Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (WHO) menyatakan campak adalah salah

satu dari penyebab kematian pada anak-anak walaupun ada vaksin yang

terjangkau dan aman. Pada tahun 2014, ada 114.900 kematian yang disebabkan

olah campak diseluruh dunia, sekitar 314 kematian perhari atau 13 kematian per

jam.Sementara menurut survei yang dilakukan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, prevalensi kejadian campak di Jawa Tengah adalah 490 kasus

per tahun 2013, urutan ke sembilan dari 33 provinsi di Indonesia. Selain itu,

dampak dari penyakit campak sendiri dapat berakibat kematian. Dampak-

dampak lain akibat penyakit campak adalah otitis media, pneumonia interstitial,

dan pneumonia bakterial yang merupakan infeksi sekunder dari bakteri (WHO,

2015).

Imunisasi campak adalah salah satu upaya pencegahan dari penyakit

campak.4 Sesuai dengan rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak

Indonesia (IDAI) imunisasi campak diberikan pada bayi usia 9-12 bulan.1,5

Imunisasi campak merupakan suatu proses memasukan virus campak yang sudah

dilemahkan kedalam tubuh guna merangsang sistem kekebalan tubuh

terhadap penyakit campak. Pemerintah Indonesia melalui Departemen

Kesehatan memberikan imunisasi wajib, dan imunisasi campak termasuk

salah satunya. Rekomendasi IDAI imunisasi campak perlu diberikan booster

pada saat usia anak 24 bulan, atau jika sudah diberikan vaksin MMR pada
usia 15 bulan, maka tidak perlu diberikan vaksin campak ulangan (Kemenkes,

R.I, 2014).

Pemberian imunisasi sendiri dapat memberikan efek samping yang disebut

dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Menurut Departemen

Kesehatan RI, KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi

baik berupa efek vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek

farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi suntikan atau

hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Jenis-jenis KIPI Campak adalah

demam, ruam, limfadenopati, rhinitis, batuk, kejang demam dan masih banyak

lainya (Bahtera, 2010)

Demam telah dilaporkan sebagai kejadian “serius” dan “tidak serius”

pasca pemberian imunisasi bagi semua usia. Kejadian demam pasca

imunisasi campak diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan tubuh

terhadap virus hidup campak yang dilemahkan dan diinjeksi kedalam tubuh.

Dengan adanya virus asing ini menstimulasi pirogen sitokin dalamtubuh, seperti

interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), Tumor Necrosing Factor (TNF) dan

interferon, yang melepaskan asam arakidonat dan dimetabolisme menjadi

prostaglandin E2, dan menyebabkan peningkatan termostat pada hipotalamus

anterior sehingga terjadi demam.Peningkatan suhu yang tinggi menyebabkan

perubahan keseimbangan membran sel neuron dan terjadinya difusi ion K+

dan ion Na+ melalui membran. Terjadinya difusi menyebabkan lepasnya

muatan listrik dan terjadinya kejang.


Faktor risiko terjadinya kejadian ikutan pasca imunisasi belum

diketahui secara pasti namun beberapa penelitian telah dilakukan dan

dipublikasikan tentang faktor genetik terhadap KIPI. Central Disease Control

(CDC) di Amerika Serikat memiliki tanggung jawab utama untuk melakukan

penelitian terhadap risiko genetik terhadap KIPI.10 World Health Organizaton

Regional Office for Africa (WHO AFRO) menyatakan bahwa anak dengan gizi

buruk adalah indikasi untuk dilakukannya imunisasi (WHO, 2010).

Growth faltering adalah apabila kurva pertumbuhan berat badan anak

mendatar atau menurun hingga memotong lebih dari 2 kurva persentil.

Secara tipikal, growth faltering terjadi pada usia 6 bulan ke atas karena pada usia

ini terjadi perubahan konsumsi makanan anak yang biasanya tidak adekuat

baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Sekitar 130 juta anak dibawah

usia 5 tahun memiliki berat badan dibawah rata-rata, dengan prevalensi tertinggi

ada di Asia Timur dan Afrika bagian Sub-Sahara. Dalam jangka waktu yang

pendek growth faltering dapat menghambat respon imunitas tubuh, dan

meningkatkan terjadinya kejadian infeksi berat dan mortalitas bayi. Terlebih

lagi pada growth faltering berkelanjutan dapat mengakibatkan hambatan pada

pertumbuhan kemampuan kognitif dan psikomotorik, mengurangi aktivitas

fisik, gangguan perilaku dan kesulitan belajar. Faktor risiko terjadinya

growth faltering pada anak sendiri adalah intrauterine growth retardation (IUGR),

penyakit kongenital, kesulitan makan, dan kesulitan tidur (Soedjatmiko, 2011).


Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

analisis jurnal tentang “Hubungan growth faltering terhadap kejadian demam

dan kejang demam pada anak dengan pasca imunisasi campak”.

1.2 Tujuan penulisan

Untuk mengetahui bagaimana Hubungan growth faltering terhadap

kejadian demam dan kejang demam pada anak dengan pasca imunisasi campak .

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan

bacaan tentang keperawatan anak.

1.3.2 Manfaat praktis

Diharapkan analisis jurnal ini dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan

khususnya ilmu keperawatan bagi perawat tentang pengaruh growth faltering

terhadap kejadian demam dan kejang demam pada anak pasca imunisasi

campak. Hasil Analisa jurnal ini dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah Sakit

dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan anak khususnya yang

mengalami kejang demam pasca pemberian imunisasi campak.


BAB II

METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metode Pencaharian

Analisis jurnal ini menggunakan 3 (tiga) media atau metode pencarian

jurnal, yaitu sebagai berikut :

1. Google Scholar dengan alamat situs : https://scholar.google.co.od

2. Portal Garuda dengan alamat situs : http://download.portalgaruda.org

Google Scholar Portal Garuda

Growth Faltering (35) Growth Faltering (20)

Demam dan kejang demam (15) Demam dan kejang demam (10)

Imunisasi Campak (45) Imunisasi Campak (30)

2.2 Konsep Teoritis

2.2.1 Konsep Campak

1. Pengertian Campak

Campak adalah penyakit sangat menular dengan gejala prodromal

seperti demam, batuk, coryza/pilek, konjungtivitis dan bintik-bintik kecil dengan

bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan

di daerah mukosa pipi (bercak koplik). Tanda khas bercak kemerahan dikulit

timbul pada hari ketiga sampai ketujuh, dimulai di daerah muka, kemudian

menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-kadang berakhir dengan

pengelupasan kulit berwarna kecoklatan (Kemenkes, R.I, 2015)

2. Etiologi Campak
Campak disebabkan oleh paramyxovirus, virus dengan rantai tunggal

RNA yang memiliki satu tipe antigen. Manusia merupakan satu-satunya

pejamu alami bagi penyakit ini. Virus campak mengenai traktus respiratorius

atas dan kelenjar limfe regional dan menyebar secara sistemik selama

viremia yang berlangsung singkat dengan titer virus yang rendah (Bahtera, 2010).

3. Manifestasi Klinis Campak

Penyakit campak mempunyai masa inkubasi 10-14 hari, merupakan jangka

waktu dari mulai mendapat paparan sampai munculnya gejala klinis penyakit.

Gejala prodromal pertama penyakit adalah demam, lemas, anoreksia, disertai

batuk, pilek, dan konjungtivitis. Gejala prodromal berakhir 2 sampai 3 hari.

Selama periode ini, pada mukosa pipi muncul lesi punctat kecil berwarna putih,

yang merupakan tanda diagnostik dini penyakit campak yang disebut Kopliks

Spots. Koplik menemukan spot kecil dengan ukuran 1-3 mm berwarna merah

mengkilat, dan pada titik pusatnya berwarna putih kebiruan (Kemenkes, R.I,

2015).

Gejala prodromal berakhir pada saat munculnya ruam pada kulit. Ruam

pada kulit sangat khas berupa makulopapuler, yang muncul pertama kali pada

muka dan belakang telinga, selanjutnya menyebar secara sentrifugal ke tubuh dan

ekstrimitas. Ruam dikulit mulai menghilang 3-4 hari dari sejak baru muncul.

Keterlibatan jaringan limfe secara menyeluruh mengakibatkan terjadinya

limfadenopati, splenomegali ringan, dan apendiksitis. Pada penyakit yang tanpa

komplikasi penyembuhan secara klinis segera mulai setelah munculnya ruam pada

kulit.
4. Pemeriksaan laboratorium Campak

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik terhadap campak dan tidak

membantu dalam diagnosis. Kultur virus campak belum tersedia secara umum.

Konfirmasi diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya sel raksasa multinuklear

pada sediaan apus mukosa nasal dan adanya peningkatan serum antibodi akut dan

kovalesen (WHO, 2015).

5. Pencegahan Campak

Vaksin hidup campak mencegah terjadinya infeksi campak dan

direkomendasikan sebagai vaksin MMR untuk anak berusia 12-15 bulan dan 4-6

tahun. Vaksin measles, mumps, rubella, and varicella (MMRV), vaksin MMR

yang dikombinasi dengan vaksin varisela, merupakan vaksin alternatif yang dapat

diberikan pada anak usia 12 bulan – 12 tahun. Dosis kedua MMR bukan

merupakan dosis penguat (booster) tetapi ditujukan untuk mengurangi angka

kegagalan vaksin yang telah diberikan pertama kali, yaitu sebesar 5%.

Kontraindikasi pemberian vaksin campak adalah keadaan immunokompromais

akibat immunodefisiensi kongenital, infeksi HIV berat, leukimia, limfoma, terapi

kanker, atau pemberian terapi immunosuppresif kortikosteroid (>2mg/kg/hari

selama lebih dari 14 hari), kehamilan, atau pernah menerima immunoglobulin

(dalam jangka waktu 3-11 bulan, tergantung dosis yang diberikan). Vaksinasi

MMR direkomendasikan untuk pasien HIV yang tidak memiliki gejala

imunosupresi berat (total CD4 T limfosit yang rendah sesuai usia atau kadar CD4

T limfosit yang rendah dibandingkan limfosit total), pasien kanker anak yang

sedang dalam masa remisi yang tidak menerima kemoterapi dalam waktu 3 bulan,
anak yang tidak sedang dalam pengobatan terapi imunosupresan kortikosteroid

pada bulan sebelumnya. Penderita penyakit kronik atau penderita

immunokompromais apabila didalam lingkungan rumahnya terdapat anggota

keluarga yang terpajan campak harus menerima profilaksis pasca pajanan dengan

vaksin campak dalam waktu 72 jam setelah terjadinya pajanan, atau pemberian

immunoglobulin dalam kurun waktu 6 hari setelah pajanan (IDAI, 2011).

2.2.2 Konsep Imunisasi Campak

1. Vaksin Campak

Vaksin campak diberikan untuk memberi perlindungan dan vaksin campak

berbentuk virus hidup. Vaksin campak tersedia dalam bentuk lyphophilic sebagai

bubuk dalam ampul. Pelarutnya adalah aqua distilasi & tersedia dalam ampul

terpisah. Tersedia dalam bentuk dosis tunggal, atau dalam dosis berkelanjutan

yang tersedia dalam 2 sampai 5 dosis yang dibagi, sesuai persetujuan terakhir, 0.5

ml per dosis (IDAI, 2011)

Sebagai vaksin yang mengandung virus hidup, vaksin campak perlu dijaga

dalam suhu rendah. Baik vaksin maupun pelarutnya harus di simpan dalam

kulkas. Vaksin dapat disimpan beku di dalam pendingin. Suhu yang bekerja untuk

penyimpanan 2-8 derajat celsius(IDAI, 2011).

Vaksin campak dipersiapkan dengan mencampurkan pelarut dan bubuk

dalam 1 ampul. Setelah dicampur vaksin dapat bertahan selama 2-3 jam,

setelahnya harus dibuang karena dapat menyebabkan toxic shock syndrome.

Vaksin campak diberikan secara subkutan di paha atau di lengan atas. Pemberian

secara intramuskular (IM) sama efektifnya (IDAI, 2011).


Vaksin campak diberikan setelah berusia 9 bulan (kehidupan diluar janin

lebih dari 270 hari). Perlindungan maternal transplasenta anti-measles

antibody bertahan dalam tubuh bayi selama 9 bulan. Antibodi ini melindungi bayi

dari virus campak. Peraturan ini tidak selalu benar, di negara seperti India, ibu

hamil dapat mengalami kekurangan gizi dan titer antibodi anti-campak tidak baik,

dan janin yang lahir dari ibu ini dapat menderita campak pada usia 6 bulan (IDAI,

2011).

Anak yang telah menderita campak akan mendapat imunitas seumur hidup.

Anak seperti ini tidak perlu mendapat vaksin campak Tetapi terkadang terjadi

demam exanthema yang memiliki gejala menyerupai campak. Pasien terkadang

salah menduga sebagai campak. Apabila catatan medis pasien tidak jelas maka

lebih baik diberikan vaksin campak karena tidak ada penyakit yang akan

menyertai apabila telah menderita campak sebelumnya (IDAI, 2011).

Campak dapat terjadi pada usia 5-15 tahun. Apabila pasien terlambat datang

dan sebelum usia 12 bulan maka dapat diberikan vaksin campak. Apabila datang

dan berusia > 12 bulan maka diberikan vaksin measles, mumps, rubella (MMR)

atau vaksin Campak, tergantung mana yang lebih terjangkau.

Vaksin campak adalah vaksin yang sangat baik dengan efisiensi >90%

dengan booster yang diberikan dalam bentuk MMR. Walaupun pasien yang telah

diimunisasi terkena campak, biasanya adalah campak yang telah termodifikasi dan

ringan yang penyembuhannya sangat cepat dan tanpa komplikasi yang serius

(Kemenkes, R.I, 2014).


Vaksin campak sendiri adalah vaksin yang sangat aman. Apabila ada efek

samping maka merupakan nyeri ringan, peradangan, atau demam. Terkadang

pasien dapat mengalami gejala seperti campak dengan batuk, pilek, mata merah

dan ruam pada kulit (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Campak). Gejala ini

bertahan selama 2-5 hari dan self-limiting. Toxic shock syndrome (TSS)

adalah suatu ketidakberuntungan tetapi merupakan reaksi yang dapat dihindari

dari vaksin campak. Vaksin campak tidak memiliki pengawet. Sehingga setelah

tercampur tidak boleh disimpan lebih dari 2-3 jam dan tetap dalam suhu rendah.

Apabila digunakan setelah 2-3 jam dapat tumbuh patogen dan yang paling sering

adalah staphylococcus. Ketika terinfeksi oleh racun staphylococcus terbentuk

dapat menyebabkan demam, diare, muntah, darah pada kotoran, disseminated

intravascular coagulation (DIC), syok dan yang paling parah kematian. Ini

terkadang karena menggunakan multi dosis yang tidak disimpan dengan baik atau

tidak digunakan selama beberapa waktu. Dan ini dapat dihindari dengan

menyimpan dengan baik vaksin tersebut. Karenanya dosis tunggal lebih dipilih

dibanding multi dosis (IDAI, 2011).

2. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik

berupa efek vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek

farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi suntikan atau

hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (IDAI, 2011).

Kejadian ikutan pasca imunisasi campak dapat berlangsung sampai 42 hari.

Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan


pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah

pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi,

khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi

sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif (Bahtera, 2010).

Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar ternyata

tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI

diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada

pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik;

bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah

menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian; apakah penyebab dapat

dipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan

bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan

pemberian (IDAI, 2011).

2.2.2 Demam

1. Pengertian Demam

Temperatur inti tubuh secara normal dipertahankan dalam kisaran 1-1,5

derajat celcius dengan rentang suhu 37-38 derajat celcius. Suhu tubuh normal

secara umum disebutkan 37 derajat celcius. Terdapat variasi diurnal normal

dengan suhu maksimal pada akhir sore hari. Temperatur rektum lebih tinggi

dari 38 derajat celcius dianggap sebagai kondisi tidak normal terutama bila

disertai gejala klinis.

2. Patofisiologi Demam
Temperatur tubuh dipertahankan melalui sistem regulasi yang kompleks

dengan pusat pengaturan berada di hipotalamus anterior. Terjadinya demam

dimulai dengan pelepasan pirogen endogen kedalam sirkulasi akibat adanya

infeksi, proses inflamasi ataupun keganasan. Mikroba dan toksin mikroba

bertindak sebagai pirogen eksogen yang menstimulasi pelepasan pirogen endogen,

termasuk pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF dan Interferon. Sitokin ini

mencapai hipotalamus anterior dan melepaskan asam arakidonik yang

dimetabolisme menjadi E2. Peningkatan termostat hipotalamus terjadi melalui

interaksi kompleks antara komplemen dan produksi prostaglandin E2. Antipiretik

(asetaminofen, ibuprofen dan aspirin) menghambat siklo-oksigenase hipotalamik

dan menurunkan prostaglandin E2. Aspirin dikaitkan dengan sindrom Reye pada

anak dan tidak dianjurkan sebagai antipiretik. Respon terhadap antipiretik tidak

dapat dipakai sebagai cara untuk membedakan antara infeksi virus dan bakteri.

3. Kejang Demam

Kejang demam merupakan predisposisi genetik terhadap kejang dicetuskan

oleh demam yang sering didapatkan pada anak usia 6 bulan-6 tahun. Keadaan ini

terjadi pada 2-4% anak, sebagian besar antara usia 1-2 tahun (usia rerata 22

bulan). Kejang demam sederhana adalah kejang motorik umum mayor yang

berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi satu kali pada kurun waktu 24

jam pada anak normal secara neurologis maupun perkembangan. Jika terdapat

tanda-tanda fokal, lamanya kejang lebih dari 15 menit, anak memiliki gangguan

neurologis sebelumnya atau kejang terjadi lebih dari satu kali dalam satu kejadian

demam, maka kejang disebut sebagai kejang demam kompleks atau atipik.
Prognosis anak dengan kejang demam sangat baik. Pencapaian intelektual

normal. Banyak anak yang akan mengalami kejang demam kembali, namun risiko

epilepsi di kemudian hari tidak lebih besar dibanding pada populasi umum

(sekitar 1%). Kejang demam berulang terjadi pada 30-50% anak dengan kejang

demam pertama dibawah usia 1 tahun, dan 28% pada anak dengan kejang demam

pertama diatas usia 1 tahun.

Karena kejang demam berlangsung singkat dan luarannya baik, sebagian

besar anak tidak memerlukan tatalaksana. Diazepam rektal dapat diberikan saat

kejang untuk mencegah kejang lama. Pemberian fenobarbital atau asam valproat

dapat digunakan untuk mencegah kejang demam, namun penggunaannya terbatas

karena ada potensi menimbulkan efek samping serius. Terapi intermitten dengan

memberi diazepam oral tiga sampai empat kali sehari selama demam menunjukan

efektivitas yang bervariasi.

2.2.3 Growth faltering

1. Pengertian Growth Faltering

Growth faltering atau guncangan pertumbuhan, adalah kecepatan

pertumbuhan yang lebih lambat dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan

posisi anak dipersentilnya. Growth faltering adalah deskripsi dari suatu kejadian

bukan diagnosis. Definisinya adalah memiliki berat badan kurang, kehilangan

banyak berat badan atau pertumbuhan yang tidak adekuat pada masa kanak-kanak

baik secara berat badan maupun tinggi badan

2. Etiologi growth faltering


Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan

terjadinya stunting atau underweight (nilai skor Z<-2) , pada umumnya terjadi

dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun)

namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian. Seorang anak laki-laki

yang stunted kelak akan menjadi orang dewasa yang stunted juga, dengan segala

akibatnya antara lain produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap

status ekonomi, sedangkan seorang anak perempuan yang mengalami stunting,

layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa yang stunted, yang apabila

kelak ia hamil akan lahir seorang bayi BBLR (bayi berat lahir rendah). Pentingnya

BBLR dalam transmisi kegagalan pertumbuhan intergenerasi telah banyak

diakui dan hubungan yang erat antara jumlah bayi berat lahir rendah dengan

jumlah anak dengan kurang gizi (stunted) telah banyak terbukti.

3. Diagnosis growth faltering pada anak

WHO mengeluarkan kurva pertumbuhan standar untuk anak usia 0-59 bulan

pada tahun 2006. Kurva terbagi menjadi Weight for Age Z-score (WAZ),

Length/Height for Age Z-score (LAZ/HAZ), atau Weight for Height Z-score

(WHZ). Pengukuran growth faltering dapat menggunakan WAZ, LAZ/HAZ, atau

WHZ. Namun pada anak usia 3-12 bulan yang sering terjadi adalah weight faltering

sehingga untuk acuan digunakan WAZ. Kartu Menuju Sehat (KMS) yang

digunakan di Indonesia, menggunakan WAZ untuk mengukur pertumbuhan anak

usia 0-24 bulan. Disebut growth faltering apabila terjadi kenaikan berat badan

namun memotong garis pertumbuhan dibawahnya (WHO, 2015).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil Penelusuran Jurnal

Author/Penulis Tahun Metode Hasil Source


Pengaruh 2016 Jenis Riwayat growth Jurnal Kedokteran
growth faltering penelitian faltering tidak Dipenogoro
terhadap ini adalah memberikan
kejadian cohort pengaruh
demam dan prospektif. terhadap
kejang demam Subyek kejadian demam
pada anak pasca dalam dan kejang
imunisasi penelitian demam pada anak
campak/ ini pasca imunisasi
Basalama berjumlah campak,
96 orang walaupun jumlah
yang anak demam dan
terbagi kejang demam
menjadi 2 pada kelompok
kelompok growth faltering
lebih banyak
Growth 2016 Penelitian Hasil penelitian Jurnal Makara
Faltering Pada ini menunjukkan Kesehatan
Bayi Di diikutsertak Growth faltering
Kabupaten an dalam pada suatu umur
Indramayu Jawa suatu merupakan
Barat/ sistem prediktor
Kusharisupeni pengumpula terjadinya growth
n data faltering pada
longitudinal umur-umur
yang berikutnya.
disebut Dalam keadaan
dengan lingkungan yang
Sample buruk, kelompok
Registration lahir yang paling
System terkena dampak
(SRS) growth faltering
bekerjasama adalah kelompok
dengan karakteristik lahir
BKKBN normal
The duration of 2017 Metode Hasil penelitian Nutrition Journal
diarrhea and penelitian menunjukkan ada
fever is adalah studi hubungan antara
associated with korelasi Durasi diare dan
growth faltering demam dengan
in rural growth faltering
Malawian pada anak-anak
children aged 6- pedesaan di
18 months/ Malaysia yang
Ariana berusia 6-18
bulan.
Determinan 2016 Penelitian Hasil penelitian Jurnal Kesehatan
growth faltering ini termasuk menunjukkan
(guncangan penelitian bahwa determinan
pertumbuhan) observasion growth faltering
pada bayi umur al dengan adalah:
2-12 bulan yang desain Pemberian ASI
lahir dengan penelitian tidak eksklusif
berat badan kasus-
normal kontrol.
Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunak
an uji chi
square dan
menilai
Odds Ratio
(OR).
Hubungan 2018 Desain Hasil penelitian Jurnal NERS Lentera
antara growth penelitian juga menunjukan
faltering dengan yang adanya hubungan
penyakit infeksi digunakan antara growth
dan malnutirisi pada faltering dengan
penelitian penyakit infeksi
ini adalah (kejadian dan
dekriptif frekuensi
korelatif penyakit infeksi)
dengan dengan malnutrisi
pendekatan
cross
sectional.
2.2 Pembahasan

Imunisasi campak adalah salah satu upaya pencegahan dari penyakit

campak. Sesuai dengan rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) imunisasi campak diberikan pada bayi usia 9-12 bulan. Imunisasi campak
merupakan suatu proses memasukan virus campak yang sudah dilemahkan

kedalam tubuh guna merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit

campak. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan memberikan

imunisasi wajib, dan imunisasi campak termasuk salah satunya. Rekomendasi

IDAI imunisasi campak perlu diberikan booster pada saat usia anak 24 bulan, atau

jika sudah diberikan vaksin MMR pada usia 15 bulan, maka tidak perlu diberikan

vaksin campak ulangan.

Pemberian imunisasi sendiri dapat memberikan efek samping yang disebut

dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Menurut Departemen Kesehatan

RI, KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa

efek vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek

farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi suntikan atau

hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Jenis-jenis KIPI Campak adalah

demam, ruam, limfadenopati, rhinitis, batuk, kejang demam dan masih banyak

lainya.

Growth faltering adalah apabila kurva pertumbuhan berat badan anak

mendatar atau menurun hingga memotong lebih dari 2 kurva persentil. Secara

tipikal, growth faltering terjadi pada usia 6 bulan ke atas karena pada usia ini

terjadi perubahan konsumsi makanan anak yang biasanya tidak adekuat baik

secara kuantitas maupun secara kualitas. Sekitar 130 juta anak dibawah usia 5

tahun memiliki berat badan dibawah rata-rata, dengan prevalensi tertinggi ada di

Asia Timur dan Afrika bagian Sub-Sahara. Dalam jangka waktu yang pendek

growth faltering dapat menghambat respon imunitas tubuh, dan meningkatkan.


Hasil penelitian Basalama (2016) dari hubungan antara riwayat growth

faltering dengan kejadian demam yaitu sebanyak 29 anak dari total 96 sampel

terkena demam pasca imunisasi campak. Dari 29 anak tersebut, 18 diantaranya

adalah anak anak dengan riwayat pertumbuhan growth faltering. Hasil ini

menunjukan growth faltering tidak memberikan pengaruh terhadap kejadian

demam pada anak pasca imunisasi campak, karena dalam penelitian ini

menggunakan anak dengan usia yang berbeda dan ternyata perbedaan usia dalam

pemberian imunisasi campak juga berpengaruh terhadap kejadian demam.

Sedangkan penelitian Ariana (2016) menemukan bahwa defisiensi besi

dapat menyebabkan terjadinya kejang demam pertama pada anak, dan demam

dapat memperburuk kondisi defisiensi besi dan kejang demam sebagai

konsekuensinya. Penelitian menemukan bahwa pada anak-anak dengan growth

faltering sering diikuti dengan defisiensi besi. Karena asupan energy dan gizi

yang dibutukan relative lebih kurang dari bayi yang normal sehingga hal ini

memungkinkan terjadinya hubungan antara growth faltering dengan kejang

demam pada anak pasca imunisasi campak.

Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh Kusharisupeni (2016)

menunjukkan Growth faltering pada suatu umur merupakan prediktor terjadinya

growth faltering pada umur-umur berikutnya. Dalam keadaan lingkungan yang

buruk, kelompok lahir yang paling terkena dampak growth faltering adalah

kelompok karakteristik lahir normal.


Sedangkan menurut Nugroho (2016), determinan growth faltering adalah

pemberian ASI eksklusif karena pemberian ASI eksklusif dapat menunjang

kekebalan tubuh dan sebagai usaha untuk pencegahan penyakit ISPA pada anak.

Dan yang selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Betan Yasintan

(2018), penelitian ini menunjukkan bahwa growth faltering mempunyai hubungan

dengan kejadian penyakit infeksi dan malnutrisi. Hal ini disebabkan karena anak-

anak yang menderita penyakit infeksi dan ISPA mengalami

kekurangan/kehilangan nafsu makan dan malabsorpsi nutrisi sehingga itu

kecukupan energy yang seharusnya digunakan untuk perkembangan anak menjadi

terhambat karena penyakit infeksi.

3.3. Implikasi Keperawatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

maka growth Factor dapat digunakan sebagai salah satu indicator dalam

menentukan faktor resiko kejang demam pada anak.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari beberapa penelitian maka penulis

berkesimpulan bahwa ada hubungan antara growth faltering dengan kejang

demam pada anak pasca imunisasi campak.

4.2 Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Rumah sakit perlu melakukan pengkajian yang komprehensif terkait dengan

growth faltering yang menjadi penyebab kejang demam pada anak pasca

imunisasi campak.

2. Bagi Pasien dan Keluarga

Memberikan informasi berupa dischard planning atau perencanaan pulang

pada pasien dan keluarga tentang upaya yang dilakukan dalam mengatasi

growth faltering melalui peningkatan gizi keluarga.


DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Measles [Internet]. World Health Organization;


[cited 2015 Nov 26]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs286/en/

Kementrian Kesehatan. Jumlah Kasus Campak - Kumpulan data - Portal


Data Indonesia - data.go.id [Internet]. [cited 2015 Nov 26]. Available from:
http://data.go.id/dataset/jumlah-kasus-campak

ICHRC. Campak [Internet]. [cited 2016 Jan 14]. Available


from: http://www.ichrc.org/67-campak

Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. 6th ed. IDAI, editor. Sainders Elsevier; 2011. 402 p.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun. 2011. p. 2011.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan


republik indonesia nomor 42 tahun 2013 tentang penyelenggaraan
imunisasi. Departemen Kesehatan RI. Indonesia; 2014. p. 1–5.
Patja A, Davidkin I, Kurki T, Kallio MJ, Valle M, Peltola H. Serious adverse
events after measles-mumps-rubella vaccination during a fourteen-year
prospective follow-up. Pediatr Infect Dis J. 2000;19(12):1127–34.
Kohl KS, Marcy SM, Blum M, Jones MC, Dagan R, Hansen J, et al.
Fever after Immunization: Current Concepts and Improved Future
Scientific Understanding. Clin Infect Dis [Internet]. 2004;39(3):389–94.
Available from: http://cid.oxfordjournals.org/lookup/doi/10.1086/422454
Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
Anak. Fakt Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. 2010;12(3).
LaRussa PS, Edwards KM, Dekker CL, Klein NP, Halsey N a, Marchant
C, et al. Understanding the role of human variation in vaccine
adverse events: the Clinical Immunization Safety Assessment Network.
Pediatrics. 2011;127 Suppl (May):S65–73.
World Health Organization Regional Office For Africa. Measles SIAs
Planning & Implementation Field Guide. 2010.
United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low
Birthweight: Country, regional and global estimates. Unicef. 2004;1–31.
Soedjatmiko. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari
Pediatr.2001;3(3):175–88.
Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA, Musgrove P, Black RE. Stunting,
Wasting, and Micronutrient Deficiency Disorders. In: Disease Control
Priorities in Developing Countries. 2006. p. 551–67.

Anda mungkin juga menyukai