompos atau pupuk yang bermanfaat. Dengan begitu, menjaga lingkungan di rumah sendiri
akan terasa lebih mudah dan menyenangkan.

3. Menghemat Penggunaan Air

Salah satu kebiasaan yang mungkin sering tidak Anda sadari dapat memberikan
kontribusi positif pada lingkungan adalah penghematan air. Persediaan air tanah semakin
menipis, bahkan menurut penelitian dari The United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) akan terjadi kekuarangan air bersih skala global pada
tahun 2030. Dengan menghemat air, Anda tentunya dapat membantu mencegah terjadinya hal
tersebut. Jika Anda sudah menanam kebiasaan menutup keran air di rumah, sebaiknya
lakukan juga kebiasaan tersebut di tempat-tempat umum. Mungkin terkesan “tidak ada
kerjaan”, namun jika bukan Anda yang mulai melakukan perubahan, sumber daya air akan
semakin terbuang sia-sia dan menjadi habis.

Selain kebiasaan menutup keran setelah tidak digunakan kembali, mungkin Anda bisa
mencoba menghemat penggunaan air saat sedang mandi. Semakin lama Anda berada di
dalam kamar mandi, maka semakin banyak air bersih yang terbuang. Apalagi saat Anda
sedang menggosok gigi, usahakan untuk menutup keran terlebih dahulu jika memang Anda
tidak menggunakan airnya. Lakukan langkah sederhana itu secara perlahan agar berdampak
positif untuk menjaga lingkungan.

4. Mencabut ​Charger​ Ponsel Saat Tidak Digunakan

Apakah Anda salah satu orang yang lupa mencabut ​charger ponsel saat tidak
digunakan? Jika iya, sepertinya kebiasaan itu harus Anda hentikan. Perlu Anda ketahui,
charger y​ ang berada dalam keadaan terpasang namun tidak digunakan akan tetap memakan
daya listrik 1 watt setiap jamnya. Bila kebiasaan ini tidak Anda hentikan, risiko yang didapat
adalah borosnya penggunaan listrik. Walau daya yang dikonsumsi hanya kecil, usahakan
selalu mencabut ​charger setelah digunakan karena bisa membantu menjaga lingkungan
Anda. Kebiasaan ini bisa Anda bagikan kepada kerabat dekat, serta Anda terapkan di kantor.
Menghemat listrik sama juga halnya dengan menjaga lingkungan Anda agar menjadi lebih
baik lagi.

5. Manfaatkan Lahan Kosong untuk Penghijauan

Jika Anda memiliki sedikit lahan kosong di rumah, Anda bisa membantu menjaga
lingkungan dengan melakukan penghijauan. Selain mencegah efek rumah kaca, manfaat yang
bisa Anda rasakan bila melakukan penghijauan adalah mengurangi partikel debu.
Penghijauan yang Anda lakukan secara tidak langsung dapat menyelamatkan kondisi
lingkungan. Dampak positif lain dari penghijauan yang Anda lakukan, menjadikan
lingkungan di sekitar Anda sejuk. Udara bersih yang Anda rasakan setiap pagi membuat
pikiran menjadi tenang sehingga mempermudah Anda untuk mencari ide-ide baru. Jangan
sia-siakan sekecil apapun lahan kosong yang Anda miliki, karena dapat bermanfaat bagi
kesehatan Anda dan keluarga.

Semua kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa saja, namun juga
semua elemen di masyarakat.

C. RUU KUHP

● Permasalahan atau hal yang dituntut mahasiswa


Dapat dilihat dari banyak nya berita yang menyebar di sosial media ataupun surat
kabar lainnya, menjelaskan bahwa RKUHP yang dikeluarkan oleh DPR dianggap tidak sesuai
dengan amanat reformasi. Sehingga hal itu memicu banyak nya aksi yang dilakukan oleh
mahasiswa untuk menolak pengesahan RKHUP tersebut. Salah satu hal yang dituntut
mahasiswa dalam RKUHP yaitu Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan
ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Pembahasan RKUHP menuai
polemik lantaran beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi
manusia. Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat
dan kebebasan pers. Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan wartawan yang dianggap
beritanya menghina presiden atau pemerintah akan dipidana. Contoh lain adalah Pasal 432
tentang penggelandangan. Di aturan tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang
bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana
dengan pidana denda paling banyak kategori I. Pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet
karena kategori penggelandang bisa dienterpretasikan luas. Ketentuan lain yang diprotes
adalah pasal zina. Sebab, pasal ini dianggap terlalu mengatur warga negara hingga ke ranah
privasi. Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RUU
KUHP.

● Pendapat Para Ahli

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai Revisi Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lepas dari sikap arogan para politikus di
parlemen. Alih-alih mendengar suara rakyat, anggota DPR yang terlibat penyusunan RKUHP
hanya mengutamakan kepentingan sendiri.

RKUHP ini sendiri selesai dibahas pada Minggu (15/9) malam. Draf RKUHP ini akan
dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan pada 24 September. Meski demikian,
masih terdapat sejumlah pasal yang menuai pro kontra di masyarakat.

"Itu sikap arogansi politikus, dia tidak menyadari eksistensi sebagai wakil rakyat yang
mewakili dan punya kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya," ujar dia.

Menurut Ficar, kondisi ini tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli pada
kepentingan kelompoknya. Mereka dinilai tak bersikap bijaksana dan tak mengakomodasi
kebutuhan masyarakat.

"Saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level
tingkatan," katanya.
Ficar menuturkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam RKUHP di antaranya tentang
makar, persetubuhan di luar perkawinan, hingga penghinaan kepada presiden.

Pada poin persetubuhan di luar perkawinan dinilai Ficar tak tepat karena sifatnya privat.
Negara, kata dia, mestinya tak perlu terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk
menjerat pihak yang melakukannya.

Sementara dalam pasal penghinaan kepada presiden menurut Ficar tak lagi relevan dalam
kehidupan masyarakat yang demokratis.

"Apalagi ketentuan itu juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi." ucapnya.

Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap
harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina
presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Selain pasal penghinaan presiden, sejumlah kelompok sipil juga menyoroti pasal-pasal yang
memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998
dan akhir-akhir ini, pasal itu dinilai anti-demokrasi.

Pada Mei 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa keberadaan RKUHP
sangat penting sebagai kodifikasi hukum di Indonesia. Dalam RKUHP itu, kata dia, akan
mengatur perbuatan-perbuatan pidana atau apa saja yang dianggap sebagai perbuatan jahat
dan mengatur berat ringannya hukuman.

"Dan RKUHP dipakai sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam menentukan kesalahan
seseorang yang melakukan tindak pidana," kata dia.

Lebih lanjut, Bamsoet mengatakan proses pembahasan RKUHP di DPR sudah sesuai dengan
Tata Tertib dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Bamsoet mengklaim Panitia khusus (Pansus) RKUHP telah memberikan ruang bagi
masyarakat luas untuk menyampaikan aspirasi di DPR terkait revisi aturan tersebut.

"Pansus RKUHP telah memberikan ruang bagi masyarakat secara terbuka untuk
menyampaikan aspirasinya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum," kata dia.

Bamsoet menyarankan bahwa pembahasan RKUHP di DPR sudah dilaksanakan secara


transparan agar dapat diakses masyarakat.

● Peran Sebagai Mahasiswa

Yang dilakukan mahasiswa adalah menyuarakan penolakan Revisi Undang-Undang KUHP


(RUU KUHP) dan mengontrol DPR agar RKUHP tersebut tidak disahkan . Beberapa saat
kemarin sudah dilakukan demonstrasi di beberapa daerah yang dilakukan oleh mahasiswa
beberapa perguruan tinggi dan beberapa perwakilan mahasiswa juga sudah melakukan
diskusi langsung dengan DPR.Dengan harapan agar tuntutan mahasiswa dapat direalisasikan.

D. RUU PERTANAHAN

● Permasalahan

​Kebakaran hutan menjadi penyebab paling umum deforestasi global. Penyebab kebakaran
hutan bisa terjadi karena berbagai faktor. Penyebab kebakaran hutan secara umum bisa
karena kondisi alam atau kelakuan manusia. Bumi dikatakan sebagai planet yang mudah
terbakar secara fundamental karena keberadaan vegetasi yang kaya akan karbon, iklim
kering, oksigen di atmosfer, petir, dan aktivitas vulkanik. Namun, hampir sebagian besar
penyebab kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Kebakaran hutan bisa menyebar dengan
kecepatan berbeda tergantung pada vegetasi, kondisi cuaca, dan faktor fisik.

Menurut rilis resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) Indonesia pada 4 Maret 2019, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
99% adalah ulah manusia dan sisanya adalah alam.Ulah manusia ini dapat meliputi
ketidaksengajaan saat membuang puntung rokok atau pembakaran sampah di hutan. Selain
itu, ada pula faktor kesengajaan manusia membakar hutan karena akan digunakan untuk
membuka lahan. Berdasarkan pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
pada tahun 2018, total luas kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia mencapai
510.564,21 Ha. Kebakaran terbesar terjadi di wilayah Kalimantan Selatan dengan total luas
lahan 98.637,99 Ha. Hal ini membuat kondisi hutan Indonesia kritis setiap tahunnya.

Ditambah, masalah RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 yang merupakan hasil Rapat Panitia
Kerja RUU Pertanahan DPR RI yang semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan
keadilan ekologis bagi keberlansungan hidup rakyat Indonesia. Kedudukan dan posisi RUU
Pertanahan terhadap UUPA 1960 adalah mungkin bersifat melengkapi dan menyempurnakan
hal- hal penting yang belum diatur dalam UUPA 1960. Namun, prinsip-prinsip mendasar dan
spirit UUPA 1960 hendaknya secara konsisten menjadi pijakan dalam merumuskan isi RUU
Pertanahan. Begitu pula dengan TAP MPR NO. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaam Sumberdaya Alam penting menjadi acuan.

Sebelumnya, terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA 1960) yang bertujuan menghapus UU Agraria Kolonial Belanda dan
memastikan agar bumi, tanah, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diatur
oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat sehingga penguasaannya, pemilikannya,
penggunaannya, dan pemeliharaannya ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan.
Keadilan sosial, kesejahteraan manusianya, dan keberlanjutan sumber-sumber agraria
menjadi prinsip utama. UUPA 1960 baru

Memuat aturan pokok sehingga diperlukan UU dan regulasi turunan lebih lanjut
sebagaimana diamanatkan UUPA. Karena mengikuti perkembangan zaman, UU yang bersifat
khusus (lex specialis) perlu disusun sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang timbul.

Akan tetapi, substansi RUU Pertanahan dinilai memiliki beberapa permasalahan,


seperti:

· Belum menjamin pemenuhan hak rakyat atas tanah dan wilayah hidup

RUU Pertanahan belum menjamin sepenuhnya perlindungan dan


pemenuhan hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan
masyarakat miskin di pedesaan serta perkotaan atas tanah dan
keberlanjutan wilayah hidupnya.

· Belum konsisten dalam reforma agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat

RUU Pertanahan belum secara jelas dan konsisten hendak menata kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah serta
sumber-sumber agraria lain yang timpang menjadi berkeadilan. Tidak ada
rumusan tujuan reforma agraria untuk memperbaiki ketimpangan,
menyelesaikan konflik agraria kronis dan mensejahterakan rakyat.
Mengingat, petani Indonesia rata-rata gurem/kecil/miskin (11,5 juta KK
per Sensus 2013). Semakin banyak jumlah petani gurem bahkan ​landless
(tak bertanah/menjadi buruh tani) dari tahun ke tahun. Sementara itu,
segelintir kelompok pengusaha sawit menguasai tanah melalui Hak Guna
Usaha (HGU) dan izin lokasi seluas sekitar 14 juta hektar. Segelintir
orang, badan usaha, para elit menguasai tanah, dan aset tanah begitu besar

· Tidak menyelesaikan konflik agraria (struktural)

RUU Pertanahan tidak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan


konflik agraria struktural di seluruh sektor pertanahan. Dalam 11 tahun
terakhir (2007-2018) telah terjadi 2.836 kejadian konflik agraria di
wilayah perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan,
pulau-pulau kecil dan akibat pembangunan infrastruktur seluas 7.572.431
hektar (KPA, 2018). Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian, dan
kebun rakyat masih belum dikeluarkan dari konsesi-konsesi perusahaan.
Tidak ada satu pasal pun dalam RUU ini kehendak untuk menyelesaikan
konflik-konflik agraria tersebut. Pembentukan Pengadilan Pertanahan
untuk sengketa pertanahan bukanlan jawabannya.

· Inkonsistensi dan kontradiksi.

RUU Pertanahan juga mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi


antara pertimbangan dengan isi RUU, niat dalam menjalankan reforma
agraria untuk menata ulang strukur agrarian menjadi berkeadilan dengan
rumusan-rumusan baru terkait HGU, HGB, Hak Pengelolaan, dan Bank
Tanah.
· Permasalahan timbul akibat salah guna hak-hak atas tanah

RUU pertanahan perlu secara matang dan penuh kehati-hatian dalam


merumuskan hak-hak atas tanah, baik itu hak milik, hak guna usaha
(HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, termasuk hak pengelolaan.
Mengingat hak-hak yang selama ini diterbitkan, terutama hak dan izin
bagi perusahaan besar telah banyak mengakibatkan pelanggaran hak-hak
warga, melahirkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria,
kemiskinan, hingga rusaknya lingkungan. Lembaga

Swadaya Masyarakat, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari),


menemukan pasal-pasal yang tidak pro pelestarian hutan dan berdampak pada pembakaran
hutan dan lahan. Pertama, Pasal 146 berbunyi, dalam hal pemegang HGU telah menguasai
fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau Tanah yang diusahakan belum
memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri. Pasal ini jelas
menguntungkan 378 korporasi sawit ​illegal d​ alam kawasan hutan. “Dia kuasai lahan melebihi
HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya
hak atas tanah, status HGU-nya ditetapkan Menteri ATR/BPN”.

· RUU tidak memiliki sensitivitas terhadap penyelesaian masalah agraria pada wilayah
adat

RUU Pertanahan mengatur bahwa pengukuhan keberadaan hak ulayat


dimulai dari usulan Pemerintah Daerah dan ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam
negeri. Skema seperti ini sama sekali tidak menjawab persoalan yang ada
selama ini. Pengakuan hak ulayat sulit dilakukan karena sangat politis
melalui tindakan- tindakan penetapan pemerintah bukan berdasarkan
usulan masyarakat adat sendiri.
· Belum menjawab masalah sektoralisme pertanahan

RUU Pertanahan belum menjawab masalah ego-sektoral pertanahan di


Indonesia (hutan dan non-hutan). RUU masih bias dan terbatas pada tanah
dalam jurisdiksi Kementerian ATR/BPN RI, sementara masalah-masalah
pertanahan bersifat lintas sektor; tanah di perkebunan, tanah di kehutanan,
tanah di pertanian, di wilayah pesisir kelautan, pulau-pulau kecil,
pedesaan dan perkotaan. Masih ditembukan banyaknya tumpang tindih
antar sektor.

· RUU berlebihan dalam mengatur kewenangan Bank Tanah

RUU mengatur kewenangan Bank Tanah secara berlebihan tanpa


mempertimbangkan dampak dan tumpang tindih kewenangan antara Bank
Tanah dan kementerian/lembaga. Hal ini berisiko terjadinya komoditisasi
tanah secara absolut melalui Bank Tanah yang akan memperparah
ketimpangan dan konflik. Sebaiknya, rencana ini dicabut dari draft.

· Sarat kepentingan investasi dan bisnis.

RUU ini kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi


perkebunan skala besar. Monopoli swasta, perampasan tanah,
penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala
besar, banyak diatur dalam RUU Pertanahan. Ini tercermin kuat melalui
Hak Pengelolaan instansi pemerintah dan rencana Bank Tanah.

● Pendapat Menurut Para Ahli


Prinsip reforma agraria adalah keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Nah, RUU Pertanahan tidak memiliki prinsip menyelesaikan konflik, sumber
kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis.
“Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir di seluruh bab dan pasal
RUU itu,” ucap Dewi.
Dewi Kartika menilai ada sejumlah pasal karet dalam RUU tentang Pertanahan. Salah
satunya itualah Pasal 91. Menurutnya, Pasal ini bisa memberikan legitimasi bagi aparat
untuk memidanakan masyarakat yang ingin membela hak tanahnya.

"RUU itu bermasalah. Di pasal 91 misalnya, itu memberikan legitimasi hukum polisi untuk
melakukan pemidanaan. Tentu ini kan pasti akan ditafsirkan secara utuh, untuk secara
bebas menangkap siapapun. Misalkan, warga yang menolak tanahnya untuk dijadikan
bandara," kata Dewi Kartika kepada wartawan, Senin (23/9/2019).

Dewi Kartika juga menjelaskan bahwa ada pasal yang juga bisa mempidanakan
aktivis organisasi agraria, yakni pasal 95. Apalagi, pasal itu sifatnya hukum positif.

"Itu bisa berpotensi mengkriminilasi masyarakat adat atau masyarakat


terorganisir atau aktivis. Kan petani-petani ini yang berserikat, bisa dipidana juga mereka.
Soalnya pasal itu sifatnya hukum positif,"

Pasal 46 punya potensi menghilangkan nama pemilik HGU walau tidak secara
ekspilisit disebutkan,potensi pasal karet.

Draft RUU Pertanahan ini juga dianggap mengandung nilai Domein Verklaring
zaman kolonial Belanda. Domein Verklaring sendiri merupakan asas di mana tanah
menjadi milik negara ketika sang pemilik tanah tidak bisa membuktikkan bukti
kepemilikkannya.ini terkandung pada pasal 36.

● Peran Sebagai Mahasiswa

Perlu diinformasikan kepada pembaca bahwa RUU pertanahan disepakati akan dibahas lebih
lanjut namun mahasiswa dan para rakyat sudah sepakat dengan pernyataan bahwa RUU
tersebut ditolak ukan dibahas lebih lanjut
E. RUU PKS

● Permasalahan atau hal apa yang dituntut mahasiswa dari RUU PKS

Mahasiswa mempermasalahkan soal RUU PKS ini ada yang pro dan kontra.

Tetapi dari kebanyakan mahasiswa yag demo mereka meminta agar DPR segera
mengesahkan RUU PKS. RUU PKS adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual. Demo mahasiswa menuntut RUU PKS segera disahkan karena menjadi
permasalahan yang urgen. Dalam RUU PKS, awalnya KOMNAS Perempuan
menggolongkan jenis kekerasan seksual ke dalam sembilan jenis kekerasan seksual, yang
kemudian ditambahkan menjadi lima belas berdasarkan hasil riset empiris yang dilakukan
oleh KOMNAS Perempuan.

RUU PKS dianggap mampu mengakomodasi korban kekerasan seksual yang selama
ini tidak bisa terakomodasi secara hukum.

Aliansi mahasiswa mencontohkan, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam
konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada
perempuan korban kekerasan.

Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur


dalam RUU PKS ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan
kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga
penindakan pelaku.

● Apa pendapat para ahli mengenai RUU PKS tersebut?

PANITIA kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
bersama Panja pemerintah terus membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS). Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI selaku Ketua Panja RUU
PKS Marwan Dasopang mengatakan salah satu poin pembahasan ialah menemukan frasa
yang tepat digunakan pada judul, sistematika, dan definisi kekerasan seksual.
Marwan menerangkan beberapa ahli sudah memberikan gambaran dan menjadi masukan
mengenai definisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut. Panja melibatkan ahli bahasa atau
ahli hukum. Ia mengaku anggota panja lainnya tetap optimistis dan berusaha agar RUU PKS
disahkan sesuai jadwal. “Keinginan saya tentu RUU PKS bisa segera disahkan. Saya dan
teman-teman di Komisi VIII DPR RI masih optimistis,” tutup Marwan.

Di sini ada yang berpendapat, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan


Kekerasan Seksual (PKS) yang kabarnya bila disahkah bisa menjerumuskan orang kepada
zina. Banyak tersebar berita bahwa pengesahan RUU itu bisa sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan kekacauan sosial. Isi dari RUU tersebut dikatakan berisi pelegalan untuk
membebaskan kaum-kaum LGBT, pelegalan aborsi, bahkan kebebasan berpakaian. Pada poin
terakhir ini, bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa kebebasan berpakaian berarti
seorang ibu bisa dijerat dengan pasal di RUU PKS jika ibu tersebut menyuruh anaknya
memakai jilbab tapi anaknya tidak mau.

RUU ini bila disahkan dikatakan bisa melanggengkan fenomena seks bebas dalam
masyarakat karena menjadi justifikasi bagi seseorang untuk bisa bebas berhubungan seks
dengan siapa saja yang ia mau. Selain itu, RUU ini dikatakan pro dengan zina dan juga pro
dengan prostitusi. Apalagi ditambahi kabar bahwa RUU ini adalah produk Barat, dan dalang
yang menciptakan RUU ini adalah kaum feminis liberal. Kalau RUU ini sampai diloloskan,
ia akan menyampingkan UU PKDRT, UU Perkawinan, bahkan UU Perlindungan Anak
karena dalam hukum berlaku asas ''lex posteriori derogat legi priori'' yang artinya UU terbaru
menyampingkan UU yang lama.

Tak sampai di situ, dikatakan pula bahwa di RUU PKS ini memperjuangkan
penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan pengakuan gender ketiga (LGBT). Banyak juga
yang beranggapan bahwa KUHP saja sudah cukup untuk melindungi korban-korban
kekerasan seksual, jadi tak perlu lagi ada RUU baru yang mengatur secara lebih jauh terkait
hal itu.

Ada banyak sekali tanggapan maupun kritik serta interpretasi dari RUU PKS tersebut.
Banyak orang yang menafsirkan RUU PKS sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing
dan hal itu tentu sah-sah saja. Namun, di antara kabut-kabut komentar yang semakin pekat
dan riuh, seseorang bisa mudah sekali untuk terhalang pandangannya dan sulit mendengar
apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh sumber utama yang dijadikan perbincangan.

Sebelum kita memutuskan hendak berada dalam garis yang mana antara hitam-putih
maupun pro dan kontra terhadap RUU P-KS, akan lebih bijak kalau kita menelusuri sumber
pertama yang menyebabkan keriuhan ini. Yakni draft resmi RUU PKS. Draft resmi tersebut
bisa kita akses dengan mudah di laman
http://dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf dan bisa kita download
secara bebas. Dalam draft tersebut dikemukakan poin yang menjelaskan apakah kekerasan
seksual itu, dan apa makna penghapusan kekerasan seksual, dan segala perincian mengenai
RUU PKS.

Mengutip dari draft RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat
seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak
seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara
ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.

Kemudian Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah


terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan Korban, menindak
pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.

Dalam RUU tersebut juga dijelaskan mengenai langkah yang sekiranya akan diambil untuk
menghapus kekerasan seksual, yaitu melalui tahap pencegahan, penanganan, perlindungan,
pemulihan korban, dan penindakan pelaku kekerasan supaya dia tidak lagi mengulangi
perbuatannya. Pada bagian pencegahan tertulis pula bidang-bidang yang sekiranya harus
dibenahi demi terciptanya lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual, di antaranya bidang
pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan dan tata kelola
kelembagaan, ekonomi, dan juga bidang sosial budaya.

Maka dari itu dengan RUU PKS ini kita lebih diberi ruang untuk mengedukasi
masyarakat mengenai kekerasan seksual, selain itu akan lebih mudah pula untuk menciptakan
program-program anti kekerasan seksual dan sistem keamanan yang terpadu untuk kita
semua.Aanak-anak sekolah juga akan lebih paham mengenai pentingnya untuk menjaga diri
karena terdapat pula agenda untuk memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual
dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pada pasal yang lain dijelaskan pula apa saja yang tergolong dalam kekerasan seksual
itu, di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan
aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan
penyiksaan seksual. Tiap poinnya telah dijabarkan pula dalam draft RUU PKS, dan pada bab
inilah memang merupakan hal yang paling banyak dikomentari. Hal seperti aborsi dalam
draft ini ditentang jika dilakukan secara paksa dan aborsi dilakukan tanpa persetujuan orang
yang bersangkutan, sama halnya dengan perkawinan tidak diperkenankan pula bila dilakukan
dengan tanpa persetujuan salah satu pihak. Begitu pula dengan pemaksaan pelacuran, orang
yang memaksa saudaranya atau orang lain untuk masuk ke dunia pelacuran akan bisa
dihukum lewat UU PKS.

Berdasarkan itu, kita menjadi tahu bahwa ternyata selama ini yang diatur dalam RUU
tersebut ialah kita tidak boleh melakukan pemaksaan kepada orang lain terkait dengan fungsi
reproduksinya. Seseorang tidak bisa untuk memaksa orang lain memuaskan nafsu seksualnya
semata dan merugikan pihak lain secara bebas. Seorang ayah tidak bisa memaksa anaknya
untuk menikah dengan orang lain yang dia tidak inginkan. Ketika seseorang merasa tersiksa
saat berhubungan seks, orang itu bisa melapor dan mendapatkan payung hukum. Seorang
calon ibu bisa memutuskan untuk melangsungkan kehamilannya karena jika ada yang
memaksanya untuk aborsi, si pemaksa itu bisa dijerat UU PKS. Seseorang yang dipaksa
untuk melacur kini bisa menjerat orang yang mengeksploitasinya tersebut menggunakan UU
ini. Dan, masih banyak lagi.

Namun, ada yang berpendapat bahwa peraturan aborsi dalam RUU PKS cenderung
melegalkan praktik aborsi karena yang dijerat hanyalah masalah "pemaksaannya"Jadi, kalau
nggak dipaksa, berarti boleh dong aborsi'' dan kalau sudah seperti itu maka yang terjadi
adalah orang-orang menjadi tidak takut lagi untuk melakukan hubungan seks, karena tidak
lagi khawatir kalau dalam berhubungan itu akan menimbulkan kehamilan, karena aborsi
"dilegalkan" dalam RUU PKS.
Tapi, ternyata tidak begitu. Undang-undang kita sudah mengatur perihal mengenai
aborsi dalam Pasal 75 UU 36/2009 tentang Kesehatan. Aborsi tetap tidak diperkenankan
kecuali ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan pada korban perkosaan. Dengan kata
lain aborsi memang diperbolehkan kalau mengganggu kesehatan sang ibu maupun janin, dan
juga boleh kalau memang janin itu adalah hasil pemerkosaan. Namun, dalam pasal itu
memang tidak diatur mengenai bagaimana kalau seseorang dipaksa untuk aborsi, dan RUU
PKS mencoba untuk memberikan jalan keluar terkait masalah ini.

Sama halnya dengan peraturan prostitusi yang ada di RUU PKS, dalam RUU tersebut
pemaksaan pelacuran dilarang dan orang yang melakukan pemaksaan bisa dijerat oleh
hukum. Saya memang kurang bisa mengerti, bagaimana poin ini bisa berubah tafsirnya
menjadi "pelegalan zina". Mungkin karena tidak dituliskan bagaimana hukumnya orang yang
melakukan hubungan seks atas dasar suka sama suka. Terkait perzinaan KUHP pun sudah
mengaturnya dalam Pasal 284 dan sejujurnya RUU PKS memang tidak membahas tentang
"pelegalan zina", melainkan masalah pemaksaan prostitusi.

Prostitusi pun sudah diatur dalam KUHP Pasal 506 dan Pasal 296, di mana mucikari
dan penyedia tempat lokalisasi bisa dipidana, sedangkan untuk para pekerja seks RUU PKS
berusaha untuk memberikan perlindungan kepada seseorang (bahkan anak) yang berada
dalam lingkaran prostitusi paksa, yang sebelumnya belum ditegaskan dalam UU Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kabar bahwa dalam RUU PKS juga mengatur cara berpakaian serta melegalkan
LGBT tidak saya temukan pembahasannya dalam draft asli. Tidak disebutkan sama sekali
mengenai hukuman bagi orang yang memaksa orang lain berpakaian sesuai dengan
keinginannya. Dalam RUU tersebut juga tidak disebutkan bahwa RUU itu hanya berlaku bagi
orang dengan ketertarikan seksual tertentu, yang mana menunjukkan bahwa RUU PKS
memang tidak pandang bulu mengenai apa ketertarikan seksual korban kekerasan seksual
tersebut sebelum memutuskan mau diberi pertolongan atau tidak. Semua orang bisa
terlindungi dengan adanya RUU ini.
Pernyataan yang menegaskan bahwa RUU PKS adalah produk Barat dan diciptakan
oleh para feminis radikal tidak ditemukan pula kebenaran faktanya, dan bisa dipastikan
bahwa pernyataan in tidak memiliki dasar fakta yang riil alias hanya asumsi semata.

Lalu, bagaimana dengan asas hukum yang menyatakan bahwa keberadaan UU baru
akan menyampingkan UU yang lama? Sejauh pemahaman saya, fungsi RUU ini bukanlah
bertujuan untuk mengganti UU yang lama, melainkan menambahkan peraturan-peraturan
yang belum dicantumkan di KUHP maupun UU yang lain. Komnas Perempuan ternyata juga
telah menyatakan bahwa RUU PKS ini adalah aturan khusus alias Lex Specialist dari KUHP.

Alasan lain mengapa RUU PKS ini muncul ialah karena pengaturan dalam KUHP
tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan kelompok yang
mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah memiliki undang-undang
lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan maupun hubungan seksual. Pengaturan
yang ada dalam KUHP secara garis besar mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual
hanyalah perkosaan dan pencabulan, padahal masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan
seksual di luar itu. Pengaturan yang ada pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak
korban. Melalui RUU PKS-lah detail definisi kekerasan seksual yang kurang lengkap pada
KUHP disempurnakan.

● Apa yang anda lakukan sebagai Mahasiswa?

Kita sebagai mahasiswa harus lebih kritis, memantau perkembangannya dan harus
mengkaji mengenai RUU PKS ini karena banyak sekali asumsi-asumsi yang pro dan kontra
yang isinya malah berada dari luar tujuan isi RUU itu sendiri. Penting adannya kita harus bisa
menentukan mana yang benar, tidak semua yang dikatakan oleh beberapa kelompok adalah
kebenaran yang final. Selain itu, kita harus lebih membudayakan membaca supaya
mendapatkan data-data secara holistik dan bisa dipertanggungjwabkan tidak tergantung pada
“katannya” yang tidak jelas sumber data tersebut dari mana, dari golongan atau kepentingan
yang mana.

F. RUU KPK

● Permasalahan / Hal yang dituntut dari Mahasiswa


1. Pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur pimpinan adalah penanggung
jawab tertinggi dihapus.

2. Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.

3. Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.

4. Standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah
dibanding pimpinan dan pegawai KPK.

5. Dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang
sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.

6. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada
tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

7. Salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena
tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.

8. Pemangkasan kewenangan penyelidikan.

9. Pemangkasan kewenangan penyadapan.

10. Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit
pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

11. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan
OTT seperti saat ini lagi.

12. Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang
tidak jelas dalam UU KPK.

13. Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.

14. Berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus


berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
15. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya
karena status ASN.

16. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau
PPPK (pegawai kontrak).

17. Terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama
ini menjadi pegawai tetap.

18. Harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

19. Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara
korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.

20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara
khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini
menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.

21. Terdapat pertentangan sejumlah norma.

22. Hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.

23. Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.

24. KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara.

25. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan.

26. Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.

● Pendapat para Ahli

Revisi undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai perlu dilakukan


untuk memberi kepastian hukum bagi warga negara sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar 1945.
Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia periode
2001-2004 menuturkan penyusunan Undang-undang KPK merupakan amanat Majelis
Permusyawarahan Rakyat. Saat itu pemerintah berhasil melahirkan aturan bagi dasar lembaga
antikorupsi termasuk pembentukan komisioner untuk pertamakali.

"Saya kira sebagai suatu undang-undang, setelah berlaku 17 tahun lamanya sampai
sekarang, sudah layak dilakukan evaluasi mana yang perlu diperbaiki, mana yang perlu
disempurnakan," kata Yusril di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu (11/8/2019).

Menurut Yusril permintaan revisi kali ini juga dilakukan oleh DPR sebagai
representasi rakyat. Meski begitu ia mengharapkan kebijakan terbaik dapat dilakukan oleh
Presiden Joko Widodo terhadap keberadaan lembaga antirasuah itu.

Yusril menilai dalam sistem tata negara seharusnya tidak ada lembaga negara yang
memiliki kedudukan sangat kuat. Dibutuhkan pengawasan agar terjadi keseimbangan. "Kalau
memang ada yang perlu diperbaiki silakan direvisi," kata Yusril.

Yusril sependapat pengawas bagi KPK harus dibentuk. Selain itu diperlukan adanya
pengkajian ulang mengenai kewenangan penghentian perkara. Saat ini setelah KPK
terbentuk, tidak adanya kewenangan lembaga menghentikan perkara membuat banyak
tersangka yang membawa status hukumnya hingga meninggal dunia.

"Supaya jangan sampai orang itu sampai mati, bahkan dikuburkan dalam status
sebagai tersangka. Jadi saya pikir, kita lihat persoalan secara rasional, demi kebaikan kita
bersama, bukan melihat secara emosional," kata Yusril.

Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri
Susanti menyebutkan jika ada argumen yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
maupun pendukungnya bahwa revisi Undang-Undang (UU) KPK tidak melemahkan, maka
hal itu menyesatkan masyarakat. Menurut dia, argumen bahwa revisi UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi justru menguatkan KPK adalah
salah total.
"Semua yang mau dibahas akan melemahkan KPK. Kajiannya sudah banyak, bahwa
KPK ditempatkan di bawah Presiden saja, ada dewan pengawas, itu melemahkan. Intinya
semua pasal melemahkan, jadi kalau ada argumen mau menguatkan itu menyesatkan
masyarakat," tegas Bivitri kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2019).

Ini Alasannya Bivitri mengatakan, pemberantasan korupsi bisa dibenahi tanpa harus
merevisi UU KPK. Misalnya, kata dia, dibenahi sesuai dengan UU Mahkamah Konstitusi
(MK), UU Penyadapan atau membenahi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) atau UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pakar Hukum Tata Negara Bivitri
Susanti usai menghadiri sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (30/7/2019).

"Desain kelembagaan KPK tidak perlu ada yang diperbaiki di titik ini. Ini jelas-jelas
pelemahan. Kalau ada argumen menguatkan, itu penyesatan kepada masyarakat," kata dia.
Oleh karena itu, Bivitri pun berharap agar publik dari berbagai kalangan terus melawan dan
didorong sampai revisi UU KPK tersebut gagal. Apalagi dari kalangan akademisi dan peneliti
seperti LIPI juga sudah menyatakan penolakan mereka terhadap revisi UU KPK yang dapat
melemahkan KPK itu.

"Jangan berhenti melawan. Harus konsolidasi semua yang tidak setuju untuk terus
melawan dan juga harus eksplorasi semua upaya hukum yang tersedia," pungkas dia.
Sebelumnya, berdasarkan draf yang disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR, ada beberapa poin
dalam UU tersebut yang direvisi. Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada
cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
bersifat independent.

● Apa yang harus dilakukan sebagai Mahasiswa

1. Mahasiswa sebagai “social control”, sebagai mahasiswa kita harus berperan sebagai
pengontrol kehidupan social. Dalam hal ini kita bisa mengontrol kehidupan masyarakat,
dengan cara kita sebagai mahasiswa menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.
Menyampaikan aspirasi yang telah dikeluarkan oleh masyarakat kepada pemerintah.
Mahasiswa juga sebagai gerakan yang mengkritisi kebutuhan politik ketika ada kebijakan
diberikan oleh pemerintah yang tidak baik atau tidak bijak bagi masyarakat. Cara mahasiswa
mengkritisi pemerintahan tersebut juga dengan banyak cara, contohnya dengan
menyampaikan aspirasi lewat media massa maupun dengan berdemonstrasi, dll.

2. Mahasiswa sebagai “agent of change”, sesuai dengan artinya agen perubahan, kita
sebagai mahasiswa juga berperan sebagai agen perubahan untuk masyarakat. Kita harus
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya agar kita bisa mengaplikasikan
gelar yang telah diberikan atau dipercaya oleh masyarakat kepada kita sebagai agen
perubahan bangsa yang lebih maju.

3. Mahasiwa sebagai “guardian of value”. Guardian of value artinya penjaga nilai-nilai.


Kita sebagai mahasiswa harus menjaga nilai-nilai di negara ini. Nilai positif yang bisa
membawa nagara ini lebih maju yaitu nilai “kebaikan” yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kita sebagai mahasiswa jangan membiarkan nilai kebaikan yang dari dulu telah ada itu
hilang, terus berubah menjadi nilai keburukan kepada masyarakat Indonesia. Sekarang ini
sudah banyak nilai-nilai keburukan yang ada dalam Negara kita seperti maraknya korupsi
oleh pejabat-pejabat besar, hukum-hukum yang berlaku dinegara ini bagaikan pisau yang
tajam kebawah dan tumpul keatas.

G. KRIMINALISASI AKTIVIS

● Permasalahan/hal yang dituntut mahasiswa

Kriminalisasi aktivis merupakan salah satu dari tujuh tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa
karena selama ini negara dianggap melakukan kriminalisasi terhadap aktivis. Apa yang
dilakukan oleh pihak berwajib saat menangkap para aktivis yang memperjuangkan keadilan
bagi masyarakat jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM khususnya atas jaminan
kemerdekaan berpendapat.

● Pendapat para ahli

a. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pihak


berwajib/aparat kepolisian tidak mengkriminalisasi pihak-pihak yang
menyuarakan kritik terhadap pemerintah. “Kami minta aparat kepolisian tidak
mudah mengkriminalisasi pihak-pihak yang berbeda atau menyampaikan kritik
kepada pemerintah,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara
dalam konferensi pers pada Jumat (27/9). (dikutip dari media online
m.jpnn.com “Komnas HAM Minta Polisi Tak Mudah Kriminalisasi
Mahasiswa dan Aktivis 27 September 2019)

b. Haeril Halim, ​Communications Desk ​Amnesty International Indonesia


menyampaikan bahwa ia meminta Presiden untuk konsisten atas
pernyataannya yang menyatakan akan tetap menjaga demokrasi, dengan
memerintahkan Kapolri agar kepolisian membebaskan semua mahasiswa dan
pelajar yang masih ditahan. Pemerintah harus menghentikan cara-cara represif
kepada mahasiswa, pelajar, dan warga lain yang berdemonstrasi. Bentuk
kriminalisasi harus segera diakhiri, jika tidak ada tindakan tegas dari Presiden
maka itu dapat diartikan oleh masyarakat bahwa Presiden ikut membiarkan
terjadinya pelanggaran HAM. (dikutip dari media online kumparan.com
“Setop Kriminalisasi Aktivis” 27 September 2019)

c. Tsamara Amany, Ketua DPP PSI, meminta agar pihak kepolisian tidak
menambah runyam persoalan politik dengan melakukan penangkapan aktivis.
Menurutnya, penangkapan aktivis justru akan menambah sentimen negatif
masyarakat terkait proses penegakan hukum di Indonesia. Ia juga
mengingatkan negara harus memberikan kebebasan berpendapat dan
melindungi ide-ide yang disampaikan masyarakat. “Perbedaan pandangan
mesti dirayakan, bukan dibungkam apalagi dipenjara,” ucap Tsamara. (dikuti
dari media online kumparan.com “Tsamara : Polisi Jangan Menambah
Runyam Masalah dengan Tangkap Aktivis” 27 September 2019)

d. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai


langkah represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap demonstran keliru.
Ia juga menyoroti pasal 28 ayat 2 ​jo pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dianggapnya merupakan pasal karet
yang sangat multitafsir dan tidak jelas sehingga tidak relevan diterapkan pada
masyarakat dan sistem ketatanegaraan demokratis. Ia menilai kekerasan serta
penangkapan terhadap mahasiswa dan aktivis HAM sebagai indikasi rezim ini
antikritik. (dikutip dari media online m.liputan6.com “HEADLINE:
Mahasiswa dan Aktivis Ditangkap, Jaga Demokrasi atau Bungkam Kritik?” 28
September 2019)

e. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Adi Prayitno


mengatakan, komitmen Presiden terhadap demokrasi dan kebebasan
berpendapat harus didukung oleh aparat dan para pembantunya. Agar
rezimnya tidak dicap antikritik, ia mengatakan bahwa Presiden harus berani
menegur aparat dan pembantu-pembantunya yang dinilai tidak sejalan dengan
semangat demokrasi. (dikutip dari media online m.liputan6.com “HEADLINE:
Mahasiswa dan Aktivis Ditangkap, Jaga Demokrasi atau Bungkam Kritik?” 28
September 2019)

f. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),


Syamsuddin Haris, mengatakan, jaminan konstitusi bagi kebebasan
berpendapat tidak hanya sebatas komitmen verbal Presiden, tapi juga harus
diimplementasikan oleh Polri dan jajarannya. Ia menilai penangkapan aktivis
yang dilakukan merupakan langkah ​sembrono dan berharap tidak terulang
kembali. (dikutip dari media online m.liputan6.com “HEADLINE: Mahasiswa
dan Aktivis Ditangkap, Jaga Demokrasi atau Bungkam Kritik?” 28 September
2019)

● Peran sebagai mahasiswa

Sebagai mahasiswa harus tetap berpartisipasi dengan usaha yang kita bisa dan peran
yang sedang kita jalani. Aktivisme dan gerakan adalah salah satu bentuk partisipasi
dari sekian banyak partisipasi mahasiswa dalam bentuk lain-selain pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Aktivis mahasiswa melihat kekuasaan yang absolut akan selalu cenderung korup.
Sekalipun sudah ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif
seperti kata Montesquieu, tetap mahasiswa perlu ambil andil sebagai parlemen jalanan
yang menjadi kontrol dan penyeimbang. Siapapun itu yang di tengah pusaran
kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak akan lepas dari jerat-jerat
politik yang penuh intrik dan cenderung korup. Maka, mahasiswa harus tetap hadir
dengan suara lantang.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dengan ini kami juga memperingatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam keadaan bahaya karena kebijakan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
menghilangkan kepercayaan rakyatnya, bahwa ketika hal tersebut terus berlanjut
dikhawatirkan akan munculnya gelombang civil disobedience yang masif. Dengan ini juga
kami mengingatkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat untuk tak mengkorup
reformasi dan tidak mengembalikan kultur Orde Baru dalam penyusunan kebijakan.

Saran

Mini Book ini jauh dari kesempurnaan, kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dari penulisan ataupun pembacaannya. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk
mendorong kelancaran dalam penulisan Mini Book ini.
DAFTAR PUSTAKA

● Kajian “Aliansi Rakyat Bergerak”


● Kajian “Maklumat Tuntaskan Reformasi”
● Tugas-tugas Kelompok ISBD

Anda mungkin juga menyukai