0
terjadi epitelisasi spontan.
1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau
fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %
B. PENATALAKSANAAN
Kulit berfungsi sebagai sistem pengaturan keseimbangan cairan dalam
tubuh, maka akan terjadi kehilangan cairan dalam jumlah yang besar yang
menyebabkan penurunan curah jantung dan gangguan hemodinamik pada pasien
dengan luka bakar berat.14 Infeksi aliran darah pada pasien yang terbakar terjadi
setelah menembus sawar kulit dan akibatnya invasi patogen melalui limfatik dan
/ atau darah, dengan demikian, menentukan sepsis. Secara umum, bakteri gram
positif yang menghuni folikel rambut dan kelenjar sebaceous lebih dalam, dapat
bertahan dari cedera, menjajah permukaan dalam waktu 48 jam. Pembawa
infeksi lainnya adalah venipunctures. Seluruh rangkaian faktor ini menghambat
perkembangan dari kolonisasi sederhana menjadi infeksi di area yang terbakar
dan kemudian infeksi sistemik. 15
Terapi nutrisi merupakan bagian integral dalam tata laksana luka bakar
dari sejak awal resusitasi hingga fase rehabilitasi. Dukungan nutrisi bertujuan
untuk mengembalikan fungsi fisiologis normal, mempertahankan massa otot,
mencegah malnutrisi dan infeksi, menunjang proses penyembuhan luka,
1
mengurangi morbiditas, dan mortalitas. Saat ini sudah terdapat rekomendasi
untuk tata laksana nutrisi luka berat.17
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut,
subakut dan lanjut.
2
3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua :
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis
menimbulkan masalah yang dapat dikelompokan dalam dua golongan,
dan masing- masing saling berhubungan, yaitu memicu stress
metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan
sendirinya kerusakan kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa
kendali dan penguapan yang terjadi tidak ahnya sekedar cairan namun
juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat loss). Kondisi
pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya
kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai
akibat, namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak
disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya. 16
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan
pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk
sampai pada fase cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan
menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
(penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua).
Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar –
Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap
memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk
luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan
pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan
memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar
3
karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air
mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka
bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru
disiram air yang mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi
rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses
penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan
derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa
atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah
pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi
akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega,
minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan
meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk
membantu pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
4
antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi.
Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi
penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena
dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari
kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka
ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan
antispetik. Balutan kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu
penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan terangkat,
sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement
harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.19
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
1. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
2. Derajat III > 10%
3. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma
jaringan lunak yang hebat.
4. Luka bakar akibat sengatan listrik
5. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka,
tangan, kaki, mata, telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10%
pada anak atau > 15% pada orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti
pada wajah, mata, tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10.Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya
secara baik dan benar di rumah
11. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12.Terjadi luka bakar pada organ dalam.
5
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua
yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi
dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis
luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.
23
6
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini
sangat penting bagi proses penyembuhan26.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini
sangat penting bagi proses penyembuhan27.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke –
21. Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi,
pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24
jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan
substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi
luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas
terus mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam
struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas
dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang
7
merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang
baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas
selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
KONTRAKTUR
A. Definisi
Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi
akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,
8
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit
kongenital, ankilosis dan nyeri.16
Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini
bertujuan menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, benda-
benda asing dan jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama
fase ini berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti
penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi dimulai.
a. Komponen vaskuler
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan
tubule berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung
pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan
histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi
cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan
udem.21
9
b. Komponen hemostatik
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan
darah yang keluar dari pembuluh darah.
c. Komponen selluler
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu
ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen epitelisasi
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke
arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
10
dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka
yang cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat kontraktil
miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.
Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut
jaringan granulasi.
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem
dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis
dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka
kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
C. Klasifikasi Kontraktur
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat
terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang
dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.
11
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat
terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi,
misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit
degenerasi dan inflamasi.
3. Kontraktur Arthrogen .
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan
dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi
yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul
dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan
nyeri.
D. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka
waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek
dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan
kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)
E. Pencegahan Kontraktur
1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang
berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
12
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
3. Fisioterapi
c. Stretching
d. Splinting / bracing
F. Penanganan Kontraktur
1. Konservatif
a. Proper positioning
13
penderita dirawat di tempat tidur. (3,4) Posisi yang nyaman merupakan posisi
kontraktur. Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat
mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan mencegah kontraktur.(1,24,10)
– Antebrakii : supinasi
14
Proper positioning untuk penderita luka bakar
a. Exercise
15
mekanik atau anggota gerak penderita yang
sehat.
b. Stretching
c. Splinting / bracing
d. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka
bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama
10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk
semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi
besar.
16
2. Operatif
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan
dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga
memerlukan beberapa Z-plasty.
b. Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut,
selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih
split thickness graft untuk l potongan, karena full thickness graft sulit.
Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke
ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti
pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga post
operasi.
c. Flap
Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya
terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut
dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi
dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan transplantasi flap untuk
menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian flap adalah apabila gagal
dengan pemakaian cara graft bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya.
Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.
17
SKIN GRAFT
A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh
tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut
dan dibutuhkan suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup
kulit yang dipindahkan tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari
split thickness skin graft (STSG) dan full thickness skin graft (FTSG).
18
STSG sering menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan dan memiliki kebutuhan
perawatan luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah
penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada
bekas luka yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga
lebih cepat sembuh dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri.
Luka harus bersih. Semua jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan
kulit, dan tidak boleh ada tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitarnya. Graft take pada
hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft (STSG) dapat diambil dari setiap permukaan tubuh.
Lokasi umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai
lokasi donor, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan
akan memerlukan bantuan dalam merawat luka.
Pencangkokan kulit mungkin tidak berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling
umum untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula,
pembentukan seroma dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya,
mencegah nutrisi yang diperlukan, seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi
graft menyebabkan kegagalan. Hal ini sering terjadi ketika graft ditempatkan di atas
sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas selubung tendon mobile. Sumber
lain yang umum dari kegagalan adalah lokasi penerima yang buruk. Luka mungkin
memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin terlalu besar
untuk memungkinkan kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi terhadap
bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu
fibrin graft. Kesalahan teknis juga dapat menghasilkan kegagalan graft.
19
• Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft
Kerugian:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft
• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak
luas sehingga tidak dapat ditutup primer
20
Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka
ditentukan oleh keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila
jumlah mikroorganisme lebih dari 104/gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi
yaitu 89%, sedangkan bila jumlah mikroorganisma dibawah 104/gram jaringan
kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6%. Pada luka-luka dengan jumlah mikroorganisma
lebih dari 105/gram hampir dipastikan akan selalu gagal.
a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya
Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok
yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah
jantung, suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai
dengan peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses
penguapan (evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida
parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan
oleh beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana
protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah
21
tersebut dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal
cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu kerja
jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke
daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan. Namun
pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insesible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam
Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan
memperburuk perjalanan penyakit pada luka bakar.
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi
kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita
dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB
mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang
dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50%
akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa
protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.
22
DAFTAR PUSTAKA
13. Lundy, J. B., Chung, K. K., Pamplin, J. C., Ainsworth, C. R., Jeng, J. C., &
Friedman, B. C. (2016). Update on severe burn management for the intensivist. Journal
of intensive care medicine, 31(8), 499-510.
14. Dunne, J.A. & Rawlins, J.M. (2014). Management of burns.Surgery,32 (9)
15. Zanasi, S., de Abreu, L.C., Heinke, T., et al. (2015). Factor associated with survival
of burned patients. International Archives of Medicine, 8 (77), doi: 10.3823/1676.
16. Hatta, R. D., Pamungkas, K. A., & Nugraha, D. P. (2015). Profil Pasien Kontraktur
yang Menjalani Perawatan Luka Bakar di RSUD Arifin Achmad Periode Januari 2011–
Desember 2013. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2(2),
1-5.
17. Suzan, R., & Andayani, D. E. (2017). TATA LAKSANA NUTRISI PADA PASIEN
LUKA BAKAR LISTRIK. JAMBI MEDICAL JOURNAL" Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan", 5(1), 1-13.
18. Wang, Y., Beekman, J., Hew, J., Jackson, S., Issler-Fisher, A. C., Parungao, R., ... &
Maitz, P. K. (2018). Burn injury: challenges and advances in burn wound healing,
infection, pain and scarring. Advanced drug delivery reviews, 123, 3-17.
19. Yastı, A. Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, G., Çoruh, A., & Yorgancı, K. (2015).
Guideline and treatment algorithm for burn injuries. Ulus Travma Acil Cerrahi
Derg, 21(2), 79-89.
20. Gibran, N. S., Wiechman, S., Meyer, W., Edelman, L., Fauerbach, J., Gibbons, L., ...
& Kirk, E. (2013). American burn association consensus statements. ARMY INST OF
SURGICAL RESEARCH FORT SAM HOUSTON TX.
21. Rowan, M. P., Cancio, L. C., Elster, E. A., Burmeister, D. M., Rose, L. F., Natesan,
S., ... & Chung, K. K. (2015). Burn wound healing and treatment: review and
advancements. Critical care, 19(1), 243.
22. Stekelenburg, C. M., Marck, R. E., Tuinebreijer, W. E., de Vet, H. C., Ogawa, R., &
van Zuijlen, P. P. (2015). A systematic review on burn scar contracture treatment:
searching for evidence. Journal of Burn Care & Research, 36(3), e153-e161.
23. Rose, L. F., & Chan, R. K. (2016). The burn wound microenvironment. Advances in
wound care, 5(3), 106-118.
24. Ko, J. H., & Levi, B. (2017). Optimizing the Treatment of Burn Injuries of the
Upper Extremity. Hand clinics, 33(2), xiii.
25. Bohanon, F. J., Wurzer, P., Mitchell, C., Herndon, D. N., & Kramer, G. (2018). Burn
resuscitation. Fluid Therapy for the Surgical Patient, 257-278.
23
26. Martínez-Jiménez, M. A., Ramirez-GarciaLuna, J. L., Kolosovas-Machuca, E. S.,
Drager, J., & González, F. J. (2018). Development and validation of an algorithm to
predict the treatment modality of burn wounds using thermographic scans: Prospective
cohort study. PloS one, 13(11), e0206477
27. Vivó, C., Galeiras, R., & del Caz, M. D. (2016). Initial evaluation and management
of the critical burn patient. Medicina Intensiva (English Edition), 40(1), 49-59.
24