ACEH
MAKALAH
Disusun oleh :
NPM : 161003742014440
Kelas : I.1
Semester : VI
2019
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................... 31
B. Saran ......................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad. Oleh karena itu, maka tidap bangsa di dunia ini memiliki adat
kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh
karena ketidak samaan itu dapat di katakan bahwa adat itu merupakan unsur yang
terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu
mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat
atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum,
namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu
pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada
1
2
kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,
ditiaptiap daerah memiliki aturan atau norma-norma yang harus dijalankan oleh
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, namun
beberapa sifat yang diantaranya adalah bersifat tidak tertulis, dan bersifat dinamis,
hal ini menyebabkan terhadap hukum adat senantiasa dapat berkembang dan
masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian tersebut penyusun mengangkat beberapa hal yang patut untuk
1
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta,
1996, Hal. 14
3
C. Tujuan Pembahasan
adat?
PEMBAHASAN
yang tidak berujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.
penerusan dan pengoperan harta benda dan hak atas harta benda tersebut2
hukum waris, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam dan
sistem hukum waris menurut KUH Perdata. Menurut Ter Haar, hukum waris
adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
mengemukakan bahwa hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
2
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum waris, Bandung : PT Alumni,
2007, hlm 32
3
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N.
Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm 47
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 2003, hlm 7
4
5
materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat
mengatur proses peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat itu
dengan proses penurunan serta pengalihan harta benda ( material ), harta cita
itu hukum waris adat tidak hanya mengatur pewarisan akibat kematian
yang tidak berwujud, baik yang bernilai uang maupun yang tidak bernilai
uang dari pewaris kepada ahli warisnya, baik ketka masih hidup maupun
5
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Temprin, Jakarta, 1990,
hlm 161.
5
6
Sulawesi (Makassar)
6
Van Dijk, R, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Mandar Maju,
Bandung, 2006.
7
warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari pada
Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat
dimulai ketika pemilik kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut berjalan
berdiri sendiri yang disebut mencar dan mentas ( Jawa ), yang pada saatnya
7
Ibid.
8
bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-
pengadilan adat.9 Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai
kekayaan pewaris yang telah dipotong hutangnya, termasuk juga hutang yang
dibagi antara ahli waris sama rata, sedangkan untuk kepentingan biaya puri
atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka keluarkan sama rata juga.
demikian.10
hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan
8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 1978, hal. 41.
9
I Gede Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar, 1986, hal 101.
10
Ibid, hal. 106
9
yang ditnggalkan, baik setelah pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu
masih hidup.11
dan merupakan keadaan hukum yang mengakibatkan terjadi perubahan hak dan
kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian perubahan dan eralihan
dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan merupakan suatu proses yang harus
Proses yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya
yang sah dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya
11
I Gde Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, 1977,
hal. 71.
10
hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak
Bali, dimana anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan
Azas mayorat dalam pewarisan anak sulung ini dapat menjadi lemah,
apabila di antara anak lelaki yang lebih muda menuntur agar harta warisan orang
tua dibagi guna modal kehidupan keluarganya. Di Bali keadaan ini sudah mulai
berkembang, bahwa sistem mayorat melemah karena anak sulung tidak lagi
pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu tempat sistem pewarisan itu
berlaku. Sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan
masyarakat, bahkan dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat ditemui lebih
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987, hal. 29.
13
Wignjodipuro, Hukum Waris, … hal. 153.
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga, … hal. 74.
11
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta
harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis
Harta warisan menurut hukum waris adat adalah bukan sematamata yang
bernilai ekonomis tetapi termasuk juga yang non ekonomis, yaitu yang
mengandung nilai-nilai kehormatan adat dan yang bersifat magis religius. sehingg
apabila ada pewaris wafat maka bukan saja harta warisan yang berwujud benda
yang akan diteruskan atau dialihkan kepada para waris tetapi juga yang tidak
berwujud benda.15
harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai
keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain : harta akas
dibedakan menjadi :
15
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1993, hlm 96..
16
Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat, … hal. 92.
12
karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda
tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini disebut harta
a) Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-
suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama / druwe
gabro.18
b) Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua
17
Ibid., hal. 92.
18
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum, … hal. 226.
13
berikut:
19
Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat, … hal. 95.
20
Ibid., hal. 99.
21
I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Dengan
Yuriprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Bali, 1987, hal. 27.
14
kekerabatan adat.
b. Harta Pusaka
c. Harta Bawaan
d. Harta Pencarian
dari hasil jerih payah suami dan istri bersama selama dalam
ikatan perkawinan
Di Indonesia antara daerah yang satu dengan yang lainnya terdapat suatu
perbedaan tentang para waris, baik terhadap ahli waris yang berhak mewarisi
maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Berhak atau tidaknya
para waris sebagai penerima warisan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan
dan agama yang dianut. Djaren Saragih mengemukakan bahwa pada dasarnya ahli
keturunannya
22
Djaren Saragih, op.cit, hlm 170.
16
masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda.
Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli
waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat
di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak
saja anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut
sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian
mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan
hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam
pasal 913 BW. Hukum waris adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 BW. Akan tetapi jika si
harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris
lainnya.
golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya
Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari
ahli waris ialah para warga yang paling karib dalam generasi berikutnya, ialah
tama mewaris ialah anak-anak kandung. Jadi ahli waris utama dalam hukum adat
adalah anak kandung dan dasar mewaris dalam hukum adat adalah hubungan
darah. Apabila pewaris tidak mempunyai anak kandung maka anak angkat berhak
atas warisan sebagai anak, bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil
perangai anak, maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.25
maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan
tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam
23
Wignjodipuro, Hukum Waris, … hal. 182.
24
Iman Sudiyat, 1983, Peta Hukum Waris Indonesia, Kertas Kerja Simposium Hukum Waris
Nasional, hal. 162.
25
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum, … hal. 218.
18
nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke
berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi
wanita.26
seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala
sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.27
dalam masyarakat Indonesia hanya ada dua bentuk, yaitu pertama, proses
pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih hidup, dan kedua, proses
dilakukan semasa pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara
dilaksanakan setelah pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh
anak tertentu, anggota keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian
26
I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali, … hal. 38.
27
Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 70
19
bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin,
hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan
bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas
bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal,
misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam
Sistem ini umumnya terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem ini dapat
pewarisan mayorat.
28
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980, hlm 163
20
berarti harta peninggalan jatuh ke tangan anak laki- laki tertua dan
hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh
terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo
tertua.
29
Wignjodipoero, Soerojo, Opcit, hlm 165
21
terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan, baik
sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga setiap anak mempunyai
hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya.
Kerabat yang ditelusuri melalui bapak biasanya disebut patrilineal, kerabat yang
melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal dan kerabat yang ditelusuri dari kedua
belah pihak (ibu dan bapak) disebut parental/bilateral. Di Indonesia, hukum waris
yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni
hukum waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum
lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal
penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem
Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap mengunakan
30
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 259-
260.
22
pada ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di
yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad-
abad yang lalu.33 Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan
diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah
Mungkin sekali hal ini berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano
bumi dipijak, disitu langik dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan
budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri. 34Namun, Pada
sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam
Meski pembagian harta pusako tinggi ditujukan pada harta yang terletak di daerah
31
Amir Sjarifoedin Tj. A, Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjo, Griya Media Prima, Jakarta, 2014, Hal. 102.
32
Ibid, Hal. 127
33
Ibid, Hal. 668
34
Ibid, Hal. 654
23
tinggi tersebut, dengan mensiasati cara pengelolaannya, yaitu dengan cara tinggal
untuk 6 (enam) bulan berikutnya, seperti itu seterusnya.Hal ini tidak dibenarkan,
perantauan boleh kembali kekampung untuk mengurus harta itu.35 Sehingga dapat
dilihat bahwa masyarakat Minang perantauan dapat membagi harta pusako tinggi,
juga dipengaruhi oleh sistem pewarisan Islam, namun tidak keseluruhan sistem
Tinggi, masyarakat Minangkabau lebih mengedepankan hukum adat. Hal ini dapat
dilihat dalam pembagian warisan secara harta Pusako Tinggi pada masyarakat
perempuan.
sangat didasarkan pada Hukum Islam, karena hampir keseluruhan dari masyarakat
yang tinggal di Aceh menganut agama Islam, dimana dalam Hukum Islam yang
35
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 210
24
mendapat bagian warisan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, namun besar
bagian yang ditentukan adalah lebih besar bagian laki laki, yaitu laki-laki
mendapat dua bagian lebih besar dari pada anak perempuan. Besarnya bagian
warisan yang diterima oleh laki-laki dalam Hukum Islam sejalan dengan hukum
perbedaan sistem kekerabatan diantara kedua masyarakat adat tersebut maka akan
yang ditarik melalui garis kedua orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapakibu),
Hukum Islam mengakui adat sebagai salah satu sumber hukum, adat termasuk
bagian ijtihad, yang merupakan sumber Hukum Islam disamping AlQur’an dan
Sunnah. Dalam usul fiqh, adat dikenal dengan istilah Urf’, yang di artikan sebagai
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan
kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan nama
36
Muin Umar, Et.Al, Ushu Fiqh, Jilid I, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985, Hal. 150
25
dengan nama “sumando” (ipar atau semenda) dan diperlakukan sebagai tamu
dalam keluarga.37
yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini
seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini, juga mempunyai
arti pada penerusan harta warisan, di mana seorang anak akan memperoleh
warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta
dalam garis keturunan ibu. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan
1. Asas Unilateral
2. Asas Kolektif
3. Asas Keutamaan
1. Asas Ijbari
2. Asas Bilateral
3. Asas Individual
37
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 126
38
Ibid, Hal. 128
26
Terhadap harta pusako tinggi yang merupakan pusaka turun temurun yang
tinggal di daerah Tapaktuan pada saat sekarang ini hampir keseluruhan sudah
mengikuti hukum adat yang berlaku di Aceh, yang juga sesuai dengan hukum
fara’idh
Hukum adat yang berlaku di Minangkabau bukan suatu hukum yang salah,
melainkan suatu bentuk hukum yang tepat, dikarenakan pemberian pusaka yang
ditujukan pada garis keturunan perempuan akan membawa banyak manfaat bagi
anggota kaum, dikarenakan anak perempuan dapat menjaga pusaka lebih baik,
kepercayaan dan rasa sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak menjadikan
warisan secara hukum adat Aceh, yang memberikan warisan kepada seluruh anak
Selain rasa percaya dan rasa kasih sayang yang sama besarnya terhadap
hukum adat yang berlaku di Aceh ( hukum fara’idh) disebabkan karena adanya
27
pemahaman yang lebih dalam mengenai Hukum Islam khususnya dalam hal
warisan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. Sejalan dengan itu, masyarakat
sangat memegang pepatah yang menyatakan Dimano bumi dipijak, disitu langik
dijunjung, (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung), masih juga terdapat
masyarakat Minangkabau yang membagi warisan secara pusako tinggi yang ada
ini berada, dilakukan sama halnya dengan pembagian pusako tinggi pada
umumnya, yaitu dengan cara memberikan warisan kepada ahli waris anak
antara ahli waris pusako tinggi lainnya adalah dalam hal pengelolaannya. Pusako
jaga dan di awasi oleh mamaknya, namun terhadap ahli waris pusako tinggi (anak
diberikan kepada orang lain untuk menjaga pusaka tersebut selama ahli waris
tersebut berada diperantauan, Bukan dikelola oleh ahli waris tersebut sendiri.
28
a. Pewaris
b. Ahli Waris
c. Harta Warisan
Penerusan dan peralihan harta kekayaan dapat berlaku sejak pewaris masih
hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.39 Dalam hukum adat pada umumnya,
dan wasiat. Berbeda lagi dengan halnya harta yang berpindah tangan dengan cara
warisan. Disebut harta warisan jika perpindahan harta tersebut terjadi setelah
pemilik harta meninggal, dan cara membagi harta peninggalannya harus dilakukan
Sebelum harta peninggalan menjadi hak ahli waris, lebih dahulu harus
diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan itu sebab pewaris
meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta peninggalan dan lain
sebagainya. Hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib
39
Anton Budiarto, Materi Hukum Waris Adat, Di Akses Tanggal 22-Oktober-2019,
Http://Antonbudiarto.Wordpress.Com/2010/10/22/Materi-Hukum-Waris-Adat
40
J. Soenik Nurlaili, Prosedur Pembagian Harta Warisan, Di Akses Pada Tanggal 22- Oktober-
2019, Http://Jsoeniknurlail.Blogspot.Co.Id/2013/11/Prosedurpembagian-HartaWarisan.Html?M=1
41
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Medan, 2012., Hal. 19
29
dengan menggunakan adat waris Aceh, prosedur yang dapat dilakukan ialah
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadist, hal ini
disebabkan hukum adat Aceh sepenuhnya mengikuti ketentuan yang telah terdapat
kepadanya sesuai dengan hak bagiannya, dan juga untuk mengantisipasi adanya
pembagian warisan tersebut, juga tidak menjadi masalah, asalkan adanya alasan
persetujuan dari semua ahli waris. Sehingga semua ahli waris menyetujui
Dalam setiap hal yang dilakukan, pastinya harus melewati sebuah proses
manusia, namun tidak semua proses dapat berjalan dengan baik atau lancar.
Adapun hambatan-hambatannya :
2. Faktor Perkawinan
PENUTUP
A. Kesimpulan
turunannya.
31
32
Mingangkabau.
Minangkabau ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang mana hal
B. Saran
Minangkabau, dapat diberikan kepada ahli waris lain yang tinggal dan
dikemudian hari.
adalah sebuah hal yang wajar, mengingat hukum adat memiliki sifat
tersebut tidak dapat dikelola oleh ahli waris yang berada diperantauan,
banyak hal yang juga diterapkan oleh masyarakat adat Aceh yang di
Http://Antonbudiarto.Wordpress.Com/2010/10/22/Materi-Hukum-Waris-
Adat
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung,
2003
I Gede Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar,
1986
Jakarta, 1977
I Ketut Artadi, 1981, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Iman Sudiyat, 1983, Peta Hukum Waris Indonesia, Kertas Kerja Simposium
22- Oktober-2019,
Http://Jsoeniknurlail.Blogspot.Co.Id/2013/11/Prosedurpembagian-
HartaWarisan.Html?M=1
PT Alumni, 2007
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Jakarta, 1990