Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Abstrak
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan
potensi untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Dalam bahasa Al-Qur’an ini
dikenal dengan Nafs. Disebutkan bahwa, potensi Positif yang dimiliki manusia
lebih kuat dari potensi negatifnya, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dari
daya tarik kebaikan. Manusia dituntut untuk memelihara dirinya dari
kecendrungan-kecendrungan untuk berperilaku negatif maka pada saat itu
pula manusia memerlukan agama yang sejatinya menjadi kebutuhan
manusia.[3]
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian
Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang
mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga
sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi
menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti
mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.[6]
Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha
Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat
sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi
setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat
ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.
Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan
memberi balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya.
Dengan kata lain, keyakinan ini merupakan cerminan kepercayaan tentang
adanya hari pembalasan, hari kemudian.[8]
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Pada hakikatnya
pula, Manusia tidak secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan
untuk beragama. Hal ini sejalan pula dalam Hadits Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi
beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut
Yahudi, Nashrani atu Majusi. Tuhan menciptakan demikian, karena agama
merupakan kebutuhan hidupnya. Memang
manusia dapat menangguhkannya sekian lama –boleh jadi sampai dengan
menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan
jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu .
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini
dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang
kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal tuhan, ternyata mereka
mempercayai adanya tuhan sekalipun terbatas daya khayalnya. Selanjutnya,
keyakinan-keyakinan tersebut dikenal dengan istilah Dinamisme[9],
Animisme[10], dan Politeisme[11] -lebih lanjut lihat Harun Nasution dalam
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-, ini semua membuktikan bahwa
manusia mempunyai potensi bertuhan.
Dalam literatur Teologi Islam kita jumpai pandangan kaum mu’tazilah yang
rasionalis, karena banyak mendahuluka pendapat akal dalam memperkuat
argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa
manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang mengetahui yang
baik dan yang buruk tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Dalam hubungan inilah,kaum mu’tazilah mewajibkan pada
Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki
akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama).
Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa
manusia memerlukan wahyu.[13]
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena
manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa
menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan
dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan
sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang
dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia
dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang
dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya
mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya, berbagai bentuk budaya,
hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk
itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan
mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup
demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga upaya mengamankan
masyarakat menjadi penting.
Kesimpulan