Anda di halaman 1dari 13

BAB II

HIDUP NYAMAN DENGAN PERILAKU JUJUR

“KISAH TENTANG KEJUJURAN ”

Pembimbing :
Pak ……….

Penyusun :
Nur Rina Martyas Ningrum (XI MIA 3 / 32)

SMA NEGERI 3 SURAKARTA


TAHUN PELAJARAN 2014/2015
Kisah Anak Penggembala yang Jujur
Abdullah bin Mas’ud

Ada salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga sangat terkenal namanya. Ia
adalah Abdulullah bin Mas’ud atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Mas’ud. Seorang anak
miskin yang tinggal di dekat rumah Rasulullah saat itu.
Ibnu Mas’ud adalah seorang anak kecil berjiwa kuat dan jujur. Ia dikenal sebagai seorang
penggembala kambing yang cekatan oleh tetangga-tetangganya. Ratusan kambing ia tangani dan
tidak satu pun luput dari pengawasannya. Ia pula yang mengatur makan dan minum
gembalaannya tersebut dengan sangat telaten. Setiap hari ia selalu merawat kambing yang bukan
miliknya itu dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas
tempat Ibnu Mas’ud menggembala kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan
Ibnu Mas’ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah terbersitlah dalam pikiran mereka
berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.
Kemudian mereka berdua menghampiri Ibnu Mas’ud yang terlihat sibuk mengatur
kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperas susunya, Ibnu Mas’ud
mengiyakan. Namun sayangnya, Ibnu Mas’ud tidak bisa memberikan susu kambing
gembalaannya itu kepada mereka. Anak itu berkata, “Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan
milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku.”
Nah, Embun Kids bisa lihat kan jawaban seorang Ibnu Mas’ud. Pada saat itu Ibnu Mas’ud
hanyalah seorang penggembala yang mengurus kambing-kambing milik Uqbah bin Abi Mu’ith,
seorang musyrik yang bertetangga dengan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW pun sangat bahagia dengan jawaban anak penggembala tersebut.
Padahal, saat itu Ibnu Mas’ud belum memeluk Islam. Beliau salut bahwa keteguhan prinsip pada
dirinya dapat mencegahnya dari perbuatan khianat atas kepercayaan yang diamanahkan
kepadanya. Ini adalah bukti kebersihan hati yang akan memudahkan menerima kebenaran Islam.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW berusaha menjaga prinsip mulia anak tersebut dan
menunjukkan kekuasaan Allah SWT kepadanya agar tergerak mengikuti ajaran Islam.
Selanjutnya, Rasulullah SAW mengambil anak kambing betina yang belum dapat
mengeluarkan susu. Kemudian Rasulullah SAW mengucapkan basmallah sambil mengusap
puting susu kambing tersebut. Mukjizat pun terjadi, air susu memancar dari kambing kecil betina
tersebut. Subhanallah.
Ibnu Mas’ud terperangah ketika menyaksikan keajaiban luar biasa di depan matanya itu.
Kemudian ia memohon kepada Rasulullah SAW agar mengajarkan kepadanya beberapa ayat Al
-Quran. Dengan senang hati, Rasulullah SAW mengajarkan beberapa ayat Al Quran kepadanya.
Betapa beruntungnya Ibnu Mas’ud, Ia bisa mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah SAW
berkat kejujurannya dalam mengemban amanah. Coba saja waktu itu Ibnu Mas’ud berbohong
kepada Rasulullah SAW, mungkin Ibnu Mas’ud tidak akan mendapatkan kesempatan berharga
ini.
Seperti yang kita tahu saat ini, Ibnu Mas’ud menjadi orang yang keenam yang masuk
Islam di awal permulaan syiar Rasulullah SAW. Ia selalu belajar kepada Rasulullah SAW di
Darul Arqam tempat kaum muslimin bertemu secara diam-diam agar aman dari kezaliman kaum
musyrikin Quraisy.
Subhanallah. Begitulah kisah keteladanan yang Ibnu Mas’ud berikan. Ia selalu jujur
dalam mengemban amanahnya. Sekarang kita tahu, karena sifatnya yang jujur akhirnya Ibnu
Mas’ud menjadi sahabat yang dicintai Rasulullah SAW.

Sumber : http://majalahembun.com/kisah-abdullah-bin-masud-anak-penggembala-yang-jujur/
(dengan perubahan)
Kisah Kejujuran Ka’ab bin Malik r.a.

Ka’ab bin Malik r.a. adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang tidak ikut
berperang dalam Perang Tabuk. Penyebabnya, karena terlena dengan urusan dirinya yang
menjadikan ia tertinggal dan tidak ikut berperang bersama Nabi Muhammad SAW.

Ketika perang selesai dan berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka’ab dihantui kerisauan.
Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW.
Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk berkata jujur.

Setelah Nabi Muhammad SAW tiba, Ka’ab segera menghadap beliay. Beliau tersenyum
hambar sambil memalingkan wajahnya yang mulia. Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, engkau
telah berpaling dari saya. Demi Allah, saya bukanlah orang munafik dan saya meyakini
keimanan saya.” Beliau bersabda,“Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut berperang, bukankah
engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?”

Ka’ab pun menjawab :“Ya Rasulallah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat
memberikan berbagai alasan agar ia tidak marah, karena Allah telah mengaruniakan kepada saya
kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan keterangan dusta
yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu Allah akan murka kepadaku.”

Ka’ab menambahkan, “Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya
yakin Allah akan menghilangkan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan
sejujurnya. “Demi Allah, saya tidak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya
berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki kesempatan yang
lebih baik daripada masa-masa sebelumnya.”

Rasulullah SAW bersabda : “Engkau telah berkata jujur, berdirilah, Allah akan
memutuskan segala urusanmu.” Setelah itu, Ka’ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke
rumahnya. Dalam masa penantian menunggu keputusan Allah SWT, Ka’ab dilarang berbicara
pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.

Orang-orang pun menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolaknya.


Bukan hanya itu, saudaranya pun tidak mau berbicara kepadanya dan bahkan ada orang yang
mengajaknya keluar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka’ab sangat bersedih.

Pada hari yang ke-50, kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa Allah menerima
tobat Ka’ab dan dua sahabatnya. Dengan hati gembira Ka’ab datang menghadap Nabi SAW.
Beliau bersabda, “Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum pernah
kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”

Sebagai rasa syukur Ka’ab pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, “Ya
Rasulullah, Allah sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian
dari pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa hidupku.”

Subhanallah. Perilaku Ka’ab bin Malik r.a. tersebut merupakan perilaku jujur yang perlu
ditiru. Kejujuran adalah kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat. Dan
kejujuran membawa pada kebaikan, dan kebaikan membawa pada surga.

Sumber : https://www.facebook.com/InspirasiIslami1/posts/355207001203674 (dengan


perubahan)
Buah dari Kejujuran Abu Bakar Muhammad Al-Bazzaz

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali radhiallahu ‘anhu berkata dalam kitab nyaDzailu
Thabaqatil Hanabilah, I :196, tentang biografi Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi
Al-BaghdadiAl-Bazzaz Al-Anshari (wafat tahun 535 H. di Baghdad), “Syaikh Shalih Abul
Qasim Al-Khazzaz Al-Baghdadi menuturkan,”Aku mendengar Qadhi Abu Bakar Muhammad
bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari bercerita, ’Aku pernah tinggal di Mekah-
semoga Allah menjaganya-. Pada suatu hari, aku ditimpa kelaparan yang sangat. Aku tidak
memiliki apapun untuk melawan rasa lapar. Aku menemukan sebuah kantong sutra yang terikat
dengan tali dari kain sutra pula. Aku mengambilnya dan membawanya pulang ke rumah. Aku
membukanya dan ternyata isinya adalah sebuah kalung mutiara yang belum pernah aku lihat
sebelumnya.
Aku keluar, dan mendengar ada seseorang yang telah berusia lanjut mencari kalung itu.
Ia membawa kantong berisi uang 500 dinar. Ia berkata, ”Ini adalah hadiah bagi siapa saja yang
mengembalikan kantongku yang berisi mutiara.” Aku membatin, ‘Aku sedang butuh dan lapar.
Aku akan mengambil dinar tersebut dan memanfaatkannya. Aku akan mengembalikan kantong
berisi mutiara ini kepadanya.’
Aku berkata kepadanya, ’Kemarilah bersamaku.’ Aku membawanya ke rumahku. Ia
menyampaikan kepadaku ciri-ciri kantong itu, tali pengikatnya, dan mutiara yang berada di
dalamnya. Maka, aku mengeluarkan kantong itu dan mengembalikan kepadanya. Ia
menyerahkan 500 dinar kepadaku, tetapi aku tidak mau mengambilnya. Aku berkata, ‘Aku harus
mengembalikannya kepadamu, dan tidak akan mengambil upah.’ Ia berkata kepadaku, ”Kamu
harus menerimanya.” Ia terus mendesakku, tetapi aku tetap menolaknya. Maka, iapun
meninggalkanku dan pergi.
Selanjutnya, aku pergi meninggalkan kota Mekah. Aku mengarungi lautan. Tiba-tiba,
perahu kami pecah, dan para penumpangnya tenggelam. Harta mereka musnah. Aku selamat
dengan berpegangan pada pecahan kayu perahu tersebut. Aku terombang-ambing di lautan untuk
beberapa waktu, tanpa tahu kemana air akan membawaku. Aku terdampar di sebuah pulau yang
ada penduduknya. Aku singgah di sebuah masjid. Orang-orang mendengarku membaca Al-
Qur’an. Semua orang yang tinggal di pulau tersebut mendatangiku dan berkata, “ Ajarilah aku
membaca Al-Qur’an.” Maka, aku pun mendapatkan banyak harta dari mereka.
Di masjid itu aku melihat beberapa lembar kertas mushaf. Aku pun mengambil dan
membacanya. Orang-orang bertanya kepadaku, ”Anda bisa menulis?” ‘Ya,’ jawabku. Mereka
berkata, “Ajarilah kami menulis.” Maka, mereka datang membawa anak-anak mereka, baik yang
masih kecil maupun para pemudanya. Aku pun mengajari mereka, dan aku mendapatkan
imbalan harta yang berlimpah. Setelah itu, mereka berkata kepadaku, “Disini ada seorang anak
perempuan yatim. Ia memiliki banyak harta, dan kami ingin Anda menikahinya.” Aku menolak,
namun mereka berkata,”Ini harus!” Mereka terus memaksaku, dan akhirnya akupun
mengiyakannya.
Ketika mereka membawanya kepadaku, mataku terbelalak melihatnya. Aku melihat
sebuah kalung tergantung di lehernya. Aku terpaku memandanginya. Mereka berkata, ”Wahai
Syaikh, Anda telah mematahkan hati wanita yatim ini dengan pandanganmu kepada kalung itu.
Mengapa Anda memandangnya seperti itu?” Aku pun menceritakan kisah kalung mutiara yang
pernah kutemukan dulu kepada mereka. Mereka terperanjat, sembari mengucapkan takbir dan
tahlil, hingga terdengar oleh seluruh penduduk pulau. Aku bertanya ‘Ada apa dengan kalian?’
Mereka menjawab, “Syaikh, yang memiliki kalung itu adalah ayah wanita ini. Ia pernah
mengatakan, “Aku belum pernah menemukan seorang muslim sejati di dunia ini, selain orang
yang telah mengembalikan kalungku ini kepadaku.” Lalu, ia berdoa, ”Ya allah, kumpulkanlah ia
denganku, sehingga aku dapat menikahkannya dengan putriku.” Dan sekarang hal itu telah
tewujud.
Aku tinggal di pulau itu, dan aku dikaruniai dua orang anak. Setelah wanita itu wafat, aku
mewarisi kalung tersebut bersama kedua anakku. Lalu, kedua anakku pun wafat, sehingga
kalung itu menjadi milikku. Aku menjualnya seharga 100.000 dinar. Harta yang kalian lihat
bersamaku ini adalah sisa-sisa dari harta tersebut.”

Sumber : http://kisahmuslim.com/kisah-ulama-jujur/
Pertolongan Allah untuk Orang yang Jujur
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa seorang laki-laki dari
kalangan Bani Israil meminta kepada seseorang Bani Israil lainnya agar memberikan pinjaman
kepadanya seribu dinar. Lalu si pemberi pinjaman berkata, “Datangkanlah para saksi. Saya
meminta mereka untuk bersaksi.”
Lantas orang yang meminta pinjaman berkata, “Cukuplah AllahSubhanahu wa
Ta’ala yang menjadi saksi.” Pemberi pinjaman menambahkan, “Datangkanlah seorang
penjamin,.” Dia menjawab, “Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penjamin.” Pemberi
pinjaman berkata, “Engkau benar.” Kemudian dia menyerahkan piutang tersebut kepadanya
sampai waktu yang ditentukan.
Selanjutnya si peminjam pergi mengarungi lautan untuk memenuhi kebutuhannya.
Setelah itu, dia mencari kendaraan yang akan digunakan untuk mendatangi pemberi pinjaman
sesuai waktu yang telah ditetapkan. Ternyata dia tidak menemukan kendaraan. Lantas dia
mengambil kayu dan melubanginya, lalu dia memasukkan seribu dinar di dalamnya dan
selembar kertas darinya untuk temannya (si pemberi pinjaman). Kemudian dia meratakan
tempatnya kembali.
Selanjutnya dia membawa kayu tersebut ke laut. Dia berkata, “Ya Allah! Sungguh,
Engkau mengetahui bahwa saya meminjam seribu dinar kepada si fulan, lalu dia meminta
penjamin kepadaku dan saya berkata, ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penjamin.’
Dia pun ridha karena Engkau. Dia juga meminta saksi, lalu saya berkata, ‘Cukuplah
AllahSubhanahu wa Ta’ala menjadi saksi.’ Dia pun ridha karena Engkau. Sesungguhnya saya
telah bersusah payah untuk menemukan kendaraan untuk mengantarkan utangku kepada
pemiliknya, ternyata saya tidak menemukan. Sungguh, saya menitipkan kayu ini kepada-Mu.”
Lantas dia melemparkannya ke laut sampai masuk ke dalam laut kemudian bergerak. Di samping
itu dia masih saja mencari kendaraan untuk menuju ke daerahnya.
Di lain pihak, si pemberi pinjaman menanti-nanti barangkali kendaraan yang membawa
piutangnya telah datang. Ternyata ada kayu yang mengapung di dekatnya. Lalu dia mengambil
kayu tersebut untuk dijadikan sebagai kayu bakar buat keluarganya. Ketika dia menggergajinya,
dia menemukan uang dan selembar kertas. Kemudian si peminjam hutang datang dan
memberikan seribu dinar, lalu dia berkata, “Demi Allah, saya telah bersusah payah mencari
kendaraan untuk menyerahkan piutangmu. Ternyata saya tidak menemukan kendaraan sebelum
saya datang sekarang ini.”
Setelah beberapa waktu kemudian, teman yang meminjam uang darinya telah sampai.
Dia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?” Dia menjawab, “Saya
kan sudah bilang bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang sekarang ini.”
Dia berkata, “Allah telah mengantarkan darimu sesuatu yang engkau kirimkan melalui kayu dan
mengalir dengan membawa seribu dinar.” (HR. Al-Bukhari).

Sumber : http://kisahmuslim.com/allah-menolong-orang-yang-jujur-dan-menepati-janji/
Balasan dari Sebuah Kejujuran
Abu Ghiyats dan Istrinya

Di antara tanda-tanda kejujuran adalah takut kepada Allah dan zuhud dalam urusan
dunia. Orang yang jujur dalam urusan dunia, orang yang takut dalam keyakinannya akan takut
memakan barang-barang haram. Dia lebih memikul kemiskinan dan kesulitan demi mengharap
surga. Jika dia berdosa, maka dia tidak tidur hingga dia kembali kepada Tuhannya dan berlepas
diri dari dosanya.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pada musim haji aku berada di Mekah. Aku melihat
seorang laki-laki dari Khurasan mengumumkan ‘Wahai para jamaah haji, wahai penduduk
Mekah, di kota maupun di pedesaan, aku kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa
yang mengembalikannya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan
membebaskannya dari neraka, serta dia mendapat pahala balasan pada hari kiamat.”
Berdirilah seorang laki-laki tua dari penduduk Mekah. Dia berkata, “Wahai orang
Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, musim haji adalah waktu yang terbatas, hari-harinya
terhitung, dan pintu-pintu usaha tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin
yang miskin atau orang lanjut usia dan dia mendapatkan janjimu. Seandainya dia
mengembalikannya padamu, apakah kamu bersedia memberinya sedikit harta yang halal?”
Khurasani menjawab, “Berapa jumlah hadiah yang dia inginkan?” Orang tua menjawab,
“Sepuluh persen, seratus dinar.” Orang Khurasan itu tidak mau. Dia berkata, “Tidak, tetapi aku
menyerahkan urusannya kepada Allah dan akan aku adukan dia pada hari dimana kita semua
meghadap kepada-Nya. Dialah yang mencukupi kita dan sebaik-baik pelindung.”
Ibnu Jarir berkata, “Hatiku berkata bahwa orang tua itu adalah orang miskin. Dialah
penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya sampai
dia tiba di rumahnya. Ternyata dugaanku benar, aku mendengarnya memanggil, ‘Wahai
Lubabah’. Istrinya menjawab, ‘Baik Abu Ghiyats’. Orang itu berkata lagi, “Baru saja aku
berjumpa dengan pemiliki kantong yang mengumumkan kehilangan kantong ini, tetapi dia tidak
mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah mengatakan kepadanya untuk memberi seratus
dinar, tapi ia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang harus aku lakukan
wahai Abu Lubabah? Haruskah dikembalikan? Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku
bertumpuk-tumpuk.”
Lubabah, istrinya menjawab, “Suamiku, kita telah menderita kemiskinan selama 50
tahun. Kamu mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, aku istrimu dan juga
ibuku, lalu kamu yang kesempbilan. Kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala.
Ambil semua uangnya. Kenyangkan kami, karena kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami.
Kamu lebih mengerti tentang keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya sesudah itu.
Maka kamu bisa mengembalikan uang itu setelah kamu memberi makan keluargamu, atau Allah
melunasi utangmu ini di hari kiamat.”
Pak tua itu berkata pada istrinya, “Apakah aku makan barang haram setelah aku
menjalani hidup selama 86 tahun? Aku membakar perutku dengan neraka setelah sekian lama
aku bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal aku sudah di
ambang pintu kubur. Demi Allah aku tidak akan melakukannya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak tua itu dan istrinya.
Keesokan harinya pada waktu yang sama dengan kemarin, aku mendengar pemiliki dinar
mengumumkan, “Wahai penduduk Mekah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari
desa maupun dari kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar, maka
hendaknya dia mengembalikannya kepadaku dan baginya balasan pahala dari Allah.”
Bapak tua itu berdiri dan berkata, “Hai orang Khurasan, kemarin aku telah mengatakan
kepadamu, aku telah memberimu saran. Di kota kami ini, demi Allah, tumbuh-tumbuhan dan
ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga dia tidak
melanggar syariat. Aku telah mengatakan kepadamu untuk memberi orang yang menemukan
kantong tersebut seratus dinar, tetapi kau menolaknya. Jika uang tersebut ditemukan oleh
seseorang yang takut kepada Allah, apakah sudi kau memberinya sepuluh dinar saja, bukan
seratus dinar? Agar bisa menjadi penutup dan pelindung baginya dalam kebutuhannya sehari-
hari.”
Orang Khurasan itu menjawab, “Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan
mengadukannya pada saat kita bertemu dengan-Nya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah
sebaik-baik penolong.”
Orang tua itu menariknya sambil berkata, Kemarilah kamu. Ambillah dinarmu dan
biarkan aku tidur di malah hari. Aku tidak pernah tenang sejak menemukan harta itu.”
Ibnu Jarir berkata, “Orang tua itu pergi bersama pemiliki dinar. Aku membuntuti
keduanya hingga orang tua itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar
itu. Dia berkata, ‘Ambil uangmu. Aku memohon kepada Allah agar memaafkanku dan
memberiku rezeki dari karunia-Nya’.”
Orang Khurasan itu mengambil dinarnya, dan ketika dia hendak keluar, ia kembali
bertanya, “Pak tua, bapakku wafat -semoga Allah merahmatinya- dan meninggalkan untukku
tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, ‘Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang
paling berhak menerimanya menurutmu’. Maka aku menyimpannya di kantong ini sampai aku
memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah, sejak aku berangkat dari Khurasan sampai di
sini aku tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu.
Ambillah! Semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas
amanahmu dan membalas kesabaranmu atas kemiskinanmu.” Lalu dia pergi dan meninggalkan
dirinya.
Bapak tua itu menangis. Dia berdoa kepada Allah, “Semoga Allah memberi rahmat
kepada pemiliki harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya.”
Ibnu Jarir berkata, “Maka aku pun meninggalkan tempat itu dengan berjalan di belakang
orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan meminta kembali. Dia berkata
kepadaku, ‘Duduklah, aku melihatmu mengikutiku sejak hari pertama. Kamu mengetahui berita
ini kemarin dan hari ini. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda kepada Umar dan Ali radhiallahu ‘anhuma, “Apabila Allah memberi kalian
berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan, maka terimalah dan jangan menolaknya.
Karena jika demikian, maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah”. Dan ini adalah
hadiah dari Allah bagi siapa saja yang hadir.”
Abu Ghiyats lalu memanggil, “Wahai Lubabah, wahai Fulanah, wahai Fulanah.” Dia
memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan
memintaku untuk duduk. Kami semua bersepuluh. Dia membuka kantong dan berkata,
“Beberkan pengakuan kalian.” Maka aku membeberkan pengakuanku. Adapun mereka, karena
tidak memiliki pakaian, maka mereka tidak bisa membentangkan pengakuan mereka. Mereka
menadahkan tangan mereka. Pak tua itu mulai menghitung dinar demi dinar, sampai pada dinar
kesepuluh dia memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kamu dapat dinar.” Isi kantongnya
yang seribu dinar itu pun habis dan aku diberinya seratus dinar.
Ibnu Jarir berkata, “Kebahagian mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku
daripada mendapatkan 100 dinar ini. Manakala aku hendak pergia, dia berkata kepadaku, “Anak
muda, kamu penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini dan juga tidak pernah
memimpikannya. Aku berpesan kepadamu bahwa harta itu halal, maka jagalah dengan baik.
Ketahuilah, sebelum ini aku shalat subuh dengan baju usang ini. Kemudia aku melepasnya
sehingga anakku satu per satu bisa memakainya untuk shalat. Lalu aku pergi bekerja antara
zuhur dan asar. Pada petang hari aku pulang dengan membawa rezeki yang diberikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian aku melepas
pakaian usang ini untuk digunakan shalat zuhur dan asar oleh putri-putriku. Begitu pula shalat
maghrib dan isya. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga harta ini
bermanfaat, dan semoga apa yang aku dan kamu ambil juga bermanfaat. Semoga Allah
merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya, dan berterima kasih
kepadanya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku berpamitan dengannya. Aku telah mengantongi seratus dinar.
Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku
sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkosnya dengan uang itu. Enam
belas tahun kemudian aku kembali ke Mekah. Aku bertanya tentang bapak tua itu dan ternyata
dia telah wafat beberapa bulan setelah peristiwa itu. Begitu pula istrinya, mertuanya, dan dua
saudara perempuanya, semuanya telah wafat kecuali putri-putrinya. Aku bertanya tentang
mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu karena berita
kebaikan orang tuanya yang menyebar di seantero negeri. Aku singgah di rumah suami-suami
mereka dan mereka menyambutku dengan baik, memuliakanku, hingga Allah mewafatkan
mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat.”
Firman Allah Ta’ala, “Demikianlah diberi pengajaran kepada orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka. Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Lihatlah bagaimana rezeki yang didapatkan Abu Ghiyats, rezeki yang Allah tetapkan
tidak berkurang karena kejujuran dan tidak pula bertambah dengan kebohongan atau dusta
demikian pula jatah rezeki tersebut tidak bertambah dengan Korupsi.

Sumber : http://kisahmuslim.com/abu-ghiyats-dan-istrinya-balasan-dari-sebuah-kejujuran/

Anda mungkin juga menyukai