Anda di halaman 1dari 4

Melanesian culture

Kebudayaan, kepercayaan dan ritual masyarakat yang dilakukan masyarakat asli di Kepulauan
Pasifik disebut juga kebudayaan Melanesia. Terbentang dari barat daya hingga tenggara, wilayah
Melanesia terdiri dari Papua milik Indonesia dan Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu,
New Caledonia, Fiji dan pulau-pulau lain yang lebih kecil. Garis batuan andesit yang terdapat
banyak aktivitas vulkanik dan gempa memisahkan Melanesia dari Polinesia di timur , membentuk
Mikronesia di utara sepanjang ekuator, di selatan Melanesia yang bersinggungan dengan garis
balik selatan Capricorn dan Australia. Nama Melanesia diambil dari bahasa Yunani yaitu melas
yang berarti hitam dan nesoi yang berarti kepulauan karena penduduknya yang berkulit hitam.
Pada abad ke 21 penduduk Melanesia diperkirakan sejumlah 10 juta orang.

Meskipun kehidupan prasejarah masyarakat Melanesia belum diketahui dengan baik, bukti-bukti
menunjukkan bahwa kehidupan budaya, bahasa dan politik diketahui sejak kedatangan bangsa
Eropa merupakan hasil dari perkembangan selama 2000 tahun sebelumnya. Perubahan sosial
seperti sistem politik dan perdagangan terjadi ketika kedatangan masyarakat eropa. Selain itu,
wabah malaria, pengangkutan menjadi buruh kontrak dan kemajuan senjata yang dibawa
pendatang eropa turut mengurangi jumlah penduduk dan sistem sosial.

Bangsa Eropa pertama kali menjadikan Melanesia sebagai wilayah koloni tahun 1660 ketika
pemerintah Belanda mengakuinya sebagai bagian koloni dan mencegah negara lain menduduki
wilayah Hindia Belanda tersebut. Beberapa abad kemudian Belanda, Britania, Australia, Jerman
dan Jepang mendirikan koloni di berbagai wilayah Melanesia di abad ke 20 dan penghujung
menuju abad ke 21.

Melanesia Era Kontemporer

Proses kolonisasi yang menyebabkan masyarakat asli Melanesia menjadi bagian dari ekonoomi
global juga menyebabkan adanya kristenisasi dan westernisasi secara paksa. Dalam beberapa
wilayah, kekuatan ini beroperasi lebih dari seabad. Di wilayah lain, penetrasi kedua hal tersebut
baru sampai pada 1930-an bahkan 1950-an. Awal abad ke 21 semua wilayah Melanesia akhirnya
bisa diakses dengan mudah hingga ke wilayah terpencil. Kawasan kumuh di pinggiran kota mulai
muncul dibarengi perkembangan kota yang semakin maju.

Agama Kristen menjadi kekuatan yang besar dalam perubahan dinamika penduduk sejak akhir
abad ke 19. Pada masa kolonial para misionaris memperkenalkan pendidikan barat yang
berdampak pada kemajuan ekonomi local. Sebagai hasilnya banyak pemimpin Melanesia
memiliki latar belakang pendidikan misionaris, bahkan beberapa di antaranya menjadi penyebar
agama Kristen. Menjelang akhir abad ke 20 dan awal 21, masyarakat Melanesia menjadi negara
dengan komposisi masyarakat Kristen terbesar di bumi. Sejak 1970-an perusahaan multinasional
telah berpindah ke Melanesia dan memberikan perubahan secara ekonomi

Pertambangan oleh perusahaan internasional juga berdampak besar pada banyak negara di
Melanesia, terutama di Papua Nugini. Pertambangan timah oleh masyarakat sekitar diambil alih
oleh pemerintah dan swasta tahun 1960-an. Pengambilalihan ini seringkali berujung pada
kerusuhan dan konflik.

Perubahan sosial di bidang ekonomi ini turut mengubah masyarakat Melanesia yang tanpa kelas
menjadi terkotak-kotak berdasarkan strata ekonomi, sosial dan faktor lainnya. Disamping
terbentuknya masyarakat berdasarkan kelas, pemerhati kebudayaan local juga berfokus untuk
menjaga nilai dan norma setempat agar tetap terjaga. Semangat revivalisme merupakan isu utama
yang dibawa. Festival seni, pusat kebudayaan dan penjagaan nilai local kini lebih bebas dilakukan
melalui seragkaian acara masyarakat dibandingkan saat era penjajahan.

Melanesia Tradisi

Di masa lalu, Melanesia merupakan tempat bertemunya dua jenis budaya dan masyarakat yakni
masyarakat Papua dan Austronesia. Masyarakat Papua menempati daerah bekas Paparan Sahul
sejak 40.000 tahun lalu. Kebudayaan berburu dan meramu yang dibawa mereka sejak sebelum
wilayah tersebut membuat masyarakat Papua lebih banyak tinggal di wilayah hutan Papua.

Jejak masyarakat kuno berupa bahasa yang masih bertahan sampai saat ini dikategorikan sebagai
ragam bahasa Papua. Masyarakat Papua mendomestikasi tanaman umbi-umbian, tebu dan babi
sejak 9.000 tahun lalu, hal ini jauh lebih dulu dilakukan ketimbang di Timur Tengah. Sekitar
5.000 tahun lalu produksi pertanian di dataran tinggi Papua juga terdiri dari peternakan babi.

Sekitar 4000 tahun lalu, masyarakat Austronesia berpindah ke wilayah tersebut dari Asia
Tenggara. 3500 tahun lalu mereka telah menguasai Kepulauan Bismarck. Kehadiran mereka
ditandai oleh digunakannya tembikar, kerang yang membentuk kebudayaan Lapita. Mereka
menggunakan. Bahasa Austronesia juga berhubungan dengan bahasa Filipina dan Indonesia serta
menjadi bahasa asal dari wilayah pesisir timur Papua, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Solomon,
Vanuatu, New Caledonia dan wilayah timur Mikronesia dan Polinesia.
Bukti dari perdagangan jarak jauh, terutama kerang dan batu obsidian membuat peneliti
menyakini bahwa persebaran tersebut terkait dengan tradisi Lapita dan berhubungan secara politis
dalam rentang 300-3500 taahun lalu. Pendudukan Mikronesia Timur oleh penutur Austronesia,
terutama dari Kepulauan Solomon sepertinya juga terjadi pada masa ini. Fiji awalnya merupakan
koloni dari masyarakat Lapita dan menjadi batu loncatan untuk penaklukan Polinesia barat.
Penutur Austronesia yang memiliki teknologi maritime yang baik kemungkinan sudah memiliki
sistem politik dan agama secara turun-temurun. Mereka juga memiliki kosmologi dan sistem
keyakinan yang kompleks dan serupa dengan di Polinesia barat.

Kepulauan Bismarck di selatan Papua Nugini telah dikuasai oleh penutur bahasa Papua ketika
bangsa Austronesia tiba. Populasi yang saat ini tinggal disana sampai ke bagian tenggara
merepresentasikan percampuran budaya masyarakat Papua dan Austronesia. Percampuran di
wilayah kepulauan Bismarck sebelum wilayah di tenggara ditempati. Pertukaran komoditas
ekonomi juga dilakukan oleh masyarakat Austronesia yang kegiatan ekonominya berdasarkan
penanaman kayu dan akar-akaran (ubi,singkong,dan lainnya) serta sektor maritime dengan
masyarakat Papua yang memiliki pertanian yang baik. Selain secara ekonomi, pertukaran juga
terjadi dalam sektor lain seperti organisasi sosial sampai agama. Namun beberapa masyarakat
penutur bahasa Austronesia masih terisolasi dan tidak terkena percampuran budaya tersebut.

Meskipun percampuran antara masyarakat Austronesia dan Papua terdapat di sepanjang


Melanesia, dalam beberapa kasus terdapat kesamaan etnologi, bahasa dan bukti arkeollogi.
Bangsa Austronesia di Vanuatu utara dan Solomon tenggara menggunakan bahasa yang sangat
dekat dengan masyarakat Polinesia dan Mikronesia timur. Secara budaya masyarakat Austronesia
dalam beberapa hal lebih dekat dengan penutur bahasa Austronesia lain dibandingkan masyarakat
Papua di pelosok hutan. Sistem religi mereka juga serupa dengan masyarakat Polinesia.

Pola Pendudukan

Di banyak wilayah Melanesia, masyarakat hidup dalam lingkungan yang menyebar dibandingkan
perkampungan. Mereka tinggal dalam waktu yang singkat sebelum berpindah kembali mengikuti
hutan dan musim tanam lain. Secara umum, populasi yang lebih permanen dan besar ditunjukkan
untuk masyarakat pesisir dan semakin kecil populasi per kelompok untuk mereka yang tinggal di
hutan demi menjaga keberlangsungan diri dari serangan mendadak. Selain itu masyarakat di
pelosok hutan hidup lebih berdekatan satu sama lain.
Di bagian Sungai Sepik di Papua Nugini terdapat perkampungan besar yang berisi 1000 orang
yang teerdiri dari banyak suku. Pemisahan penduduk antara laki-laki dan perempuan adalah hal
yang umum. Perempuan dan anak-anak biasanya tinggal di rumah khusus, sementara laki-laki
tinggal di rumah terpisah yang aktivitas utamanya adalah ritual dan kegiatan agama. Rumah
peribadatan besar di Sungai Sepik dan di pantai Papua selatan adalah contohnya.

Anda mungkin juga menyukai