Anda di halaman 1dari 12

1.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari leptospirosis antara lain:
a. Demam
b. Sakit kepala dengan fotophobia
c. Kaku dan nyeri otot, terutama otot betis
d. Conjungtival suffusion
e. Ruam mukosa atau kulit
f. Mual dan muntah
g. Batuk
h. Nyeri dada
i. Oligouria
j. Nafsu makan menurun
k. Dispnea
l. Lemas
m. Nyeri perut
n. Hepatosplenomegali
o. Iritasi meninges
p. Diare
q. Penyakit mirip influenza sedang
r. Well’s syndrome: jaundice, gagal ginjal, perdarahan, aritmia
s. Meningitis/meningoensefalitis
t. Perdarahan paru dengan gagal nafas
u. Aritmia
Kasus berat dapat berkembang menjadi jaundice, perdarahan spontan
(hematuria, hematemesis, hemoptisis), gagal ginjal dan gagal nafas.7,9,10,30.

2. Diagnosis
Diagnosis leptospirosis definitif dibuat dalam adanya gejala klinis dengan
isolasi mikroorganisme dalam sampel klinis, penentuan dari serokonversi atau
pengamatan empat kali lipat atau lebih banyak peningkatan titer antibodi. Selama
yang pertama Minggu penyakit leptospira bisa diisolasi dalam darah dan cairan
serebrospinal. Sampel ditanam di media khusus (Korthoff atau Flethcher
semisolid media) diinkubasi pada 30 ° C, dan direproduksi leptospira dapat
diamati setelah 5 - 10 hari di kegelapan. Leptospira bisa bertahan selama hampir
10 tahun beberapa hari lalu dalam darah yang mengandung antikoagulan. Setelah
minggu pertama, adalah mungkin untuk mengisolasi leptospira di urin pasien.
Metode serologis digunakan lebih sering dalam identifikasi leptospira antibodi
karena metode kultur tidak mungkin diterapkan di setiap hasil laboratorium dan
budaya butuh waktu lama untuk menyelesaikan. Beberapa metode digunakan
untuk diagnosis serologis. Namun, beberapa penelitian diterima positif kultur
darah dan uji aglutinasi mikroskopis (MAT) tes sebagai diagnosis leptospirosis
12
standar metode Dalam jurnal yang ditulis oleh Amin LZ13, disebutkan bahwa
dalam menegekkan diagnosis leptospirosis, dibutuhkan pemeriksaan fisik terkait
klinis pada pasien dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Klinis
Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal
di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di banjir
atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari hewan, berenang di
air banjir atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau tanpa luka) dan
menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri tekan betis,
injeksi konjungtiva, menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus, atau
oliguria. Pasien dengan gejala tersebut hendaknya dipertimbangkan sebagai
tersangka kasus leptospirosis.
Setiap kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital stabil, sklera
anikterik, keluaran urin yang baik, tidak ada meningismus/ iritasi meningen;
sepsis/syok sepsis; sulit bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat
per oral dianggap leptospirosis ringan dan dapat ditatalaksana dengan rawat
jalan. Kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital tidak stabil, ikterus
atau sklera ikterik, nyeri perut, mual, muntah dan diare, oliguria/ anuria,
meningismus/ iritasi meninges, sepsis/ syok sepsis, perubahan status mental
atau sulit bernapas dan hemoptisis dianggap leptospirosis sedang – berat dan
perlu dirawat inap.
b. Diagnosis Laboratorium
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada
hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua dan
ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi
serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa
minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan gelap, sehingga tidak sesuai
untuk perawatan individual. Sejumlah metode deteksi DNA leptospira dengan
reaksi rantai polimerase lebih sensitif daripada kultur, dan dapat memberikan
konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase akut, namun belum menjadistandar
rutin.
Diagnosis defenitif leptospirosis bergantung pada hasil laboratorium. Pasa
fase awal penyakit dari Sindrom Weil, akan ditemukan leukositosis,
neutropenia, dan terjadi anemia berat. Sedangkan pada leptospirosis anikterik
tidak ditemukan anemia. Penelitian menunjukkan neutrofilia dan
trombositopenia dengan kombinasi profil biokimia mencakup level AST-
ALT, bilirubin, kreatinin, dan CRP yang dilakukan rutin dapat membantu
memprediksi keparahan penyakit. Perkiraan sitokin inflamasi, marker
kerusakan endthelial dan indetifikasi tipe HLA dan genetik polimorfisme
pada pasien saat ini hanya digunakan sebagai tujuan penelitian33.
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
leptrospirosis terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan,
14
dan serologi.Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali
lipat dari serum akut ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan
tetapi metode ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup
dengan cara serum pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira
patogenik hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan
diekspresikan sebagai persentase organisme yang dibersihkan dari lapang
pandang melalui aglutinasi. Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan,
dapat memberikan informasi mengenai serovar yang diduga menginfeksi,
sehingga memiliki nilai epidemiologis. Di daerah endemis, titer yang
meningkat hanya sekali harus diinterpretasikan secara hati-hati, hal ini
disebabkan karena antibodi bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi
akut. Reaksi silang juga dapat terjadi pada sifilis, hepatitis virus, HIV,
relapsing fever, penyaki Lyme, legionellosis, dan penyakit autoimun.
Pemeriksaan mikroskopik langsung dari sampel klinis bernilai diagnostik
kecil, pewarnaan imunohistokimia dari spesimen otopsi sangat berguna.
Berikut contoh perbandingan pemeriksaan laboratorium pada seorang
normal, hepatisis A, dan seorang dengan leptospirosis27
Tabel 1. Perbandingan hasil laboratorium normal, hepatitis A dan pasien
leptospirosis.

Pemeriksaan Referensi Hepatitis A Leptospirosis


laboratorium
Fungsi Liver
Bilirubin direk 0.0 – 0.456 mg/dL 5 – 6 mg/dL 12.24 mg/dL
>25 mg/dL
(hepatitis
cholestatic)
Transaminase 1 – 30 mU/ml 5 – 10 kali nilai 3010 mU/ml
Alaine Transferase normal
Alkaline 190 – 490 mU/ml >3 kali nilai 491 mU/ml
Phosphatase normal
CBC
Leukosit 4000 – 11,000 Meningkat 16,700 mm3
mm3
Limfosit 35% - 45% Meningkat 38.5%
Neutrofil 40% - 50% Meningkat 46.7%
Hemoglobin 10 - 14 Tidak ada data 14
Hematokrit 35 – 45 Tidak ada data 41
Platelet 200,000 – 300,000 Tidak ada data 19,000 – 59,000
Metode paling mudah untuk mendiagnosis leptospirosis adalah melihat
spiroseta motil dengan mikroskop dark ground. Saat ini, diagnosis berdasarkan
deteksi antibodi melawan leptospira karena kultur leptospira membutuhkan waktu
berbulan-bulan. Antibodi ini dapat dideteksi dengan Microscopic Agglutination
Test (MAT), Enzyme-linked immunosorbent Assay (ELISA) dan test antibodi
fluorescent indirek. MAT biasanya dipertimbangkan sebagai tes referensi tetapi
hanya dilakukan di laboratorium special karena mahal. MAT dapat membuat
perbedaan serogroup, tetapi tidak dapat membedakan antara infeksi akut dan
kronis karena mendeteksi kedua antibodi M dan G.34
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem
skor yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium (Tabel 1).
Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif leptospirosis
dapat ditegakkan jika: (i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih;
atau (ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih. Skor antara 20 dan
25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi

Tabel 2. Kriteria Faine yang dimodifikasi (2012)


Bagian A : Data klinis Skor
Sakit kepala 2
Demam 2
Jika demam, suhu 39oC atau lebih 2
Injeksi konjungtiva (bilateral) 4
Meningismus 4
Mialgia (khususnya otot betis) 4
Injeksi konjungtiva + meningismus + mialgia 10
Ikterus 1
Albuminuria atau retensi nitrogen 2
Hemoptisis atau dyspnea 2
Bagian B : Faktor epidemiologis Skor
Curah hujan 5
Kontak dengan lingkungan terkontaminasi 4
Kontak dengan binatang 1
Bagian C : Temuan bakteriologis dan laboratorium
Isolasi Leptospira pada kultur Diagnosis pasti
PCR 25
Serologi positif 15
ELISA IgM positif; SAT* positif; rapid test lain***, satu
kali titer tinggi pada MAT** (masing-masing dari ketiga
pemeriksaan ini harus diberikan nilai)
Peningkatan titer MAT** atau serokonversi (serum 25
yang berpasangan)

Gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia menurut Nurochman14 bisa


dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
a. Stadium Pertama (leptospiremia)
1) Demam, menggigil
2) Sakit kepala
3) Bercak merah pada kulit
4) Malaise dan muntah
5) Konjungtivis serta kemerahan pada mata
6) Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala- gejala
7) tersebut akan tampak antara 4-9 hari
b. Stadium Kedua
1) Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh
penderita
2) Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding
pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3) Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan
akan terjadi meningitis
4) Biasanya fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
c. Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan
gejala klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi
Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala berikut:
 Pada ginjal, renal failure yang dapat menyebabkan kematian
 Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi
yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva
hemorrhagic
 Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
 Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang
dapat menyebabkan kematian mendadak
 Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri
dada, respiratory distress dan cyanosis
 Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular
damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan
saluran genitalia Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir
mati, premature dan kecacatan pada bayi.
3. Diagnosis Banding
Dalam jurnal yang ditulis oleh Rampengan15, terdapat beberapa diagnosis
banding untuk leptospirosis, yaitu: influenza, demam dengue dan demam
berdarah dengue, yellow fever, rickettsiosis, malaria, pielonefritis, meningitis
aseptik, demam tifoid, hepatitis virus, serta toksoplasmosis. Leptospirosis dan
dengue adalah dua penyakit menular yang biasa terlihat di daerah tropis.
Diagnosis banding leptospirosis dari demam berdarah seringkali sulit karena
gejala klinis yang tumpang tindih dan kurangnya tes laboratorium yang
ekonomis dan mudah dilakukan. Standar emas untuk diagnosis adalah uji
aglutinasi mikroskopis (MAT)16.
Tabel 3. Diagnosis banding leptospirosis17

Leptospirosis akut Leptospirosis kronis


Influenza Uveitis
Dengue dan hemorrhagic dengue Iridosiklitis
Infeksi hantavirus, meliputi sindrom Alterasi sistem saraf
pulmoner hantavirus pusat
Yellow fever dan demam hemoragik Myelo-proliferative
viral lainnya
Rickettsioses
Borreliosis
Malaria
Typhoid
Hepatitis virus
Demam dengan sebab tidak
diketahui
Toksoplasmosis
Manifestasi leptospirosis pada fase awal infeksi mirip dengan ingeksi virus
dengue dan scrub typus. Berikut perbandingan karateristik klinis antara
leptospirosis, scrub typus, dan infeksi virus dengue (dengue viral infections/

DVI)31:
4. Tatalaksana
Leptospirosis memiliki masa inkubasi 7 sampai 12 hari, atau biasanya
dalam jarak 2 sampai 30 hari. Kebanyakan leptospirosis merupakan infeksi
yang tidak bergejala tapi gejala yang dapat muncul dari demam ringan,
bersifat self-limiting, hingga gagal nafas dan gagal ginjal yang memiliki
angka kematian yang tinggi (5-10% pasien memiliki gejala berlanjut menjadi
18 19
jaundice, pendarahan paru, gagal ginjal, dan myocarditis ) . Gejala yang
sering muncul pada pasien leptospirosis21 (75-100% pasien) adalah demam,
malaise, myalgia, dan nyeri kepala18. Oleh karena itu infeksi leptospirosis
harus diberikan tatalaksana yang adekuat untuk mencegah kematian.
Pada kasus leptospirosis ringan dapat diberikan antibiotik oral berupa
azitromicin, ampicillin atau amoxillin19,20. Pengobatan antibiotic tersebut
terbukti dapat menurunkan gejala demam, malaise, dan nyeri kepala pada hari
ke dua19.
Pengobatan kasus leptospirosis berat terdiri dari dua komponen mayor,
dan langkah pertama adalah memilih antibiotik yang adekuat. Ceftriaxon atau
Penisilin G merupakan pilihan pada leprospirosis berat18. Penisilin dapat
mempersingkat durasi dan tingkat keparahan penyakit jika diberikan pada
fase awal penyakit. Ekinci et al18 memberikan terapi antibiotik spectrum luas
kemudian menambahkan Penicilin G setelah pemeriksaan rapid serology test
menunjukkan hasil positif. Komponen kedua dari penatalaksanaan
leptospirosis adalah perawatan intensif, di Intesive Care Unit. Pada kasus
berat dengan gagal nafas atau pendarahan paru diberikan tatalaksana untuk
mengembalikan ventilasi dari paru tersebut18. Dosis Penisilin G yang dapat
digunakan untuk kasus leptospirosis berat adalah 200.000 sampai 250.000
U/kgBB/hari yang dibagi dan diberikan setiap 4 sampai 6 jam, dosis
maksimal harian adalah 12juta U/hari. Ceftriaxon 50mg/kg hingga 1gr/hari
bisa menjadi alternative lain. Pilihan lain yang dapat diberikan adalah
doksisiklin per oral (2mg/kgBB/hari) dibagi menjadi 2 dosis dengan
maksimal 100mg sebanyak dua kali dalam satu hari atau dapat diberikan
amoksisilin dengan dosis 50mg/kgBB/hari diberikan setiap delapan jam
dengan dosis maksimal 500mg setiap dosis. Pemberian antibiotic tersebut
dilanjutkan selama 7 sampai 14 hari. Antibiotik lain yang dapat diberikan
adalah Azitromisin dengan dosis 20mg/kg hingga 1gram dalam dosis tunggal
hari pertama kemudian dilanjutkan dosis 10mg/kg hingga 500mg/dosis sekali
dalam sehari selama dua hari21.

.
.
Daftar Pustaka
7. Haake DA, Levett PN. Leptospirosis in humans. Current Topics Microbiology
Immunology. 2015; 387:65-97.
9. Sahira H, Jyothi R, Bai JTR. Seroprevalence of leptospirosis among febrile
patients-a hospital based study. Journal of Academia and Industrial Research,
2015; 3: 482-484.
10. Tomari K, et al. Childhood leptospirosis in an industrialized country:
population-based study in okinawa, japan. PLOS Neglected Tropical Diseases,
2018; 2.
12. Aslan, Ozgur. Leptospirosis; Diagnosis, Treatment and Prevention: A
Review. Microbiology Research Journal International, 2016, 1-5.
13. Amin LZ. Leptospirosis. Cermin Dunia Kedokteran. 2016 Aug 1;43(8):576-80
14. Nurochman A, Herawati L, Prasetyawati ND. Penggunaan video sebagai
media penyuluhan terhadap peningkatan perilaku pencegahan dan 31
pengendalian leptospirosis warga dusun potrobayan srihardono pundong bantul
(Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta)
15. Rampengan, NH. Leptospirosis. JURNAL BIOMEDIK, 2016, 8.3
16. Chaurasia, R., et al. Pathogen-specific leptospiral proteins in urine of patients
with febrile illness aids in differential diagnosis of leptospirosis from dengue.
European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases, 2018, 37.3:
423-433
18. Ekinci F, Yıldızdaş RD, Horoz ÖÖ, Alabaz D, Tolunay İ, Petmezci E.
Treatment of severe leptospirosis with therapeutic plasma exchange in a pediatric
patient. Turk J Pediatr. 2018;60(5):566–70.
19. Lane AB, Dore MM. Leptospirosis: A clinical review of evidence based
diagnosis, treatment and prevention. World J Clin Infect Dis. 2017;6(4):61.
20. Delmas B, Jabot J, Chanareille P, Ferdynus C, Allyn J, Allou N, et al.
Leptospirosis in ICU: A Retrospective Study of 134 Consecutive Admissions. Crit
Care Med. 2018;46(1):93–9.
21. Shapiro ED. Leptospira Species (Leptospirosis) [Internet]. Fifth Edition.
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Elsevier Inc.; 2017. 977–
980 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40181- 4.00184-5
30. Cagliero J, Villanueva SYAM, Matsui M. Leptospirosis Pathophysiology: Into
the Storm of Cytokines.Frontiers inCellular and Infection Microbiology. 2018 (8):
1-6
33. Jumat MI, John DV. Review on severity markers in leptospirosis. Tropical
Biomedicine. 2017;34(3): 494-506

Anda mungkin juga menyukai