Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat manusia
harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang
diturunkan oleh Allah dan disampaikan oleh Rosulullah untuk umat manusia. Seiring dengan
perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula masalah-
masalah ataupun persoalan didalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum ada
nasnya kemudianlah dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat Nabi
(di ijma) sebagai salah satu sumber syariat islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang
telah dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani,
mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal
tersebut maka kita perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma sebagai penetapan hukum
dasar. Maka dari itu makalah ini akan membahas tentang ijma.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian Ijma’ ?


2. Apakah macam – macam Ijma’ ?
3. Apakah dasar hukum Ijma’ ?
4. Apakah syarat – syarat Ijma’ ?
5. Bagaimana Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma’ ?
C. Tujuan
1. Dapat Mengetahui tentang pengertian Ijma’
2. Dapat mengetahui macam – macam ijma’
3. Dapat mengetahui dasar hukum Ijma’
4. Dapat mengetahui Syarat – syarat Ijma’
5. Dapat mengetahui Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma’

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Pengertian Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang
sesuatu hal, seperti perkataan sesorang ‫ اجمح القو م على كذا‬yang berarti “kaum itu telah
sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu”. Ijma' (‫)اِلجْ َماع‬
‫ إ‬adalah mashdar (bentuk)
dari ajma'a (‫ )أَجْ َم َع‬yang memiliki dua makna:

َ ‫( أ َ َج َم َع ف ََل ٌن‬sifulan bertekad kuat untuk


َ ‫علَى‬
Tekad yang kuat (‫ )ال َع ْزم الم َؤ َّكد‬seperti: ‫سفَر‬
melakukan perjalanan).

Kesepakatan (‫)االتفَاق‬
‫إ‬ seperti: (‫ )أَجْ َم َع الم ْس إلم ْونَ َعلَى َكذَا‬kaum muslimin bersepakat tentang
sesuatu.

Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:

‫ص إر إمنَ العص ْو إر َعلَى أ َ ْمر إمنَ األم ْو إر‬


ْ ‫سلَّ َم َب ْعدَ َوفَا إت إه إف ْي َع‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي إه َو‬ ْ ‫إاتفَاق مجْ تَ إهد‬
َ ‫إي أ َّم إة م َح َّمد‬

"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-
masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).

Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:

Kesepakatan (‫ )االتإفَاق‬artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau


dengan sikap. Para Mujtahid ( َ‫)المجْ تَ إهد ْون‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh
orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari
dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan
kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum. Ummat Muhammad
yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang rima seruan dakwah Nabi saw).Setelah
wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut
ijma'.

Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.Pada
perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i
tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

2
Menurut istilah Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’
dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia.Sebagai contoh ialah
setelah Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan penangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kamu muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk
mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar
ra.sebagai khalifah pertama.Sekalipun pada permulaanya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar ra.itu, namun kemudian semua kaum muslimin
menyetujuinya.Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’

Ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum islam
dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan –urutan seumebr hukum islam.Ijma’ sebagai
sumber hukum ditunujkan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadist. Nabi yang mengatakan
bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran menjadi pegangan.di samping ayat-ayat Al-Qur’an
yang menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang pemisahan diri. Di antara hadits –
hadits yang memberikan kekuatan demikan ialah hadits.”7 umatku tidak bersepakat atas
kesesatan “. Jika sudah terjadi kebulatan hukum maka, sudah barang tentu ada dalil (alasan)
yang menjadi sandaraannya, meskipun dalil tersebut boleh jadi tidak diriwayatkan sebab
tidak masuk akal kalau para ulama umat islam bersepakat atas suatu hukum tanpa
mempunyai dalil syara’.

Ijma’ menurut para fuqaha yang ahli ijtihad merupakan hujjah (argumentasi) yang kuat
dalam menetapkan hukum fiqih, sumber (hukum islam) yang menempati posisi setelah
sunnah. Posisi ini didukung oleh sejumlah ayat dan hadits yang mengakui konsesensus para
ahli ilmu (ulama) dan ahli piker (cendekiawan).

Nabi saw bersabda , ‫( ال تجتمح امتي على ضَل لة‬umatku tidak akan sepakat untuk melakukan
kesesatan ). Banyak hadits yang semakna dengannya, dank arena banyaknya, ditambah
dengan ayat al-Qur’an yang mengharuskan berpegang kepada jama’ah dan tidak
memisahkan dari dirinya, menjadi dalil yang cukup untuk menujukan kehujjahan ijma’
dalam menetapkan hukum, yang selalu bersandar kepada dalil meskipun tidak disebutkan,
karena para ulama tidak mungkin consensus kalau tidak bersandar pada dalil syara’. Oleh
karena itu, bila para ulama mutaakhirin ingin mengetahui ijma’ maka yang dijadikan kajian
adalah eksistensi ijma’ dan kebenaran riwayatnya mengkaji dalilnya. Sebab,jika yang harus
dikaji itu adalah dalilnya tentulah dalil itu sendiri yang dipegaung bukan ijma’, sekalipun

3
ijma’ itu sendiri dapat dijadikan sebagai hujjah.jadi, ijma’ selalu bersandar pada dalil,tetapi
tidak mengakuinya sebagai hujjah tidak perlu mengetahui dalilnya.

B. Macam – macam Ijma’

1. Ijmak Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada
satu kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan;
“ini halal” atau “ini haram”. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah tanpa ada perdebatan.

2. Ijma Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian


kelompok mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah mempunyai
kekuatan mengikat untuk seluruh umat.

a. Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ Sukuti itu bukan ijma’
yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat

b. Abu Ali ibn Hurairah (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa pendapat yang
dikemukakan dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau
penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang
mennyanggahnya, maka diammya ulama itu tidak dapat disebut ijma’.[7]

c. Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat


berfatwa, sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu
tidak disebut ijma‘ (sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan
ucapan (fatwa). Menurut sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang
mujtahid (sahabat) telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam
mereka sama seperti telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti itu
disebut juga dengan ijma‘ (ijma‘ sukuti). Menurut sekelompok ulama lain, hal itu hanya
menjadi hujah (sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat dikatakan ijma‘. Menurut
sekelompok ulama lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijma‘ tetapi
hanya sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum.

4
C. Dasar Hukum Ijma’

Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan

sebagai berikut:

a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

‫مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan
Allah juga baik”.

b. Sabda Rasulullah Saw

‫[ال تجمع امتى على ضَللة‬6]

Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari
sahabat Umar bin Khatab R.A :

‫اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد‬

Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang
yang menyendiri”.

Firman Allah Swt :

( ‫ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا‬
‫النساء‬

Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-
buruk tempat kembali”.

Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah
harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman
neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika

5
jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal
tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.

Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-


orang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian
Ijma’ dapat dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash Syara.

D. Syarat – syarat Ijma’

Menurut Jumhur syarat Ijma yaitu

1. Syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah


kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan,
perkataan atau perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus
terpenuhi bagi terlaksanya Ijma’

a. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak
dipandang ijma’, jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja
sedangkan sebagian kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa
kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah

b. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan.
Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.

c. Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan
maupun dapat dilihat dalam perbuatan.

d. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang
kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan
itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau
bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu
hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.

2. Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi
seorang untuk menjadi mujtahid yakni:

a. Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan


yang telah menjadi obyek Ijma’ sebelumnya

6
b. Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh

c. Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab)

3. Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat
Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu

4. Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw

5. Ijma’ itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’,
seperti wajib, haram, sunnat dan seterusnya.

E. Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma’

1. Keikutsertaan kalangan awam dalam Ijma’

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau
yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama berpendapat
bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan unruk melaangsungkan suatu ijma’. Karena
yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami
sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya.

Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam
penetapan ijma’ karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari
kesalahan.

2. Ijma’ sesudah masa Sahabat

Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa
sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatan bahwa ijma’ itu
mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa
sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi
ketentuannya.

3. Kesepakatan mayoritas

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sahnya ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang
bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.

7
4. Kesepakatan ulama madinah

Ulama madinah telah sepakat tentang suatu hukum atau suatu kejadian, sedangkan ulama
lain mengemukakan pendapat yang berbeda.

5. Kesepakatan Ahlu al-Bait

Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad melalui
putrinya. Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas
suatu hukum di anggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain.

6. Kesepakatan Khulafaur rasyidin

Empat orang sahabat Nabi yng kemudian bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat
lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka dianggap sebagai
ijma’ yang mengikat umat islam.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber hukum islam sejatinya terbagi atas Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-
Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Sedangkan
Sunnah merupakan jalan yang biasa dilakukan , tidak mempermasalahkan apakah cara
tersebut baik atau buruk, pengertian sunnah bisa diartikan Ilmu Hadits, Ijma’, ialah
kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah
Rasulullah saw meninggal dunia. Ijma’ memiliki Landasan dasar yaitu adanya Dalil-dalil
yang berasal dari Rasullulah Saw. Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan
untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara.Ijma’ memiliki berbagai
macam syarat yang harus di penuhi oleh mujtahid ;Memiliki pengetahuan tentang Al
Qur’an. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.Memiliki pengetahuan tentang masalah
Ijma’ sebelumnya.Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih. Menguasai ilmu
bahasa. Rukun-rukun Ijma’ terbagi atas :harus mujtahid dikala itu, melakukan kesepakatn
itu hendaklah seluruh mujtahid terjadi setelah wafatnya Nabi. Macam Ijma ;Ijma’ Bayani,
Ijma’ Sukuti, Ijma’ Qath’I, Ijma’ Dhanni. Kehujjahan ijma’ yang dapat dijadikan
argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih
berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga
memungkinkan terjadinya ijma.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih Cet 1. Jakarta: Logos.

Jafar, M. 2014. Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. Volume XIII, No. 2.

Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam. Jakarta: Pustaka
Amani.

Nur, Iffatin. 2013. Terminologi Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Yusnani. 2012. Sistem Bisnis Franchise Dalam Pandangan Islam. Vol 7 No.2.

10

Anda mungkin juga menyukai