Anda di halaman 1dari 12

Intervensi Science Terhadap Filsafat: Logika sebagai suatu Metodologi

Mengharuskan Filsafat Memiliki Dasar Ilmiah


(Analisis Pemikiran Charles S. Peirce: Kebenaran Verifikasi )
Halimah Tunsyakdiah
Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Halimah268@gmail.com

Abstrak

Artikel ini merupakan bentuk analisis dari pemikiran Charles Sanders Peirce yang telah
mengklaim adanya cara untuk berpikir secara detail dalam berargumentasi, Peirce merupakan
figure yang hadir untuk mendukung filsafat analitik. Kemunculan filsafat analitik yang
menjadi tradisi besar dari dunia berbahasa inggris membuat terobosan baru dalam berfilsafat,
hal ini tentu dilatarbelakangi oleh kegundahan para filsuf analitik terhadap bahasa umum yang
digunakan oleh kajian filsafat, kekeliruan dan problem filsafat selama ini karena bahasa yang
digunakan tidak berdasarkan kaidah-kaidah bahasa, maka filsuf analitik membuat suatu
program filsafat yang mengedepankan kejelasan berargumen dengan titik awal berangkatnya
menggunakan logika dan analisis bahasa. Poin penting dalam filsafat analitik adalah
“Argument and Justification” yaitu bagaimana kita menemukan posisi yang jelas dalam
argumen. Disinilah pada akhirnya kita melihat filsafat mendapatkan intervensi keilmiahan
dari para filsuf analitik, karena pemikiran ilmiah memiliki tujuan untuk mengarah pada
proposisi yang benar dan mengarah pada kebenaran realitas. Dengan demikian, filsafat
analitik menggunakan aspek normatif untuk memperoleh analisis filosofis yang benar dalam
berfilsafat dengan mengagungkan analisis bahasa ideal agar terbebas dari ambiguitas dan
invaliditas filsafat. Disinilah, Peirce menjadi salah satu pemikir yang menekankan pentingnya
“meaning” dalam filsafat dengan melakukan kebenaran verifikasi yang mengarah pada
spekulatif grammar,critical logic, dan speculative rhetoric.

Abstrak

This article is an analytical form of reasoning Charles Sanders Peirce who had claimed the
way to think in detail the arguments. The emergence of analytic philosophy that became
tradition of the English-speaking world to make new breakthroughs in philosophy, it is
certainly motivated by anxiety analytic philosophers of the common language used by
1
philosophy. Mistakes and problems of philosophy so far only on the language used, the
analytic philosophers to create a program that make a clarity philosophy which argues that the
point of departure using logic and analysis of language. Two point earned is the “argument
and justification” that is how we find a valid position in the argument. This is where we
finally got a look at the philosophy of scholarly intervention of analytical philosophers,
because scientific thought has the aim of leading to true proposition and lead to the truth of
reality. Thus, we see that the use of analytical philosophy normative aspects to obtain the
correct philosophical analysis in philosophizing, who praised the ideal language for
philosophical to be free of ambiguity and invalidity of philosophy. Where, Peirce attended by
emphasizing the importance of meaning in philosophy by the truth that leads to speculative
verification with speculative grammar, critical logic and speculative rhetoric.

Keywords: Critical Logic; Intervention; Meaning; Speculative Rhetoric; Pragmatisms.

2
Pendahuluan

Latar Belakang

Perkembangan pemikiran Immanuel Kant yang banyak memengaruhi cara berfikir


filsafat dan akhirnya menjadi landasan epistemology barat menjadi salah satu sokongan
lahirnya filsafat analitik. Kant menawarkan cara dalam mengkontruksi teori pengetahuan
dengan menjelaskan bahwa kognisi analitik apriori dan sintetik aposteriori menjadi sintetik
apriori, artinya hal ini akan mungkin dibaca secara a priori, yang mana dalam hal ini tidak
akan terlepas bagaimana kualitas kategori yang dimiliki manusia menentukan pengetahuan
yang kita peroleh Kant mencoba melihat jurang pemikiran dalam teori pengetahuan dengan
menawarkan sintetik apriori tersebut, yaitu ada hal-hal yang tidak diketahui dan hal-hal yang
diketahui oleh pikiran, namun yang dia tekankan adalah ada hal yang tidak diketahui tapi
mengarah pada pikiran, inilah mengapa dia mengatakan bahwa ada dua realitas yaitu
fenomena bisa menggunakan sensibilia, pure reason, maupun kategori dan nomena sendiri
tidak bisa diperoleh pengetahuan nya. Namun, bukan tanpa arti Kant tidak mendapat kritikan,
kritikan pertama datang dari Hegel, kritik Hegel datang dari klaim Kant yang menyatakan
bahwa ada dua realitas, yaitu realitas yang thing in itself dan realitas fisik, bagi Hegel
pemisahan realitas semacam itu tidak ada, karena semua realitas disatukan dalam bentuk satu
ide, artinya Hegel melihat tidak ada jurang epistemic antara nomena dan fenomena, karena
tidak mungkin hal-hal yang diluar idea dapat diketahui.

Pada pemikiran Hegel inilah yang mengawali telaah filsafat menjadi lebih luas,
termasuk sastra, seni, sejarah, dsb. Serangan selanjutnya datang dari Russel dan Moore,
Moore yang menekankan penting analisis konsep dan Russel mengembangkan logical
atomism, sebuah ide yang mengarahkan bahasa menuju bagian-bagian kecil seperti “physical
matter”, memang benar logical atomism nya Russel merupakan bentuk dari investigasi bahasa
dan kalimat, karena dengan demikian kebenaran dari filsafat valid and true bisa kita temukan
melalui Logical Atomism. Dengan demikian, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh
Moore dan Russel ini sama-sama mengkritik Kant dan Hegel, yang akhirnya turun temurun
menjadi dua tradisi besar yaitu filsafat analitik dan filsafat kotinental, dan salah satu yang
melakukan analisis bahasa dan investigasi terhadap bahasa juga dilakukan oleh Charles
Sanders Peirce yang akan penulis jelaskan lebih lanjut, yaitu bagaimana akhirnya filsafat
mendapat pengkoreksian dari para pakar logika dan matematika yang mengharuskan filsafat
menjadi lebih rigoris dengan kebenaran verifikasi yang mengarah pada logika, karena dirasa
3
filsafat pada akhir abad ke-19, filsafat inggris telah didominasi oleh idealism inggris seperti
yang dikembangkan oleh Thomas H. Green dan Bradley, dan untuk menentang aliran tersebut
para filsuf analitik membuat program filsafat yang harus melakukan kejelasan konseptual,
pertanyaan nya, apakah program filsafat yang semacam ini harus dijadikan basis filsafat
dalam berargumentasi, dan apakah ini bisa dikatakan bentuk intervensi science dalam
program filsafat sehingga filsafat memiliki dasar ilmiah dan terhindar dari narasi besar yang
mendominasi filsafat seperti yang dilakukan Hegel sebelumnya, dan bagaimana hal ini dilihat
dari pemikiran Peirce mengenai kebenaran verikasinya dalam filsafat, inilah yang akan
penulis jelaskan dalam makalah kali ini’.

Metode Penelitian: Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dan ini
merupakan metode penelitian nonhipotesis diperoleh dari pengamatan secara langsung
terhadap tulisan-tulisan filsafat, terkhusus mengenai filsafat analitik, dengan melihat
bagaimana pengaruh filsafat analitik terhadap filsafat itu sendiri.

Pembahasan

4
1. Biografi Charles Sanders Peirce

Peirce dikenal sebagai seorang pakar Logika dan filsuf science, Charles Sanders Peirce (1839-
1914) adalah seorang figure dalam melakukan perubahan filosofis yang kita sebut sebagai
Pragmatisme. Peirce dilahirkan di Cambridge, Massachusetts, anak dari seorang
matematikawan Amerika terkenal dan anggota dari pengajar di Harvard University. Peirce
juga menjalani pendidikan di Universitas Harvard, dan saat itu dia berusia 16 tahun telah
melakukan training di laboratorium kimia dalam kurun waktu sepuluh tahun, dan juga telah
mampu membaca logika Whitely. Namun, pendidikan nya berkonsentrasi pada filsafat dan
ilmu-ilmu fisika, inilah mengapa dia akhirnya menerima gelar Master of Art dalam bidang
matematika dan kimia, kemudian dia bekerja pada observatorium astronomi Universitas
Harvard. Maka, tidak heran jika dia telah banyak menulis tulisan filsafat seperti the journal of
Speculative Philosophy and The Monist, dan tulisannya yang paling penting adalah
memberikan angin segar dalam metodologi filosofis yang dia sebut sebagai “pragmatism”,
yang mengedepankan proposisi yang bisa memberikan konsekuensi praktis untuk kehidupan,
dan menilai bahwa pragmatisme sebagai metode klarifikasi konsepsi yang mana bidikan
Peirce adalah “meaning” yang diharapkan bsia memberikan gagasan terbaik yang bersifat
eksperimental.1

2. Filsafat Analitik

Istilah filsafat analitik diartikan sebagai sebuah tradisi filsafat yang mengutamakan kejelasan
dan argumentasi yang mana dalam hal ini meletakkan peran yang sangat besar melalui logika
modern dan analisis bahasa, bukan hanya itu, melainkan sebagai suatu bentuk aktifitas yang
merupakan bentuk kelanjutan dari perkembangan filsafat abad ke-20 seeprti Betrand Russel,
Ludwig Wittgenstein, Gotllob Frege, Moore, dan para aliran Positivisme Logis. Oleh karena
nya, seringkali filsafat analitik dihubungkan dengan penjelasan pikiran diperoleh melalui
analisi dan bentul logis proposisi filsafat yang menjadi sebuah cara untuk menghadirkan
simbol-simbol, walaupun banyak filsuf analitik juga memiliki pendapat yang berbeda
mengenai simbol-simbol dalam bentuk logis tersebut. mengapa hal ini dilakukan? Seperti
yang dijelaskan Betrand Russel, bahasa umum seringkali memberikan penejelasan yang
ambigu dalam filsafat, oleh karena nya kita membutuhkan logika matematika untuk
memberikan kejelasan argumentasi filsafat, dan ini adalah suatu bentu proyek filsafat analitik
yang menolak pembicaraan filsafat yang mengutamakan berbicara secara garis besar menuju

1
. analytic philosophy, Jordan J. Lindberg p. 1
5
penjelasan yang detail. Pertanyaan nya,analisis semacam apa yang diinginkan oleh para filsuf
analitik ini? Yaitu analisis logis, yang mana ide dasar harus bisa menerangkan makna turunan
daris ebuah pernyataan dengan mengaraha pada bentuk logis atau yang disebut dengan logical
form, yang pada akhirnya mengidentifikasi kehadiran logika konstan, disini lah kita mulai
masuk kedalam logika berfikir, dengan demikian kita bisa memahami bagaimana
mengargumentasikan sesuatu karena kita memahami titik berangkat dari pikiran kita.2

Inilah mengapa analisis sangat diperlukan, oleh sebabnya hal-hal yang berifat keyakinanpun
dipertanyakan jika analisis yang kita lakukan memberikan bukti-bukti yang yang memuaskan,
jadi bagaimana kredibilitas keyakinan? Inilah titik berangkat penulis akan menjelaskan
pemikiran Peirce mengenai kebenaran verifikasinya.

3. Kebenaran Verifikasi

Peirce telah menawarkankan kita the right way of thinking, dengan memperkenalkan
observasinya yang berfokus pada pembedaan logical empiricism dan positivism yang
menekankan clearness dan distinctness dalam filsafat, tujuan Peirce adalah untuk memberikan
“clearness of though” dengan menggunakan metode logika, sehingga diharapkan kita
memperoleh teori-teori yang bisa memberikan “meaning” dengan cara kebenaran verifikasi
yang meliputi; speculative grammar, critical logic, dan speculative logic.3

Speculative grammar, poin ini berkaitan dengan persyaratan formal kebahasaan agar suatu
lambang (sign) memiliki makna, ini proses dimana kita bisa melakukan penangkapan sense
setiap tanda, dan Critical logic berfokus pada kebenaran berbagai simbol, artinya kita diajak
untuk melihat bagaimana keterkaitan antar lambang-lambang dalam bahasa dengan objek,
yang mana critical logic ini pasti mengarah pada penggunaan silogisme, sedangkan
speculative rethoric yaitu bagaimana simbol-simbol ditafsirkan sesuai dengan makna yang
diinginkan.

Penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana critical logic ini pengaruhnya terhadap
Speculative rhetoric dalam filsafat. Critical logic menggunakan silogisme seperti deduksi,
induksi dan abduksi yang bisa kita temukan dalam kajian-kajian keilmuan. Pada dasarnya, ada
garis sederhana yang bisa kita temukan dalam pemikiran Peirce yaitu mengenai
ketergantungan logika kritis terhadap retorika fomal, yaitu bagaimana teori inferensi selalu

2
. journal for the history of analytical philosophy p. 1

3
. the theory of inquiry p. 7-10, and Pierce’s Revolutionary Concept of Rhetoric, p. 119-120
6
tergantung pada teori investigasi, kita sudah mengetahui bagaimana kita bisa memperoleh
validitas teori dengan cara abduksi, deduksi, dan induksi, ini adalah prinsip dalam
pemerolehan pengetahuan, dan akhirnya kita melihat critical logic menjadi akar dalam prinsip
sosial, karena hanya dengan cara tersebut kita bisa menemukan metode yang reliabel dalam
praktek science. Lalu, seperti apa peran Speculative Rhetoric? Peirce menyatakan bahwa
Speculative rhetoric menjadi prinsip untuk melakukan penyelidikan, yaitu sebuah
penyelidikan untuk memperoleh metode yang reliabel dalam penalaran filsafat. Namun,
Pierce melihat pengetahuan modern banyak melakukan retorika yang hanya mengarah pada
kepentingan umum, mereka tidak menggunakan “logical prescription”, dan yang parahnya
menyertakan “moral factors”, yang mana hal ini bisa kita nilai sebagai bentuk upaya lain
mencintai kebenaran dengan mencampuradukan mental state dalam pengetahuan, akhirnya
kita melihat adanya karakter lain dalam sosial dengan alasan membentuk solidaritas
masyarakat, inilah yang dimaksud Peirce, retorika yang bergerak kearah pemahaman
kepentingan umum, retorika tradisional. Pierce melakukan pembedaan antara retorika
spekulatif dengan retorika tradisional, retorika spekulatif tentunya berdasar critical logic,
sedangkan retorika tradisional mendapat sentuhan dimensi sejarah yang kuat, itu merupakan
bentuk dari penyelidikan antar generasi, sifat penyelidikan yang digunakan lebih mengarah
pada komunitas ilmiah tertentu.4

Namun, Peirce menekankan penting nya retorika formal untuk dijadikan studi penyelidikan,
karena retorika ini melibatkan metode penalaran logika yang mengarah pada ilmu normative
yang lebih detail, sebab retorika spekulatif ini berfokus pada deskripsi praktek ilmiah yang
sebenarnya, ada dasar epistemologis yang jelas ditawarkan oleh Peirce dengan retorika
spekulatif yang bisa membawa kita pada pengartikulasian logos. Dengan demikian, yang
ingin disampaikan oleh Peirce adalah bahwa pengetahuan empiris menjadi bermakna jika
didasarkan pada critical logic yang mana pengetahuan empiris merupakan ilmu ekstensi yang
canggih, rasional, karena memiliki pengkoreksian terhadap klaim yaitu dengan penyelidikan,
yang mana penyelidikan ini dilakukan dengan analisis bahasa yang digunakan.

4. Theory of Meaning

Selain itu, cara yang ditawarkan oleh Peirce dalam melakukan kejelasan pikiran yaitu dengan
teori arti yang memiliki kaitan erat dengan semiotika mengenai tanda, yang mana bagi Peirce
4
. Peirce’s Revolutionary concept of rhetoric, p. 120-122
7
tanda adalah “is something which stands to somebody for something in some respect or
capacity”, artinya adalah tanda adalah sesuatu yang berarti untuk seseorang dan untuk sesuatu
dalam beberapa hal atau kapasitas. Perlu diingat, teori “meaning” ini menjadi prinsip dalam
pragmatisme Peirce yang menginginkan bagaimana objek-objek dalam konsepsi kita
menghasilkan perlakuan praktis dan eksperimental. Peirce mencoba membuat pertimbangan
yang bisa memberikan bantalan praktis, yaitu bagaimana konsepsi kita atas objek, dan
konsepsi tentang efek terhadap objek yang kita konsepsikan. Artinya, ketika kita melakukan
pertimbangan logis kita harus bisa memikirkan dan mengambil konseksuensi praktis dari
pemikiran kita. inilah yang disebutnya sebagai teori pragmatis makna, teori yang menarik
bagi maxim pragmatis, yang mana konsep teori makna merupakan sebuah konsep yang bisa
memberikan implikasi terhadap observasi dan tindakan manusia.5

Inilah mengapa pragmatisme disebut sebagai pendekatan yang praktis, yang memiliki nilai
dari sebuah ide, dan pragmatisme menjadi sebuah doktrin dari setiap konsepsi yang mana
konsepsi diharapkan bisa memberikan dampak yang praktis. Lalu logic yang seperti apa
ditawarkan oleh Peirce? Peirce menulis tidak ada logika yang menarik kecuali logic of
abduction. Logika abduksi merupakan proses yang menghasilkan hipotesis yang mengikuti
“logical form”, karena mengikuti forma logika ini Peirce merancang prgmatisme kedalam tiga
proposisi, dan tiga proposisi Peirce mengenai pragmatis adalah; segala sesuatu didalam
pikiran kita didasarkan pada hasil dari senses kita, perceptual judgement termasuk generality
yang memungkinkan kita menghasilkan pernyataan umum, dan yang terakhir dengan
menggunakan abduksi kita bisa menemukan perceptual judgement.

Peirce mengatakan bahwa seluruh “meaning” dari kejelasan konsepsi harus terdiri rangkaian
konsekuensi praktis, dan bisa melihat perbedaan kebenaran konsep-konsep tertentu untuk
hidup kita, dengan demikian kita bisa melihat pikiran harus bisa berfungsi untuk membimbing
tindakan kita, dan kebenaran yang paling utama adalah untuk diuji oleh konsekuensi praktis
dari keyakinan kita. selanjutnya, definisi Peirce mengenai pragmatisme yaitu maxim dari
pragmatisme tersebut, yang merupakan prinsip dari pragmatisme itu sendiri, yaitu mengenai
pertimbangan efek apa yang akan mungkin dibayangkan dengan syarat menghasilkan
bantalan praktis, inilah mengapa Jordan J. Linderberg menulis “ the philosophical reply is,
that this ia not question of fact, but only of the arrangement of facts”6. Kemudian, setelah kita
5
. relevance theory through Pragmatic Theories of Meaning, p. 1767 (diambil dari Departement of Philosophy
University of Helsinki, Finland)

6
. analytical philosophy p. 7
8
menemukan konsepsi kita terhadap efek-efek yang terjadi disebut sebagai konsepsi
keseluruhan kita terhadap objek. Dengan demikian, yang dapat kita simpulkan mengenai
pragmatisme ini adalah bahwa proposisi meaning and value menjadi harga mutlak dari
pragmatisme.7

5. Analisis

Secara praktis, memang benar kita dapat menggunakan metode dari Peirce untuk membangun
sebuah model tentang bagaimana kita bisa mengambil sebuah keputusan filosofis. Cara yang
ditawarkan melalui tiga forma logika, yaitu abduksi, deduksi, dan induksi. Namun, yang dia
tekankan adalah abduksi yang menghasilkan hipotesis, dengan pengurangan membuat
prediksi berdasarkan hipotesis, namun proses ini menyertakan pengalaman kita, dengan
demikian pragmatisme yang dimaksud oleh Peirce adalah sesuatu yang dekat dengan konsep,
yaitu bagaimana konsep memiliki efek yang mungkin yaitu memiliki value and meaning,
bukan berarti pragmatisme tidak memikirkan dampak eksperimental jangka panjang, yaitu
bagaimana kita bisa membuat forma abduksi dijadikan sebagai nilai dari persepsi kita. 8

Lalu dimana kita bisa melihat kekeliruan Peirce? Menurut penulis Peirce terlalu berfokus
pada pembuktian pragmatisme suatu konsep, padahal bukti yang dia harapkan hanya berlaku
untuk hipotesis saja, Peirce kita lihat bertindak sebagai ilmuwan ingin sekali memperoleh
afirmasi dari hipotesis yang ada, artinya Peirce ingin membangun pragmatis lebih dari sekedar
definisi, artinya dia ingin definisi atau hipotesis yang ada bisa berlaku dan memberikan
dampak eksperimental untuk manusia. Namun, penulis melihat pragmatisme tidak lebih dari
sekedar definisi, karena Peirce membuang waktu yang sia-sia dengan membangun pandangan
arsitektonisnya dalam ilmu pengetahuan dan membingungkan kita dengan matematika yang
tidak memadai. Kemudian, penulis melihat Peirce adalah salah seorang yang menganggap
bahwa forma abduksi adalah unsur logika yang bisa membawa kita pada keyakinan terhadap
kebenaran tersebut, pengukuran kebenaran satu-satunya bisa dikatakan valid hanya karena
menggunakan metodologi seperti logika, Peirce dengan gamblang melihat perlunya
menggunakan metode ilmu alamiah didalam filsafat, disinilah kita bisa melihat intervensi
terhadap filsafat yang dipaksa untuk masuk lebih jauh kedalam ilmu pengetahuan, sehinga
7
. Semiotics and Methods of Legal Inquiry : Interpretastion and Discovery in Law from the Perspective of
Peirce’s Speculative Rhetoric, p. 356-357

8
. Peirce, Pragmatism, and The right way of thingking, p. 7-9
9
pengakuan mengenai benar atau tidak nya hipotesis harus memiliki pijakan logis dan analisis
bahasa dengan menghasilkan suatu masyarakat dalam kerangkeng laboratorium yang
mendasarkan diri pada ilmu-ilmu alam.

Sejatinya, forma-forma logika yang digunakan oleh Peirce idak benar-benar mendeteksi
permasalah dalam filsafat, Peirce menjadi seorang yang terlahir dari polemic filsafat analitik
dan kontinental, dengan melakukan pemaksaan membenarkan hipotesis yang dikaji melalui
forma logika, dengan demikian kita bisa melihat Charles Sanders Peirce sendiri terlihat
menjadikan ilmu pengetahuan satu-satunya atau cara yang paling akurat untuk memahami
fenomena alam. Namun, hal yang perlu diingat oleh para filsuf analitik termasuk Charles
Sanders Peirce adalah bahwa filsafat analitik terlalu mengagungkan substratum pra teoritis
dari pengalaman, dan juga mengakui bahwa metode ilmiah pada dasarnya tidak sepenuhnya
memahami kondisi-kondisi dalam proses memahami, inilah mengapa cara kerja yang
reduksionis banyak memarginalkan alam, terkhusus dalam kasus Peirce misalnya, sangat
menekankan penting hipotesis yang bisa memberikan konsekuensi praktis, tanpa
mempertimbangkan bagaimana sebuah hipotesis itu didapat.

Keketan penalaran yang dilakukan filsafat analitik memperlihatkan pada kita bahwa filsafat
analitik cenderung untuk memandang filsafat dalam permasalahan-permasalahan yang
fragmentaris, dengan harapan dapat dianalisis yang terlepas dari unsur-unsur sejarah, karena
bagi mereka memandang sejarah tidak esensial didalam penyelidikan ilmiah, yang esensial
menurut filsuf analitik terkhusus Peirce yaitu dengan menangkap ciri esensial objek dengan
cara mampu membedakan dengan yang lain secara clearness and disticness, dengan demikian
kita bisa memeroleh ciri eksperimental dengan menghasilkan makna suatu konsep yang
identic dengan kegiatan eksperimen, mereka mengagungkan bentuk kinerja investigasi dan
pengujian didalam filsafat, dan filsafat analitik sendiri investigasi tersebut dilakukan dengan
analisis bahasa, namun menggunakan syarat mutlak berupa forma-forma logika.

Kesimpulan dan Saran

Gagasan Peirce mengenai bahwa suatu hipotesis bisa ditemui kebenaran nya jika dan hanya
jika bisa diterapkan menurut tujuan kita, pada akhirnya menjadi penting dalam tindakan
filosofis. Filsafat diciptakan lebih rigoris dengan mendasarkan metode tindakan terhadap
logika dan analisis bahasa, dengan demikian pragmatisme menjadi doktrin dalam melakukan
upaya pemerolehan makna dan value dalam kehidupan manusia, meaning yang harus
dilekatkan dengan objek kajian memperlihatkan betapa pada akhirnya filsafat yang bertindak
10
universal mendapat tarikan dari ilmu pengetahuan yang mengharuskan filsafat memiliki dasar
ilmiah, karena kehausan terhadap kebenaran sebuah hipotesis yang menginginkan fakta berisi
penuh dengan kerangka praktis, “ however satisfactory such a definition may be found, it
would be a great mistake to suppose that it makes the idea of reality perfectly clear”, inilah
yang kemudian harus bisa diaplikasikan dalam aturan kita.9

Kendati kita memperoleh suatu metode yang spesifik dan yang menjadi dasar dalam filsafat,
Peirce tidak serta merta benar-benar melakukan clearness dalam problem filsafat, karena
argument dengan menggunakan logika yang dia tawarkan berakhir hanya pada untuk orang-
orang yang bisa menerima bentuk tersebut, padahal permasalahan filsafat sendiri tidak bisa
terselesaikan tanpa kita mengikutsertakan kondisi tekstual dan konstektual sejarah, jika hanya
menginginkan adanya kesatuan antara konsepsi dan praktek, berarti menjadi kemungkinan
besar dalam prakteknya filsafat tidak bisa terlepas dari transformasi personal, moral maupun
politik, dan seharusnya filsafat disini menyelidiki domain yang secara reduktif bersifat
kultural atau praktis, bukan di kokohkan dengan bahasa yang terlalu ideal dan metodologi
yang absolute, seperti logika, dengan demikian menurut penulis filsafat akan lebih bisa
mengalir dan praktis sesuai dengan kebutuhan berfilsafat.

Referensi:

J. Lindberg, Jordan, 2001. Analytical Philosophy, Beginnings to the Present, United States of
America,Part 1.

Ontology and Methodology in Analytic Philosophy by John Symons. Chapter 16

Peirce, Pragmatism, and the right way of Thinking by Philip I. Campbell, 2011. (SANDIA
REPORT)

Journal for the History of Analytical Philosophy, vol. 2 editor in chief by Mark Textor, King’s
College London, 2013.

Journal for the History of Analytical Philosophy, vol. 1 no. 8, editor in chief y Mark Textor,
King’s College London

Pragmatism and Design Research by Anna Rylander, p. 5-10

9
. analytical Philosophy, p. 9
11
The Ups and Downs of Analytical Philosophy by ahti-Veikko Pietarinen, 2010. Department of
Philosophy, History, Culture and Art Studies.

12

Anda mungkin juga menyukai