Anda di halaman 1dari 9

Transformasi, Vol. 8 No.

1, September 2004

PERANAN PEMBELAJARAN IPA MODEL PENGEMBANGAN


KOGNITIF TERHADAP PEMAHAMAN IPA MURID
SEKOLAH DASAR DI KOTAMADYA MAKASSAR

Rahmini Hustim
Jurusan Fisika
FMIPA UNM Makassar

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peranan


pembelajaran IPA model pengembangan kognitif dalam mencapai
pemahaman IPA di Sekolah Dasar. Untuk menjawab permasalahan
tersebut telah dilakukan penelitian eksperimen semu dengan desain
Non Equivalent Control Group Design yang dimodifikasi. Penelitian
ini melibatkan 61 murid SD sebagai kelas eksperimen dan 63 murid
SD sebagai kelas pembanding. Hasil analisis menunjukkan bahwa
murid Sekolah Dasar kelas V belum mencapai 50% yang memiliki
pemahaman IPA di atas rata-rata (tinggi). Selanjutnya hasil penelitian
menunjukkan bahwa skor rata-rata pemahaman IPA murid kelas V SD
yang diajar melalui pembelajaran IPA model pengembangan kognitif
lebih tinggi disbanding dengan murid kelas V SD yang diajar melalui
pembelajaran IPA model eksposisi. Akhirnya penelitian ini dapat
memberi kesimpulan bahwa pembelajaran IPA model pengembangan
kognitif merupakan salah satu alternative pembelajaran IPA yang
cenderung dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman IPA
murid kelas V Sekolah Dasar.

PENDAHULUAN
Ada tiga anggapan dasar yang melandasi penelitian yang
dilakukan. Pertama, memiliki model yang akan digunakan dalam
kegiatan pembelajaran tidah semudah dengan apa yang dapat dibaca
kemudian dihayalkan tanpa mempertimbangkkan berbagai faktor dan
situasi yang itdak dapat dipisahkan dengan kegiatan pelaksanaan.
Kedua, model-model pembelajaran tidak berdiri sendiri dan tidak ada
model pembelajaran yang lebih unggul dari model lainnya. Ketiga,
pemahaman IPA di Sekolah Dasar dapat dioptimalkan dengan
menggunakan model pembelajaran.
Mengoptimalkan pemahaman IPA di Sekolah Dasar bukanlah
hal yang baru bahkan telah banyak dilakukan pada tahun-tahun

43
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

sebelumnya, antara lain penyiapan dan penambahan sarana dan


prasarana laboratorium IPA, pemantapan kemampuan guru dalam
bidang IPA, pengadaan buku ajar, berbagai penelitian dalam
pengajaran IPA. Namun upaya ini belum mencapai hasil yang
optimal, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian antara lain
penggunaan Ikuari-Discovery dalam pengajaran IPA di Sekolah Dasar
memperlihatkan bahwa hanya 20,3% yang memperoleh penguasaan
IPA SD diatas 75% (Study Eksperimen pada Sekolah Dasar di
Kotamadya Ujung Pandang 1997). Hasil lain juga memperlihatkan
banyaknya siswa yang memahami metode dan tujuan belajar IPA serta
berbagai konsep dan generalisasi IPA yamg dimiliki penguasaan 56%
keatas hanya ada 50% (Baharuddin 1998). Selanjutnya, juga
dikemukakan bahwa prestasi belajar IPA yang dicapai pada murid
Sekolah Dasar di kota madya Ujung Pandang yang menerapkan
metode CBSA yang memiliki penguasaan 50% keatas belum
mencapai 60% (Rahmini Hustim).
Salah satu hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hal
tersebut yakni rendahnya prestasi belajar IPA di Sekolah Dasar berarti
kurang memadainya pengetahuan dasar yang dimiliki dan akan
berakibat terjadinya kesulitan belajar pada tingkat berikutnya. Karena
belajar adalah akumulasi pengalaman-pengalaman, jadi berhasil
tidaknya siswa memperoleh hasil belajar sangat bergantung pada apa
yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan demikian hasil yang
diperoleh dari Sekolah Dasar merupakan basis-basis bagi anak untuk
melanjutkan kejenjang sekolah yang lebih tinggi. Meningkatkan mutu
sekolah dasar akan memberikan urutan yang sangat berarti bagi
peningkatan mutu pendidikan dijenjang sekoalh yang lebih tinggi
melalui peningkatan masukannya.
Dilain pihak juga guru perlu memahami bahwa IPA hendaknya
diajarkan dengan cara yang konsisten dengan hakekat dan struktur
sains itu sendiri. Demikian dituliskan oleh Jacobson dan Bergman
dalam bukunya Science for Children (Jakobson & Bergman, 1980:
60). Demikian pula Monica (1980: 5) menegaskan adanya dua sisi
tersebut adalah dinamika dan satika. Prespektif dinamis menunjuk
pada aktivitas yang dilakukann oleh para ilmuan, sebaliknya
prespektif statis menunjuk kepada kumpulan fakta sebagai produk dari
kegiatann tersebut. Dengan demikian sains dapat dianngap sekaligus
sebagai kata kerja dan dan sebagai kata benda. Kata kerja

44
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

menunjukkan langkah-langkah atau proses yang ditempuh oleh para


ilmuan dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, sedang kata benda
menunjukkan bahwa sains adalah konsep, prinsip, dan generalisasi
sebagai hasil (produk) dari sains tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seoarng
guru yang hendak mengajarkan sains atau IPA kepada para siswanya
hendaknya menyadari serta memperhitungkan bahwa IPA memiliki
perspektif dianamis dan statis atau aspek aktivitas dan produk.
Konsekuensinya ialah seorang guru dituntut untuk memahami lebih
jauh tentang hakekat siswa yang belajar, utamanya berkenaan dengan
perkembangan kognitif mereka. Ia harus memahami tiingkat kesiapan
para siswanya dalam melakukan setiap kegiatan ilmiah yang akan
dipelajarinya sekalipun disadari benar bahwa hal ini baru mmerupakan
salah satu dari peranan kunci seperti yang dikemukakan oleh T. Raka
Joni yang mengacu kepada pemupukan kemampuan siswa, namun
pelaksanaan peranan ini akan memberikan banyak sumbangan
terhadap peranan lainnya (Rahmini Hustim, 1998:20). Hal senada
dikemukakan oleh Sidin Ali (1996:3) bahwa mengajarkan IPA seorang
guru sebaiknya memperhatikan kesiapan intelektual anak digunakan
sebagai salah satu variabel perlakuan yang dapat digunakan dalam
mengajarkan sains atau IPA dengan cara konsisten dengan struktur
sains itu sendiri.
Model pembelajaran yang akan dicobakan melalui penelitian
ini merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah tersebut,
karena penekanan model pemeblajaran ini adalh penguasaan konsep
IPA melalui kebebasan berpikir dan pengalaman intelektual, moral,
dan emosional yang tentunya memberi peluang bagi siswa untuk
menegetahui proses-proses dalm IPA sehungga akan tercipta proses
pemebelajaran yang bermakna yang pada gilirannya akan diperoleh
pemahaman IPA yang optimal.
Dari uraian tersebut diatas, maka dirumuskan hipotesis, yakni
terdapat perbedaan nyata pemahaman IPA antara siswa yang pernah
mengikuti pembelajaran IPA model penegembangann kognitif dengan
siswa yang mengikui pembelajaran IPA model eksposisi.

METODE PENELITIAN

45
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

Dilihat dari maksud dan tujuan penelitian, maka penelitian ini


adalah penelitian terapan yang menggunakan metode eksperimen
semu yakni untuk melihat sejauh mana penggunaan pembelajaran IPA
Model Pengembangan kognitif dalam mencapai pemahaman IPA
Murid Sekolah Dasar.
Variabel utama yang akan diselidiki dalam penelitian ini
adalah:
a. Pembelajaran IPA yang merupakan pemeblajaran
bebas dengan dua taraf yakni Pemeblajaran IPA dengan
menggunakan model pengembangan kognitif yang dimodifikasi
sebagai perlakuan eksperimental dan pembelajaran IPA yang
menggunakan model eksposisi sebagai perlakuan kontrol.
b. Pemahaman dalam IPA sebagai variabel terikat
meliputi:
- Pemahaman terhadap metode dan tujuan belajar IPA
- Pemahaman tehadap konsep, prinsip, dan generalisasi
dalam IPA.
Subyek populasi dalam penelitian ini ialah siswa-siswa
Sekolah Dasar di Kotamadya Makassar yang menduduki kelas V.
Subyek sampel yang dipilih dari subyek populasi secara cluster
random sampling sebanyak dua sekolah berdasarkan kualifikasinya,
yakni: Sekolah Dasar Perumnas di Tidung sebagai kelas ekperimen
yang menggunakan model pembelajaran kognitif daan Sekolah Daras
Tabaringan sebagai kelas perbandingan yang menggunakann model
pembelajran eksposisi.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
eksperimen berupa tes pemahaman IPA (TPI). Tes ini bedasarkan
TOUS singkatan dari “Test On Understanding Science”
(Educational Testing Service, 1979) yang dikembangkan oleh Cooley
dan Klopfer. Namun ada perbedaan antara TPI dan TOUS. Perbedaan
tersebut antara lain ialah TOUS tidak mengacu pada materi tertentu
dalam Fisiska, Kimia, atau Biologi. Tes ini dapat dikerjakan dengan
baik oleh siapa saja yang pernah mempelajari materi sains baik Fisika,
Kimia, atau Biologi, melakukan kegiatan-kegiataan ilmiah dalam
sains, melakukan kegiatan praktikum serta bergaul denga paraa
ilmuan. Dalam TPI disamping hal-hal yang sifatnya umum juga
terdapat pertanyaan yang bermaksud mengukur pemahaman siswa
dalam berbagai konsep, prinsip, dan generalisasi dalam IPA yang

46
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

mengacu pada kurikulum 1994 atau bahan-bahan yang pernah


diajarkan.
Atribut yang akan diukur dalam TPI sebagai berikut.
a. Pemahan terhadap metode dan tujuan belajar IPA, yakni
pemahaman IPA terhadap metode terbaik untuk belajar IPA, tujuan
belajar IPA, pernan IPA dalam pemabngunan, hakekat IPA serta
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, yang terdiri dari 10
item.
b. Pemaghaman tehadap konsep, prinsip, dan generalisasi dalam
IPA yang akan diukur seberapaa jauh siswa telah memahami
konsep, prinsip serta generalisasi sebagaai produk IPA termasuk
materi yang telah dipelajari, yang terdiri dari 20 item.
Instrumen penelitian ini seluruhnya sebanyak 30 item, dan diuji ccoba
terlebih dahulu sebelum diguinakan dalam penelitian ini untuk melihat
validitass itemnya dan reliabilitas tes sebesar 0,87.
Metode yang digunakan dalam menganalisis data dan menguji
hipotesis adalah metode statistik, yakni statistik deskriptif dan statistik
inferensial. Sebelum penggunaan statistik inferensial dilakukan
pengujian dasar analisis yang meliputi: pengujian normalitas data dan
pengujian homoginitas variansi, yakni uji kesamaan dua variansi.
Untuk mengetahui seberaapa besar pemahan IPA pada murid
kelas V Sekolah Dasar yang mengikuti pembejaran IPA model
pengembangan kognitif dan pembelajaran IPA model eksposisi,
digunakan statistik deskriptif yakni skor rata-rata dan standar deviasi.
Gambaran skor rata-rata populasi dan persentase siswa yang
memperoleh skor yang lebih tinggi dari skor yang mingkin dicapai
pada kelas eksperimen dan kelas pembanding, digunakan analisis
interval taksiran rata-rata populasi.
Ada tidaknya perbedaan pemahaman IPA antara murid yang
diajar melalui pembelajaran model pengembangann kognitif dengan
murid yang diajar melalui pembelajaran pengembangan model
eksposisi digunakan uji t yakni uji kesamaan dua rata-rata.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Hasil Penelitian
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pemahaman IPA
murid SD melalui tes pemahan IPA yang telah mengikuti
pembelajaran IPA model pengembangan kognitif menunjukkan bahwa

47
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

skor tertinggi yang dicapai adaalah 24 dan skor 30 yang mungkin


dicapai. Untuk pemahaman IPA murid SD melalui tes pemahaman IPA
yang telah mengikuti pembelajaran IPA model eksposisi,
menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai 22 dari skor 30 yang
mungkin dicapai, sedangkan skor terendah adalah 8 dari skor nol yang
mungkin dicapai. Skor rata-rata yang dicapai murid setelah
dilaksanakan proses pembelajaran IPA yakni pembelajaran melalui
pengembangan kognitif sebagai kelompok eksperimen memperoleh
skor rata-rata lebih tinggi dibanding dengan skor rata-rata yang
dicapai kelompok pembanding yakni pembelajaran IPA model
eksposisi.
Hasil analisis presentase melalui penaksiran skor rata-rata
populasi memperlihatkan bahwa presentase murid SD pada kelompok
eksperimen mempunyai skor pemahaman IPA diatas 19 (penguasaan
63 %), sebanyak 41%, yakni belum mencapai 50% sedangkan
presentase murid SD pada kelompok pembanding mempunyai skor
pemahaman IPA diatas 17 (penguasaan 57%) sebanyak 43%, juga
belum mencapai 50%.
Hasil analisis persentase melalui penaksiran skor rata-rata
populasi memperlihatkan bahwa persentase murid SD pada kelompok
eksperimen mempunyai skor pemahaman IPA di atas 19 (penguasaan
63%) sebanyak 41%, yakni belum mencapai 52%, sedangkan
persentase murid SD pada kelompok pembanding mempunyai skor
pemahaman IPA di atas 17 (penguasaan 57%) sebanyak 43%, juga
belum mencapai 50%.

Hasil Pengujian Hipotesis


Hasil tes pemahaman IPA dari 124 murid SD kelas V yang
terdapat dalam kelompok eksperimen dan kelompok pembanding
menunjukkan data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
pada  = 0.05 serta data pada kedua kelompok tersebut mempunyai
variansi yang sama. Oleh karena itu untuk membandingkan skor rata-
rata dalam tes pemahaman IPA antara kedua kelompok digunakan uji t
(dua pihak). Dari hasil perjitungan diperoleh t hitung = 4,73 berada
diluar daerah interval -1,96 dan 1,96. ini berarti bahwa terdapat
perbedaan skor rata-rata dalam tes pemahaman IPA antara kelompok
eksperimen dan kelompok pembanding.

48
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

Pembahasan
Berikut akan dibahas mengenai hasil-hasil anlisis data dan
pengujian hipotesis yang telah dilakukan dalam penelitian ini:
1. Pemahaman IPA pada kelompok eksperimen
a. Analisis data secara deskriptif menunjukkan
bahwa skor rata-rata yang dicapai dalam tes pemahaman IPA
pada siswa yang diajar melalui pengembangan kognitif yang
dinyatakan sebagai kelompok eksperimen adalah 18.72,
sedangkan skor rata-rata pemahaman IPA yang dicapai oleh
murid yang diajar melalui model eksposisi yang merupakan
kelompok pembanding adalah 16.29. Hal ini terlihat bahwa
skor rata-rata pemahaman IPA kelompok eksperimen lebih
tinggi dari pada skor rata-rata pemahaman IPA kelompok
pembanding.
Jika diperhatikan hal tersebut ada kecenderungan bahwa
pemeblajaran model pengembangan kognitif nampak lebih
baik digunakan disbanding dengan pembelajaran model
eksposisi dala hal mencapai pemahaman IPA murid kelas V
sekolah dasar.
b. Analisis persentase melalui penaksiran skor
rata-rata populasi menunjukkan bahwa persentase murid kelas
V sekolah dasar yang diajar melalui pembelajaran IPA model
pengembangan kognitif yang mencapai skor pemahaman IPA
diatas 19 (penguasaan 63 %) yang dikategorikan tinggi adalah
sebanyak 41%. Sedangkan persentase murid kelas V sekolah
dasar yang diajar melalui pembelajaran IPA model eksposisi
yang mencapai skor diatas 17 (penguasaan 57%) yang
dikategorikan tinggi sebanyak 43%.
Jika diperhatikan hal tersebut nampak baik yang diajar melalui
pembelajaran IPA model Kognitif maupun yang diajar melalui
pembelajaraan IPA model eksposisi belum mrncapai 50% yang
berada pada kategori tinggi. Namun dapat dibedakan bahwa
pembelajaran IPA model eksposisi dalam hal pencapaian
pemahaman IPA pada murid kelas V sekolah dasar.
c. Hasil pengukuran pemahaman IPA murid
kelas V sekolah dasar baik yang diajar melalui pembelajaran
IPA model kognitif sebagai kelas eksperimen maupun yang
diajar melalui pembelajaran IPA eksposisi sebagai kelas

49
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

pembanding memperliahtkan bahwa persentase murid yang


memahami metode dan tujuan belajar IPA serta berbagai
konsep, prinsip, dan generalisasi IPA (penguasaan sekitar 58%)
hanya ada sekitar 40%. Data ini dapat memberi gambaran
tentang kemampuan para murid di sekolah dasar terutama yang
mensyaratkan penguasaan bidang IPA untuk dapat melanjutkan
studi kejenjang yang lebih tinggi.
d. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan
adanya perbedaan skor rata-rata pemahaman IPA pada murid
kelas V sekolah dasar yang telah mengikuti pembelajaran IPA
model pengemabangan Kognitif dengan murid kelas V sekolah
dasar yang telah mengikuti pembelajaran model Eksposisi.
Dengan ditemukannya perbedaan antara skor rata-rata
pemahaman IPA antara kedua kelompok tersebut diatas maka
dapat pula disimpulkan bahwa ada kecenderungan
pembelajaran IPA model pengembangan Kognitif lebih baik
digunakan dibanding dengan pembelajaran IPA model
eksposisi pada murid kelas V sekolah dasar dalam mencapai
pembelajaran IPA yang memadai.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
dikemukakan kesimpulan penelitian sebagai berikut.
1. Secara keseluruhan, ada kecenderungan bahwa
pemahaman IPA murid sekolah dasar kelas V belum optimal
2. Pemahaman IPA murid Sekolah Dasar dapat
memberi gambaran tentang kemampuan para murid yang
mempersyaratkan penguasaan IPA untuk melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi
3. Ada kecenderungan bahwa pembelajaran IPA
model pengembangan kognitif merupakan salah satu alternatif
pembelajaran IPA yang dapat digunakan untuk mencapai
pemahaman IPA yang optimal pada murid kelas V Sekolah Dasar.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Moh. 1978, Penerapan Teori Piaget dalam Pengajaran
Science, Yogyakarta, FKIE Yogyakarta.

50
Transformasi, Vol. 8 No. 1, September 2004

Ali M. Sidin. 1996, Bagaimana Mengajarkan Science, Ujung


Pandang FMIPA IKIP Ujung Pandang.
Baharuddin. 1998, Pemercepatan Pencapaian Tingkat Kemampuan
Operasi Logik Review Sekolah Dasar melalui Program
Intervensi, Ujung Pandang; FMIPA IKIP Ujung Pandang.
Campbell, Donald T, dan Stanley Julian C. 1996, Experimental And
Quast-Experimen Design For Research, Chicago: Rand
McNally College Publishing Company.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994, Kurikulum
Pendidikan Dasar GBPP 1994.
Gani Tabrani. 1997, Model-model pembelajaran. Ujungpandang:
FPMIPA IKIP UP
Hustim Rahmini. 1998, Studi Tentang Penerapan CBSA di Sekolah
Dasar, Ujungpandang, FPMIPA IKIP UP
Jacobson, Willarel. J, dan Brigman, Abby B. 1980, Science For
Children, A book for Teachers, New Jersey; Prentice Hall.
Mannoia, V, James. 1980, What is science, New York; University
Press of America.
Margaret E, Bell Gredler. 1991, Belajar dan Membelajarkan,
Rajawali Press Jakarta.
Mastie, M.M dan Johnson, G.H. 1972, Science Objective For 1972-
1973 Assesment, Colorado: National Assesment of Education
Progress.
Sukarmono. 1997, Studi Tentang Pengajaran Inkueri-Discovery di
Sekolah Dasar Kotamadya Ujungpandang; FPMIPA IKIP
Ujungpandang

51

Anda mungkin juga menyukai