Ii. Tinjauan Pustaka PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang

dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4

µm. Penyusun utama dinding sel bakteri ini adalah asam mikolat, lilin

kompleks, trehalosa dimikolat, dan mycobacterial sulfolipid (Aditama, 2006).

Tuberkulosis paru ditularkan melalui inhalasi droplet yang mengandung basil

tuberkel dari seorang pasien terinfeksi. Gumpalan basil tuberkel yang

terinhalasi tersebut masuk ke dalam ruang alveolus, kemudian

membangkitkan reaksi dari leukosit polimorfonuklear. Leukosit tersebut

memfagosit bakteri, namun tidak menghancurkannya, dan dalam beberapa

hari akan digantikan oleh makrofag (Price, 2006).

Sel strain tuberkulosis paru mampu masuk ke dalam makrofag. Di dalam

makrofag, bakteri ini memanipulasi endosom dengan cara mengubah pH dan

menghentikan pematangan endosom. Dengan berubahnya pH maka

pembentukan fagolisosom yang efektif akan terganggu, sehingga bakteri ini

dapat berproliferasi tidak terkendali (Kumar, 2007).


9

Basil tuberkel yang telah hidup dan berkembang biak dalam sitoplasma

makrofag dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sedangkan kuman yang

tetap berada di jaringan paru, akan membentuk fokus primer yang disebut

fokus ghon (Amin dan Bahar, 2006).

Klasifikasi tuberkulosis menurut tipe pasiennya adalah sebagai berikut :

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau

biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan

dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

a. Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dll) Dalam hal ini

berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.

b. Infeksi jamur

c. Tuberkulosis paru kambuh

3. Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang tidak mengambil obat 2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

4. Kasus gagal

a. Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan).
10

b. Pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif

menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

5. Kasus kronik / persisten adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA

masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan

pengawasan yang baik.

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang

mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah

berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus

membawa surat rujukan / pindah.

b. Kasus Bekas TB:

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada)

dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak

aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.

Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang

tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2002).

B. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Obat utama (lini 1) yang diberikan

dalam pengobatan tuberkulosis paru adalah isoniazid (H), rifampisin (R),


11

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomicin (S). sedangkan obat

tambahan (lini 2) yang diberikan antara lain kuinolon, kanamicin, dan

amikasin (Amin dan Bahar, 2006).

Pengobatan tuberkulosis paru dibagi menjadi :

1. Tuberkulosis kasus baru diberikan terapi 2.RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE

atau 2RHZE/4R3H3.

Panduan pengobatan tersebut dianjurkan untuk :

a. Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (+)

b. Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi

lesi luas.

2. Tuberkulosis paru kasus baru, BTA negative, gambaran radiologi lesi

minimal diberikan terapi 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3.

3. Tuberkulosis paru kasus kambuh diberikan terapi 2RHZES/1RHZE jika

belum dilakukan uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan

5RHE.

4. Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan diberikan terapi lini 2 sebelum

ada uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan 5RHE.

5. Tuberkulosis paru kasus putus berobat

Pengobatan akan dimulai kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

a. Berobat ≥ 4 bulan :

1) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi tidak aktif, maka

pengobatan dihentikan
12

2) Jika BTA negative, klinis dan radiologi aktif, maka

pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang

lebih kuat dan jangka lebih lama

3) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu lebih

lama

b. Berobat ≤ 4 bulan

1) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama

2) Jika BTA negatif, maka gambaran foto toraks positif :

pengobatan diteruskan

6. Tuberkulosis paru kasus kronik diberikan RHZES apabila belum ada uji

resistensi. Jika telah dilakukan uji resistensi, maka diberikan obat sesuai

dengan uji resistensi ditambah dengan obat lini 2, minimal 18 bulan. Jika

tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup (Aditama, 2006).

C. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Isoniazid

Isoniazid merupakan obat utama pada kemoterapi tuberkulosis paru.

Semua pasien dengan penyakit yang disebabkan infeksi galur basil

tuberkulosis harus diberi obat ini jika mereka dapat menoleransinya

(Gilman,2008). Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan

tuberkulosid. Efeknya menghambat pembelahan bakteri, terutama untuk

bakteri yang sedang aktif membelah. Mekanisme kerja isoniazid belum


13

diketahui secara pasti, namun ada pendapat bahwa isoniazid bekerja

dengan menghambat biosintesis asam mikolat, yaitu unsur penting

penyusun dinding sel bakteri. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam

dari bakteri dan menurunkan kadar lemak terekstraksi methanol yang

dihasilkan oleh bakteri (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Isoniazid segera diarbsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi puncak

plasma dicapai dalam 1-2 jam dengan pemberian dosis biasa yaitu 5

mg/kg/hari (Jawetz, 2004). Isoniazid mudah berdifusi ke seluruh cairan di

sel tubuh. Konsentrasi terbesar obat ini adalah di dalam pleura dan ascites.

Mula-mula konsentrasi isoniazid lebih tinggi dalam plasma dan jaringan

otot daripada di jaringan yang terinfeksi, namun jaringan yang terinfeksi

mampu menahan obat ini lebih lama dalam jumlah yang dibutuhkan untuk

bakteriostatis. Sebagian besar metabolit isoniazid diekskresi dalam urin

dalam waktu 24 jam (Gilman, 2008).

Efek samping isoniazid bergantung pada lama dan dosis pemberian.

Reaksi alergi terhadap isoniazid yang sering terjadi adalah demam dan

kulit kemerahan. Sedangkan efek toksik yang paling sering terjadi pada

sistem saraf pusat dan perifer berkaitan dengan defisiensi piridoksin.

Isoniazid juga berkaitan dengan hepatotoksik. Pada pasien diketahui dapat

menyebabkan uji fungsi hepar abnormal, penyakit kuning, dan nekrosis

multilobular (Jawetz, 2004).


14

2. Rifampisin

Rifampisin secara in vitro menghambat pertumbuhan mycobacterium

tuberculosis. Mekanisme kerja rifampisin adalah menghambat DNA-

dependent RNA polymerase dari bakteri. Sama halnya seperti isoniazid,

rifampisin aktif pada bakteri yang sedang aktif membelah (Istiantoro dan

Setiabudy, 2007). Bila rifampisin diberikan bersama dengan isoniazid,

rifampisin bersifat bakterisidal dan mensterilisasi jaringan yang terinfeksi,

rongga, dan sputum (Jawetz, 2004).

Rifampisin diabsorbsi baik dengan pemberian oral dan diekskresikan

melalui hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan mengalami

sirkulasi enterohepatik (Jawetz, 2004). Selama sirkulasi tersebut,

rifampisin mengalami deasetilasi secara progresif, sehingga setelah 6 jam

hampir semua antibiotik di empedu ditemukan dalam bentuk terdeasetilasi.

Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu sebesar 60%

(Gilman, 2008).

Efek samping rifampisin yang sering terjadi adalah ruam kulit, demam,

mual, muntah, dan ikterus. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan

fungsi hepar normal. Pada pasien dengan penyakit hepar kronik dan

alkoholisme, risiko terkena ikterus meningkat. Efek samping yang

berhubungan dengan sistem saraf antara lain rasa lelah, mengantuk, sakit

kepala, binging, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan

kelemahan otot. Selain itu terdapat efek samping lain yang kaitannya
15

dengan reaksi hipersensitifitas diantaranya demam, pruritus, urtikaria, dan

eosinofilia ( Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

3. Etambutol

Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten terhadap

isoniazid dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah

menghambat pembentukan metabolit sel yang menyebabkan kematian sel

(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap

dengan baik di saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma

dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu

paruh etambutol adalah 3-4 jam. Tiga perempat dosis etambutol akan

diekskresi dalam urin dengan bentuk yang utuh dalam waktu 24 jam

(Gilman, 2008).

Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optic, dan rusaknya retina

merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemakaian etambutol.

Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat terapi etambutol selama

beberapa bulan, perlu dilakukan tes tajam penglihatan secara berkala. Efek

tersebut bisa membaik jika pemakaian obat dihentikan (Jawetz, 2004).


16

4. Pirazinamid

Pirazinamid memiliki efek bakteriostatik dengan mekanisme hidrolisis

oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek tuberkulostatik

pirazinamid hanya bekerja efektif pada media yang asam (Istiantoro dan

setiabudy, 2007).

Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan

didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrospinal

dengan baik. Waktu paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal

adalah 9-10 jam. Obat ini diekskresi terutama melalui glomerulus ginjal.

Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid

adalah cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 %

pasien akan menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari

pirazinamid adalah terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah,

anoreksia, disuria, lesu, dan demam (Gilman, 2008).

5. Streptomicin

Secara in vitro streptomicin bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap

kuman tuberkulosis. Sedangkan secara in vivo, streptomicin berfungsi

sebagai supresi. Hal ini dibuktikan dengan adanya mikroorganisme yang

hidup dalam abses dan kelenjar limfe regional serta hilangnya efek obat

setelah beberapa bulan pengobatan (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).


17

Karena telah tersedia obat lain yang lebih efektif, maka streptomicin

jarang digunakan untuk terapi tuberkulosis. Streptomicin dikombinasikan

dengan obat lain pada pengobatan bentuk-bentuk tuberkulosis yang telah

menyebar atau meningitis. Efek samping yang ditimbulkan karena

pemakaian streptomicin antara lain ruam, gangguan fungsi pendengaran,

dan gangguan fungsi vestibular pada saraf cranial kedelapan (Gilman,

2008).

D. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1,5 kg

pada orang dewasa. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus, yang

berbentuk silindris. Lobulus terbentuk dari banyak lempeng sel hepar. Hepar

mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus, dimana setiap lobulus

dipisahkan oleh septum fibrosa. Lobulus terbentuk mengelilingi vena

sentralis, yang mengalirkan darah ke vena hepatica kemudian ke vena cava

(Guyton, 2007).

Tiap-tiap sel hepar berdekatan dengan beberapa kanalikuli biliaris yang akan

bermuara pada duktus biliaris. Kanalikuli biliaris merupakan saluran dimana

empedu yang dihasilkan hepatosit diekskresikan. Beberapa duktus biliaris

akan bergabung melalui duktus interlobulus untuk membentuk duktus

hepatikus kanan dan kiri. Selanjutnya, kedua duktus hepatikus tersebut

bergabung diluar hepar membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus

hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi duktus


18

koledokus yang akan bermuara di duodenum. Duktus sistikus bermuara

dalam kantung empedu (Ganong, 2003).

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini

penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu. Setiap hari

hepar mengekskresi empedu sebanyak satu liter ke dalam usus halus. Selain

itu, hepar juga menyimpan hasil metabolisme monosakarida dalam bentuk

glikogen. Proses ini disebut dengan glikogenesis. Glikogen yang telah

tersimpan dalam hepar, akan diubah menjadi glukosa dan disuplai ke dalam

darah secara konstan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Proses ini disebut

glikogenolisis. Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat metabolisme

protein dan lemak. Hepar menghasilkan protein plasma berupa albumin,

protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lain. Fungsi hepar dalam

metabolisme lemak adalah sebagai penghasil lipoprotein, kolesterol,

fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2006).

Selain fungsi metabolisme lemak dan protein, hepar juga merupakan tempat

metabolisme obat. Dalam empedu yang dihasilkan hepatosit, terdapat enzim

yang berguna dalam metabolisme obat. Beberapa obat bersifat larut lemak

dan dipengaruhi oleh garam empedu dalam usus (Fox, 2006).

Untuk mengetahui fungsi normal hepar dapat dilakukan beberapa tes, antara

lain adalah :
19

1. Bilirubin total digunakan untuk menilai ikterus.

2. Bilirubin tak terkonjugasi digunakan untuk menilai hemolisis.

3. Alkalin fosfatase digunakan untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit

infiltratif.

4. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau

Aminotransferase Aspartat (AST) digunakan untuk mengetahui gangguan

hepatoseluler.

5. Serum Glutamic Pyruvic Transferase (SGPT) atau Aminotransferase

Alanin (ALT) dibandingkan dengan hasil SGOT untuk menilai fungsi

hepar.

6. Albumin digunakan untuk menilai tingkat jejas hepar.

7. Gamma globulin untuk mengetahui hepatitis autoimun, atau kenaikan yang

khas terjadi pada pasien sirosis.

8. Antimitokondrial antibodi digunakan untuk diagnosis utama sirosis biliaris

(Mehta, 2010).

E. Transaminase

1. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)

Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau sering disebut

Aminotransferase Alanin (ALT) merupakan enzim yang ditemukan dalam

hepar pada kasus peradangan hepar. Selain itu SGPT juga ditemukan dalam

jumlah sedikit di jantung, ginjal, dan otot rangka. Pada penentuan diagnosis,

hasil SGPT sering dibandingkan dengan hasil SGOT. Kadar normal SGPT
20

pada orang dewasa adalah sebesar 5-19 U/L pada laki-laki dan 5-23 U/L pada

perempuan (Depkes, 2008).

2. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT)

Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau Aminotransferase

Aspartat (AST) dapat ditemukan dalam jumlah besar di dalam jantung. Jika

terjadi serangan infark miokard kadarnya akan naik dalam waktu 24 jam,

kemudian akan turun secara bertahap dalam waktu 4-6 hari jika tidak terjadi

infark susulan. Dalam kadar sedang, SGOT juga dapat ditemukan dalam

ginjal, otot rangka, dan pancreas. Nilai normal SGOT adalah sebesar 5-17

U/L pada laki-laki dan 5-15 U/L pada perempuan (Depkes, 2008).

F. Hepatotoksik

Hepatotoksik didefinisikan sebagai tanggapan berbahaya atau yang tidak

diinginkan untuk obat yang terjadi pada dosis biasanya digunakan untuk

profilaksis, diagnosis, atau terapi penyakit. Kejadian hepatotoksisistas ini

terhitung jarang, yaitu 1 tiap 10.000 penduduk. Namun demikian, bila tidak

terdeteksi secara dini, angka tersebut akan meningkat. Tidak ada pengobatan

tertentu yang efektif untuk hepatotoksik kecuali menghentikan pengobatan.

Berdasarkan konferensi FDA (Food and Drug Association) tahun 2001,

kenaikan transaminase lebih dari 3 kali nilai normal dan kenaikan bilirubin

lebih dari 2 kali nilai normal, dapat menjadi acuan adanya abnormalitas

fungsi hepar terkait hepatotoksik. Gejala dan tanda hepatotoksik yang


21

mendukung temuan laboratorium antara lain kelelahan, anoreksia, mual, urin

yang berwarna lebih gelap, dan rasa ketidaknyamanan pada perut kuadran

kanan atas (Navarro, 2006).

Faktor risiko terjadinya hepatotoksik antara lain :

1. Ras: beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda

berdasarkan ras/suku bangsa. Tingkat metabolisme berada di bawah

kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu

2. Umur: pada orang tua risikonya lebih tinggi karena turunnya fungsi hepar

dan aliran darah ke hepar, serta interaksi antar obat yang satu dengan yang

lain

3. Jenis kelamin: dengan sebab belum diketahui, hepatotoksik lebih sering

ditemukan pada wanita daripada pria

4. Alkohol: alkohol menyebabkan seseorang rentan terhadap hepatotoksik

karena penipisan glutathione yang bersifat hepatoprotektif

5. Penyakit hepar: penyakit kronik hepar meningkatkan risiko terjadinya

hepatotoksik

6. Factor komorbiditas: misalnya pada penyakit AIDS penyimpanan

gluthatione sedikit

7. Sifat obat: obat dengan sifat long-acting lebih berisiko menyebabkan

hepatotoksik daripada obat yang bersifat short-acting (Mehta, 2010).


22

Mekanisme hepatotoksik imbas obat tidak bisa ditinjau hanya dari satu sisi.

Terdapat beberapa mekanisme penyebab hepatotoksik, yaitu sebagai berikut:

1. Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun

sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T

sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadilah kematian sel.

2. Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler, kadar ATP akan

turun dan menyebabkan gangguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin

mengakibatkan membrane sel rupture.

3. Metabolit obat yang toksik akan merusak epitel saluran empedu, sehingga

pengeluaran empedu terganggu.

4. Produksi energy beta-oxidasi dan penghambatan sintesis nicotamide

adenine dinukleotide serta flavin adenine dinukleotide menyebabkan

penurunan produksi ATP. Penuurunan ATP tersebut dapat mengganggu

fungsi mitokondrial.

5. Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat

menyebabkan terganggunya aliran empedu (Navarro, 2006).

Hepatotoksik akibat pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terjadi melalui

berbagai mekanisme. Di dalam hepar, isoniazid diasetilasi menjadi

acetylisoniazid, kemudian dihidrolisis menjadi acetylhydrazine dan

dihidrolisis kembali membentuk hydrazine. Diketahui bahwa hydrazine

merupakan metabolit toksik isoniazid yang mempunyai efek merusak sel

hepar. Hydrazine mengaktivasi sitokrom P450 sehingga terbentuk ikatan


23

kovalen enzim-obat. Ikatan ini dikenal sebagai antigen oleh sel T sitolitik dan

berakibat kematian sel (Tostmann dkk., 2007).

Mekanisme hepatotoksik rifampisin belum diketahui secara pasti. Namun

beberapa berpendapat bahwa mekanisme hepatotoksik terjadi melalui

pengaktifan sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksik pirazinamid

sampai saat ini belum diketahui. Pirazinamid diketahui menyebabkan iskemik

sel hepar (Tostmann dkk., 2007).

G. Hubungan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan

Peningkatan Enzim Transaminase

Hepar merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan zat yang masuk

ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, perlukaan hepar karena obat sangat mungkin

terjadi. Tidak terkecuali pada pemakaian obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid,

pirazinamid, dan rifampisin (Bayupurnama, 2006).

Pemakaian isoniazid untuk terapi tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan

hepar karena terjadi nekrosis multilobular. Gangguan fungsi hepar diperlihatkan

oleh peningkatan enzim transaminase yang terjadi pada 4-8 minggu pengobatan.

Peningkatan enzim transaminase hingga 4 kali nilai normal terjadi pada 10 – 20 %

pasien. Peningkatan kadar enzim ini juga dipengaruhi oleh umur penderita,

dimana semakin tua penderita, maka risiko peningkatan ini semakin besar.
24

Kerusakan fungsi hepar ini jarang terjadi pada usia di bawah 35 tahun (Istiantoro

dan Setiabudy, 2007).

Dari studi kasus baik pada hewan maupun manusia, ditunjukkan bahwa

hepatotoksik akibat isoniazid bermanifestasi steatosis hepatoseluler dan nekrosis.

Metabolit isoniazid berikatan kovalen dengan makromolekul sel. Hydrazine

merupakan metabolit toksik dari isoniazid yang dalam penelitian terbukti

menyebabkan steatosis, vakuolasi hepatosit dan deplesi gluthatione (Tostmann

dkk., 2007).

Rifampisin dapat menyebabkan perubahan hepatoseluler, nekrosis sentrilobuler,

dan terkait dengan kolestasis (Tostman dkk.,2007). Dengan pemakaian rifampisin

intermiten, dapat terjadi kenaikan kadar enzim transaminase, namun kejadian

hepatitis karena pemakaian rifampisin jarang ditemukan (Istiantoro dan Setiabudy,

2007).

Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan hepar. Bila

pirazinamid diberikan 3 g/hari, maka kelainan hepar yang muncul adalah sebesar

3 % (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Peningkatan kadar enzim transaminase

dalam plasma merupakan abnormalitas awal yang diakibatkan oleh pemberian

pirazinamid (Gilman, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dari 339 pasien yang diberi

pengobatan dengan anti tuberkulosis, 67 pasien mengalami kenaikan SGOT dan


25

SGPT. Dari 67 pasien tersebut, 38 pasien mengalami peningkatan kadar SGOT 3-

5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 10-15 kali batas normal, dan 14 pasien

meningkat lebih dari 10 kali batas normal. Sedangkan pada kadar SGPT sebanyak

38 pasien meningkat 2-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 5-10 kali batas

normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal (Mahmood dkk.,

2007).

Anda mungkin juga menyukai