Syurawasti Muhiddin
1. Pendahuluan
Psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang relatif baru mengalami
perkembangan yang pesat terutama pada abad ke-20. Awalnya, psikologi merupakan
bagian dari filsafat. Saat bergabung dalam filsafat, kajian psikologi masih relatif
abtsrak tentang pikiran dan jiwa itu sendiri. Pada masa tersebut muncul nama-nama
seperti Democritus, Plato, Aristoteles, Descartes dan Spinoza yang mengkaji konsep-
konsep psikologi. Aristoteles kemudian dipandang sebagai “bapak psikologi” karena
dia yang pertama kali yang menuliskan pembahasan mengenai jiwa secara
keseluruhan dalam bukunya The Anima et Vita yang berarti jiwa dan kehidupan.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kajian psikologi menjadi lebih
eksplisit. Akhirnya secara resmi psikologi sebagai sebuah ilmu yang otonom berhasil
diletakkan pertama kali oleh Wilhelm Wundt dengan didirikannya laboratorium
psikologi yang pertama di Universitas Leipzig di Jerman pada tahun 1879 (awal abad
ke-19). Psikologi Wundt bertumpu pada introspeksi sebagai metode untuk mengkaji
mental. Metode introspeksi memang berasal dari filsafat, tetapi Wundt telah
menambahkan dimensi baru dalam konsep itu berupa pengamatan dalam eksperimen
di laboraturium. Psikologi yang berakar pada filsafat mengalami perkembangan
secara gradual sebagai ilmu yang diterima secara luas dalam proses lebih dari 200
tahun. Cabang-cabang baru dalam psikologi terus mengalami perkembangan,
demikian juga dengan bukti-bukti ilmiah baru tentang fenomena psikologis dalam
kehidupan manusia.
2
Filsafat psikologi yang dimaksud dalam paper ini bukanlah merupakan cabang filsafat
yang membahas mengenai dasar hakikat dan mekanisme kognisi atau mental. Filsafat
psikologi yang dimasud adalah landasan filosofis psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
secara menyeluruh. Namun, tentulah keduanya berkaitan. Dalam membahas psikologi
sebagai ilmu maka pembahasannya tidak dapat dilepaskan dari landasan yang menjadi
cakupan filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Kajian filsafat yang luas
berimplikasi pada munculnya cabang-cabang kajian tersebut dan pada gilirannya
berimplikasi pada pemisahan berbagai ilmu dari filsafat menjadi ilmu yang mandiri.
Agar psikologi dapat diakui sebagai suatu ilmu dan dibedakan dari ilmu lainnya yang
pernah menjadi bagian dari filsafat maka psikologi perlu memberikan jawaban dari
pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara
sederhana, landasan ontologis menjawab pertanyaan mengenai apa yang dikaji oleh
ilmu pengetahuan itu? Landasan epistemologi menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan itu? Sedangkan landasan aksiologi
menjawab pertanyaan mengenai untuk apa ilmu itu dipergunakan?
Paper ini bertujuan untuk menjelaskan landasan filosofis psikologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan, khususnya landasan ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
Setelah memahami ketiga landasan filosofis tersebut maka akan diketahui bagaimana
implementasinya dalam pengembangan ilmu psikologi dan dalam kehidupan manusia
secara keseluruhan. Dengan demikian dalam paper ini juga akan dijelaskan kaitan
landasan filosofis tersebut dengan metode penelitian psikologi dan penerapan kode
etik psikologi.
suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan: (a) apakah objek ilmu yang akan ditelaah, (b) bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan (c) bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan suatu pengetahuan. Secara sederhana, ontologi dapat dianalogikan
sebagai “lahan garapan” sehingga harus jelas batas-batasanya. Begitu pula dengan
objek suatu ilmu pengetahuan. Objeknya harus jelas sehingga dapat dibedakan
dengan ilmu-ilmu lain. Ada beberapa ilmu yang objek materialnya sama. Namun,
objek formalnya tidak boleh sama.
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian
melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, khususnya terkait sudut pandang mengenai
ontologi. Pertanyaan itu berupa “apakah yang ada itu? (What is being?)”,
“bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “dimanakah yang ada itu? (What
is being?)”. Pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan aliran-aliran besar dalam filsafat
yaitu monoisme yang terbagi menjadi materialisme/naturalistik dan idealisme;
dualisme; pluralisme; nihilisme dan agnostisisme. Aliran ini memengaruhi
pemikiran-pemikiran berbagai ilmuwan terkenal di dunia ini termasuk ilmuwan
psikologi.
Ontologi psikologi dapat diketahui dari makna psikologi itu sendiri secara
harfiah. Psikologi berasal dari bahasa yunani, yaitu psyche dan logos. Psyche berarti
jiwa, sedangkan logos berarti mengetahui atau ilmu. Jadi secara harfiah psikologi
adalah ilmu tentang jiwa. Pertanyaan yang muncul kemudian bahwa bagaimanakah
wujud jiwa itu? Paradigma positivistik kemudian mereduksi “jiwa” yang subjektif
dan dianggap bersifat pseudo-ilmiah menjadi tingkah laku. Dengan demikian, objek
material psikologi sama dengan beberapa ilmu lainnya (sosiologi, antropologi,
kedokteran, dsb.) yaitu manusia, namun objek formalnya adalah tingkah laku.
Bagaimana wujud dari tingkah laku itu? Akhirnya dikembangkan pengertian
psikologi menurut istilah yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku
manusia dan proses-proses yang melatarbelakanginya. Hal ini berarti bahwa objek
kajian psikologi pada dasarnya tidak hanya sebatas tingkah laku nampak yang dapat
4
pikiran atau proses-proses mental. Minat utama dalam aliran ini adalah apa yang
terjadi dalam sebuah aktivitas psikologis dan apa yang menjadi tujuan dari aktivitas
itu (Hewstone, Fincham & Foster, 2005). Aliran Behaviorisme menekankan studi
pada perilaku yang diamati sebagai respon terhadap stimulus dari lingkungan. Para
psikolog seharusnya mempelajari kejadian-kejadian yang terjadi di sekeliling
(rangsangan/stimulus) dan perilaku yang dapat diamati (respon). Aliran Kognitif
menekankan bahwa psikologi seharusnya mempelajari proses-proses mental, seperti
pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah, penggunaan bahasa, serta
berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang setepat-tepatnya mengenai cara kerja
dari proses-proses tersebut dan bagaimana proses-proses ini dapat dipergunakan di
dalam kehidupan sehari-harinya (Schultz, 2014). Psikologi Gestalt muncul sebagai
ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis. Aliran Gestalt meyakini bahwa
pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur (Schultz, 2014).
Persepsi bukanlah penjumlahan rangsang-rangsang kecil (detail) yang ditangkap oleh
alat-alat indera, melainkan merupakan suatu keseluruhan yang berarti dari detail-
detail tersebut. Aliran Psikoanalisis berfokus pada ketidaksadaran yang tertutup oleh
alam kesadaran sehingga seseorang termotivasi sebagain besar oleh daya
ketidaksadaran termasuk tingkah lakunya. Aliran Humanistik berfokus pada studi
tentang makna hidup sebagai seorang manusia dan memandang manusia sebagai
makhluk yang memiliki potensi, tujuan hidup, nilai-nilai dan keyakinan, kreativitas,
dan mampu bertanggung jawab atas perilakunya sendiri (Schultz, 2014; McLeod,
2008). Aliran yang belakangan berkembang di abad ke-21 ini adalah aliran psikologi
positif yang melihat manusia dengan segala kekuatan dan potensi dirinya untuk
dikembangkan. Manusia tidak dipandang sebagai manusia yang penuh masalah yang
perlu diatasi masalahnya sebagaimana pandangan psikologi negatif sebelumnya.
Semua aliran-aliran yang berbeda itu dapat memunculkan ontologi yang berbeda
bahkan dalam lingkup ilmu psikologi itu sendiri. Psikolog behavioristik akan beda
penakanannya dengan psikolog humanistik dalam melihat tingkah laku individu dan
proses mentalnya sebagai ontologi psikologi. Salah satu argumen yang dipersoalkan
dalam debat terkait kedudukan psikologi sebagai sains adalah tidak adanya paradigma
6
teori yang dominan karena psikologi mempunyai beberapa aliran besar yang memiliki
paradigam berbeda (McLeod, 2008).
Manusia merupakan makhluk multidimensional. Beberapa pendapat
mengemukakan bahwa manusia terdiri atas dimensi spiritual, dimensi psikis/kejiwaan
dan dimensi jasmani. Secara bahasa maka psikologi seyogianya mengkaji dimensi
psikis/kejiwaan. Namun ketiga dimensi itu tidak dapat dipisahkan untuk mewujudkan
suatu manusia. Kenyataan bahwa tingkah laku diwujudkan dalam ranah jasmani
menunjukkan hal tersebut. Beberapa kajian psikologi belakangan ini bahkan
merambah ranah spiritual yang dikenal secara umum sebagai kajian filsafat dan
teologi. Hal ini dikarena pada dasarnya dimensi spiritual akan dapat memengaruhi
tingkah laku manusia. Sudut pandang terkait dimensi manusia ini pun akan
memunculkan perbedaan ontologi dalam ilmu psikologi sejalan dengan mazhab
psikologi yang diikuti.
2.2 Epistimiologi
Epistimologi membahas asal-usul, hakikat, metode, dan keterbatasan-
keterbatasan dari pengetahuan manusia (Reber dalam Schuh dan Barab, t.t.), yang
menfokuskan pada pertanyaan tentang pengetahuan dan hakikat pengetahuan (Everitt
dan Fisher dalam Schuh dan Barab, t.t). Epistimologi ilmu meliputi sumber, sarana,
dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah)
(Siswomiharjo dalam Setyaningtyas, 2013). Salah satu persoalan terkait dengan
epistemologi adalah dengan cara apa kita bisa mengetahui suatu ilmu (Daito, 2011).
Dari persoalan ini dapat dipahami bahwa prosedur-proseder ilmiah yang melahirkan
ilmu pengetahuan merupakan suatu bagian dari epistimologi. Secara khusus
pembahasan terkait metode penelitian akan dikaji dalam epistimologi
Akal, pengalaman, atau kombinasi antara pengalaman dan akal, serta intuisi
merupakan sarana yang dimaksud dalam epistimologi (Siswomiharjo dalam
Setyaningtyas, 2013). Dengan demikian terdapat metode-metode epistemologik
berdasarkan cara memperoleh pengetahuan, yakni rasionalisme, empirisme,
fenomenologi dan intusionisme. Daito (2011) mengemukakan dua pendekatan dalam
7
proses epistemologi yang disebut dualisme deducto hypothetico – empirico verivication. Hal
ini berkaitan dengan metode memperoleh ilmu dengan dua cara yaitu : a) logika matematika
(deduksi/normative) – deducto hypothetico, dan b) statistika (induksi/positive) – inducto
empirico.
Epistimologi psikologi pada dasarnya terkait dengan bagaimana bidang kajian
psikologi, yaitu perilaku dan proses-proses mental dapat menjadi studi yang ilmiah,
objektif, dan valid; serta bagaimana menggunakan sarana-sarana untuk mencapai
pengetahuan yang objektif (Bermudez, 2005). Dalam perjalanan sejarahnya sebagai
ilmu, metode-metode dalam epistimologi secara umum (rasionalisme, empirisme,
fenomenologi, dsb.) memberikan pengaruh pada epistimologi psikologi. Tentunya
epistimologi psikologi juga akan dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan dalam
kaitannya dengan cara memandang manusia (dualisme, pluralisme, agnostisime,
dsb.). Masing-masing mazhab psikologi memiliki ciri khas epistimologinya.
Epistimologi aliran psikoanalisis akan memunculkan perbedaan dengan epistimologi
aliran behaviorisme.
Botterill dan Carruthers (1999) mengemukakan bahwa ada hubungan antara folk
psychology dan scientific psychology. Konsep-konsep untuk menjelaskan tentang
perilaku pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari common sense. Folk Psychology
mendasarkan pada pandangan realist dalam menjelaskan tingkah laku dan proses
mental. Beberapa teoritikus berpendapat bahwa Freud dari aliran psikoanalisisnya
mengadopsi bagian tertentu dari konsep folk psychology dalam menjelaskan perilaku
dan proses mental (Botterill, & Carruthers, 1999) sehingga memunculkan pertanyaan
mengenai keilmiahan teorinya. Metode yang digunakan Freud yang berupa asosiasi
bebas dapat mengalihkan perhatian banyak orang dari perilaku menuju proses-proses
mental. Metode psikoanalisis dalam memahami manusia sangat berbeda dengan para
ahli yang menganut aliran behaviorisme yang cukup dipengaruhi oleh empirisme.
Pendekatan empiris menekankan pada observasi langsung dan eksperimentasi. Aliran
behaviorisme menguasai perkembangan ilmu yang menfokuskan diri pada perilaku
dan pengalaman yang dapat diobservasi secara langsung sampai pada pertengahan
abad ke-20. Fokus ini kembali bergeser pada proses-proses mental sehingga
8
Berkaitan dengan cara dan sarana yang digunakan dalam mengkaji objek
psikologi maka hal tersebut memengaruhi asumsi yang digunakan peneliti untuk
mengkaji teori psikologi dalam risetnya. Dengan demikian aliran filsafat dan mazhab
ilmu psikologi yang dirujuk akan sangat menetukan asumsi yang digunakan. Ada
asumsi postpositivism, social contructivism, emancipatory dan pragmatism.
Postpositivism melahirkan pendekatan kuantitatif dalam penelitian. Social
contructivism dan emancipatory melahirkan pendekatan kualitatif sementara
pragmatism melahirkan pendekatan campuran (Creswell, 2003). Ketiga pendekatan
tersebut digunakan dalam psikologi. Strategi dari pendekatan kuantitatif dalam
psikologi seperti eksperimen dan survey (non-ekseperimen). Metode eksperimen
dalam psikologi umumnya berupa eksperimen kuasi (semi-eksperimen). Namun ada
juga beberapa yang berupaya menerapkan eksperimen murni. Metode survey terdiri
dari beberapa desain seperti cross-sectional dan logitudinal. Strategi dari pendekatan
kualitatif seperti studi kasus, naratif, fenomenologi dan grounded theory. Keduanya
dapat menerapkan teknik berupa observasi, interview maupun kuesioner.
Semua metode yang disebutkan di atas digunakan untuk mengamati perilaku
manusia yang tampak dalam kehidupan sehari-hari maupun indikator dari potensi
manusia yang ditunjukkan dengan melakukan suatu tindakan tertentu. Di samping itu,
digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang tampak pada sekitar manusia yang
diteliti tersebut sehingga dapat diambil sebuah pernyataan yang menghasilkan
kesimpulan.
2.3 Aksiologi
Aksiologi berarti teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status
metafisik dari nilai (Setyaningtyas, 2013). Secara sederhana landasan aksiologis akan
menjawab pertanyaan mengenai manfaat suatu ilmu pengetahuan bagi umat manusia.
Pembahasan tentang nilai dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu logika, etika, dan
estetika. Logika membahas tentang nilai kebenaran yang membantu kita untuk
berkomitmen pada kebenaran dan menjauhi kesalahan, serta menerangkan bagaimana
seharusnya berpikir secara benar itu. Etika membahas tentang nilai kebaikan dan
10
berusaha membantu kita dalam mengarahkan tingkah laku. Etika mengarahkan kita
kepada apa yang seharusnya dilakukan, membatasi makna kebaikan, keburukan,
kewajiban, perasaan serta tanggung jawab moral. Estetika membahas tentang nilai
keindahan dan berusaha membantu kita dalam meningkatkan rasa keindahan dengan
membatasi tingkatan-tingkatan yang menjadi standar dari sesuatu yang indah (Ismail
& Mutawalli, 2012).
Ilmu psikologi dalam ranah ontologinya seyogianya merupakan ilmu yang bebas
nilai. Dalam ranah epistemologinya, ilmu ini kadang bebas nilai kadang pula terikat
nilai. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Namun dalam ranah
aksiologinya, ilmu psikologi ini terikat nilai. Hal itu dikarenakan dalam penerapannya
manusia selalu memandang tentang baik dan buruk secara logika dan etika. Selain itu,
konteks di mana manusia hidup pasti berbeda-beda. Secara sederhana, apa yang
dianggap baik dan buruk disuatu konteks berbeda dengan apa yang dianggap baik dan
buruk pada konteks lainnya. Oleh sebab itu, penerapan ilmu psikologi akan berbeda-
beda pula. Secara umum, ilmu psikologi mempunyai manfaat sejalan dengan tujuan
dari ilmu itu sendiri yaitu untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan
memodifikasi perilaku dan pengalaman-pengalaman dalam berbagai bidang
kehidupan. Penerapan ilmu psikologi juga akan mempertimbangkan mazhab
psikologi yang digunakan serta filsafat yang dianut oleh para ilmuwan dan praktisi
psikologi. Beberapa manfaat ilmu psikologi antara lain sebagai berikut:
1) Mengetahui kondisi mental individu yang termanifestasi dalam tingkah laku,
baik individu yang normal maupun abnormal.
2) Mengenal dan memprediksi perilaku individu dalam masyarakat.
3) Mengetahui intelegensi manusia yang tentunya berbeda-beda antara manusia
yang satu dengan manusia lainnya. Dalam perkembangannya, tidak hanya
kecerdasan intelektual yang diukur, tetapi juga kecerdasan emosi dan sosial.
4) Mengetahui minat dan bakat seseorang.
5) Mengetahui tahap-tahap perkembangan manusia, mulai dari masa prenatal
hingga kematian.
11
peneliti untuk memahami kajian yang dapat dia angkat sebagai bentuk kajian
interdisiplin dan multidisiplin. Dalam kaitannya dengan ontologi maka psikologi
merupakan ilmu yang terbuka untuk melakukan penelitian bersama dengan ilmu lain,
terutama yang objek materialnya adalah manusia, yang mana psikologi akan berfokus
pada tingkah laku dan proses mental. Dengan demikian, ilmuwan psikologi tidak
akan serta-merta “mencaplok” kajian ilmu lain sebagai kajiannya. Ini juga menjadi
suatu bentuk etika sebagai ilmuwan. Selanjutnya, pemahaman tentang epistimologi
akan membantu peneliti dalam merumuskan cara-cara ataupun proses dalam
mengkaji ilmu psikologi dan mengembangkan teorinya sesuai dengan mazhab yang
dianutnya. Cara-cara ilmuwan psikologi akan berbeda dengan cara ilmuwan lain
dalam memperoleh dan mengembangkan teori. Dalam ranah aksiologisnya, para
peneliti dalam bidang psikologi seyogianya memahami bahwa teori ataupun model-
model yang dikembangkan dapat diterima oleh masyarakat secara luas, bukan hanya
diterima secara ilmiah. Sehingga suatu riset seyogianya memiliki manfaat praktis,
bukan hanya manfaat teoritis.
Pada dasarnya, kode etik psikologi baik dalam ranah penelitian maupun ranah
intervensi akan ada sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuannya karena jika
didasarkan pada landasan ontologisnya maka kajian psikologi adalah manusia. Jika
diperhadapkan dengan manusia sebagai objek kajiannya maka psikologi akan
bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia. Segala hal yang berkaitan dengan
penelaahan objek material dan formal psikologi seyogianya selalu memerhatikan
harkat dan martabat manusia. Disinilah kemungkinan akan muncul dilema-dilema
dalam penerapan kode etik psikologi karena dalam ranah ontologisnya seyogyanya
psikologi bebas nilai. Namun kenyataan yang ada bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi values yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya
membuat peneliti perlu mempertimbangkan hal tersebut. Apakah untuk memperoleh
hasil yang betul-betul diinginkan terkait pertanyaan atas tingkah laku tertentu maka
peneliti perlu untuk memperlakukan manusia sebagai “objek tanpa nilai subjektif”?
Namun hal itu pun belum mencapai suatu kepastian karena tingkah laku manusia
tidak sesederhana yang dilihat secara kasat mata. Jiwa manusia yang dianggap
13
dihadapi psikologi terkait dengan eksperimen adalah bias dari eksperimenter dan
tuntutan karakter karena dalam hal ini manusia akan mengetes manusia.
Penjelasan di atas juga berkaitan dengan epistemologi yang terikat nilai. Para
peneliti tidak bisa serta merta menerapkan metode tertentu pada sekelompok
masyarakat karena pertimbangan nilai-nilai dalam masyarakat itu. Misalnya saja
metode natural observation untuk mengetahui perilaku seksual pasangan saat
berhubungan seks dapat diterapkan di negara lain tetapi tidak di Indonesia karena
pertimbangan nilai-nilai dominan masyarakat Indonesia.
Dua eksperimen psikologi yang terkenal dalam kalangan psikologi telah
berupaya menjalankan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam proses penelitian
psikologi, seperti menerima pernyataan kesediaan dari orang yang menjadi partisipan
penelitian. Namun, eksperimen tersebut juga masih dipertanyakan secara etika karena
dalam proses eksperimen muncul isu-isu etika terhadap manusia. Eksperimen
kepatuhan yang dilaksanakan oleh Stanley Milgram (1961) dan eksperimen simulasi
penjara Stanford yang dilakukan oleh Philip Zimbardo (1971) termasuk dalam
penelitian yang dimaksud di atas. Kedua penelitian ini memperlihatkan sisi gelap
manusia. Dalam eksperimen Milgram, terlihat bahwa subjek ternyata dapat terus
menyakiti orang lain (melalui kejutan listrik) terhadap orang lain di bawah perintah
orang lain untuk melakukannya. Dalam eksperimen simulasi penjara Stanford,
banyak partisipan menjadi melakukan kekerasan dan penyiksaan satu sama lainnya
(Purwakania Hasan, 2013).
Isu etika yang juga terkadang diperhadapkan pada peneliti adalah apakah dia
harus berbohong atau tidak? Argumen-argumen etik terhadap penggunaan desepsi
difokuskan pada apakah praktik penelitian deseptif dapat dijustifikasi berdasarkan
manfaat potensialnya bagi masyarakat atau dianggap pelanggaran terhadap prinsip
moral beneficence dan menghormati hak-hak dan martabat individu dan kewajiban
psikolog untuk menjaga kepercayaan para partisipan penelitiannya (Fisher & Fryberg
dalam Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007).
Selanjutnya, penerapan kode etik pada dasarnya berhubungan erat dengan ranah
aksiologis psikologi. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa dalam aksiologi berbicara
15
tentang nilai. Dalam ranah aksiologisnya ini, ilmu psikologi pastilah tidak bebas nilai.
Pada dasarnya, kode etik dibuat sebagai pegangan dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan. Hampir keseluruhan isi kode etik psikologi Indonesia mengatur tentang
penerapan ilmu psikologi (ranah aksiologisnya) seperti terkait dengan pendidikan
atau pelatihan, asesmen dan intervensi, psikoedukasi, serta konseling psikologi dan
terapi psikologi. Dalam menerapkan ilmu psikologi untuk kebermanfaatan
masyarakat, psikolog dan ilmuwan psikologi seringkali diperhadapkan pada pilihan-
pilihan etis.
Dalam menerapkan ilmu psikologi, ada dua konteks yang perlu dipertimbangkan
yaitu konteks moral dan konteks sosial budaya. Ini juga dapat dipertimbangkan dalam
penerapan metode penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Konteks
moral ini yang akan menuntut psikolog dan ilmuwan psikologi untuk
mempertahankan standar tertinggi perilaku etik. Terdapat berbagai teori etika yang
dapat digunakan untuk membuat keputusan etis, mulai dari etika yang bebas nilai
sampai pada etika yang mempertimbangkan nilai. Konteks sosial-budaya menuntut
psikolog dan ilmuwan psikologi untuk memercayai bahwa perilaku individu
seyogianya dipahami dari budaya mereka sendiri, bukan dari budaya lain. Jika tidak
demikian maka suatu masalah potensial dapat muncul, yaitu etnosentrisme. Kita
berusaha memahami perilaku orang lain dari budaya yang berbeda melalui framework
atau pandangan budaya kita sendiri. Contohnya, kita tidak bisa sepenuhnya mengukur
penalaran moral masyarakat yang hidup dalam konteks kolektivisme dengan teori
Kohlberg yang dikembangkan dalam konteks masyarakat individualisme. Jika
demikian maka akan diperoleh kesimpulan bahwa individu-individu dari budaya
kolektivistik kurang berkembang secara moral. Kita tidak bisa sepenuhnya
menerapkan teori perkembangan manusia yang dikembangkan dari hasil riset di
negara-negara dengan konteks individualisme pada masyarakat yang hidup dalam
konteks kolektivisme. Contoh lainnya adalah kita tidak bisa mengatakan suatu
perilaku abnormal pada daerah tertentu. Bisa jadi perilaku itu normal bagi masyarakat
daerah tersebut. Begitupun sebaliknya, perilaku yang dianggap normal disuatu daerah
bisa jadi abnormal di daerah lain.
16
4. Penutup
Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki hubungan yang erat dengan filsafat.
Dalam memahami psikologi sebagai ilmu maka perlu dipahami ontologi, epistimologi
dan aksiologinya. Berdasarkan landasan ontologisnya maka psikologi adalah ilmu
yang mengkaji tentang tingkah laku manusia dan proses-proses mental yang
melatarbelakanginya. Perbedaan aliran-aliran filsafat (ontologi) dan perspektif dalam
memandang tingkah laku manusia memunculkan aliran-aliran dalam psikologi yang
memengaruhi ontologi psikologi itu sendiri dan kemudian memengaruhi
epistimologinya. Dari kajian epistimologinya, psikologi merupakan ilmu yang banyak
dipengaruhi oleh pendekatan empirisme dan filsafat fenomenologi. Psikologi terus
mengembangkan berbagai metode dalam mengkaji tingkah laku, misalnya melalui
survey, eksperimen, studi kasus dan sebagainya. Dalam ranah aksiologisnya, ilmu
psikologi telah dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti
pendidikan, industri, ekonomi, politik, keluarga, dan kesehatan.
Berkaitan dengan penelitian maka para ilmuwan psikologi perlu
mempertimbangkan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmunya agar ilmuwan
psikologi memahami batasan kajian psikologi, metode yang digunakan untuk
melakukan penelitian serta manfaat praktis dari penelitiannya untuk masyarakat.
Berkaitan dengan penerapan kode etik psikologi maka rumusan kode etik psikologi
pada dasarnya mempertimbangkan kajian ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu
psikologi. Sebagai ilmu yang mengkaji manusia maka psikologi akan bersinggungan
dengan persoalan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia. Prodesur-
prosedur penelitian psikologi serta aplikasi teori dan konsep-konsepnya seyogyanya
berlandaskan pada kode etik yang berlaku, khususnya terkait etika terhadap umat
manusia. Landasan ontologi, epistimologi dan aksiologi dari ilmu psikologi ini sangat
urgen untuk dipahami sebagai framework bagi komunitas psikologi.
***
17
DAFTAR PUSTAKA
Hewstone, M., Fincham, F.D. & Foster, J. (2005). Psychology. United Kingdom: The
British Psychological Society and Blackwell Publishing.
Isma’il, F.F. & Mutawalli, A.H. (2012). Cara Mudah Belajar Filsafat. Yogyakarta:
Ircisod.
Purwakania Hasan, A.B. (2013). Kode Etik Psikolog dan Ilmuwan Psikologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Schuh, K.L. & Barab, S.A. (n.d). Philosophical Perspectives. Retrived on March 8,
2016, from: http://www.aect.org/edtech/edition3/ER5849x_C007.fm.pdf
Setyaningtyas, A. F. (2013). Peran Filsafat Ilmu Bagi Ilmu Psikologi (Suatu Tinjauan
Menurut Aliran Psikologi Modern). Magistra, (86), 87-111.
Suriasumantri, J.S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
18