Anda di halaman 1dari 39

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU DALAM

PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT MINANGKABAU DI

ACEH

MAKALAH

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH KAPITA

SELEKTA HUKUM ADAT

Disusun oleh :

Nama : Annisa Noor Fatima

NPM : 161003742014440

Kelas : I.1

Semester : VI

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................................. 2

C. Tujuan Pembahasan .................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 4

A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris Adat ................................................ 4

B. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat .......................................... 8

C. Macam Harta Warisan dalam Hukum Waris Adat ................................... 11

D. Ahli Waris dalam Hukum Waris Adat ...................................................... 15

E. Pelaksanaan Pembagian Waris Menurut Hukum Adat ............................. 18

F. Perkembangan Hukum Waris Adat Mingkabau Dalam Pembagian Warisan

Pada Masyarakat Mingkabau di Aceh ...................................................... 21

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 31

A. Kesimpulan ............................................................................................... 31

B. Saran ......................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari

abad ke abad. Oleh karena itu, maka tidap bangsa di dunia ini memiliki adat

kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh

karena ketidak samaan itu dapat di katakan bahwa adat itu merupakan unsur yang

terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.

Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak

mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, yang

terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut

menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu

menjadi kekal serta tetap segar.

Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu bahwa:

kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah

mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat

atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum,

namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu

adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan. Sehingga

pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada

1
2

kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,

diikhtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.

Beranekaragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia melahirkan

banyaknya hukum atau kebiasaan adat pada masing-masing daerah, yang

ditiaptiap daerah memiliki aturan atau norma-norma yang harus dijalankan oleh

setiap masyarakatnya. Soepomo menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum

yang tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-

peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, namun

ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya

peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.1 Hukum adat memiliki

beberapa sifat yang diantaranya adalah bersifat tidak tertulis, dan bersifat dinamis,

hal ini menyebabkan terhadap hukum adat senantiasa dapat berkembang dan

menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi didalam

masyarakat.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut penyusun mengangkat beberapa hal yang patut untuk

diperdalam keilmuannya yakni:

1. Apa itu Hukum Waris Adat?

2. Bagaimana sistem pewarisan dalam hukum waris adat ?

3. Apasaja macam harta warisan dalam Hukum Waris Adat ?

4. Siapakan ahli waris dalam Hukum Waris Adat ?

1
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta,
1996, Hal. 14
3

5. Bagaimana Pelaksanaan pembagian waris menurut hukum adat ?

6. Bagaimana Perkembangan Hukum Waris Adat Mingkabau dalam

pembagian warisan pada masyarakat Mingkabau di Aceh?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui apa itu Hukum Waris Adat?

2. Untuk mengetahui sistem pewarisan dalam hukum waris adat ?

3. Untuk mengetahui macam harta warisan dalam Hukum Waris Adat ?

4. Untuk mengetahui ahli waris dalam Hukum Waris Adat ?

5. Untuk mengetahui Pelaksanaan pembagian waris menurut hukum

adat?

6. Untuk mengetahui Perkembangan Hukum Waris Adat Mingkabau

dalam pembagian warisan pada masyarakat Mingkabau di Aceh?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris Adat

Hukum waris adat ialah peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang berujud harta benda atau

yang tidak berujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.

Meninggalnya orang tua memang merupakan suatu peristiwa penting bagi

proses pewarisan, akan tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses

penerusan dan pengoperan harta benda dan hak atas harta benda tersebut2

Pada saat ini, masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem

hukum waris, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam dan

sistem hukum waris menurut KUH Perdata. Menurut Ter Haar, hukum waris

adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke

abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak

berwujud dari generasi pada generasi berlaku.3 Hilman Hadikusuma

mengemukakan bahwa hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat

garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta

warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan

penguasaan pemilikannya dari pewaris kepada waris.4 Lebih lanjut Soerojo

2
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum waris, Bandung : PT Alumni,
2007, hlm 32
3
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N.
Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm 47
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 2003, hlm 7

4
5

Wignjodipoero (1990 : 161) memperjelas bahwa hukum adat waris

meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang

materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat

diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat,

cara dan proses peralihannya.5 Berdasarkan uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang

mengatur proses peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang

tidak berwujud dari pewaris kepada ahli waris.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat itu

meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan hukum yang bertalian

dengan proses penurunan serta pengalihan harta benda ( material ), harta cita

( non material ) dari generasi satu kepada generasi berikutnya. Di samping

itu hukum waris adat tidak hanya mengatur pewarisan akibat kematian

seseorang saja, melainkan juga mengatur pewarisan sebagai akibat

pengalihan harta kekayaan. Kekayaan tersebut baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud, baik yang bernilai uang maupun yang tidak bernilai

uang dari pewaris kepada ahli warisnya, baik ketka masih hidup maupun

sesudah meninggal dunia.

5
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Temprin, Jakarta, 1990,
hlm 161.

5
6

Dalam struktur masyarakat hukum adat di Indonesia, menganut

adanya tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut :6

a. Sistem Kekerabatan Parental

Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua

orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-

peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi

nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini juga

seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan

perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri,

maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya,

memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya

sendiri.Susunan sistem kekerabatan ini terdapat masyarakat Jawa

barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan dan

Sulawesi (Makassar)

b. Sistem Kekerabatan Patrilineal

Dalam sistem kekerabatan patrilineal anak menghubungkan

diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki

secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat ini, yaitu

berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak

bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta

hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem

6
Van Dijk, R, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Mandar Maju,
Bandung, 2006.
7

kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku Bali, suku Rejang,

suku batak dan suku Makassar, dan Bangsa Arab.

c. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Menurut Bushar Muhammad, dalam masyarakat yang

susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang

sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan

kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para

warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang

menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah

warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari pada

keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan ini

terdapat pada Suku Indian di Apache Barat, Suku Khasi di

Meghalaya, India Timur Laut, Suku Nakhi di provinsi Sichuan dan

Yunnan, Tiongkok,Suku Minangkabau di Sumatera Barat, Kerinci

dan orang Sumendo7

Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat

dimulai ketika pemilik kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut berjalan

terus sehingga masing-masing keturunannya menjadi keluargakeluarga yang

berdiri sendiri yang disebut mencar dan mentas ( Jawa ), yang pada saatnya

nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut

kepada generasi berikutnya. Proses itu tidak menjadi terhambat karena

meninggalnya orang tua, meninggalnya bapak atau ibu tidak akan

7
Ibid.
8

mempengaruhi proses penurunan dan pengoperan harta benda dan harta

bukan harta benda tersebut.8

Korn mengatakan dalam bukunya Panetje hukum pewarisan adalah

bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-

perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum Bali, baik mengenai

banyaknya barang-barang yang boleh diwarisan atau mengenai banyaknya

bagian masing-masing ahli waris, maupun mengenai putusanputusan

pengadilan adat.9 Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai

pewarisan menentukan bahwa harta warisan terjadi dari hasil bersih

kekayaan pewaris yang telah dipotong hutangnya, termasuk juga hutang yang

dibuat untuk ongkos menyelenggaraka pewaris. Pembagian harta warisan

dibagi antara ahli waris sama rata, sedangkan untuk kepentingan biaya puri

atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka keluarkan sama rata juga.

Pengadilan negeri sekarang cenderung memenuhi apabila ada tuntutan yang

demikian.10

B. Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat

Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan

8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 1978, hal. 41.
9
I Gede Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar, 1986, hal 101.
10
Ibid, hal. 106
9

yang ditnggalkan, baik setelah pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu

masih hidup.11

Hubungan hukum ini merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur

dan merupakan keadaan hukum yang mengakibatkan terjadi perubahan hak dan

kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian perubahan dan eralihan

dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan merupakan suatu proses yang harus

dilakukan secara tepat dan beraturan.

Proses yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya

yang sah dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya

perolehan berdasarkan kedudukan para pihak karena ditentukan oleh hukum. Di

Indonesia secara garis besar dikenal tiga sistem pewarisan, yaitu :

1. Sistem Pewarisan Individual.

Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan

pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan

menurut bagiannya masing-masing. Sistem pewarisan ini contohnya pada

masyarakat parental di Jawa.

2. Sistem Pewarisan Kolektif.

Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan

pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu kesatuan

yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. Setiap ahli waris

berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari

11
I Gde Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, 1977,
hal. 71.
10

harta warisan itu. Sistem pewarisan kolektif ini contohnya pada

masyarakat matrilineal di Mingangkabau.

3. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan kolektif,

hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak

terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai

pemimpin rumah tangga.12 Sistem pewarisan mayorat contohnya di Pulau

Bali, dimana anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan

kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.13

Azas mayorat dalam pewarisan anak sulung ini dapat menjadi lemah,

apabila di antara anak lelaki yang lebih muda menuntur agar harta warisan orang

tua dibagi guna modal kehidupan keluarganya. Di Bali keadaan ini sudah mulai

berkembang, bahwa sistem mayorat melemah karena anak sulung tidak lagi

menetap menunggu rumah tua, melainkan telah pula mengikuti perkembangan

zaman hidup di kota.14

Ketiga sistem pewarisan tersebut masing-masing tidak langsung menunjuk

pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu tempat sistem pewarisan itu

berlaku. Sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan

masyarakat, bahkan dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat ditemui lebih

dari satu sistem pewarisan.

12
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987, hal. 29.
13
Wignjodipuro, Hukum Waris, … hal. 153.
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga, … hal. 74.
11

C. Macam Harta Warisan dalam Hukum Waris Adat

Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta

yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia ( pewaris ). Pengertian

harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis

saja, melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti religius.

Harta warisan menurut hukum waris adat adalah bukan sematamata yang

bernilai ekonomis tetapi termasuk juga yang non ekonomis, yaitu yang

mengandung nilai-nilai kehormatan adat dan yang bersifat magis religius. sehingg

apabila ada pewaris wafat maka bukan saja harta warisan yang berwujud benda

yang akan diteruskan atau dialihkan kepada para waris tetapi juga yang tidak

berwujud benda.15

Soeripto16 menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai

harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai

magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara

keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain : harta akas

kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.

Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat

dibedakan menjadi :

1). Harta Pusaka.

Harta Pusaka adalah harta yang mempunyai nilai magis religius

dan lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses pewarisannya dipertahankan di

15
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1993, hlm 96..
16
Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat, … hal. 92.
12

lingkungan keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai

keluar dari lingkungan keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya

berkaitan dengan tempat-tempat persembahyangan, sehingga

keutuhannya tetap dipertahankan demi kepentingan keagamaan dan

bukan untuk kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali

yang mayoritas menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis

harta pusaka di Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat

upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura dan druwe tengah.

2). Harta Bawaan.

Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat

karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan

merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau

karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda

tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini disebut harta

bebaktan yang terdiri dari :

a) Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-

masing atas jerih payah sendiri sebelum masuk jenjang

perkawinan.17 Setelah kawin dan mereka hidup rukun sebagai

suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama / druwe

gabro.18

b) Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua

kepada anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk

17
Ibid., hal. 92.
18
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum, … hal. 226.
13

perkawinan. Pemberian jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku

seketika, ini berarti bahwa penerima jiwa dana dapat

memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari

saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin

keluar, istri yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa

harta jiwa dana tersebut.19

3). Harta Bersama.

Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri dalam

perkawinan. Pada hukum adat Bali disebut harta druwe gabro.

Penyebutan istilah harta bersama ini ternyata belum ada keseragaman

di Bali, ada yang menyebut guna kaya, maduk sekaya, pekaryan

sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih dan sebagainya. 20 Apabila

terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya

(druwe gabro) itu harus dibagi dua sama rata.21

Jenis-jenis harta warisan menurut hukum adat adalah sebagai

berikut:

a. Kedudukan atau jabatan adat

Kedudukan atau jabatan adat yang bersifat turun

temurun merupakan warisan yang tidak berwujud benda.

Misalnya kedudukan kepala adat atau petugas-petugas adat.

19
Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat, … hal. 95.
20
Ibid., hal. 99.
21
I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Dengan
Yuriprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Bali, 1987, hal. 27.
14

Termasuk warisan kedudukan adat adalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban sebagai anggota prowatin adat (dewan

tua-tua adat) yang mempertahankan tata tertib adat,

mengatur acara dan upacara adat, penggunaan alat-alat

perlengkapan dan bangunan-bangunan adat serta bertindak

sebagai penengah dalam penyelesaian perselisihan

kekerabatan adat.

b. Harta Pusaka

Harta pusaka terbagi menjadi dua jenis yakni harta puska

tinggi dan harta pusaka rendah. harta pustaka tinggi adalah

semua harta berwujud benda, benda tetap seperti bangunan,

dan tanah, benda bergerak seperti perlengkapan pakaian

adat dan perhiasan adat, alat senjata, alat-alat pertanian,

perikanan, peternakan, jimat-jimat. Sedangkan yang

berbentuk benda tidak berwujud adalah seperti ilmu-ilmu

ghaib dan amanat-amanat pesan tertulis.

Harta pusaka rendah adalah semua harta warisan yang juga

tidak terbagi-bagi, yang berasal dari mata pencarian jerih

payah kakek/nenek atau ibu/ayah dan kebanyakan tidak

terletak di kampung asal.

c. Harta Bawaan

Semua harta warisan yang berasal dari bawaan suami dan

atau bawaan istri ketika melangsungkan perkawinan adalah


15

harta bawaan. Jenis harta bawaan dapat berupa barang tetap

atau barang bergerak.

d. Harta Pencarian

Harta pencarian adalah semua harta warisan yang berasal

dari hasil jerih payah suami dan istri bersama selama dalam

ikatan perkawinan

D. Ahli Waris dalam Hukum Waris Adat

Di Indonesia antara daerah yang satu dengan yang lainnya terdapat suatu

perbedaan tentang para waris, baik terhadap ahli waris yang berhak mewarisi

maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Berhak atau tidaknya

para waris sebagai penerima warisan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan

dan agama yang dianut. Djaren Saragih mengemukakan bahwa pada dasarnya ahli

waris itu terdiri dari berikut ini:22

a. Garis pokok keutamaan

Yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di

antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian

bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang

lain. Golongan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kelompok keutamaan I adalah keturunan pewaris

2) Kelompok keutamaan II adalah orang tua pewaris

3) Kelompok keutamaan III adalah saudara-saudara pewaris dan

keturunannya

22
Djaren Saragih, op.cit, hlm 170.
16

4) Kelompok keutamaan IV adalah kakek dan nenek pewaris

b. Garis pokok penggantian

Yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara

orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai

ahli waris, golongan tersebut yaitu :

1) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris

2) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris

Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku pada

masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda.

Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli

waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat

di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak

saja anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut

sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas

harta peninggalan orang tuanya.

Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian

mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan

hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam

pasal 913 BW. Hukum waris adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris

untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris

sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 BW. Akan tetapi jika si

waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat

waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan


17

harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris

lainnya.

Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan

golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya

merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga

tidak mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.

Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari

si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.23

Iman Sudiyat24 memberikan pendapat bahwa pada umumnya yang menjadi

ahli waris ialah para warga yang paling karib dalam generasi berikutnya, ialah

anak-anak yang dibesarkan di dalam keluarga / brayat si pewaris, yang pertama-

tama mewaris ialah anak-anak kandung. Jadi ahli waris utama dalam hukum adat

adalah anak kandung dan dasar mewaris dalam hukum adat adalah hubungan

darah. Apabila pewaris tidak mempunyai anak kandung maka anak angkat berhak

atas warisan sebagai anak, bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil

anak telah menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya

perangai anak, maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.25

Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal

maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan

tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam

hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan

23
Wignjodipuro, Hukum Waris, … hal. 182.
24
Iman Sudiyat, 1983, Peta Hukum Waris Indonesia, Kertas Kerja Simposium Hukum Waris
Nasional, hal. 162.
25
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum, … hal. 218.
18

maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan melakukan perkawinan

nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke

alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki,

sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan

berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi

laki-laki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai

wanita.26

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris

mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian

seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala

sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.27

E. Pelaksanaan atau Pembagian Waris menurut Hukum Adat

Pada umumnya, proses perwarisan yang berlaku menurut hukum adat di

dalam masyarakat Indonesia hanya ada dua bentuk, yaitu pertama, proses

pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih hidup, dan kedua, proses

pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat. Apabila proses pewarisan

dilakukan semasa pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara

penerusan, pengalihan, berpesan, berwasiat, dan beramanat. Sebaliknya, apabila

dilaksanakan setelah pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh

anak tertentu, anggota keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian

26
I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali, … hal. 38.
27
Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 70
19

dapat berlaku pembagian ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang,

berbanding atau menurut hukum agama.

Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat

bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin,

hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan

bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas

individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem

bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal,

misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam

mewaris, memakai asas individual.

Menurut Djaren Saragih, sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat

Indonesia adalah sebagai berikut :28

a. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan. Sistem

umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral seperti di Pulau Jawa.

b. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagibagikan.

Sistem ini umumnya terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem ini dapat

dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem

pewarisan mayorat.

1) Sistem pewarisan kolektif, yaitu harta peninggalan dilihat sebagai

keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki bersama-sama oleh para

ahli waris, seperti pada masyarakat Minangkabau dan Ambon.

28
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980, hlm 163
20

2) Sistem Pewarisan mayorat, yaitu harta peninggalan secara keseluruhan

tidak dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua. Dalam

sistem pewarisan mayorat, ada yang bersifat mayorat laki-laki yang

berarti harta peninggalan jatuh ke tangan anak laki- laki tertua dan

mayorat perempuan di maana harta peningglan jatuh ke tangan anak

perempuan yang tertua.

Sedangkan menurut Soerojo Wignjodipoerodijumpai tiga sistem pewarisan

dalam hukum adat di Indonesia, yaitu sebagai berikut :29

a. Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagibagi di

antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa.

b. Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh

sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam bidang

hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh

dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya

boleh dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai

hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau.

c. Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta peninggalan diwarisi

keseluruhannya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana

terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo

Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang

tertua.

29
Wignjodipoero, Soerojo, Opcit, hlm 165
21

F. Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian

Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh

Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk sistem

kekerabatan dan sistem kewarisannya masing-masing. Hukum waris adat di

Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang berlaku pada

masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama berpengaruh

terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan, baik

yang materil maupun immateril.30 Dalam masyarakat seorang anak dipandang

sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga setiap anak mempunyai

hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya.

Kerabat yang ditelusuri melalui bapak biasanya disebut patrilineal, kerabat yang

melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal dan kerabat yang ditelusuri dari kedua

belah pihak (ibu dan bapak) disebut parental/bilateral. Di Indonesia, hukum waris

yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni

hukum waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum

Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di

Sumatera Barat yang dalam konsep Van Vollenhoven termasuk kedalam 19

lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal

penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem

kewarisannya, walaupun masyarakat Minangkabau hampir keseluruhan beragama

Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap mengunakan

30
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 259-
260.
22

hukum adat sebagai aturannya, kewarisan Hukum Islam hanya dipergunakan

terhadap harta pusako randahnya saja.31

Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Minangkabau adalah

sistem matrilineal, yang memiliki ciri adanya keterikatan orang Minangkabau

pada ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di

Minangkabau memiliki kedudukan yang yang istimewa sehingga dijuluki dengan

bundo kanduang, yang juga menjadi peranan dalam menentukan keberhasilan

pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.32

Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau,

yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad-

abad yang lalu.33 Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan

diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah

terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya.

Mungkin sekali hal ini berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano

bumi dipijak, disitu langik dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan

budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri. 34Namun, Pada

awal merantaunya masyarakat Minangkabau ke Kecamatan Tapaktuan, tidak

sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam

penyelesaian masalah-masalah yang terjadi, khususnya dalam hal pewarisan.

Meski pembagian harta pusako tinggi ditujukan pada harta yang terletak di daerah

asal (Minangkabau), masyarakat Minangkabau masih terus membagi harta pusako

31
Amir Sjarifoedin Tj. A, Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjo, Griya Media Prima, Jakarta, 2014, Hal. 102.
32
Ibid, Hal. 127
33
Ibid, Hal. 668
34
Ibid, Hal. 654
23

tinggi tersebut, dengan mensiasati cara pengelolaannya, yaitu dengan cara tinggal

sementara selama 3 (tiga) bulan di Minangkabau dan kembali lagi ke Tapaktuan

untuk 6 (enam) bulan berikutnya, seperti itu seterusnya.Hal ini tidak dibenarkan,

kecuali jika ada ”dunsanak” kemenakan yang kehidupannya agak susah di

perantauan boleh kembali kekampung untuk mengurus harta itu.35 Sehingga dapat

dilihat bahwa masyarakat Minang perantauan dapat membagi harta pusako tinggi,

namun harus kembali ke Minangkabau (Menetap).

Daerah Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan nilai

keIslamannya, dikarenakan hampir seluruh penduduk Aceh beragama Islam,

sehingga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari selalu

berpegangan kepada Hukum Islam. Masyarakat Minangkabau yang menganut

sistem matrilineal dan mayoritas beragama Islam dalam pembagian warisannya

juga dipengaruhi oleh sistem pewarisan Islam, namun tidak keseluruhan sistem

kewarisannya mengikuti sistem pewarisan secara Islam, melainkan hanya pada

pewarisan harta Pusako Randah sajanya. Sedangkan terhadap harta Pusako

Tinggi, masyarakat Minangkabau lebih mengedepankan hukum adat. Hal ini dapat

dilihat dalam pembagian warisan secara harta Pusako Tinggi pada masyarakat

Minangkabau, yang mendapatkan bagian besar atau pewarisnya adalah anak

perempuan.

Berbeda dengan di Aceh yang menganut sistem parental/bilateral dan

sangat didasarkan pada Hukum Islam, karena hampir keseluruhan dari masyarakat

yang tinggal di Aceh menganut agama Islam, dimana dalam Hukum Islam yang

35
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 210
24

mendapat bagian warisan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, namun besar

bagian yang ditentukan adalah lebih besar bagian laki laki, yaitu laki-laki

mendapat dua bagian lebih besar dari pada anak perempuan. Besarnya bagian

warisan yang diterima oleh laki-laki dalam Hukum Islam sejalan dengan hukum

adat pada masyarakat Aceh, khususnya di Kecamatan Tapaktuan. Adanya

perbedaan sistem kekerabatan diantara kedua masyarakat adat tersebut maka akan

menimbulkan perbedaan dalam penerapan hukum adat yang digunakan,

khususnya dalam hal hukum kewarisannya.

Masyarakat Aceh menggunakan sistem kekerabatan parental atau bilateral

yang ditarik melalui garis kedua orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapakibu),

dimana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan didalam pewarisan.

Hukum Islam mengakui adat sebagai salah satu sumber hukum, adat termasuk

bagian ijtihad, yang merupakan sumber Hukum Islam disamping AlQur’an dan

Sunnah. Dalam usul fiqh, adat dikenal dengan istilah Urf’, yang di artikan sebagai

sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan

mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan.36

Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan

identifikasi masyarakat Minangkabau. Adat dan budaya Minangkabau

menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan

kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan nama

“sumande” (se-ibu). Sedangkan ayah disebut oleh masyarakat Minangkabau

36
Muin Umar, Et.Al, Ushu Fiqh, Jilid I, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985, Hal. 150
25

dengan nama “sumando” (ipar atau semenda) dan diperlakukan sebagai tamu

dalam keluarga.37

Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal descen,

yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini

seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini, juga mempunyai

arti pada penerusan harta warisan, di mana seorang anak akan memperoleh

warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta

peninggalan, yang sudah turun-menurun.38

Di Indonesia terdapat tiga macam sistem kewarisan, yaitu, sistem

kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat.

Dalam sistem kekerabatan matrilinieal, harta warisan diturunkan secara kolektif

dalam garis keturunan ibu. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan

Minangkabau adalah sebagai berikut :

1. Asas Unilateral

2. Asas Kolektif

3. Asas Keutamaan

Sistem kewarisan Islam, jika dilihat terdapat beberapa perbedaan mengenai

asas-asas dalam sistem kewarisan yang digunakan. Kewarisan dalam Islam

mempunyai 5 (lima) asas, yaitu:

1. Asas Ijbari

2. Asas Bilateral

3. Asas Individual

37
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 126
38
Ibid, Hal. 128
26

4. Asas Keadilan Berimbang

5. Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau Ada Yang Meninggal Dunia

Terhadap harta pusako tinggi yang merupakan pusaka turun temurun yang

berada di daerah asal Minangkabau, masyarakat Minangkabau yang menetap dan

tinggal di daerah Tapaktuan pada saat sekarang ini hampir keseluruhan sudah

tidak menggunakan sistem pembagian pusako tinggi tersebut. Masyarakat

Minangkabau di Tapaktuan sudah melakukan pembagian warisan dengan

mengikuti hukum adat yang berlaku di Aceh, yang juga sesuai dengan hukum

fara’idh

Hukum adat yang berlaku di Minangkabau bukan suatu hukum yang salah,

melainkan suatu bentuk hukum yang tepat, dikarenakan pemberian pusaka yang

ditujukan pada garis keturunan perempuan akan membawa banyak manfaat bagi

anggota kaum, dikarenakan anak perempuan dapat menjaga pusaka lebih baik,

jika dibanding dengan anak laki-laki, walaupun dalam pelaksanaannya anak

perempuan tetap berada dalam pengawasan seorang mamak. Namun, besarnya

kepercayaan dan rasa sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak menjadikan

sebagian besar masyarakat Minangkabau di Tapaktuan memilih untuk membagi

warisan secara hukum adat Aceh, yang memberikan warisan kepada seluruh anak

baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga seluruh anak-anaknya dapat mewarisi

harta peninggalan pewaris.

Selain rasa percaya dan rasa kasih sayang yang sama besarnya terhadap

anak-anak, masyarakat Minang perantauan melakukan pembagian waris secara

hukum adat yang berlaku di Aceh ( hukum fara’idh) disebabkan karena adanya
27

pemahaman yang lebih dalam mengenai Hukum Islam khususnya dalam hal

pewarisan, sehingga masyarakat Minang perantauan lebih memahami akan bagian

warisan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. Sejalan dengan itu, masyarakat

Minang perantauan sudah seharusnya mengikuti hukum adat ditempat yang

menjadi daerah perantauannya.

Meskipun hampir keseluruhan masyarakat Minangkabau dalam

pelaksanaan pembagian warisan sudah menggunakan hukum adat Aceh, dan

sangat memegang pepatah yang menyatakan Dimano bumi dipijak, disitu langik

dijunjung, (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung), masih juga terdapat

masyarakat Minangkabau yang membagi warisan secara pusako tinggi yang ada

di kampung asal mereka, Minangkabau. Hal ini disebabkan karena masih

banyaknya kerabat dari masyarakat Minang perantauan yang berada di

Minangkabau. Pewarisan yang disyaratkan harus berada di kampung asal pusaka

ini berada, dilakukan sama halnya dengan pembagian pusako tinggi pada

umumnya, yaitu dengan cara memberikan warisan kepada ahli waris anak

perempuan tertua yang ditinggalkan pewaris. Namun yang menjadi pembeda

antara ahli waris pusako tinggi lainnya adalah dalam hal pengelolaannya. Pusako

tinggi yang diberikan kepada anak perempuan seharusnya dikelola dan

dimanfaatkan langsung dengan sebaik-baiknya oleh anak perempuan dengan di

jaga dan di awasi oleh mamaknya, namun terhadap ahli waris pusako tinggi (anak

perempuan) yang berada diperantauan, oleh ahli waris tersebut pengelolaannya

diberikan kepada orang lain untuk menjaga pusaka tersebut selama ahli waris

tersebut berada diperantauan, Bukan dikelola oleh ahli waris tersebut sendiri.
28

Terjadinya pewarisan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Pewaris

b. Ahli Waris

c. Harta Warisan

Penerusan dan peralihan harta kekayaan dapat berlaku sejak pewaris masih

hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.39 Dalam hukum adat pada umumnya,

proses pewarisan dapat berlangsung sebelum si pewaris meninggal, yaitu hibah

dan wasiat. Berbeda lagi dengan halnya harta yang berpindah tangan dengan cara

warisan. Disebut harta warisan jika perpindahan harta tersebut terjadi setelah

pemilik harta meninggal, dan cara membagi harta peninggalannya harus dilakukan

menurut petunjuk-petunjuk yang ditentukan.40

Sebelum harta peninggalan menjadi hak ahli waris, lebih dahulu harus

diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan itu sebab pewaris

pada waktu hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar,

meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta peninggalan dan lain

sebagainya. Hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib

adalah sebagai berikut :

a. Biaya penyelenggaraan jenazah

b. Hutang mayit (pewaris)

c. Hak orang yang menerima wasiat.41

39
Anton Budiarto, Materi Hukum Waris Adat, Di Akses Tanggal 22-Oktober-2019,
Http://Antonbudiarto.Wordpress.Com/2010/10/22/Materi-Hukum-Waris-Adat
40
J. Soenik Nurlaili, Prosedur Pembagian Harta Warisan, Di Akses Pada Tanggal 22- Oktober-
2019, Http://Jsoeniknurlail.Blogspot.Co.Id/2013/11/Prosedurpembagian-HartaWarisan.Html?M=1
41
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Medan, 2012., Hal. 19
29

Terhadap masyarakat Minangkabau yang telah melakukan pewarisan

dengan menggunakan adat waris Aceh, prosedur yang dapat dilakukan ialah

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadist, hal ini

disebabkan hukum adat Aceh sepenuhnya mengikuti ketentuan yang telah terdapat

dalam Al-Qur’an, khusunya dalam hal kewarisan.

Adapun prosedur pelaksanaannya ialah :

a. Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan.

b. Memanggil Imum Mesjid atau Teungku Imum untuk melakukan

pembagian warisan (ada juga yang membagi berdasarkan keluarga saja)

c. Menentukan siapa saja ahli waris yang ditinggalkan

d. Menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris.

e. Melaksanakan pembagian warisan.

Mengenai waktu pelaksanaan pembagian warisan, sebaiknya jika

memungkinkan pembagian harta warisan dilakukan secepatnya, agar para ahli

waris dapat mempergunakan dan mengusahakan warisan yang diberikan

kepadanya sesuai dengan hak bagiannya, dan juga untuk mengantisipasi adanya

sengketa dikemudian hari.

Namun jika adanya alasan tertentu yang dapat menyebabkan tertundanya

pembagian warisan tersebut, juga tidak menjadi masalah, asalkan adanya alasan

yang menguatkkan penundaan pembagian warisan dan adanya kesepakatan serta

persetujuan dari semua ahli waris. Sehingga semua ahli waris menyetujui

penundaan pembagian warisan tersebut.


30

Dalam setiap hal yang dilakukan, pastinya harus melewati sebuah proses

sehingga dapat mencapai sebuah hasil. Proses yang dilakukan dapat

bermacammacam sesuai dengan hasil akhir yang di inginkan oleh masing-masing

manusia, namun tidak semua proses dapat berjalan dengan baik atau lancar.

Begitu juga dengan proses pelaksaan hukum waris, khususnya terhadap

pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau di daerah Tapaktuan, mengalami

hambatan-hambatan yang menyebabkan terjadinya perkembangan dalam hukum

waris adat yang digunakan.

Adapun hambatan-hambatannya :

1. Pengaruh Keyakinan Beragama

2. Faktor Perkawinan

3. Tidak Adanya Sanksi Dalam Pelaksanaannya


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum waris adat merupakan hukum yang bertalian dengan proses

aturan-aturan penurunan dan peralihan kekayaan materiil dan

immateriil dari turunan ke turunan. Merumuskan hukum waris adat

sebagai hukum yang menurut peraturan-peraturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan

barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada

turunannya.

2. Pengaturan Waris Adat di Indonesia terbagi menjadi 3 sistem

pembagian, adapun diantaranya adalah:

a. Sistem Pewarisan Individual.

Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan

pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan

menurut bagiannya masing-masing. Sistem pewarisan ini

contohnya pada masyarakat parental di Jawa.

b. Sistem Pewarisan Kolektif.

Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan

pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu

kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya.

Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan

31
32

mendapatkan hasil dari harta warisan itu. Sistem pewarisan

kolektif ini contohnya pada masyarakat matrilineal di

Mingangkabau.

c. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan

kolektif, hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan

atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak

tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga. Sistem

pewarisan mayorat contohnya di Pulau Bali, dimana anak laki-laki

tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan kewajiban

memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.

3. Dalam perkembangan pelaksanaan pembagian warisan pada

masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, sebagian

besar masyarakat Minang perantauan pada saat ini dalam pembagian

warisannya telah menggunakan hukum adat Aceh.

4. Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Minang perantauan di

kecamatan Tapaktuan, dilakukan sama dengan apa yang diberlakukan

kepada masyarakat Aceh dan sudah tentu mengikuti Hukum Islam

(Fara’idh), tidak terdapat pembedaan didalam pelaksanaannya. Adapun

prosedur pelaksanaannya sebagai berikut : a) Mengeluarkan hak-hak

yang berkaitan dengan harta peninggalan. b) Memanggil imum mesjid

atau teungku imum untuk melakukan pembagian warisan (ada juga

yang membagi berdasarkan keluarga saja), c) menentukan siapa saja


33

ahli waris yang ditinggalkan, d) menentukan besarnya bagian masing-

masing ahli waris, e) melaksanakan pembagian warisan. Bagi

masyarakat Minang perantauan yang masih menggunakan pembagian

warisan secara pusako tinggi, pembagian dilaksanakan di

Minangkabau sesuai dengan adat yang berlaku di Minangkabau.

5. Dari kenyataan yang terjadi, berkembangnya hukum waris adat

Minangkabau ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang mana hal

tersebut merupakan hambatan yang menyebabkan tidak dapat

berjalannya hukum waris adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan,

sehingga terjadinya perkembangan dalam pelaksanaan hukum waris

adat Minangkabau yang digunakan. Adapun hambatannya ialah : a)

Pengaruh keyakinan beragama, b) faktor perkawinan, c) tidak adanya

sanksi dalam pelaksanaannya.

B. Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat adat Minangkabau yang sudah tinggal

dan menetap dan masih menggunakan hukum adat Minangkabau

dalam pembagian warisannya, ada baiknya menggunakan hukum adat

Aceh dalam pembagian warisannya, bukan dalam hal ini hukum

kewarisan Minangkabau tidak tepat, melainkan mengacu pada pepatah

adat yang menyatakan Dimana bumi dipijak, disitu langik di junjung,

yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus

kehilangan kultur budaya sendiri. Sehingga adat yang ada di tempat

tinggal (perantauan) lah yang menjadi dasar dalam hal pembagian


34

warisan, sehingga terhadap harta pusaka yang ada di daerah asal

Minangkabau, dapat diberikan kepada ahli waris lain yang tinggal dan

menetap di Minangkabau, hal ini akan berdampak pada pengawasan

dan pengeloaannya, yang akan dilaksanakan dan dilihat langsung oleh

ahli waris yang ada di Minangkabau.

2. Adanya penyampaian secara umum mengenai pembagian warisan

berdasarkan hukum fara’idh secara lebih terperinci, mengingat

Pembagian waris secara adat Aceh yang sangat didasarkan pada

Hukum Islam. Sehingga diharapkan seluruh masyarakat adat, baik

masyarakat adat Aceh maupun adat Minangkabau dapat lebih

mengerti dan memahami secara pasti besarnya bagian yang dapat

diperoleh dari harta warisan untuk masing-masing ahli waris yang

ditinggalkan. Dan hendaknya dapat diterapkan secara baik oleh

seluruh masyarakat, sehingga diharapkan tidak terjadinya sengketa

dikemudian hari.

3. Hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan hukum waris adat

Minangkabau diperantauan yang menyebabkan terjadinya

perkembangan terhadap hukum kewarisan yang digunakan di anggap

adalah sebuah hal yang wajar, mengingat hukum adat memiliki sifat

yang dinamis, yang dapat berubahubah. Sehingga diharapkan kepada

masyarakat Minangkabau yang ada di Kecamatan Tapaktuan tidak

menjadikan hambatan tersebut sebagai hal yang kurang baik.

Melainkan menjadikannya sebuah pembelajaran akan


35

beranekaragamnya kebudayaan dan suku yang ada di Indonesia.

Digunakannya hukum adat Aceh dalam hal pembagian warisan pada

masyarakat Minangkabau, merupakan suatu pilihan masyarakat

Minangkabau yang sudah memahami bahwa harta pusako tinggi

tersebut tidak dapat dikelola oleh ahli waris yang berada diperantauan,

dan didorong oleh rasa kekeluargaan yang sudah tercipta sejak

berpuluh-puluh tahun lalu. Begitu juga dalam hal yang lainnya,

banyak hal yang juga diterapkan oleh masyarakat adat Aceh yang di

ambil dan di terapkan yang berasal dari adat Minangkabau, misalnya

tatacara upacara perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Amir Sjarifoedin Tj. A, Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai

Tuanku Imam Bonjo, Griya Media Prima, Jakarta, 2014

Anton Budiarto, Materi Hukum Waris Adat, Di Akses Tanggal 22-Oktober-2019,

Http://Antonbudiarto.Wordpress.Com/2010/10/22/Materi-Hukum-Waris-

Adat

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung,

2003

I Gede Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar,

1986

I Gede Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari,

Jakarta, 1977

I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi

Dengan Yuriprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Bali, 1987

Iman Sudiyat, 1983, Peta Hukum Waris Indonesia, Kertas Kerja Simposium

Hukum Waris Nasional

J. Soenik Nurlaili, Prosedur Pembagian Harta Warisan, Di Akses Pada Tanggal

22- Oktober-2019,

Http://Jsoeniknurlail.Blogspot.Co.Id/2013/11/Prosedurpembagian-

HartaWarisan.Html?M=1

M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Medan, 2012


Muin Umar, Et.Al, Ushu Fiqh, Jilid I, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum waris, Bandung :

PT Alumni, 2007

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung

Agung, Jakarta, 1996

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti

Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990

Van Dijk, R, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Mandar

Maju, Bandung, 2006.

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Temprin,

Jakarta, 1990

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 1978

Anda mungkin juga menyukai