Anda di halaman 1dari 11

REAKSI WIDAL

Nama : Harditya Firdhaus


NIM : B1A017115
Rombongan : II
Kelompok : 4
Asisten : Siti Masrifah

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Serologi adalah ilmu yang mempelajari prosedur-prosedur diagnostik dan
eksperimental yang berhubungan dengan imunologi dan menyangkut reaksi-reaksi
serum. Tes-tes serologi ini digunakan untuk identifikasi mikroorganisme-
mikroorganisme, dan menunjukan antibodi didalam serum dari hospes pada
penyakit-penyakit tertentu dimana penyebab penyakit tidak dapat diisolasi,
penemuan spesifik antibodi adalah penting sekali untuk membantu diagnosa. Salah
satu teknik serologi yang bersifat lebih sensitif dibandingkan dua metode serologi
yang diuraikan terlebih dahulu. Enzyme linked immunosorbent assay, disingkat
ELISA telah banyak mengalami peubahan sejak pertama kali teknik ini
dipublikasikan ciri utama teknik ini adalah dipakai indikator enzim untuk reaksi
imunologi. ELISA telah berkembang sampai pada tingkatan yang sangat sulit untuk
membuat generasi tentang kemampuan kinerja berbagai konfigrasi. Konfigurasi
yang paling umum mengunakan substrat padat (Baron et al., 1994).
Istilah demam tifoid atau biasa disebut demam enterik merupakan
karakteristik untuk infeksi Salmonella typhi dan cenderung lebih berat
dibandingkan dengan infeksi Salmonella yang lain. Demam tifoid atau typhoid
fever merupakan penyakit infeksi dan menjadi masalah serius di dunia. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi akut dan bersifat endemis yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang termasuk bakteri gram negatif berbentuk basil dan bersifat
patogen intrasellular obligat pada manusia yang menginfeksi makrofag dan sel
Schwann. (Marhani, 2018).
Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella typhi
yang mengakibatkan penyakit Tifoid. Teknik pemeriksaan uji widal dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji
tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi
semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran
hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam
prosedur penapisan (Pelczar & Chan, 2005).

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara ini adalah mengetahui penetapan titer antibodi
terhadap antigen Salmonella typhi pada seseorang yang terserang demam typhoid.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah serum penderita
tifus, serum control, dan antigen Salmonella typhi H.
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah batang pengaduk,
mikroskop, spuit, tabung Eppendorf, sentrifugator, object glass, mikropipet, dan
tips.

B. Cara Kerja
1. Tiga buah object glass diambil dan pada masing-masing object glass dipipetkan
serum sebanyak 20μl, 10μl, dan 5μl.
2. Masing-masing object glass ditetesi 1 tetes (40 μl) antigen Salmonella typhi.
3. Campuran larutan serum dan antigen Salmonella typhi diaduk dengan batang
pengaduk dan digoyang selama 1 menit.
4. Object glass diamati dengan menggunakan mikroskop, diamati ada tidaknya
aglutinasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1. Pengenceran 1/80 Gambar 3.2. Pengenceran 1/160


(Serum 20 μl) (Serum 10 μl)

Gambar 3.3. Pengenceran 1/320 Gambar 3.4. Kontrol Positif


(Serum 5 μl)

Gambar 3.5. Kontrol Negatif


Interpretasi:
 20 μl
(+) = Aglutinasi (berlanjut)
(-) = Tidak ada aglutinasi
 10 μl
(+) = Aglutinasi (berlanjut)
(-) = Tidak ada aglutinasi ≠ aglutinasi (infeksi ringan)
 5 μl
(+) = Aglutinasi (infeksi berat)
(-) = Tidak berlanjut (infeksi sedang)
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum kelompok 4 rombongan II, pada serum penderita
tifus dengan kadar 20 µl dan pengenceran 1/80 serta serum penderita tifus dengan
kadar 10 µl dan pengenceran 1/160 didapatkan interpretasi positif yang berarti
terjadi aglutinasi yang berlanjut karena terjadi penggumpalan. Serum penderita
tifus dengan kadar 20 µl dan pengenceran 1/80 serta serum penderita tifus dengan
kadar 10 µl dan pengenceran 1/160 didapatkan interpretasi positif yang berarti
terjadi aglutinasi dengan infeksi berat. Kontrol positif menunjukkan hasil positif
setelah ditetesi dengan reagen, dimana terbentuknya gumpalan atau aglutinasi, hal
ini berarti bahwa serum tersebut terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhi. Jika
hasilnya positif terjadi adanya endapan pasir, sedangkan kontrol negatif.
menunjukkan hasil negatif maka tetap jernih.. Hasil praktikum tersebut sesuai
dengan perkataan Jawetz et al. (1974), reaksi widal digunakan untuk mendeteksi
antibodi yang terbentuk dalam darah seseorang yang telah menderita penyakit tifus.
Antigen yang ditambahkan dalam serum darah penderita akan saling berikatan dan
menimbulkan aglutinasi. Hal ini terjadi karena jangka waktu pengujian serum
dengan terjangkitnya demam tifoid cukup lama dan probandus sudah melakukan
vaksinasi. Menurut Volk & Wheeler (1984), serum 20 µl dan 10 µl yang di tetesi
dengan reagen Salmonella typhi dengan titer 1/80 mendapatkan hasil positif karena
terdapat aglutinasi. Hasil positif dilanjutkan ke pengenceran selanjutnya, ini
bertujuan untuk mengetahui kemungkinan bakteri Salmonella mencemari darah,
seperti pemeriksaan yang diperoleh hasil positif hingga pengenceran 1/320 yang
berarti kemungkinan dalam 1 ml darah terdapat 320 bakteri Salmonella. Serum 10
µl dengan titer 1/160 tebentuk gumpalan karena adanya reaksi antara antigen
dengan antibodi. Setelah itu, serum 5 µl dengan titer 1/320 terbentuk gumpalan
karena adanya reaksi antara antigen dengan antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa
serum praktikan terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhi yang digolongkan kedalam
infeksi berat.
Menurut Sabir et al. (2015), penyakit demam tifoid (DT) merupakan penyakit
demam yang disebakan oleh bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. typhi).
Salah satu faktor penyebab DT yang bersifat akut bahkan menyebabkan kematian
adalah sifat virulensi flagella. Flagella merupakan alat pergerakan bakteri S.typhi
yang tersusun dari suatu protein yang disebut flagellin. Flagella meningkatkan
kemampuan motilitas dan daya invasif dari S.typhi, yang dapat menyebabkan
terjadinya perforasi pada usus (jaringan limfoid). Menurut Chang et al. (2016),
racun tifoid diekspresikan hanya oleh intraseluler S. typhi, dan setelah berukuran
sesuai untuk sintesis, toksin disekresikan S.typhi-containing vacuole (SCV) dengan
mekanisme transportasi khusus. Toksin yang disekresikan kemudian dikemas ke
dalam pembawa vesikel yang mengangkut ke ruang ekstraseluler menuju tempat
sel target. Menurut Khan et al. (2015), gejala demam tifoid yaitu gangguan fungsi
usus, sakit kepala, malaise dan anoreksia, naik bintik-bintik di dada, perut, dan
tulang punggung. Tanpa pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki kefatalan
tingkat 10-30 %.
Menurut Chang et al. (2016), Salmonella entericaserovar typhi (S. typhi)
berperan dalam penyakit yang menyebabkan demam tifoid pada manusia. Tifoid
merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Menurut Muliawan (2003),
Salmonella typhi memiliki beberapa jenis antigen yang digunakan sebagai
parameter penilaian hasil uji reaksi widal antara lain antigen H, O, Vi, dan OMP.
Antigen H terletak di flagella dan fimbriae (fili) S. typhi. Antigen ini tersusun atas
protein. S. typhii mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang dimiliki beberapa
Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada
pemberian alkohol atau asam. Antigen O memiliki struktur kimia terdiri dari
lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam,
alkohol dan asam yang encer. Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhii yang
melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila
dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.
Antigen terakhir yaitu OMP merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein
nonporin.
Menurut Pelczar & Chan (2005), uji widal adalah prosedur uji serologi untuk
mendeteksi bakteri Salmonella typhii yang mengakibatkan penyakit Tifus. Uji ini
akan memperlihatkan reaksi antibodi Salmonella terhadap antigen H-flagellar di
dalam darah. Prinsip dari uji widal yaitu berdasarkan reaksi aglutinasi secara
imunologis antara antibodi dalam serum dengan suspensi bakteri sebagai antigen
yang homolog. Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang
positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi. Antigen yang
digunakan pada tes widal ini berasal dari suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah dalam laboratorium, dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti
dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Adapun pemeriksaan yang negatif
ditandai dengan tidak terjadinya aglutinasi. Menurut Harti (2012), tujuan uji widal
ntuk mengetahui adanya antibodi spesifik dalam serum terhadap antigen.
Salmonella secara kualitatif dan semi kuantitatif berdasarkan reaksi aglutinasi.
Menurut Volk & Wheeler (1984), uji widal pada umumnya melibatkan
beberapa seri pengenceran yang dilakukan secara bertahap. Secara umum terdapat
tiga seri pengenceran untuk penetapan titer antibodi dalam serum pada uji Widal
yaitu pengenceran 1 : 80, pengenceran 1 : 160, dan pengenceran 1 : 320. Ketiga seri
pengenceran tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan pengenceran
rendah, jika menunjukkan hasil positif (terjadi aglutinasi) maka dilanjutkan dengan
pengenceran sedang, begitu seterusnya hingga pengenceran tinggi. Pengenceran
1:80 dibuat dengan cara memipet serum 20 µl ditambah dengan 1 tetes (40 µl)
reagen S. typhii H. apabila terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya yaitu 20 x
1/1600 = 1/80 kali. Pengenceran 1:160 dibuat dengan cara memipet serum 10 µl
ditambah dengan 1 tetes (40 µl) reagen S. typhii H. apabila terjadi aglutinasi
dihitung titer antibodinya yaitu 10 x 1/1600 = 1/160 kali. Pengenceran 1:320 dibuat
dengan cara memipet serum 5 µl ditambah dengan 1 tetes (40 µl) reagen S. typhii
H. apabila terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya yaitu 5 x 1/1600 = 1/320 kali.
Uji widal tunggal dapat menyebabkan banyak hasil positif palsu dan negatif
palsu. Hasil positif palsu pemeriksaan widal dapat disebabkan oleh karena berbagai
macam hal, diantaranya pasien yang diperiksa memiliki indikasi infeksi demam
tifoid akut atau pernah terinfeksi demam tifoid sebelumnya, imunisasi sebelumnya
dengan antigen Salmonella, reaksi silang dengan Salmonella nontifoid, variabilitas
dan standar antigen komersial yang kurang baik, infeksi malaria atau
Enterobacteriaceae, dan penyakit lain seperti demam dengue. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain (Tjokronegoro & Santoso,
1982).
Uji reaksi widal memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari reaksi
ini yaitu prosesnya cepat dan dapat segera diketahui hasilnya. Pengerjaannya
mudah dan praktis. Selain itu biaya perngerjaaanya murah. Adapun kerugian dari
reaksi widal yaitu tingkat spesifitas dan sensitivitas rendah, interpretasi sulit dilihat,
dan dapat terjadi berbagai kemungkinan hasil seperti positif palsu dan negatif palsu.
Manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Biakan darah, tes tubex, dan
PCR dinilai lebih efektif jika dibandingkan dengan uji widal karena memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik (Setiana & Angga, 2016).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa


demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut pada manusia disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi yang dapat diketahui dengan uji widal. Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan oleh kelompok 4 rombongan II diproleh hasil positif
pada uji widal pengenceran 1:80, 1:160, dan 1:320 yang ditandai dengan adanya
aglutinasi.
DAFTAR PUSTAKA

Baron, E. J., Peterson, L. R., & FinegoId, S. M., 1994. Enterobactericeae in: Bailey
and Scott’s Diagnostic Microbiology. 9th ed. London: The CV Mosby Co.
Chang, S. J., Song, J., & Galán, J. E., 2016. Receptor-Mediated Sorting of Typhoid
Toxin during its Export from Salmonella typhi-Infected Cells. Cell Host &
Microbe, 20(1), pp. 682-689.
Harti, A. S., & Yuliani, D., 2012. Pemeriksaan Widal Slide untuk Diagnosa Demam
Tifoid. Jurnal KesMaDSka, 3(2), pp. 1-10.
Jawetz, E., Melnick, J. L., & Adelberg, E. A., 1974. Review of Medical Microbiology.
Canada: Lange Medical Publication.
Khan, S., Miah, M. R. A., Haque, S., & Naheen, C. R., 2016. Comparison of Results
Obtained by Widal Agglutination Test & Polymerase Chain Reaction among
Clinically Suspected Typhoid Fever Cases. Bangladesh Journal of Physiology
and Pharmacology, 30(2), pp. 46-50.
Marhani., 2018. Identifikasi Salmonella typhi pada Penderita Demam Tifoid di
Puskesmas Malili. Jurnal Voice of Midwifery, 8(1), pp. 734-743.
Muliawan, S. Y., 2003. Diagnosis Dini Demam Tifoid dengan Menggunakan Protein
Membran Luar S. typhi sebagai Antigen Spesifik. Jurnal CDK, 1(1), pp. 11-3.
Pelczar., & Chan., 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Sabir, M., Efendi, A. A., Rahman, R., & Hatta, M., 2015. Variasi Genetik dan Faktor
Risiko Gen Flagellin Salmonella typhi pada Demam Tifoid Akut dan Karier di
Sulawesi Tengah. Healthy Tadulako, 1(1), pp. 70-84.
Setiana, G., & Angga, P., 2016. Perbandingan Metode Diagnosis Demam Tifoid
Comparison of Methods for Diagnosis of Typhoid Fever. Jurnal Farmaka,
4(3), pp. 1-11.
Tjokronegoro, A., & Santoso, C., 1982. Imunologi: Diagnostik dan Terapi. Jakarta:
FKUI.
Volk, W. A., & Wheeler, M. F., 1984. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai