Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang

Mata Kuliah Kerja Lapangan (KKL) adalah mata kuliah wajib bagi seluruh
program studi Universitas Muhammadiyah Metro. Mata kuliah ini bertujuan agar
para mahasiswa mahasiswi UM Metro selain mendapatkan pengajaran di kampus
juga mendapatkan ilmu di luar kampus yaitu dengan melaksanakan Kuliah Kerja
Lapangan. Sebagai mahasiswa tentu dituntut mampu memahami dan
mengaplikasikan ilmu yang di dapat selama kuliah kedalam dunia kerja. Dengan
pembekalan teori dan ilmu yang didapat dalam kelas tidak cukup untuk
membekali mahasiswa agar memiliki kemampuan lain. Dan tujuan pelaksanaan
Kuliah Kerja Lapangan ini adalah agar mahasiswa dapat menerapkan hasil yang
didapat selama belajar di kampus untuk diterakan di masa yang akan datang yaitu
di dunia kerja.
Daerah istimewa adalah daerah yang mendapatkan kewenangan istimewa
yang berbeda dari pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
pengaturannya dengan tetap mengingat hak-hak dan asal-usul dari daerah
tersebut. Daerah istimewa merupakan daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Yogyakarta merupakan salah satu daerah
istimewa yang ada di Indonesia. Secara yuridis, bahwa keistimewaan Yogyakarta
telah diakui di negara Indonesia sebagaimana telah tertulis dalam Pasal 18B ayat
(1) UUD 1945 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang. Dengan dasar itulah, maka Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya
disingkat (DIY) haruslah dihormati oleh segenap unsur negara baik pemerintah,
masyarakat dan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) dinyatakan
bahwa Keistimewaan peraturan daerah istimewa dalam undang-undang ini hanya

1
mengenai kepala daerahnya dalam pasal 18 ayat (5) dan (6) dimana ditentukan
bahwa kepala atau wakil kepala Daerah Istimewa diangkat oleh pemerintah dari
keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan,
kejujuran, dan dengan mengikat adat-istiadat itu.

Sangat unik mungkin itu kata yang paling tepat untuk desa adat
penglipuran. Corak pintu gerbangnya atau yang disebut dengan “angkul angkul”
terlihat seragam satu sama lainnya. Penampilan fisik desa adat juga sangat khas
dan indah. Jalan utama desa adat berupa jalan sempit yang lurus dan berundag
undag. Potensi pariwisata yang dimiliki oleh desa adat penglipuran adalah
adatnya yang unik serta tingginya frekuensi upacara adat dan keagamaan. Meski
desa adat penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan
kearah kemajuan namun tata letak perumahan di masing masing keluarga tetap
menganut falsafah Tri Hita Karana. Sebuah falsafah dalam agama Hindu yang
selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan. Generasi muda
penglipuran yang hampir seluruhnya menikmati pendidikan formal mulai dari SD
hingga perguruan tinggi, tetap melestarikan tradisi yang mereka warisi dari para
leluhurnya. Bangunan suci yang terletak di hulu, perumahan di tengah dan lahan
usaha tani di pinggir atau hilir. Rumah masing masing keluarga hampir seragam
mulai dari pintu gerbang, bangunan suci (merajan) dapur, tempat tidur, ruangan
tamu, serta lumbung untuk menyimpan padi. Antara satu rumah dengan rumah
lainnya, terdapat sebuah lorong yang menghubungkannya sebagai tanda
keharmonisan mereka hidup bermasyarakat. Pintu gerbang yang memiliki bentuk
yang seragam terletak di sisi timur dan barat serta berhadap hadapan satu sama
lainnya. Tembok pekarangan tepatnya dibuat dari tanah liat dengan bentuk dan
warna seragam. Bahan baku bamboo untuk atap angkul angkul tersedia dalam
jumlah banyak karena tumbuh subur di desa adat penglipuran. Desa adat
penglipuran mempunyai hutan bamboo yang cukup luas dengan sekitar lima
belas macam bamboo yang dapat dijadikan sebagai jalur hiking. Keadaan hutan

2
yang masih alami menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk
mengunjunginya. Sangatlah tepat jika desa adat penglipuran dijadikan sebagai
desa tujuan wisata. Desa wisata semakin populer belakangan ini sebagai
alternatif dari pariwisata konvensional. Sampai saat ini desa wisata penglipuran
ramai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara.Tak jarang,
mereka yang datang adalah dari kalangan ilmuwan serta mahasiswa yang tertarik
untuk melakukan penelitian di desa adat penglipuran. Desa adat penglipuran
tepatnya berada di Kelurahan Kubu Kabupaten Bangli kurang lebih 45 km dari
kota Denpasar. Apabila ditempuh dengan kendaraan bermotor akan menempuh
kurang lebih satu jam perjalanan. Terletak di ketinggian 700 diatas permukaan
laut, menjadikan udara di desa adat penglipuran tergolong dingin. Keasrian desa
adat penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa. Balai
masyarakat dan fasilitas kemasyarakatan serta ruang terbuka pertamanan,
semakin menambah keaslian alam pedesaan. Desa adat penglipuran merupakan
satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa
tradisional. sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan
fisik dan struktur desa, tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah
berlaku turun temurun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik


beberapa pokok masalah, diantaranya adalah :

1) Apa yang di maksud dengan Desa Penglipuran?


2) Bagaimana keunggulan Desa Penglipuran?
3) Bagaimanakah sistem tata pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
4) Bagaimanakah hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
DIY?

3
1.3 Tujuan
Hal-hal yang menjadi tujuan dari penulisan Laporan ini diantaranya adalah
sebagai berikut:

1) Untuk menjelaskan tentang sistem tata pemerintahan di Daerah Istimewa


Yogyakarta.
2) Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah DIY.
3) Agar Mengetahui Tentang Desa Penglipuran.
4) Untuk Mengetahui Keunggulan desa Penglipuran.

Tujuan Yang Bersifat Umum

Program kuliah kerja lapangan bertujuan untuk memberikan seperangkat


kemampuan pengalaman kerja kepada mahasiswa berkenan dengan aktifitas
nyata pada dunia kerja. Hal ini akan memberikan gambaran sesungguhnya
tentang dunia kerja yang di dalamnya terjadi akomodasi berbagai konsep dan
teori dengan persoalan persoalan praktis yang dihadapi serta upaya
pemecahannya.program kuliah kerja lapangan ini akan menjembatani dua
aktifitas belajar yakni antara belajar teori dikelas dengan kondisi nyata yang ada
dilapangan sesungguhnya.

1.4 Ruang Lingkup Kuliah Kerja Lapangan

Program kuliah kerja lapangan adalah kuliah wajib bagi mahasiswa-


mahasiswi strata satu (S1) program studi ilmu hukum,fakultas hukum Universitas
Muhammadiyah Metro.mata kuliah ini ditempuh pada semester akhir dengan
persaratan telah lulus 110 SKS dan merupakan bagian integral dari keseluruan
kurikulum yang berlaku dan memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap
mental lulusan dengan orientasi dibidang masing masing.

4
Program kuliah kerja lapangan ini juga membutuhkan atau melibatkan
pihak lain,dalam hal ini instansi atau lembaga-lembaga baik instansi/lembaga
pemerintahan maupun non pemerintahan.maka kuliah ini dilaksanakan pada awal
semester genap,dengan peran dan fungsi mata kuliah ini sangat penting.

Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut di atas,penulis mencoba


untuk aktif terlibat langsung dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan (KKL)
di Kesultanan Yogyakarta dan di Desa adat Panglingpuran (Bali).sebagai salah
satu syarat yang harus di penuhi sebelum menyelesaikan studi di Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Metro.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1 Sekilas Tentang Desa Penglipuran

Desa Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki


tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga mampu menampilkan
wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dari struktur desa tersebut tidak terlepas
dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun temurun. Sehingga dengan
demikian Desa Adat Penglipuran merupakan obyek wisata budaya. Keasrian
Desa Adat Penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa
dengan hijau rerumputan pada pinggiran jalan dan pagar tanaman menepi
sepanjang jalan, menambah kesejukan pada daerah prosesi desa.

Pada areal catus pata setelah prosesi tersebut, merupakan areal tapal batas
memasuki Desa Adat Penglipuran. Balai wantilan dan fasilitas kemasyarakatan
serta ruang terbuka pertamanan, merupakan daerah selamat datang (Welcome
Area). Areal berikutnya adalah areal tatanan pola desa, yang diawali dengan
gradasi ke fisik desa secara linier ke arah kanan dan kiri.

2.1.2 Keunggulan dan Daya Tarik desa Penglipuran

Desa Penglipuran merupakan salah satu daerah di Bali terutama di


Kabupaten Bangli yang memiliki banyak julukan, diantaranya: Desa Adat, Desa
Budaya, dan Desa Wisata. Hal tersebut ditinjau dari berbagai aspek seperti:
sistem adat, tata ruang, perkawinan, bentuk bangunan dan topografi, upacara
kematian, stratifikasi social, kesenian, mata pencaharian, organisasi, dan obyek
wisata.

1. Sistem Adat

Di desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut


sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem
yang otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri

6
sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan
tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan aturan
tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang
pemerintah.Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana.Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut:

a) Prahyangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari


suci,tempat suci dan lain-lain.
b) Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan
masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan
dengan orang yang bedaagama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya
meliputi sistem perkawinan,organisasi, perwarisan dan lain-lain.
c) Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan
untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran
kalau desa penglipuran terlihat begitu asri.

Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan
manusia mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat
jelas di Penglipuran dan daerah lain di Bali. Oleh karena itu visualisasi estetika
pada kawasan ini bukan merupakan barang langka yang sulit dicari, melainkan
sudah menyatu dalam tata lingkungannya.

2. Tata Ruang

Tata ruang desa penglipuran dikenal dengan Tri Mandala yang terdiri dari
tiga bagian yaitu:

a) Utama Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya sebagai Utama Mandala, yang
bias diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang

7
Penglipuran melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng Widi
yang mereka percaya sebagai Tuhan mereka.
b) Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar
sepanjang jalan utama desa.Barisan itu berjejer menghadap kearah barat
dan timur.Saat ini jumlah rumah yang ada disana ada sebanyak 70
buah.Tata ruang pemukimannya sendiri adalah sebelah utara atau timur
adalah purakeluarga yang telah diaben.Sedangkan Madya Mandala adalah
rumah keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang yang telah diatur
oleh adat.Tata ruang nya adalah sebelah utara dijadikan sebagai tempat
tidur, tengah digunakan sebagi tempat keluarga sedangkan sebelah timur
dijadikan sebagai tempat pembuangan atau MCK. Dan bagian nista dari
pekarangan biasanya berupa jemuran, garasi dan tempat penyimpanan
kayu.
c) Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana terdapat
kuburan dari masyarakat penglipuran.

Konsep tri mandala tidak hanya berlaku bagi tata ruang desa tetapi juga
bagi tata ruang rumah hunian. Setiap kapling rumah warga Penglipuran terbagi
menjadi tiga bagian. Di halaman depan, terdapat bangunan angkul-angkul dan
ruang kosong yang disebut natah; bagian tengah adalah tempat berkumpulnya
keluarga; dan di bagian paling belakang erdapat toilet, tempat jemuran, atau
kandang ternak.

3. Perkawinan

Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan
poligami terhadap para penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga
para wanita. Meskipun ada yang boleh melakukan poligami namun akan
mendapat sanksi. Sanksi biasanya si poligami akan ditempatkan pada tempat
yang bernama nista mandala. Dan dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke

8
utara karena wilayah utara bagi orang penglipuran adalah wilayah yang paling
suci. Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga
disebelahkanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena
tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi
warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai perempuan
yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran. Yang
menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa penglipuran dan laki-lakinya
dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang
dialaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.

4. Bentuk Bangunan dan Topografi

Topografi desa tersusun sedimikian rupa dimana pada daerah utama desa
kedudukannya lebih tinggi demikian seterusnya menurun sampai daerah hilir.
Pada daerah desa terdapat Pura penataran dan Pura Puseh yang merupakan
daerah utama desa yang unik dan spesifik karena disepanjang jalan koridor desa
hanya digunakan untuk pejalan kaki, yang kanan kirinya dilengkapi dengan
atribut-atribut struktur desa; seperti tembok penyengker, angkul-angkul dan
telajakan yang seragam. Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena
adanya keseragaman bentuk juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanah
untuk tembok penyengker dan angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bambu
yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk atap,
dinding maupun lain-lain kebutuhan merupakan suatu keharusan untuk
digunakan karena desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu dan masih
merupakan teritorial desa Penglipuran.

9
5. Upacara Kematian (Ngaben)

Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran masyarakatnya


mengadakan upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu
upacara kematian dalam rangka mengembalikan arwah orang yang meninggal
yang awalnya menurut kepercayaan orang Bali arwah tersebut masih tersesat
kemudian dikembalikan ke pura kediaman si arwah. Yang membedakan daerah
ini hanyalah pada ritualnya saja. Dimana apabila orang bali lain ngaben
dilakukan dengan cara membakar mayat, di Penglipuran mayat di kubur.
Menurut analisa hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Penglipuran sebagai
tanda hormat dan juga sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-
kemungkinan buruk mengingat daerah Penglipuran yang berada didaerah
pegunungan yang jauh dari laut, seperti yang kita tahu bahwa abu jenasah yang
telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut sedangkan bagi orang Bali
menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi terbaik adalah
dimakamkan.

6. Stratifikasi Sosial

Di Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra, jadi di
Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada seseorang yang
diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini ketua adat yang
masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat tersebut dilakukan
lima tahun sekali.

7. Kesenian

Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris sebagai
salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada kehidupan
masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun, dimana
keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah merupakan tarian
yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara dewa yadnya.
Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada saat pementasan semua jenis

10
Tari Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gambelan Gong Gede yang
didukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini
meliputi juga keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa
Adat Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis Baris sakral ini juga
telah ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris
Bedil 20orang.

2.1.3 Tempat wisata Desa Penglipuran

a. Tugu Pahlawan

Di Lingkungan desa terdapat Tugu Pahlawan Pengllipuran sebagai simbol


Perjuangan kapten Anang Agung Anom Mudita dari Puri Kanginan Bangli.
Agung Gde Anom Mudita, gugur melawan penjajah Belanda pada tanggal 20
November 1947. Taman Pahlawan ini dibangun oleh masyarakat desa adat
penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat mereka kepada sang
pejuang.Bersama segenap rakyat Bangli, Kapten Mudita berjuang tanpa pamrih
demi martabat dan harga diri bangsa sampai titik darah penghabisan. Tugu ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab krama desa adat penglipuran dan tidak
dillimpahkan kepada pemerintah.

b. Hutan Bambu

Desa Pengelipuran selain memiliki daya pesona budaya yakni keunikan


rumah warganya, juga memiliki daya tarik wisata yakni hamparan hutan bambu
yang luasnya mencapai lebih dari 75 hektar. Hutan ini selain dimiliki warga desa
adat juga menjadi salah satu objek wisata yang acapkali dikunjungi wisatawan
baik yang ingin menyaksikan berbagai jenis bambu, maupun mereka yang hanya
ingin sekedar menikmati suasana di tengah hutan bambu.

Hutan Bambu yang ada di Desa Penglipuran mempunyai luas areal sekitar
45 hektar dengan berbagai jenis bambu yakni terdiri dari Bambu Petung, Bambu
Jajang Aya, Bambu Jajang Abu, Bambu Tali, Bambu Papah, Bambu Suet

11
dan jenis bambu lainnya, tetapi terdapat beberapa jenis bambu sudah mengalami
kepunahan. Hutan Bambu ini sebagian dimiliki oleh desa adat dan sebagian lagi
dimiliki oleh masyarakat.

Suasana sunyi di tengah hutan, selain akan memberikan suasana tersendiri


bagi wisatawan, juga akan makin mendekatkan wisatawan akan keindahan alam
yang ada di hutan bambu Desa Penglipuran. Usai menikmati keindahan hutan
bambu, wisatawan juga bisa menyaksikan perkebunan penduduk serta aktivitas
pembuatan aneka bentuk anyaman bambu yang dikerjakan oleh warga
Penglipuran. Kondisi ini tentunya akan menambah pengalaman wisatawan.

2.2.1 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di


Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian
Indonesia. Daerah setingkat provinsi ini juga memiliki status istimewa atau
otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum
kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai
cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara
bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC, Hindia
Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan
Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan
Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).1 Oleh Belanda status tersebut disebut
sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan
Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga
diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno

1
Sejarah Yogyakarta, https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

12
yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai
sebuah negara.2

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah


Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai
tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta secara formal dibentuk
dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19
Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15
Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7
pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi).3 UU tersebut hanya
mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan,
serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah
perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY.
Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena
telah diatur dalam UU 22/1948. Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas
Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Provinsi bukan sebuah
Provinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung
konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala
daerah dan wakil kepala daerahnya. Walau begitu DIY bukan pula sebuah
monarki konstitusional.Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950
telah diubah, dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta

2
BPKP Yogyakarta, http://www.bpkp.go.id/diy/konten/815/sejarah-keistimewaan-yogyakarta
3
Suryo Sakti H, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013)

13
Hadiningrat, dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang
yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap
diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004.4

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam


kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro
Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa bagi
Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :

1. Istimewa dalam hal sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa


sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-
usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia serta bukti - bukti
authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum
maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang
ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa dalam hal bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi
satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam
Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam
Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang
bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara lengkap nama, gelar,
kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka
urutan bertahtanya.5

4
Daerah Istimewa Yogyakarta,https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

5
BPKP YOGYAKARTA, http://www.bpkp.go.id/diy/konten/815/sejarah-keistimewaan-yogyakarta

14
2.2.2 Kewenangan Istimewa Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta

Mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
maka ditetapkan melalui proses penetapan. Karena perjuangan masyarakat DIY
yang menginginkan Sultan tetap sebagai kepala daerahnya, hal ini telah
ditetapkan oleh Presiden melalui pengesahan Undang-Undang Keistimewaan.
Berdasarkan ketentuan yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi Gubernur
dan Wakil Gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono dan AdipatiPaku Alam
yang bertahta, maka sudah barang tentu pemerintah hanya mengakui Sultan dan
Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai calon Gubernur dan calon Wakil
Gubernur DIY. Hal tersebut secara yuridis memperkuat legitimasi kedudukan
Sultan dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai yang berhak diajukan
sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur.6

Kewenangan keistimewaan dalam segi kelembagaan Pemerintah Daerah


DIY mengenai penetapan dan penataan ditetapkan melalui Peraturan Daerah
Istimewa yang selanjutnya disingkat (Perdais), sebagaimana yang telah
tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Keistimewaan DIY. Penataan
kelembagaan pemerintahan ini guna mewujudkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan tata kelola pemerintah dan pelayanan terhadap masyarakat
berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi dan
partisipatifdengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.

Salah satu keistimewaan DIYyang tidak boleh ditinggalkan dari wacana


publik adalah aspek budaya.Ada tiga elemen pokok yang relevan dalam
pemaknaan keistimewaan Yogyakarta dari segibudaya, diantaranya adalah

6
Suryo Sakti H, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hlm.156.

15
pertama,Kraton sebagai institusi adat yangg melukiskan karya adiluhung (Court
Culture). Kedua, unsur transformasi nilai-nilai modernitas melalui jalur
pendidikan. Dan ketiga, fungsi Sultan sebagai mediator kosmologis antara misi
Kerajaan Islam dengan realitas masyarakat yang pluralis.7 Karena kebudayaan
merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai ciri keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam kaitannya dengan keistimewaan DIY, masalah pertanahan


merupakan salah satu isu aktual dan penting. Kesan dualisme penerapan hukum
tanah di DIY sudah berlangsung lama. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
pokok Agraria telah mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria
secara nasional. Namun demikian, DIY memberlakukan sebagian kewenangan
sesuai dengan hukum adat mengenai tanah. Bahwasanya tanah yang ada di DIY
adalah merupakan tanah Sultan (Sultan Ground) dan tanah Pakualaman
(Pakualaman Ground), dengan demikian tidaklah diberlakukan hukum agraria
nasional dalam pertanahan di DIY. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan teori
peraturan perundang -undangan bahwa aturan yang lebih khusus dapat
mengesampingkan aturan yang lebih umum (lex specialis derogat legi generalis).
Kewenangan keistimewaan di bidang tata ruang bagi DIY sangat berkaitan
erat dengan aspek pertanahan. Hal tersebut disebabkan karena kewenangan
tersebut hanya terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan
tanah Pakualaman. Berkaitan dengan hal tersebut,maka pelaksanaan kewenangan
dalam tata ruang harus seiring dengan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh
Kasultanan dan Pakualaman terhadap tanah yang menjadi aset atau milik
Kasultanan dan Pakualaman (Sultanaat Ground dan Pakualaman Ground).
Selanjutnya dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, Kasultanan dan
Pakualaman menetapkan kerangka umum kebijakan tata ruang tanah Kasultanan

7
Jawahir Thontowi, Apa Istimewanya Yogyakarta?, (Yogyakarta:Pustaka Fahim, 2007), hlm.7

16
dan Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY, namun tetap mengacu pada
tata ruang nasional dan tata ruang Daerah Istimewa Yogyakarta.8

2.2.3 Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah DIY

Ada beberapa ruang lingkup hubungan antara Pemerintah Pusat dengan


Pemerintah Daerah DIY,diantaranya adalah :

1. Hubungan Kewenangan
Hubungan kewenangan ini antara lain meliputi cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga
daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentukotonomi terbatas
atau otonomi luas. Termasuk dalam otonomi terbatas apabila: Pertama,urusan-
urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua,apabila sistem
supervisi kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan hal-hal seperti keterbatasan
kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi
daerah.9
2. Hubungan Keuangan
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terefleksi dalam
intergovernmental fiscal relations. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada
daerah haruslah diikuti dengan pelimpahan keuangan (money follows function).
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah
suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta

8
Suryo Sakti H, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hlm.164

9
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009)

17
pemerataan antara daerah secara proporsional, demokratis, adil, transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, sejalan dengan
kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata carapenyelenggaraan
kewenangan tersebut, termasuk pengawasan dan pengelolaan keuangannya.10
Dalam hal ini terdapat tiga aspek yang menentukan terjadinya perimbangan
keuangan yang adil yaitu:
1) Sampai sejauhmana Pemerintah Daerah telah diberi sumber-sumber keuangan
yang cukup terutama yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah;
2) Sampai sejauhmana Pemerintah daerahtelah mendapatkan akses ke
pendapatan yang bersumber dari bagi hasil pajak dan sumber daya alam; serta
3) Sampai sejauhmana Pemerintah daerah telah mendapatkan subsidi yang adil
dan efektif.

Pemerintah Daerah sudah tentu harus memiliki kewenangan


membelanjakan sumber-sumber daya keuangannya agar dapat menjalankan
fungsi-fungsi yang menjadi tanggungjawabnya. Pasal 42 ayat (1) Undang-undang
Keistimewaan DIY menyebutkan bahwa, “Pemerintah (Pusat) menyediakan
pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dalam APBN sesuai dengan
kebutuhan DIY dan kemampuan Keuangan Negara.”11

3. Hubungan Pengawasan
Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadappemerintah, terlihat
bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan, alasannya: Pertama,
pada umumnya sasaran pengawasan terhadap pemerintah adalah pemeliharaan
atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan
dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan
masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batasan
kekuasaannya. Kedua, tolok ukur adanya hukum yang mengatur dan membatasi

10
Ibid,hlm 18
11
Undang-Undang Keistimewaan DIY Pasal 42 ayat (1)

18
kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun
formal (rechmatigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat
(doelmatigheid).12

12
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009),hlm 19

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Desa Penglipuran salah satu desa adat yang masih terpelihara
keasliannya. Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai
sudut desa ini sehingga nuansa Bali masa lalu tampak jelas. Perbedaan desa
adat Penglipuran dengan desa adat lainnya di Bali adalah tata ruang yang
sangat teratur berupa penataan rumah penduduk di kanan dan kiri jalan
dengan bentuk rumah yang seragam dalam hal bentuk sehingga keseluruhan
desa ini tampak rapi dan teratur. Desa Penglipuran masuk dalam wilayah
administrasi Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli. Letaknya di jalan utama
Kintamani Bangli. Kata “Penglipuran” berasal dari kata “Pengeling Pura”.
Artinya, tempat suci untuk mengenang para leluhur. Jaraknya sekitar 45 km
dari Kota Denpasar. Desa Penglipuran memiliki luas sekitar 112 Ha., yang
terdiri dari tegalan, hutan bambu, permukiman, dan beragam fasilitas umum
seperti pura, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Berada di perbukitan
dengan ketinggian berkisar 700 m dpl, menjadikan Penglipuran sebagai
kawasan yang cukup sejuk.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan
wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave
di Yogyakarta. Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi
yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan
sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta
dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY.

20
3.2.Saran
Adapun saran-saran yang perlu diperhatikan agar kegiatan KKL dapat
berjalan dengan baik adalah sebagai berikut: Mahasiswa dan mahasiswi yang
mengikuti kegiatan KKL haruslah mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan
bersama. Mengunjungi tempat atau objek yang lebih relevan dengan dengan
pembelajaran Bahasa, Seni dan Budaya. Kegiatan KKL di tahun-tahun yang
akan datang tempat yang akan dikunjungi peserta KKL Fakultas Hukum UM
METRO lebih diperbanyak kunjungan dibidang t empat kunjungan yang
berkaitan dengan Hukum dibandingankan dengan rekreasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

 Zulpianto. 2014. Desa Adat Penglipuran


http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/desa-tradisional-penglipuran.htm
( di akses 25 september 2019 ).
 Octha Widi. 2012. Sejarah Desa Adat Penglipuran
http://octhawidi.blogspot.com/2012/11/latar-belakang-sejarah-desa-adat.html
( di akses 25 september 2019 ).
 Dari Individu: Kepala Adat, Masyarakat Adat Penglipuran.

 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009).


 Suryo Sakti H, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
 Jawahir Thontowi, Apa Istimewanya Yogyakarta, (Yogyakarta:Pustaka
Fahim, 2007).
 BPKP Yogyakarta. 2019. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta
http://www.bpkp.go.id/diy/konten/815/sejarah-keistimewaan-yogyakarta
( di akses 27 september 2019 ).
 Wiki. 2019. Daerah Istimewa Yogyakarta
https://map-bms.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

( di akses 27 september 2019 ).


 Undang-Undang Keistimewaan DIY Pasal 42 ayat (1).

22
DOKUMENTASI KUNJUNGAN FORMAL KULIAH KERJA LAPANGAN

1. Kunjunan Di Desa Adat Penglipuran

( Gambar 1: sambutan ketua adat dan pengenalan desa adat penglipuran ).

2. Kunjungan Di PEMPROV DIY

( Gambar 2: kunjungan di kantor Gubernur Yogyakarta ).

23

Anda mungkin juga menyukai