Anda di halaman 1dari 8

Perubahan Iklim Mengubah Ekosistem

 Senin, 11 Juli 2011 | 17:37 WIB

KOMPAS.com - Perubahan iklim membuat perubahan besar dalam ekosistem, seperti


perubahan siklus hidup tumbuhan dan hewan dan peningkatan level permukaan laut.
Demikian hasil penelitian yang disampaikan oleh Patrick Gonzales, US National Park Service
dalam presentasi "Discovering Ways to Vulnerable Ecosystems Adapt to Impacts of Climate
Change" pada 2011 Indonesian-American Kavli Frontiers of Science Symposium, Sabtu
(9/7/2011) di Bogor.

Ia menjelaskan, perubahan iklim menggeser waktu vegetasi berbunga serta migrasi hewan.
Peristiwa-peristiwa secara tidak langsung memengaruhi siklus hidup tumbuhan dan hewan,
dan pada akhirnya, memengaruhi kelangsungan ekosistem.

"Indikasi dari perubahan iklim juga terdeteksi menggandakan kematian pohon di Amerika
Serikat selama 1955 hingga 2007," jelasnya. "Dampak besar lainnya, kenaikan temperatur
dan ketinggian permukaan laut," tambah Gonzales.

Penelitian Gonzales mengamati berbagai wilayah di seluruh dunia ini. Pada sejumlah area
yang ekosistemnya mengalami perubahan besar, menurutnya, "Lebih terkait karena faktor
perubahan iklim daripada faktor-faktor lain."

Riset ini, menurut Gonzales, diharapkan dapat menyediakan informasi dan data yang bisa
dipakai sebagai rujukan dalam mengelola metode-metode adaptasi terhadap perubahan ini.
"Saat tidak memungkinkan lagi, relokasi diperlukan," katanya.(National Geographic
Indonesia/Gloria Samantha)
Sumber : National Geographic Indonesia
Editor : Tri Wahono
Kamis, 25/04/2013 03:59 WIB

Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di


Kepulauan Seribu Memprihatinkan
Edward Febriyatri Kusuma - detikNews

ilustrasi: Ekosistem Laut di Pulau Pramuka


(Egir Rivki/detikcom)
Jakarta - Kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu mulai mengkhawatirkan.
Berdasarkan penelitian Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi), kondisi tersebut
masuk dalam kategori sedang.

"Berdasarkan hasil riset penelitian kondisi tutupan karang hidup termasuk kategori sedang,
dengan persentase tutupan karang hidup 27 sampai 30%," ujar Anggota Terangi, Divisi
pengelolaan terumbu karang, Idris saat berbincang dengan detikcom, di Pulau Pramuka,
Kabupaten Kepulauan Seribu, Rabu (24/4/2013).

Menurut Idris, jika kondisi tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan akan semakin
banyak ekosistem laut yang rusak.

"Kalau tidak dikelola dengan baik siap-siap saja akan banyak ekosistem yang rusak, dan
terumbu karang yang rusak," ujarnya.

Idris mengatakan, sejauh ini terumbu karang dengan kerusakan terparah terjadi di Pulau
Panjang. Hal itu dipicu karena adanya landasan pacu pesawat.

"Kondisi terparah di pulau panjang pulau itu dijadikan landasan pacu pesawat Cesna,
sehingga sekeliling karang sudah pada mati. Hasil penelitian awal, tutupan karang hidup
persentasenya 20%, namun belakang kita teliti lagi persentase tutupan karang hidup tinggal
1%," ujar Idris.

Idris menuturkan, di Jakarta ada 13 sungai yang bermuara ke Teluknaga, Tangerang, Propinsi
Banten. "Bayangkan jika satu sungai saja membawa berapa ton limbah, belum lagi beberapa
bulan lalu Jakarta Banjir maka ada berapa banyak eksositem yang rusak," sindirnya.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan pengelolaan ekosistem laut sejak
sekarang. "Setelah direkstruksi kita juga tidak boleh melupakan dalam pengelolaannya,
sehingga ekosistem tersebut tidak akan mati," lanjutnya.
(edo/rna)

Pengelolaan Restorasi Ekosistem Riau


Kategori berita:HeadlineArtikel dimuat pada: 15 Sep 2013, 02:26:44 WIB

(Antara/anggoro) Sebagian area hutan rusak akibat kebakaran di kawasan Restorasi


Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (13/9).
Kementerian Kehutanan mengupayakan pengelolaan Restorasi Ekosistem Riau (RER) di
Semenanjung Kampar bisa menjadi model panutan karena melibatkan sektor swasta,
pemerintah dan peran aktif masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Pakar: cegah banjir dengan konservasi ekosistem


Padang (ANTARA News) - Pakar Ilmu Biologi Tanah dari FMIPA Universitas Andalas, Prof Dr Ir
Fachri Ahmad M.Sc mengatakan, bencana banjir yang sering melanda wilayah Indonesia termasuk
pusat ibukota negara Jakarta harus dicegah mulai dari hulu dengan melaksanakan konservasi
ekosistem.
"Banjir besar seperti di Jakarta adalah musibah yang berulang-ulang dan akan terjadi lagi di tahun-
tahun mendatang," kata di Padang, Rabu.

Bahkan mungkin banjir Jakarta akan lebih hebat dari yang pernah terjadi walaupun sungai-sungai
sudah dibersihkan dari timbunan sampah, tanggul sungai diperbaiki, dan dam pengendali permukaan
air serta kanal-kanal diperbaiki dengan seksama, tambahnya.

"Untuk mengatasi banjir Jakarta itu maka perlu menoleh ke daerah tangkapan hujan yang airnya
mengalir ke Jakarta yakni di sekitar Gunung Salak, Gunung Gede dan Gunung Pangrango," katanya.

Ia mengatakan, jika diamati daerah-daerah sekitar Bogor, Ciawi dan Puncak, maka ada perseteruan
hebat antara tuntutan ekonomi dan ekosisitem lingkungan di wilayah itu.

Desakan pemakaian lahan pertanian yang meningkat, kios-kios dan bangunan hotel semakin ramai,
ditambah dengan dibangunnya resort dan rumah peristirahatan, sehingga konsekuensinya ialah,
terganggunya hutan hujan tropis di wilayah itu, katanya..

Sementara curah hujan di daerah tersebut tinggi sekitar 4.000 mm/per tahun, meupakan jumlah air
yang besar dan patut dikendalikan dengan seksama, kata Fachri yang juga mantan Rektor Universitas
Andalas tersebut. Ia menjelaskan, banyak hal harus perhatikan, mulai dari sifat tanah, topografi,
geomorfologi, ekosisitem, perkembangan populasi penduduk dan tuntutan kehidupannya.

Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan peristiwa banjir di Jakarta sehingga diyakini cukup sulit
menangani faktor-faktor tersebut, namun dengan keterbatasan kemampuan, setidaknya ada beberapa
faktor yang dapat dikuasai dengan melakukan upaya konservasi tanah dan ekosistemnya, tambah
mantan Wakil Gubernur Sumatera Barat itu.

Menurut dia, karena hutan-hutan hujan tropis sudah banyak yang ditebangi daerah tangkapan air
mulai menipis dan tidak mampu lagi menahan air hujan yang tinggi.

Dengan mengalir air dipermukaan dengan cepat, lalu masuk ke sungai dan tempat lain yang bermuara
di Jakarta, maka banjir tidak dapat dihindari.

Fachri yang juga mantan Rektor Universitas Bung Hatta itu mengatakan, berdasarkan kondisi diatas
maka perlu diusulkan pertimbangan melakukan konservasi ekosistim lingkungan tersebut dengan
kegiatan, penghijauan kembali dengan menanam pohon-pohon pelindung, di lahan-lahan kosong, di
daerah tangkapan air.

Lalu, mengontrol "deforestrasi", agar tidak menjalar kemana-mana, termasuk kelereng-lereng gunung,
akibat tekanan perkembangan populasi.

Kemudian, bila mungkin dari sudut sosiologi dan perkembangan urban, fisik, dan teknologi, sungai
Ciliung dibendung dan dialirkan ke suatu danau kecil buatan, untuk mencegah "overflow sungai
tersebut. Selanjutnya, menurut Profesor Fachri Ahmad, perlu dibuat jalur-jalur kanal buatan di Jakarta
yang bermanfaat untuk mengintervensi banjir dan mengalirkan air dengan cepat ke laut.
Ekosistem Semenjanjung Kampar Semakin
Rusak

PEKANBARU, KOMPAS.com - Kondisi ekosistem Semenanjung Kampar, Provinsi Riau,


semakin rusak. Salah satu kawasan hutan gambut terbesar di Pulau Sumatera yang masih
tersisa itu, semakin tergerus aksi perambahan.

Dian Novarina, Direktur PT Gemilang Cipta Nusantara (PT GCN) , kepada sejumlah
wartawan di Pekanbaru, Senin (6/5/2013), mengungkapkan, setidaknya 5.000 hektar hutan
kawasan itu sudah terdegradasi akibat penebangan yang masih berlangsung sampai sekarang
ini.

Dalam sebuah video yang diperlihatkan Dian, di atas kawasan itu terlihat sedikitnya terdapat
tiga kilang kayu di tengah hutan yang berada di sisi kanal-kanal gambut yang dibuat untuk
sarana transportasi. Terlihat ribuan lembar papan sedang diletakkan di pinggir kanal,
menunggu transportasi.

Pada kawasan lain, terdapat beberapa kawasan yang sudah terbuka akibat dibakar. Kawasan
yang rusak, secara umum berada pada pada wilayah yang berdekatan dengan sungai dan
kanal liar.

"Kerusakan sudah semakin menuju ke tengah-tengah kawasan hutan gambut," kata Dian.

Tiga tahun lalu, Kompas pernah terbang di atas kawasan yang sama. Hanya saja, pada saat
itu, kerusakan akibat penebangan liar masih terkonsentrasi di pinggiran aliran Sungai
Kampar. Kerusakan pun masih berkisar ratusan hektar. Dalam waktu tiga tahun, kegiatan
ilegal itu, ternyata bukan semakin berkurang.

"Kami sebenarnya sudah melaporkan kegiatan illegal logging di daerah itu kepada aparat
keamanan. Namun sampai sekarang belum ada tindakan pencegahan, apalagi penindakan,"
kata Dian.
Untuk menghindari kerusakan yang semakin besar, kata Dian, Kementerian Kehutanan telah
memberikan izin kepada PT GCN untuk melakukan restorasi di kawasan itu.

"Kami akan memulai restorasi wilayah itu dalam waktu dekat. Restorasi ekosistem
merupakan proses pemulihan unsur hayati dan non hayati pada ekosistem hutan produksi
yang terdegradasi agar tercipta keseimbangan hayati dan ekosistemnya kembali, " ujar Dian.

Perusahaan restorasi ekosistem tidak akan melakukan penebangan kayu alam di hutan
konsesinya. Perusahaan lebih berupaya mengubah cara pandang masyarakat sekitar, terhadap
potensi kayu dan mengalihkan pada produk non kayu.

Berdasarkan catatan Kompas, kawasan ekosistem Semenanjung Kampar, sebenarnya sudah


ditetapkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
bersama yang meliputi kawasan Tasik Besar Serkap seluas 513.000 hektar yang akan dimulai
pada tahun 2011.

Surat keputusan pembentukan KPH itu sudah diserahkan kepada Gubernur Riau, selaku
penanggungjawab, pada 23 September 2010. Berdasarkan keputusan itu, semestinya,
kawasan itu akan dijaga secara bersama-sama dengan berbagai unsur pemerintah dan
nonpemerintah yang diketuai oleh gubernur.

Pembentukan KPH Tasik Besar Serkap merupakan jawaban pemerintah atas polemik yang
mencuat di Semenanjung Kampar waktu itu. Hal itu dilandasi protes beberapa organisasi
nonpemerintah, yang dimotori organisasi internasional Greenpeace, menuntut penghentian
eksploitasi hutan gambut di Semenanjung Kampar.

Sayangnya, KPH bentukan Menhut itu sampai sekarang tidak terlaksana. Tidak jelas dimana
buntunya kesepakatan itu.

"Saya tidak tau bagaimana perkembangan KPH. Kami hanya melakukan restorasi di lahan
seluas 20.000 hektar yang masih termasuk dalam kawasan Tasik Besar Serkap itu. Paling
tidak, dengan adanya program restorasi ini, kerusakan ekosistem Semenanjung Kampar dapat
diperkecil," kata Dian.

Penanggungjawab program restorasi ekosistem Semenanjung Kampar yang disebut juga


dengan Restorasi Ekosistem Riau, Anthony Greer, mengatakan, kawasan Semenanjung
Kampar merupakan salah satu ekosistem hutan rawa gambut terluas yang tersisa di Sumatera.
Ekosistem ini merupakan satu kesatuan ekosistem rawa gambut yang memiliki kubah gambut
(peat dome) sebagai daerah intinya.

"Kubah gambut memiliki peranan sangat penting bagi kelestarian tata air di seluruh
ekosistem Semenanjung Kampar. Kawasan ini juga menyimpan karbon dalam jumlah yang
sangat besar, sehingga kondisi alamiah kubah harus dilindungi agar tidak mengalami
kerusakan," kata Anthony.

Tasik Besar Serkap adalah satu dari dua kawasan gambut terbesar di Sumatera yang masih
tersisa dan terbilang utuh. Satu kawasan lainnya, sekarang sudah dimasukkan dalam program
internasional Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu yang terletak di Kabupaten Siak
dan Bengkalis seluas 700.000 hektar.
Tasik Besar Serkap memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi yang terdiri dari flora dan
fauna asli Sumatera. Di kawasan itu masih terdapat beberapa hewan dilindungi seperti
Harimau Sumatera.

Upaya restorasi yang dilakukan PT CGN, sedikit berbeda dibandingkan dengan perusahaan
restorasi ekosistem yang sebelumnya sudah ada di Indonesia. Perusahaan yang tergabung
dalam grup Raja Garuda Emas atau APRIL ini, tidak tergantung pada donatur, melainkan
mengupayakan dana sendiri.

Pada tahun pertama, kata Anthony, perusahaan akan menyediakan dana sebesar 3 juta dollar
AS. Pada tahun kedua 2 juta dollar dan tahun ke-3 sampai ke-10, masing-masing 1,5 juta
dollar AS.

"Pengembalian modal itu belum kami pikirkan. Yang jelas upaya restorasi ini harus
dilakukan dahulu. Pada tahap ini, 100 persen tidak mengejar profit. 50 persen konservasi dan
50 persen sosial. Kami baru mendapat hasil apabila suatu saat nanti, skema perdagangan
karbon dunia diberlakukan," ujar Anthony.

Meski tidak menyebutkan alasan, pendanaan restorasi ini lebih ditujukan sebagai balas budi
grup RGE atas beroperasinya pabrik kertas PT RAPP di sekitar kawasan itu.

Perusakan Ekosistem Raja Ampat Kembali


Terjadi

JAKARTA, KOMPAS.com — Perusakan ekosistem Raja Ampat kembali terjadi. Patroli


gabungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kabupaten Raja Ampat menangkap tujuh pelaku pengeboman ikan, Jumat
(14/9/2012) di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.

Berdasarkan rilis The Nature Conservancy yang diterima Kompas.com, Senin (17/9/2012),
tujuh nelayan yang berasal dari Pulau Buaya itu ditangkap tim gabungan saat melakukan
pengeboman ikan di Pulau Fam. Para pelaku sempat melarikan diri, tetapi berhasil dikepung
di Pulau Batanta bagian timur. Setelah ditangkap, pelaku dibawa ke Markas TNI AL di
Sorong.

Pelaku yang tertangkap adalah Kamarudin sebagai nakhoda, Irianto, Fandi, Oktavianus, Fano
Fakdawer, Anton Fakdawer, dan Lamutu yang masih di bawah umur. Mereka telah lama
menjadi target. Barang bukti yang berhasil dihimpun adalah 250 kg ikan berbagai jenis,
perahu jenis sampan bermesin ganda 40 pk, kompresor, dan sumbu bahan peledak.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, Manuel Urbinas, SPi, MSi
mengatakan, "Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak berdampak sangat besar dan
merugikan sektor perikanan dan pariwisata karena tidak hanya menghancurkan ekosistem dan
sumber daya laut, tetapi juga sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat Raja Ampat."

Raja Ampat terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia, pusat keanekaragaman
hayati laut. Survei TNC dan Conservation International (CI) mengungkap bahwa sekitar 75
persen terumbu karang dunia ada di Raja Ampat, meliputi 553 jenis terumbu karang dan
1.437 ikan karang.

Valuasi ekonomi Raja Ampat pernah dihitung lewat penelitian CI dan Universitas Negeri
Papua pada tahun 2006. Riset mengungkap, nilai ekonomi pemanfaatan sumber daya laut
mencapai 126 miliar per tahun, di antaranya meliputi perikanan tangkap (Rp 20 miliar per
tahun) dan pariwisata (mencapai angka Rp 14 miliar per tahun).

Kasus perusakan ekosistem laut Raja Ampat ini bukan pertama kali terjadi. Februari lalu,
kasus serupa pun sudah terjadi di Kofiau. Kali ini, pengeboman ikan terjadi beberapa hari
sebelum Festival Bahari Raja Ampat pada 18-21 September 2012, upaya untuk mengenalkan
pariwisata kepulauan ini.

Hukuman yang memberi efek jera diperlukan untuk menangani maraknya praktik
penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan. Kasus di Kofiau, pelaku pengeboman ikan
hanya mendapat hukuman 1 tahun penjara dengan denda Rp 5 juta subsider kurungan 3 bulan
kepada empat pelaku.

Anda mungkin juga menyukai