Anda di halaman 1dari 25

A.

DERAJAT LUKA BAKAR

Luka Bakar dapat di klasifikasikan berdasarkan kedalaman luka bakar


atau berdasarkan luas luka bakar. Terdapat kriteria dari World Health
Association (WHO) dan American Burn Association (ABA). WHO
mengklasifikasikan luka bakar berdasarkan kedalaman sebagai berikut13 :

1. Luka bakar derajat I: Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis


(surperfisial), kulit hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa
nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara
spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II: Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis,
berupa reaksi inflamasi disertai proseseksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena
ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a. Derajat II dangkal/superficial (IIA): Kerusakan mengenai bagian
epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Organ-organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak.Semua ini
merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara
spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
b. Derajat II dalam / deep (IIB): Kerusakan mengenai hampir seluruh
bagian dermis dan sisa– sisa jaringanepitel tinggal sedikit.
Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjarsebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama
dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam
waktu lebih dari satu bulan
3. Luka bakar derajat III: Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan
yang lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ
kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisaelemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucatsampai berwarna
hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis
yangdikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi
karena ujung-ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak

0
terjadi epitelisasi spontan.

Kemudian berdasarkan luas luka bakar, dibawah ini adalah kriteria


menurut American Burn Association :

1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau
fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %

B. PENATALAKSANAAN
Kulit berfungsi sebagai sistem pengaturan keseimbangan cairan dalam
tubuh, maka akan terjadi kehilangan cairan dalam jumlah yang besar yang
menyebabkan penurunan curah jantung dan gangguan hemodinamik pada pasien
dengan luka bakar berat.14 Infeksi aliran darah pada pasien yang terbakar terjadi
setelah menembus sawar kulit dan akibatnya invasi patogen melalui limfatik dan
/ atau darah, dengan demikian, menentukan sepsis. Secara umum, bakteri gram
positif yang menghuni folikel rambut dan kelenjar sebaceous lebih dalam, dapat
bertahan dari cedera, menjajah permukaan dalam waktu 48 jam. Pembawa
infeksi lainnya adalah venipunctures. Seluruh rangkaian faktor ini menghambat
perkembangan dari kolonisasi sederhana menjadi infeksi di area yang terbakar
dan kemudian infeksi sistemik. 15
Terapi nutrisi merupakan bagian integral dalam tata laksana luka bakar
dari sejak awal resusitasi hingga fase rehabilitasi. Dukungan nutrisi bertujuan
untuk mengembalikan fungsi fisiologis normal, mempertahankan massa otot,
mencegah malnutrisi dan infeksi, menunjang proses penyembuhan luka,

1
mengurangi morbiditas, dan mortalitas. Saat ini sudah terdapat rekomendasi
untuk tata laksana nutrisi luka berat.17

Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut,
subakut dan lanjut.

1. Pada Fase Akut / Awal :


Cedera inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki
korelasi dengan angka mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi
dalam waktu singkat, dalam 8 sampai 24 jam pertama pasca cedera.
Pemasangan pipa endotrakeal dan atau krikotirotomi merupakan suatu
tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera
inhalasi. Sementara penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan
penyelamatan tersebut ( terapi inhalasi, pembebasan saluran nafas dari
produk secret mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi seawal
mungkin). Masing- masing turut berperan dalam keberhasilan terapi
awal. Penderita yang bertahan hidup setelah ancaman cedera inhalasi
dalam waktu 8- 24 jam pertama ini, masih dihadapkan pada komplikasi
saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma.
Komplikasi dari cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang
juga memiliki prognosis sangat buruk.18
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik
yang merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang
sampai berat.
Menurut BAXTER formula
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24
jam
Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.
Kebutuhan faali :
Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc

2
3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua :
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis
menimbulkan masalah yang dapat dikelompokan dalam dua golongan,
dan masing- masing saling berhubungan, yaitu memicu stress
metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan
sendirinya kerusakan kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa
kendali dan penguapan yang terjadi tidak ahnya sekedar cairan namun
juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat loss). Kondisi
pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya
kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai
akibat, namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak
disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya. 16
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan
pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk
sampai pada fase cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan
menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
(penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua).
Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar –
Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap
memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk
luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan
pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan
memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar

3
karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air
mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka
bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru
disiram air yang mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi
rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses
penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan
derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa
atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah
pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi
akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega,
minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan
meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk
membantu pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.

Dikenal dua cara merawat luka :


1. Perawatan terbuka (exposure method)
2. Perawatan tertutup (occlusive dressing method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah.
Permukaan luka yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga
kuman sulit berkembang. Kerugiannya bila digunakan obat tertentu,
misalnya mitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan
keluargapun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor.
19

Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan


yang ketat dan aktif. Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam
sehari. Cara ini baik untuk merawat LB yang dangkal. Untuk LB III
dengan eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan
luka berulang-ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita perlu
dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau

4
antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi.
Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi
penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena
dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari
kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka
ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan
antispetik. Balutan kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu
penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan terangkat,
sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement
harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.19
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
1. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
2. Derajat III > 10%
3. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma
jaringan lunak yang hebat.
4. Luka bakar akibat sengatan listrik
5. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka,
tangan, kaki, mata, telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10%
pada anak atau > 15% pada orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti
pada wajah, mata, tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10.Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya
secara baik dan benar di rumah
11. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12.Terjadi luka bakar pada organ dalam.

C. PROSES PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

5
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua
yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi
dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis
luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.
23

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera


jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa
cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus
tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka
akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika
mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif,
fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya
luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik. Tubuh
secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses peradangan yang
dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas,
nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase
yaitu26:
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah
kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel
berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit

6
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini
sangat penting bagi proses penyembuhan26.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini
sangat penting bagi proses penyembuhan27.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke –
21. Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi,
pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24
jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan
substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi
luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas
terus mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam
struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas
dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang

7
merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang
baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas
selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.

KONTRAKTUR
A. Definisi

Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi


secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong,
otot dan kulit.Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan
kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi
dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pencegahan,

seperti perawatan luka, pencegahan infeksi, proper   positioning  dan mencegah


immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan
fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas sehari-hari.16

Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan


luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik
berlebihan dari proses penyembuhan luka.16

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi
akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,

8
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit
kongenital, ankilosis dan nyeri.16

Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan


kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi
dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan,
seperti perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah
immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan
fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.16

B. Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka sangat mempengaruhi terjadinya sikatrik dan


jaringan yang menyebabkan kontraktur, untuk itu perlu diingat kembali fase-fase
penyembuhan luka.

1. Fase Inflamasi / fase substrat / fase eksudasi / lag phase

Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini
bertujuan menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, benda-
benda asing dan jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama
fase ini berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti
penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi dimulai.

Fase ini mempunyai 3 komponen, yaitu :

a. Komponen vaskuler

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan
tubule berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung
pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan
histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi
cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan
udem.21

9
b. Komponen hemostatik

Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan
darah yang keluar dari pembuluh darah.

c. Komponen selluler

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding


pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan
kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut memakan
dan menghancurkan kotoran luka dan bakteri.

2. Fase proliferasi / fase fibroplasi / fase jaringan ikat

Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu
ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :

a. Komponen epitelisasi

Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke
arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.

b. Komponen kontraksi luka

Kontraksi luka disebut juga pertumbuhan intussuseptif, tujuan utama adalah


penutupan luka atau memperkecil permukaan luka. Proses terjadinya
kontraksi luka ini berhubungan erat dengan proses fibroplastik. Fibroblast
berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan luka. Serat dibentuk dan

10
dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka
yang cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat kontraktil
miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.

c. Reparasi jaringan ikat

Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut
jaringan granulasi.

3. Fase remodeling/fase resorpsi/fase maturasi/fase diferensiasi/penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem
dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis
dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka
kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

C. Klasifikasi Kontraktur

Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan, maka


kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi : (2,3,4,5,6)

1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen

Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat
terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang
dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.

2. Kontraktur Tendogen atau Myogen

11
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat
terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi,
misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit
degenerasi dan inflamasi.

3. Kontraktur Arthrogen .

Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan
dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi
yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul
dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan
nyeri.

D. Patofisiologi

Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka
waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek
dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan
kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)

E. Pencegahan Kontraktur

Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan. Program


pencegahan kontraktur meliputi : (1,2,3,6,9,10)

1. Mencegah infeksi

Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang
berlebihan akan menimbulkan kontraktur.

2. Skin graft atau Skin flap

12
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.

3. Fisioterapi

Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi ;

a. Proper positioning (posisi penderita)

b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)

c. Stretching

d. Splinting / bracing

e. Mobilisasi / ambulasi awal

F. Penanganan Kontraktur

Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah


pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk
ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal
ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan,
diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang
rekuren. (1,2,6,8,10) Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan
operatif :

1. Konservatif

Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini lebih


mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita, meliputi :

a. Proper positioning

Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya


kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu selama

13
penderita dirawat di tempat tidur. (3,4) Posisi yang nyaman merupakan posisi
kontraktur. Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat
mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan mencegah kontraktur.(1,24,10)

Proper positioning pada penderita luka bakar adalah sebagai berikut :

– Leher : ekstensi / hiperekstensi

– bahu : abduksi, rolasi eksterna

– Antebrakii : supinasi

– Trunkus : alignment yang lurus

– Lutut : lurus, jlarak antara lutut kanan dan kiri 20”

– Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna

– Pergelangan kaki : dorsofleksi

14
Proper positioning untuk penderita luka bakar

a. Exercise

Tujuan tujuan exercise untuk mengurangi udem, memelihara lingkup


gerak sendi dan mencegah kontraktur. Exercise yang teratur dan terus-
menerus pada seluruh persendian baik yang terkena luka bakar maupun yang
tidak terkena, merupakan tindakan untuk mencegah kontraktur. (2,8,10) Adapun
macam-macam exercise adalah :

– Free active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri.

– Isometric exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri dengan


kontraksi otot tanpa gerakan sendi.

– Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri


tetapi mendapat bantuan tenaga medis atau alat

15
mekanik atau anggota gerak penderita yang
sehat.

– Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita dengan


melawan tahanan yang diberikan oleh tenaga
medis atau alat mekanik.

– Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap


penderita.

b. Stretching

Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan


kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih
dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah stretching yang
paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching panggul depan dan lutut
bagian belakang. (2,10)

c. Splinting / bracing

Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning merupakan


hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk mempertahankan
posisi yang baik selama penderita tidur atau melawan kontraksi jaringan
terutama penderita yang mengalami kesakitan dan kebingungan.

d. Pemanasan

Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka
bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama
10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk
semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi
besar.

16
2. Operatif

Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan kontraktur dan


terapi konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan, tindakan tersebut
dapat dilakukan dengan beberapa cara :

a. Z – plasty atau S – plasty

Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan
dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga
memerlukan beberapa Z-plasty.

b. Skin graft

Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut,
selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih
split thickness graft untuk l potongan, karena full thickness graft sulit.
Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke
ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti
pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga post
operasi.

c. Flap

Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya
terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut
dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi
dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan transplantasi flap untuk
menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian flap adalah apabila gagal
dengan pemakaian cara graft bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya.
Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.

17
SKIN GRAFT

A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh
tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut
dan dibutuhkan suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup
kulit yang dipindahkan tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari
split thickness skin graft (STSG) dan full thickness skin graft (FTSG).

B. Split Thickness Skin Graft


Split Thickness Skin Graft (STSG) terdiri dari lapisan atas kulit (epidermis dan
dermis). Cangkok ditempatkan di atas luka terbuka untuk menyediakan cakupan dan
proses penyembuhan. Letak donor STSG pada dasarnya adalah luka bakar tingkat dua
karena hanya bagian dari dermis termasuk dalam cangkok. Letak donor akan sembuh
dengan sendirinya karena beberapa elemen dermal tetap. STSG dikategorikan lebih tipis
(0,005-0,012 in), sedang (0,012-0,018 in), atau tebal (0,018-0,030 in), berdasarkan
ketebalan harvested graft.
Pilihan antara FTSG (Full Thickness Skin Grafting) dan STSG tergantung pada
kondisi luka, lokasi, ketebalan, ukuran, dan estetika. STSG digunakan untuk melapisi
luka yang besar, rongga baris, muncul kembali defisit mukosa, letak donor tutup dekat,
dan muncul kembali flaps otot. Hal ini juga diindikasikan untuk luka yang relatif besar
(>5-6 cm diameter) yang akan memerlukan beberapa minggu untuk menyembuhkan
sekunder.
Namun, STSG memiliki kelemahan yang signifikan yang harus diperhatikan.
STSG lebih rentan, terutama ketika ditempatkan di daerah dengan sedikit dukungan
jaringan lunak, dan biasanya tidak tahan terapi radiasi berikutnya. Lokasi STSG dapat
berkontraksi secara signifikan selama penyembuhan. Kulit cenderung hipo atau
hiperpigmentasi, terutama pada individu berkulit gelap. Ketipisan STSG, pigmentasi
abnormal, dan sering kekurangan tekstur halus dan pertumbuhan rambut membuat
STSG lebih fungsional dari kosmetik. Ketika digunakan untuk melapisi luka bakar
besar wajah, STSG dapat menghasilkan penampilan yang tidak diinginkan. Meskipun
kedua FTSG dan letak donor STSG meninggalkan luka kedua, reepitelisasi letak donor

18
STSG sering menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan dan memiliki kebutuhan
perawatan luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah
penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada
bekas luka yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga
lebih cepat sembuh dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri.
Luka harus bersih. Semua jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan
kulit, dan tidak boleh ada tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitarnya. Graft take pada
hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft (STSG) dapat diambil dari setiap permukaan tubuh.
Lokasi umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai
lokasi donor, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan
akan memerlukan bantuan dalam merawat luka.
Pencangkokan kulit mungkin tidak berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling
umum untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula,
pembentukan seroma dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya,
mencegah nutrisi yang diperlukan, seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi
graft menyebabkan kegagalan. Hal ini sering terjadi ketika graft ditempatkan di atas
sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas selubung tendon mobile. Sumber
lain yang umum dari kegagalan adalah lokasi penerima yang buruk. Luka mungkin
memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin terlalu besar
untuk memungkinkan kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi terhadap
bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu
fibrin graft. Kesalahan teknis juga dapat menghasilkan kegagalan graft.

C.Full Thickness Skin Graft (FTSG)


Digunakan untuk menutup defek pada wajah, leher, ketiak, volar manus atau menutup
daerah yang diinginkan secara estetik tidak terlalu jelek.
Keuntungan dari FTSG :
• Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil

• Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil

• Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil

19
• Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft

Kerugian:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft

• Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas

• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak
luas sehingga tidak dapat ditutup primer

• Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal, supraklavikular,


retroaurikular
Indikasi:
• Kehilangan jaringan yang tidak begitu luas
Kontraindikasi:
• Tidak terdapatnya suplai darah

D.Sebab-Sebab Kegagalan Tindakan Skin Graft


Penyebab kegagalan skin graft yaitu:
1.Hematoma dibawah skin graft
Hematoma atau perdarahan merupakan penyebab kegagalan skin graft yang
paling penting. Bekuan darah dan seroma akan menghalangi kontak dan proses
revaskularisasi, sehingga tindakan hemostasis yang baik harus dilakukan sebelum
penempelan skin graft
2.Pergeseran skin graft
Pergeseran akan menghalangi/merusak jalinan hubungan (revaskularisasi)
dengan resipien. Harus diusahakan terhindarnya daerah operasi dari geseran dengan
cara fiksasi dan imobilisasi yang baik
3.Daerah resipien yang kurang vital
Suplai darah yang kurang baik pada daerah resipien, misalnya daerah bekas
crush injury, akan mengurangi kemungkinan take, kecuali telah dilakukan debridement
yang adekuat. Penempelan skin graft pada daerah yang avaskulaer seperti tulang,
tendon, syaraf, membuat tindakan skin graft gagal
4. Infeksi

20
Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka
ditentukan oleh keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila
jumlah mikroorganisme lebih dari 104/gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi
yaitu 89%, sedangkan bila jumlah mikroorganisma dibawah 104/gram jaringan
kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6%. Pada luka-luka dengan jumlah mikroorganisma
lebih dari 105/gram hampir dipastikan akan selalu gagal.

5.Teknik yang salah

a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya

b. Penempelan skin graft terbalik

c. Skin graft teralu tebal

PERUBAHAN METABOLISME PADA LUKA BAKAR

Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok
yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah
jantung, suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai
dengan peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses
penguapan (evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida
parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan
oleh beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana
protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah

21
tersebut dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal
cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu kerja
jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke
daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan. Namun
pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insesible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam

Stimulasi beta adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres


(katekolamin, kortisol, glukagon) dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan
peningkatan laju metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis,
glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi
natrium dan reabsorpsi air.

Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan
memperburuk perjalanan penyakit pada luka bakar.

Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi
kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita
dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB
mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang
dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50%
akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa
protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.

22
DAFTAR PUSTAKA
13. Lundy, J. B., Chung, K. K., Pamplin, J. C., Ainsworth, C. R., Jeng, J. C., &
Friedman, B. C. (2016). Update on severe burn management for the intensivist. Journal
of intensive care medicine, 31(8), 499-510.

14. Dunne, J.A. & Rawlins, J.M. (2014). Management of burns.Surgery,32 (9)

15. Zanasi, S., de Abreu, L.C., Heinke, T., et al. (2015). Factor associated with survival
of burned patients. International Archives of Medicine, 8 (77), doi: 10.3823/1676.

16. Hatta, R. D., Pamungkas, K. A., & Nugraha, D. P. (2015). Profil Pasien Kontraktur
yang Menjalani Perawatan Luka Bakar di RSUD Arifin Achmad Periode Januari 2011–
Desember 2013. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2(2),
1-5.

17. Suzan, R., & Andayani, D. E. (2017). TATA LAKSANA NUTRISI PADA PASIEN
LUKA BAKAR LISTRIK. JAMBI MEDICAL JOURNAL" Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan", 5(1), 1-13.

18. Wang, Y., Beekman, J., Hew, J., Jackson, S., Issler-Fisher, A. C., Parungao, R., ... &
Maitz, P. K. (2018). Burn injury: challenges and advances in burn wound healing,
infection, pain and scarring. Advanced drug delivery reviews, 123, 3-17.

19. Yastı, A. Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, G., Çoruh, A., & Yorgancı, K. (2015).
Guideline and treatment algorithm for burn injuries. Ulus Travma Acil Cerrahi
Derg, 21(2), 79-89.

20. Gibran, N. S., Wiechman, S., Meyer, W., Edelman, L., Fauerbach, J., Gibbons, L., ...
& Kirk, E. (2013). American burn association consensus statements. ARMY INST OF
SURGICAL RESEARCH FORT SAM HOUSTON TX.

21. Rowan, M. P., Cancio, L. C., Elster, E. A., Burmeister, D. M., Rose, L. F., Natesan,
S., ... & Chung, K. K. (2015). Burn wound healing and treatment: review and
advancements. Critical care, 19(1), 243.
22. Stekelenburg, C. M., Marck, R. E., Tuinebreijer, W. E., de Vet, H. C., Ogawa, R., &
van Zuijlen, P. P. (2015). A systematic review on burn scar contracture treatment:
searching for evidence. Journal of Burn Care & Research, 36(3), e153-e161.

23. Rose, L. F., & Chan, R. K. (2016). The burn wound microenvironment. Advances in
wound care, 5(3), 106-118.

24. Ko, J. H., & Levi, B. (2017). Optimizing the Treatment of Burn Injuries of the
Upper Extremity. Hand clinics, 33(2), xiii.

25. Bohanon, F. J., Wurzer, P., Mitchell, C., Herndon, D. N., & Kramer, G. (2018). Burn
resuscitation. Fluid Therapy for the Surgical Patient, 257-278.

23
26. Martínez-Jiménez, M. A., Ramirez-GarciaLuna, J. L., Kolosovas-Machuca, E. S.,
Drager, J., & González, F. J. (2018). Development and validation of an algorithm to
predict the treatment modality of burn wounds using thermographic scans: Prospective
cohort study. PloS one, 13(11), e0206477

27. Vivó, C., Galeiras, R., & del Caz, M. D. (2016). Initial evaluation and management
of the critical burn patient. Medicina Intensiva (English Edition), 40(1), 49-59.

24

Anda mungkin juga menyukai