Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH KADAR HORMON TIROKSIN TERHADAP

KECEPATAN METAMORFOSIS KATAK (Bufo sp)

Proposal Penelitian
Diajukan guna memenuhi Tugas Akhir Kuliah Fisiologi Hewan

Oleh:

Dhimas Fajar Eka Purnama 4411417043

Lay Nurhana Sari 4411417061

Cindyla Ega Lusiana 4411417064

Nur Ainunnisa

Rombel 2 Biologi Murni

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
FISIOLOGI HEWAN

Proposal ini telah disetujui oleh Dosen Pengampu Mata Kuliah Fisiologi Hewan
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Unniversitas Negeri
Semarang.
Hari :
Tanggal :

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

Dra. Aditya Marianti, M.Si


NIP 19671217 199303 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bufo sp merupakan salah satu Amfibi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia, baik dalam aspek ekologi, ekonomi maupun ilmiah. Namun pada dewasa ini
pipulasi katak semakin berkurang , hal ini dikarenakan banyak orang yang memanfaatkan
katak tersebut , daging katak dikenal memilki kandungan protein hewani yang sangat tinggi
sehingga banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber makanan. Dirumah makan
tionghoa kodok sering dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan yang dikenal sebagi swi
ekee . Selain itu Saat ini Bufo sp banyak dimanfaatkan mahasiswa dalam melakukan
praktikum, misalnya dalam pengamatan struktur tubuh hewan, dan dimanfaatkan untuk
makanan hewan ternak ayam dan itik sehingga menurukan populasi Bufo sp.diamana
kebanyak kodok tersebut diperoleh dari tangkapan alam.
Selain karerna tingginya pemanfaatan Bufo sp, hal lain yang mengakibatkan
berkurangnya populasi Bufo sp adalah perubahan kualitas lingkungan akibat pencemaran air
sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal perkebunan dapat menyebabkan Bufo sp
menjadi stress dan mati. (Nurcahyani dkk, 2014). Berkurangnya populasi Bufo sp akan
menyebabkan berbagai macam masalah seperti gagal panen akibat adanya hama wereng
yang semakin meningkat dan penyakit demam berdarah karena populasi predator alamiahnya
berkurang. Hal ini mengakibatkan ketidak seimbangan ekositem dialam.
Jika pemanfaatan Bufo sp dialam tidak terkendali , akan dikhawatirkan menurunkan
jumlah popuilasi Bufo sp dialam. Pertumbuhan Bufo sp menjadi kodok dewasa yang relative
lama manjadi salah satu kendala dalam pemenuhan kebutuhan dan peranannya di alam. Oleh
karena itu diperlukan suatu solusi pembudidayaan Bufo sp dengan teknik yang cepat dan
tepat. Salah satunya yaitu dengan menggunakan hormon tiroksin. Hormon tiroksin dapat
mempercepat pertumbuhan. Berdasarkan penelitian (Sutiana, dkk, 2017) kelebihan hormon
tiroksin yaitu mampu mengatur metabolisme pada ikan, dan memacu laju pertumbuhan,
mampu meningkatkan nafsu makan ikan, manambah berat tubuh, dan meningkatkan absorbs
pada ikan.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan suatu upaya untuk membudidayakan
katak dengan cepat dan tepat yaitu dengan cara mempercepat proses metamorphosis dengan
pemanfaatan hormone toroksin pada Bufo sp.. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai pengaruh hormone toroksin terhadap pertumbuhan Bufo sp.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumusakan beberapa masalah
sebagai berikut:

1. Apakah hormon tiroksin berpengaruh terhadap kecepatan metamorfosis katak?

2. Bagaimanakah pengaruh hormon tiroksin terhadap kecepatan metamorfosis katak?


1.3 Tujuan Penelitan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah hormon tiroksin berpengaruh terhadap laju
metamorfosis katak

2. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh hormon tiroksin terhadap laju


metamorfosis katak

1.4 Manfaaat peneltian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan masukan
terhadap disiplin ilmu di bidang Biologi, khususnya Fisiologi Hewan. Selain itu juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain yang akan meneliti dengan tema yang
sama.

2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peternak katak agar dapat
membiakkan katak dalam waktu yang lebih cepat dengan menggunakan hormon
tiroksin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Hormon Tiroksin
Pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan atau dengan
pemberian suplemen berupa hormon pertumbuhan. Beberapa hormon yang telah diketahui
memiliki peranan positif dalam meningkatkan pertumbuhan antara lain hormon Tiroksin (T4)
Hormon tiroksin telah dilaporkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan melalui peningkatan
laju metabolisme. Hormon tiroksin dapat meningkatkan aktivitas protease dan lipase pada
saluran pencernaan sehingga dapat meningkatkan metabolisme protein dan lemak dalam
tubuh. Protease merupakan enzim yang menghidrolisis protein menjadi asam-asam amino
dan peptida sederhana, sedangkan lipase merupakan enzim yang menghidrolisis lemak
menjadi gliserol dan asam lemak yang kemudian akan diabsobrsi melalui dinding usus (Aqil,
2012).

Hormon tiroksin (T4) merupakan hormone yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid disamping
hormone Triiodo-L-tyronine (T3) yang berfungsi dalam metabolisme umum dan
pertumbuhan (Hoar dan Randall, 1969). Secara mikroskopis kelenjar tiroid terdiri dari
folikelfolikel yang berisi material-material yang disebut koloid yang sebagian besarnya terdiri
dari kompleks protein-yodium yang disebut trilogbulin (Frandson,1992).

Hidayat (2013) mengatakan bahwa peningkatan pertumbuhan yang cepat dengan


pemberian hormon tiroksin ini karena hormon yang diberikan dapat merangsang sistem
syaraf pusat yaitu hypothalamus dan merangsang adenohypophysis yang mengandung
hormon tyrotropik yaitu TSH untuk mengaktifkan kelenjar tyroid sehingga kelenjar tyroid
mengumpulkan iodine mensenyawakan dengan tyrosil yang diberikan lalu mengaktifkan
metabolism. Karena metabolisme berjalan dengan baik maka nafsu makan meningkat dan
mengakibatkan pertumbuhan meningkat pula.

1.2 Pengaruh Hormon Tiroksin Terhadap Metabolisme Bufo sp

Hormon tiroksin merupakan produksi kelenjar tiroid yang berperan mempercepat


proses metamorfosis serta merangsang perkembangan maupun pertumbuhan ikan atau
vertebrata tingkat rendah terutama pada fase larva. Hormon ini terdapat pada telur dan larva
yang baru menetas. Peranan penting hormon tiroksin adalah sebagai media absorbsi kuning
telur, pembentukan rangka, metamorphosis, transformasi dari larva ke juvenile dan untuk
pertumbuhan (Iromo, 2014).

Metamorfosis amfibi dikontrol oleh dua hormon yang di produksi oleh kelenjar yang
diregulasi oleh otak. Hormon metamorfosis yang utama adalah hormon tiroksin, yang serupa
dengan ecdyson pada metamorfosis serangga. Komponen aktif dari hormon tiroid adalah
tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3), keduanya adalah derivat dalam asam amino tirosin.
Ketika kelenjar tiroid dipindahkan dari berudu muda, mereka tumbuh menjadi berudu dewasa
yang tidak pernah mengalami metamorfosis. Sebaliknya, ketika hormon tiroksin diberikan
pada berudu muda dengan makanan atau injeksi, mereka bermetamorfosis secara prematur.
Hormon tiroid bekerja pada sel target melalui reseptor tyroid, reseptor sitoplasma yang
termasuk ke dalam superfamili yang sama seperti reseptor ecdyson. Mekanisme aksi tiroksin
dalam mempercepat proses metamorfosis dengan melibatkan enzim enzim lisosom dalam
tubuh berudu berawal dari kelenjar tiroid yang menghasilkan hormon tiroksin, hormon
tiroksin kemudian menginduksi tubuh berudu lalu terjadi apoktosis yaitu terjadinya kematian
sel sel yang terjadi pada ekor berudu. (Ariesta, 2017).

Menurut Lubzens et al., (2010) saat dosis hormon tiroksin rendah maka akan bersifat
anabolik, sedangkan pada saat dosisnya lebih tinggi bertindak sebagai agen katabolik.
Dengan demikian pada dosis tinggi dapat merusak pertumbuhan dan metabolisme sedangkan
pada dosis rendah tiroksin dapat meningkatkan pertumbuhan, menurunkan ekskresi
metabolit, dan meningkatkan retensi nitrogen. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hartato
(2013) yang mengatakan bahwa tiroksin di dalam tubuh pada dosis tinggi dapat merusak
pertumbuhan dan metabolisme sedangkan pada dosis rendah dapat meningkatkan
pertumbuhan, menurunkan ekskresi metabolit, dan meningkatkan retensi nitrogen, sehingga
terjadi mortalitas pada organisme tersebut.

1.3 Karakteristik dan Morfologi Bufo sp.

Kodok (Bufo sp) termasuk hewan amphibi yaitu mempunyai tubuh diselubungi kulit
yang berlendir, meerupakan hewan berdarah dingin (poikilotem), Kodok memiliki struktur
terdiri dari kepala (caput), badan (truncus), dan anggota depan belakang (ekskrimitas anterior
dan posterior). Memiliki 4 (empat) kaki untuk melompat, kaki belakang berfungsi untuk
melompat, lebih panjang dari pada kaki depanyanpendekdan ramping. Kodok mempunyai
kulit tubuh yang kasar, tertutupoleh tonjolan-tonjolan berduri di seluruh permukaan kulit,
pada sisi tubuhterdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang sampai di atas
pangkalpaha yang disebut lipatan dorsalateral. Ada juga lipatan yang serupa yangdisebut
lipatan supra timpatik yang mulai dari belakang mata memanjang diatas gendang telinga dan
berakhir di dekat pangkal lengan (Huda, 2017). Dari morfologi, dapat dibedakan kodok
jantan dan kodok betina karena kodok jantan tubuhnya lebih kecil, pada kaki depan terdapat
bantalan kawin (nuptial flight yang berfungsi untuk menekan tubuh betina seta memberi
tanda apabila jantan akan mengeluarkan spermatozoa), dan pada bagian rahang bawah
(mandibula) terdapat sepasang noda hitam yang menandakan bahwa katak jantan mempunyai
sepasang kantung suara (saccus vocalis), yang berfungsi sebagai resonansi suara, pada
kebanyakan jenis kodok betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari pada kodok jantan
(Luthfia, 2012).

1.4 Metamorfosis Bufo sp.

Metamorfosis merupakan suatu tingkat transisisi ketik suatu hewan mengalami


perubahan morfologik atau fisiologi dan biokimiawi penting dan pada saat yang sama
hewan berhadapan perubahan habitat. Metamorfosis pada amphibia sebagai perkembangan
yang merubah secara keseluruhan bentuk fisiologis Mupun biokimia individu. Perubahan
fisik itu terjadi akibat pertumbuhan sel dan diferensiasi sel secara radikal berbeda.
Perubahan-perubahan metamorfik dapat merubah seluruh jaringan dan organ. Kodok
memiliki empat fase dalam daur hidupnya, yaitu telur, berudu, percil, dan kodok dewasa
(Hidelbar, 2012).

Tabel Perkembangan dan Pertumbuhan Bufo sp.

Tahapan Gambar
Embrio
1
Zigot

Diameter 1,4 mm
2-6
Pembelahan,

Diameter 1,4 mm
Gastrula
9-11

Diameter 1,54
Neurulasi
12-15

Diameter 1,6-2,4mm
Kuncup ekor,
16

Panjang total 2,9 mm


Mulut terbuka,
20

Panjang total 5,6 mm


Panjang kuncup Limb
awal,
25

Panjang total 18,8 mm


Indentasi di antara jari
kaki 5-4,
31

Panjang total 35,9 mm


Margin dari jempol kaki
ke-5 diarahkan ke ujung
jempol kedua,
35
Panjang total 38,6 mm
Metatarsal (Prehallun),
35

Panjang total 40,8 mm


tambalan bebas-pigmen
pada semua jari,
38

Panjang total 42,6mm


Tuberkulum subartikular,
39

Panjang total 43,4 mm


Kulit transparan pada
kaki depan
40
Panjang total 44,0 mm

Metamorfosis dimulai, 42

Panjang total 36,2 mm


Metamorfosis selesai
45

Panjang total 14,2 mm


Sumber: Omar, dkk, 2004

1.5 Habitat Bufo sp.

Bufo sp dapat hidup dalam dua habitat yaitu habitat air dan daratan. Daratan lebih
banyak mereka butuhkan sewaktu memasuki stadia kecil (kodok muda) hingga dewasa,
sedangkan pada waktu berudu lebih banyak memerlukan air sebagai habitatnya. Pertumbuhan
Bufo sp akan lebih optimum pada daerah tropis. Meskipun Bufo sp. merupakan hewan yang
dapat menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungannya, namum suhu optimum untuk
Bufo sp. adalah antara 26˚ C – 33˚ C (Pebrinti dkk,2015).
Menurut Kimbal (1982), kodok umumnya menyukai habitat air yang jernih dan
keasaman netral dan memiliki kadar garam rendah. Pada habitat alami, kodok hidup di
genangan-genangan air, seperti waduk dan sungai-sungai yang aliran airnya tidak terlalu
deras. Selain itu kodok tidak tahan terhadap cahaya matahari langsung. Di Indonesia
penyebarannya sangat luas terdapat hampir di seluruh wilayah yang mencakup 10 (sepuluh)
Ordo dan terdiri lebih dari 450 jenis, 6 (enam) di antaranya tercatat di Jawa, salah satunya
dari familia Bufonidae (Iskandar, 2012).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hormon tiroksin dan laju metamorfosis
katak.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2019. Penilitian ini dilakukan di
Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Semarang.
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari sekumpulan objek yang akan diteliti.
Populasi hewan yang akan diuji dalam penelitian ini adalah kecebong katak di
sekitar lingkungan Universitas Negeri Semarang.
3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah atau karakteristik tertentu yang diambil
dari suatu populasi yang akan diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah kecebong
(Bufo sp) sebanyak 60 ekor. Kecebong yang dipakai sudah muncul kaki pertama,
sehat, tidak cacat, dan diperoleh dari lingkungan sekitar Universitas Negeri
Semarang.

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar hormon tiroksin yang diberikan.
3.4.2 Variabel terikat
Varibel terikat pada penelitian ini adalah laju pertumbuhan munculnya kaki pada
berudu katak (Bufo sp.).

3.5 Jenis dan rancangan penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian experimental, yang bertujuan untuk
mempelajari fenomena sebab akibat dengan memberikan perlakuan atau melakukan
manipulasi yang akhirnya nanti hasil di uji secara empirik. Penelitian menggunakan
rancangan Post Test Only Control Group Design yaitu suatu rancangan yang digunakan
untuk mengukur efek setelah diberikan perlakuan pada beberapa kelompok yaitu
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang dikondisikan secara identik dan telah
dikendalikan sebagai variabel yang tidak dikehendaki. Pada kelompok perlakuan
diberikan intervensi sebagai cause (penyebab) dan kelompok kontrol tidak diberikan
intervensi, kemudian dibandingkan efek yang terjadi antara kelompok-kelompok
tersebut (Yanwirasti, 2008).

3.6 Alat dan bahan


3.6.1 Alat
a) Gelas objek
b) Ember (tempat perlakuan)
c) Pipet
d) Pengaduk
e) Gelas penutup
f) Kamera digital
g) Penggaris
h) pH meter
i) Termometer
j) Alat tulis
3.6.2 Bahan
a) 60 ekor berudu (Bufo sp.)
b) Hormon tiroksin
c) Air
d) Tanaman air
3.7 Cara kerja
a. Tahap Persiapan
 Menyiapkan berudu sebanyak 60 ekor
 Menempatkan berudu dalam 4 ember, setiap bak berisi 15 ekor berudu
Bak 1 : Kelompok kontrol : 15 ekor berudu
Bak 2 : Perlakuan pertama : 15 ekor berudu
Bak 3 : Perlakuan kedua : 15 ekor berudu
Bak 4 : Perlakuan ketiga : 15 ekor berudu
 Membuat larutan hormon tiroksin

b. Tahap Pelaksanaan
 Memelihara berudu dalam 5 ember plastik masing - masing 15 berudu tiap
bak.
 Memberikan perlakuan dengan cara memberikan larutan hormon tiroksin
pada masing-masing kelompok perlakuan secara berkala dengan dosis
yang disesuaikan.
 Pada ember 2, 3, 4 diberikan dosis sebesar ____ mg/liter, ____mg/liter,
dan____ mg/liter. Sedangkan ember 1 sebagai tempat medium kelompok
kontrol.
 Memelihara berudu hingga munculnya kaki belakang dan kaki depan
 Mengamati perbedaan kecepatan laju munculnya kaki berudu pada
masing-masing bak .
 Melakukan pengamatan setiap hari pada masing-masing bak.
 Mencatat hasil pengamatan.
3.8 Data dan metode pengumpulan data
3.8.1 Data
Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data untuk
memperkuat hasil penelitian tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data primer berupa data yang dikumpulkan dari hasil penelitian dan
pengamatan laju metamorfosis pada katak dari kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan dan juga data pengamatan preparat katak dengan melihat ciri
morfologisnya.
3.8.2 Metode pengumpulan data
Studi kepustakaan
Teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
beberapa jurnal yang berhubungan dengan obyek penelitian kemudian dianalisis.
3.9 Alur Penelitian

Kelompok

Kelompok Kelompok P1 Kelompok P2 Kelompok P3 Kelompok P3


Kontrol larutan hormone larutan hormone larutan hormone larutan hormone
tiroksin tiroksin ____ tiroksin ____ tiroksin ___
____mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter

Pengamatan awal pada setiap


kelompok sebelum perlakuan

Pemberian perlakuan untuk


kelompok P1, P2, P3 dan P4

Pemberian perlakuan secara intensif


setiap hari selama 1 bulan

Mengamati perkembangan
metamorfosis berudu setiap hari
selama 2 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Arista, Angga., Winarno, G.D., dan Hilmanto. 2017. Keanekaragaman Jenis Amfibi untuk
Mendukung Kegiatan Ekowisata di Desa Braja harjosari Kabupaten Lampung Timur.
Biosfera Vol 34(3): 103-109.
Hartanto, R. 2013. Biologi Kodok Lembu. Fakultas Peternakan UNIVERSITAS Diponegoro.
Semarang
Hilderbrand, M dan Djuhanda, T. 2012 Analisa Struktur Vertebrata. Jilid 2. Amirco, Bandung
Iromo, Heppi dan Nurul F. 2014. Analisis Hormon Tiroksin dengan Metode Elisa pada Induk Betina
Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Harpodon Borneo. Vol 7(1): 1-7
Izza, Q dan Kurniawan, N. 2014. Eksplorasi Jenis-Jenis Amfibi di Kawasan OWA Cangar dan Air
Terjun Watu Ondo, Gunung Welirang, TAHURA R.Soerjo. Jurnal Biotropika. 2(2) :
103-108
Kimball. T.W. 1992. Biologi Jilid II. Jakarta : Penerbit Erlangga
Pebrianti, Masyita, Muslim dan Yulisman. 2015. Pertumbuhan Larva Ikan Betok (Anabas
Testudineus) yang direndam dalam larutan hormon Tiroksin dengan Konsentrasi dan
Lama Waktu Perendaman yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. Vol 3. (1):
46-57
Sutiana, Erlangga, dan Zulfikar. 2017. Pengaruh Dosis Hormon rGH dan Tiroksin dalam Pakan
Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Koi (Cypinus carpio). Acta
Aquatica Aquatic Sciences Journal Vol 4(2): 76-82.
Nurcahyani, N. M., Kanedi., Kurniawan, E. S. 2014. Inventarisasi jenis Anura di kawasan hutan
sekitar Waduk Batutegi, Tanggamus. Skripsi Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas
Lampung : Lampung

Anda mungkin juga menyukai