Anda di halaman 1dari 40

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT : RSUD TARAKAN

Nama Mahasiswa : Anggiriani Tanda Tangan

Nim : 11.2016.089 ....................

Dr. Pembimbing : Dr. Ni Wayan Sp.P


...................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SI Alamat : Jl. Angke Indah GG III RT
05/03
Tanggal lahir : 23 Agustus 1990 Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 26 tahun Suku Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Sudah Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Lain-lain Pendidikan : SMA
Tanggal masuk : 25 Febuary 2017

A. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis/Alloanamnesis (tanggal : 5 Maret 2017)

Keluhan utama
Demam selama 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu SMRS. Demam disertai muntah
dsn mencret, pasien mengatakan demam sudah dirasakan hilang timbuk sejak 1 bulan SMRS dan
hanya meminum obat warung penghilang panas, namun 1 minggu SMRS pasien mengatakan
demam yang dirasakan semakin meningkat dan terus menerus. Pasien juga sudah minum obat
penghilang panas dari warung tapi tidak ada perbaikan. Selain itu, pasien mengatakan demam
disertai dengan muntah setelah makan, muntahan sering kurang lebih 10 kali dari sehari, isi
muntahannya apas makanan dan cairan kuning, mencret frekunsi kurang lebih 10 kali sehari,
Napsu makan berkurang dan adanya penurunan berat badan yang tidak diukur belakang ini. .
Pasien mengatakan tidak pernah menderita sakit kuning ataupun sakit liver semasa
hidupnya. Riwayat penggunaan jarum suntik disangkal oleh pasien, tapi pasien mengaku pasien
perokok dan peminum alkohol sejak umurnya 17 tahun. Riwayat muntah darah juga disangkal
pasien. Di keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami hal seperti ini ataupun memiliki
riwayat kanker.
Penyakit Dahulu
(- ) Cacar (- ) Malaria (- ) DBD
(+) Cacar Air (- ) Disentri (- ) Burut (Hernia)
(- ) Difteri (- ) Hepatitis (- ) Rematik
(- ) Batuk Rejan (- ) Tifus Abdominalis (- ) Wasir
(- ) Campak (- ) Skrofula (- ) Diabetes
(- ) Influenza (- ) Sifilis (- ) Alergi
(- ) Tonsilitis (- ) Gonore (- ) Tumor
(- ) Khorea (- ) Hipertensi (- ) Penyakit Pembuluh
(- ) Demam Rematik Akut (- ) Ulkus Ventrikuli (- ) Pendarahan Otak
(- ) Pneumonia (- ) Ulkus Duodeni (- ) Psikosis
(- ) Pleuritis (- ) Gastritis (- ) Neurosis
(- ) Tuberkulosis (- ) Batu Empedu lain-lain : (- ) Operasi
(- ) Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab Meninggal


Kakek - Laki-laki Meninggal Tidak diketahui
Nenek - Perempuan Meninggal Tidak diketahui
Ayah - Laki-laki Meninggal Tidak diketahui

Ibu 53 thn Perempuan Sehat -


Saudara 29 thn Perempuan Sehat -
Anak-anak - - - -

Adakah Kerabat yang Menderita

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Alergi - X
Asma - X
Tuberkulosis - X
Artritis - X
Rematisme - X
Hipertensi - X
Jantung - X
Ginjal - X
Lambung - X

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(- ) Bisul (- ) Rambut (- ) Keringat Malam (- ) Lain-lain
(- ) Kuku (- ) Kuning/Ikterus (- ) Sianosis
Kepala
(- ) Trauma (- ) Sakit Kepala
(- ) Sinkop (- ) Nyeri pada Sinus
Mata
(- ) Nyeri (- ) Radang
(- ) Sekret (- ) Gangguan Penglihatan
(+ ) Kuning/Ikterus (- ) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(- ) Nyeri (- ) Tinitus
(- ) Sekret (- ) Gangguan Pendengaran
(- ) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(- ) Trauma (- ) Gejala Penyumbatan
(- ) Nyeri (- ) Gangguan Penciuman
(- ) Sekret (- ) Pilek
(- ) Epistaksis
Mulut
(- ) Bibir kering (- ) Lidah kotor
(- ) Gangguan pengecapan (- ) Gusi berdarah
(- ) Selaput (- ) Stomatitis

Tenggorokan
(- ) Nyeri Tenggorokan (- ) Perubahan Suara
Leher
(- ) Benjolan (- ) Nyeri Leher
Dada ( Jantung / Paru – paru )
(- ) Nyeri dada (- ) Sesak Napas
(- ) Berdebar (- ) Batuk Darah
(- ) Ortopnoe (- ) Dahak
Abdomen ( Lambung Usus )
(+ ) Rasa Kembung (- ) Perut Membesar
(+) Mual (- ) Wasir
(+ ) Muntah (+ ) Mencret
(- ) Muntah Darah (- ) Tinja Darah
(-) Sukar Menelan (- ) Tinja Berwarna Dempul
(- ) Nyeri Perut
(- ) Benjolan
Saluran Kemih / Alat Kelamin
(- ) Disuria (- ) Kencing Nanah
(- ) Stranguri (- ) Kolik
(- ) Poliuria (- ) Oliguria
(- ) Polakisuria (- ) Anuria
(- ) Hematuria (- ) Retensi Urin
(- ) Kencing Batu (- ) Kencing Menetes
(- ) Ngompol (- ) Penyakit Prostat
Saraf dan Otot
(- ) Anestesi (- ) Sukar Mengingat
(- ) Parestesi (- ) Ataksia
(- ) Otot Lemah (- ) Hipo / Hiper-esthesi
(- ) Kejang (- ) Pingsan
(- ) Afasia (- ) Kedutan (‘tick’)
(- ) Amnesia (- ) Pusing (Vertigo)
(- ) Gangguan bicara (Disartri)
Ekstremitas
(-) Bengkak (- ) Deformitas
(- ) Nyeri (- ) Sianosis

______________________________________________________________________
B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 33,9 kg
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 118 x/menit
Suhu : 39.80 C
Pernafasaan : 22 x/menit
Keadaan gizi : gizi buruk
Sianosis : tidak ada
Udema umum : tidak ada
Cara berjalan : tegak
Mobilitas ( aktif / pasif ) : pasif
Umur taksiran pemeriksa : sesuai umur

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : wajar
Alam Perasaan : biasa
Proses Pikir : wajar
Kulit
Warna : kuning langsat
Effloresensi : tidak ada
Jaringan Parut : tidak ada
Pigmentasi : tidak ada
Pertumbuhan rambut : normal, merata
Lembab/Kering : lembab
Suhu Raba : hangat
Pembuluh darah : tampak
Keringat : merata
Turgor : elastis
Ikterus : tidak ada
Lapisan Lemak : sedikit
Oedem : tidak ada
Ptekie : tidak ada
Lain-lain :-

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : tidak membesar Leher : tidak membesar
Supraklavikula : tidak membesar Ketiak : tidak membesar
Lipat paha : tidak membesar
Kepala
Ekspresi wajah : normal
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam, merata
Pembuluh darah temporal : teraba
Mata
Exophthalamus : tidak ada
Enopthalamus : tidak ada
Kelopak : oedem (-)
Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis
Visus : normal
Sklera : ikterik
Gerakan Mata : normal
Lapangan penglihatan : luas
Tekanan bola mata : normal
Nistagmus : tidak ada
Telinga
Tuli : tidak ada
Selaput pendengaran : utuk intak (+)
Lubang : normal
Penyumbatan : tidak ada
Serumen : ada
Pendarahan : tidak ada
Cairan : tidak ada
Mulut
Bibir : kering
Tonsil : T1-T1 tenang
Langit-langit : tidak ada candida
Bau pernapasan : bau
Gigi geligi : tidak lengkap
Trismus : tidak ada
Faring : tidak hiperemis, oedem(-)
Selaput lendir : normal
Lidah : tidak ada deviasi
Leher
Tekanan Vena Jugularis : 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak teraba membesar
Dada
Bentuk : normal, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak

Paru – Paru
Depan Belakang
Inspeksi Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Retraksi otot pernapasan (-) Retraksi otot pernapasan (-)
Palpasi Sela iga normal, tidak ada bejolan, Sela iga normal, tidak ada bejolan, nyeri
nyeri tekan(-) tekan(-)

Perkusi Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru


Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Ki: vesikuler, Rh-/-, Wh-/- Ki: vesikuler, Rh-/-, Wh-/-
Ka: vesikuler, Rh-/-, Wh-/- Ka: vesikuler, Rh-/-, Wh-/-

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di linea midclavicula sela iga 5
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midclavicula sela iga 5
Perkusi :

Batas kanan : sela iga 4, linea parasternal kanan


Batas kiri : sela iga 5, linea axillaris anterior kiri
Batas atas : sela iga 2, line parasternal kiri
Auskultasi : BJ I-II murni reguler murmur(-), gallop (-)
Perut
Inspeksi : rata, simetris, tidak ada bekas operasi, peristaltik tidak terlihat
Palpasi
Dinding perut : rata, striae(-), tidak ada pembuluh darah kolateral
Hati : tidak teraba membesar
Limpa : tidak teraba membesar
Ginjal : ballottement(-)
Lain-lain : nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : shifting dullness(+), undulasi(+)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Gerakan : pasif pasif
Kekuatan : 4 4

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri


Luka : - -
Varises : - -
Otot : normotonus normotonus
Tonus : normal normal
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : pasif pasif
Kekuatan : 4 4
Oedem : - -
Lain-lain : - -

Reflex
Kanan Kiri
Refleks Tendon ++ ++
Bisep ++ ++
Trisep ++ ++
Patela ++ ++
Achiles ++ ++
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit ++ ++
Refleks patologis - -

Colok Dubur
Tidak dilakukan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab Tanggal 25 Febuary 2017


Tes Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 10,4 g/dl 13.0-18.0
Hematokrit 22.2% L: 42 - 52, P: 37- 47
Eritrosit 3.86 juta/ul L: 4,7 - 6,1, P: 4,2 - 5,4
Trombosit 204.000 ribu/ul 150-450
Leukosit 7,581/ul L: 4,8 – 10,8, P: 4,8 – 10,8
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na) 121 mEq/L 135-150
Kalium (K) 2.5 mEq/L 3,6-5,5
Clorida (Cl) 86 mEq/L 94-111
Gula Darah
Gula darah sewaktu 136 mg/dl <140
Fungsi Liver
AST (SGOT) 110 < 40
ALT (SGPT) 42 < 41
Albumin 2,50 3,5-5,2
Fungsi Ginjal
Ureum 13 15-50
Kreatinin 0,89 0,6-1,3

Lab tanggal 26 Febuary 2017


KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na) 132 mEq/L 135-150
Kalium (K) 3.5 mEq/L 3,6-5,5
Clorida (Cl) 96 mEq/L 94-111

Lab tanggal 27 Febuary 2017

Fungsi Liver
AST (SGOT) 69 < 40 U/L
ALT (SGPT) 29 < 41 U/L
Bilirubin Total 1,45 <1,1 mg/dL
Bilirubin Direk 1,05 <0,6 mg/dL
Protein Total 6,14 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,5 3,5-5,2 g/dL
Globulin 3,64 1,5-3,0 g/dL

Lab tanggal 1 Maret 2017

IMUNOSEROLOGI
Anti HIV Reagen 1, 2, 3 REAKTIF NON REAKTIF

Lab tanggal 4 Maret 2017

IMUNOSEROLOGI
CD 4 Abs 3 410-1590

Lab tanggal 6 Maret 2017

IMUNOSEROLOGI
Hbsag kualitatif NON REAKTIF NON REAKTIF
Anti HCV NON REAKTIF NON REAKTIF
Foto Thorax ( Tanggal 25 Febuary 2017)
Pulmo: Tampak infiltrate milier pada kedua lapangan paru.
Cor: Dalam batas normal, Diafrgma dan sinus costovertebralis baik.
Kesan: Tuberkulosis Milier.

D. RINGKASAN (RESUME)

Seorang perempuan usia 26 tahun datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu SMRS.
Demam disertai mual, muntah dan mencret sejak 1 minggu SMRS. Sebelumnya demam
dirasakan hilang timbul 1 bulan SMRS namun semakin memberat sejak 1 minggu terakhir.
Demam yang dirasakan 1 minggu ini terus menerus dan semakin meningkat. Pasien juga
mengeluh terjadi penurunan berat badan yang tidak diukur belakangan ini. Pasien memiliki
riwayat mengkonsumsi alkohol sejak usianya 17 tahun.
Dari pemeriksaan fisik pada tanggal 25 febuary 2017 didapatkan pasien tampak sakit
sedang dengan kesadaran compos mentis. TD: 100/60 mmHg, HR: 118x/menit, RR:22x/menit,
Suhu: 39,8oC. dan konjungtiva anemis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pada hasil laboratorium Hb: 10,4 g/dL (anemia),
Hematokrit: 22.2 Natrium: 132 mEq/L (hiponatremia),eritrosit 3.86, SGOT: 110 U/L, SGPT:
42(U/L), albumin: 2.64 g/dL (hipoalbuminemia). Bilirubin Total 1.45, Bilirubin Direk 1,05, Anti
HIV Reagen I, II, III Reaktif, CD4: 3. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorak didapatkan kesan
Tb milier.

E. MASALAH
1) Tuberkulosis Paru
2) ODHA
3) Dispepsia
4) Hiponatremi
5) Hipokalemia
6) Hipoalbumin
F. TATALAKSANA
Per tanggal 25/2/2017
1. IVFD NaCl : Valamin 1: 1 /24jam
2. Ciprofloxacin 1x500 I.V
3. Dexametason 3x2 tab
4. Ranitidin 2x1
5. Bisolvon 3x1 I.V
6. NGT
7. RHZE: 450/300/1000/1000
8. B6 2x1
9. Antacid 3x1
10. Nebu ventolin / 8jam
11. PCT 3x500

G. FOLLOW UP
Tanggal 26/2/2017
S : Demam (+)
O: Keadaan Umum tampak sakit sedang, T: 38,6oC TD: 100/70, HR: 80, RR: 20x/menit.
A: Tuberkulosis Paru
P: lanjutkan intervensi. Extra pct prn demam

Tanggal 27/2/2017
S: -
O: kesadaran compos mentis, TD: 100/70, HR: 80, RR: 20x/menit T: 36,6oC, mulut oral thrust
(+).
A: Tuberkulosis Paru + Suspek HIV
P: Dexametason tapering off 4x1, 3x1, 2x1, 1x1 selama 2 hari. Dan lanjutkan Intervensi

Tanggal 28/2/2017
S: Lemas, sesak
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 100/70, HR: 80, RR: 22x/menit T: 36,6oC, mulut oral thrust
(+).
A: Tuberkulosis Paru + Suspek HIV
P: Skrining HIV, Dexametason stop, Metoclorpramid 3x1, Aff dc kateter, Nebu/8jam, dan
lanjutkan intervensi.

Tanggal 1/3/2017
S: Muntah 1x
O: Kesadaran Compos Mentis, T: 37,2oC, mulut oral thrust (+).
A: Tuberkulosis Paru + Suspek HIV
P: Skrining HIV, Dexametason stop, Metoclorpramid 3x1, Aff dc kateter, Nebu/8jam, dan
lanjutkan intervensi.

Tanggal 2/3/2017
S: -
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 100/70, beratbadan 33,9 kg T: 37oC, mulut oral thrust (+).
A: Tuberkulosis Paru + ODHA
P: Lanjutkan intervensi.

Tanggal 3/3/2017
S: Mual
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 100/70, HR: 80, RR: 20x/menit T: 36,6oC, mulut oral thrust
(+).
A: Tuberkulosis Paru + ODHA+ Hipoalbumin
P: Cek hbsag, antiHCV, CD4, Omeprazol 2x40 mg, nmyco 2x1cc, Nebu/8jam, konsul dr. spPD
untuk arv, dan lanjutkan intervensi.

Tanggal 4/3/2017
S: lidah kebas
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 100/70, HR: 88, RR: 20x/menit T: 36,7oC,
A: Tuberkulosis Paru + ODHA+ Hipoalbumin
P: Lanjutkan intervensi.

Tanggal 6/3/2017
S: -
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 100/70, HR: 88, RR: 20x/menit T: 36,7oC,
A: Tuberkulosis Paru + ODHA
P: Aff ivfd, kotrim 1x960 mg, Nymico 2x1 cc.
Tanggal 7/3/2017
S: -
O: Kesadaran Compos Mentis, TD: 110/70, HR: 88, RR: 20x/menit T: 36,7oC,
A: Odha belum arv dengan candidiasis oral + tuberculosis paru+ dyspepsia+ hipoalbumin
P: Boleh pulang
Resep obat pulang:
Cotrimoxazole 1x960 mg
Nymico 2x1 cc
Lanzoprazole 2x30 mg
RHZE 450/300/1000/1000
B6 2x1
Arv diberikan di poli saja, arv baru diberikan minimal setelah pemberian OAT 2 minggu.

H. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex.
II. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus
BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar
dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

III. PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya, Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan: Sembuh dengan
meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau Meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan postprimer mempunyai nama yang
bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah
satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
a. meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas
b. memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
c. bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan
penyembuhannya

IV. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS


A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+):
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-):
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan:
 Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan
dll)
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
3. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
4. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
5. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
6. Kasus Bekas TB:
 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari
tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen
maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

V. DIAGNOSIS
GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya
A. Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
 Gejala respiratorik
batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
 Gejala sistemik
Demam, gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
 Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat.Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan
pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar
pada sisi yang terdapat cairan.Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abscess”
C. Pemeriksaan Bakteriologik
 Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
 Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/specimen yang berbentuk cairan dikumpulkan / ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup
berulir, tidAk mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen
tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-
5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika
pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identiti pasien yang sesuai dengan
formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.Bila lokasi fasiliti laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam -macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

VI. PENGOBATAN TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
1. Obat yang dipakai:1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
A. INH Rifampisin
B. Pirazinamid
C. Streptomisin
D. Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
A. Kanamisin
B. Amikasin
C. Kuinolon
D. Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
E. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:
Kapreomisin, Sikloserino, PAS (dulu tersedia), Derivat rifampisin dan INH,
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
 Obat tunggal,Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol.
 Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC) Kombinasi dosis tetap
ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting


untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
 Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
 Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
 Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar
 Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
 Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada
foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE/ 6HE atau
2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
 TB paru BTA (+), kasus baru
 TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
 TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/
4R3H3
 TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES/1 RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat
diberikan obat RHE selama 5 bulan.
 TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan:
3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan
ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase
awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama
5 bulan.
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
 TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut:
o Berobat > 4 bulan
o BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
o BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama
o Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT.
 TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika
tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan
untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu
dirujuk ke dokter spesialis paru
C. EFEK SAMPING OAT
Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
 Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat
pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis
maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
 Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
 Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
 Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
 Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahanEfek samping yang berat tetapi
jarang terjadi ialah :- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut
OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang- Sindrom respirasi yang
ditandai dengan sesak napasRifampisin dapat menyebabkan warna merah
pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
 Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
 Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
 Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging
dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis
dapat dikurangi 0,25grStreptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga
tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
D. PENGOBATAN SUPORTIF/SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat diberikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
Pasien rawat jalan
 Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
 Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demamc. Bila perlu dapat
diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
Pasien rawat inap
 Indikasi rawat inap :
o TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb: Batuk darah massif, Keadaan
umum buruk, Pneumotoraks, Empiema, Efusi pleura masif / bilateral,
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
o TB di luar paru yang mengancam jiwa :
o TB paru milier, Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat
E. TERAPI PEMBEDAHAN
Indikasi operasi
a. Indikasi mutlak
 Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
 Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
b. lndikasi relative
 Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
 Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
 Sisa kaviti yang menetap.
 Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)· Bronkoskopi· Punksi pleura·
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
F. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
 Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit - Evaluasi klinis meliputi keluhan ,
berat badan, pemeriksaan fisis.
 Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak · Pemeriksaan & evaluasi
pemeriksaan mikroskopik
1. Sebelum pengobatan dimulai
2. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
3. Pada akhir pengobatan · Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan
biakan dan uji resistensi
 Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
o Sebelum pengobatan
o Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
o Pada akhir pengobatan
 Evaluasi efek samping secara klinik
o Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
o Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
o Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
o Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)
o Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
o Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
 Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh:
 BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
 Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
 Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
 Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

VII. TB PARU DENGAN HIV / AIDS


Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB
pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB
dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronikPemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk
memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks
dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


 Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
 Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
 Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit- Injeksi streptomisin hanya boleh
diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
 Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
 Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah
dalam serum
 Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel
8)

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus
diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc
1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2
kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)
sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung
NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
 Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
 Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida
 Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan
inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir
karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin
dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART

VIII. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.Beberapa komplikasi
yang mungikin timbul adalah :
a. Batuk darah
b. Pneumotoraks
c. Luluh paru
d. Gagal napas
e. Gagal jantung
f. Efusi pleura

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at: http//www.who.Tuberculosis.htm.


Accesed on March 3, 2004.
2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.
3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A, Tjokronegoro
A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 1985:1-11.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2005.
5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis, eds
2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for
Tuberculosis, 2002.
6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray JF,
Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2nd ed. Philadelphia, WB Saunders Co,
1994;1095-100.
7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology 3 rd ed.
New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.
8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium tuberculosis. In:
Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;285-301.
9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev Respir Dis
1986;134:1062-71.
10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium Tuberculosis. In: In:
Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;307-32.
11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai Polimerasa /
Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang Ilmu Kesehatan Ilmu Biomedik
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.
12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of medical
illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.
13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-
TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis
PDPI, Palembang 1997.
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China,
1997;1-9.
16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid
immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium
tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.
17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat
Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT. Enseval
Putera Megatrading.
18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan
tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003.
19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of Respiratory
Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-
Indonesia.
20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug
Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS
Persahabatan - Jakarta.
21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.
22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3 rd ed. WHO – Geneva,
2003.
23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi.
Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998.
25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 – 2015. Available
at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.

Anda mungkin juga menyukai