Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi


sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
”Bahasa Sebagai Sistem Tanda”.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai


pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini
bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata
penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Semarang, April 2014

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa sudah sering digunakan dalam berbagai ungkapan dalam masyarakat.
Sebagaimana sistem yang lain, bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang
tersusun secara teratur. Bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul
secara acak atau tidak beraturan.
Selain itu bahasa adalah bunyi-bunyi ujar yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia sifatnya sistematis dan berulang-ulang, sehingga kalau salah satu
bagian saja yang terlihat, maka bagian lain dapat diramalkan atau dibayangkan.
Misalnya, bila kita menemukan kalimat, Ibu mem…..dua ekor……dengan
segera kita dapat menduga bunyi atau bahasa itu secara keseluruhan.
Sistematis disinipun mengandung arti bahwa bahasa dapat diuraikan atas satuan-
satuan yang terbatasyang dapat diramalkan. Pengertian lain dari kata sistematis
mengatakan bahwa bahasa bukanlah sistem yang tunggal melainkan tersiri atas
beberapa subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem gramatika, dan
subsistem leksikon.
Selanjutnya karena bahasa itu disebutkan suatu lambang dan mewakili
sesuatu, maka bahasa itu memiliki makna dalam arti berkaitan dengan segala
aspek kehidupan dan alam masyarakat yang memakainya. Dengan
demikian, bahasa merupakan sistem lambang mengandung arti tanda yang harus
dipelajari oleh para pemakainya. Itulah mengapa bahasa bersifat konvensional.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana teori tentang tanda?
b. Apa saja tipe-tipe tanda?
c. Bagaimana fungsi tanda baca dalam suatu kalimat?

1.3 Tujuan
a. Memahami pengertian semiotika dari para ahli.

2
b. Mengetahui tipe-tipe tanda.
c. Mengetahui fungsi tanda baca dalam suatu konteks kalimat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Tentang Tanda


2.1.1 C.S. Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di
luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan
indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda
ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretan atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal
yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang wanita mengenakan jilbab, maka wanita itu sedang
mengomunikasikan mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi
memaknainya sebagai simbol kemuslimahan.

2.1.2 Ferdinand de Saussure


Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier)
dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal
melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang
terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di dalam

4
karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan
petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika
signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam
sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu.Kesepakatan sosial
diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.

2.1.3 Roland Barthes


Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Kusumarini,2006).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada


cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan


interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut
akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan

5
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut
akan menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi


“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi
sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua.
Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah
mitos.

Dari penjelasan-penjelasan dia atas dapat disimpulkan bahwa, tanda


adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
sebagai sesuatu yang dapat mewakili suatu hal.

2.2 Tipe-Tipe Tanda


Tipe-tipe tanda meliputi :
a. Ikon
Sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan
bentuk objeknya. Di dalam ikon hubungan antara penanda dan petanda-nya
memiliki kesamaan dalam beberapa kualitas. Suatu peta atau lukisan bisa
dikatakan sebagai ikon karena memiliki kemiripan rupa dengan objeknya. Contoh
rambu-rambu lalu lintas seperti “Pelan-pelan, banyak anak-anak!” dan “Awas,
tikungan tajam!”.
b. Indeks
Indeks merupakan tanda yang memiliki keterikatan eksistensi terhadap
petandanya atau objeknya atau sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang mengisyaratkan penandanya. Di dalam indeks, hubungan antara
penanda dengan petandanya bersifat nyata dan aktual. Misalnya tanda panah
menunjukkan ke kiri dibawahnya bertuliskan “MAGELANG 30 KM” adalah
indeks bahwa ke kiri 30 kilometer lagi adalah kota Magelang.

6
c. Simbol
Simbol merupakan tanda yang bersifat konvensional. Tanda-tanda linguistik
umumnya merupakan simbol. Jadi, simbol adalah suatu tanda yang sudah ada
aturan atau kesepakatan yang dipatuhi bersama, simbol ini tidak bersifat global
karena setiap daerah memiliki simbol-simbol tersendiri seperti adat istiadat daerah
yang satu belum tentu sama dengan adat-istiadat daerah yang lainnya. Contoh
simbol bendera kuning di daerah Jakarta menandakan ada orang yang meninggal
dunia, atau simbol janur kuning di muka gang yang berarti sedang ada yang
menyelenggarakan hajatan.
d. Gerak isyarat atau gesture
Gerak isyarat atau gesture adalah tanda yang dialakukan dengan gerakan
anggota badan. Gerak isyarat ini mungkin merupakan tanda mungkin juga
merupakan simbol. Kalau seorang manusia mengangukan kepalanya untuk
menyatakan persetujuan ataun penolakan (ada budaya yang menyatakan
persetujuan dengan menganguk, tetapi ada juga yang menyatakan penolakan
dengan mengangguk). Itu adalah simbol karena sifatnya arbitrer.
e. Gejala atau symptom
Gejala atau symptom adalah sutau tanda yang tidak disengaja, yang
dihasilkan tanpa maksud, untuk menunjukan bahwa sesuatu akan terjadi. Gejala
tidak menunjukan sesuatu yang sudah atau sedang terjadi, tetapi yang akan
terjadi. Gejala sebenarnya agak mirip dengan tanda, hanya gejala itu terbatas,
sebab tidak semua orang bisa menjelaskan artinya, atau apa yang akan terjadi
nanti, sedangkan tanda itu berlaku umum.
f. Sinyal
Yang dimaksud dengan sinyal atau isyarat adalah tanda yang sengaja dibuat
agar si penerima melakukan sesuatu. Jadi sinyal ini dapat dapat dikatakan
bermakna perintah. Misalnya letusan pistol dalam lomba lari. Letusan pistol
merupakan sinyal atau isyarat bagi para pelari untuk melakukan tindakan: lari.

2.4 Fungsi Tanda Baca dalam Kalimat

7
1. Tanda Titik (.)
a. Untuk mengakhiri sebuah kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan,
b. Diletakan pada akhir sinkatan gelar, jabatan, pangkat dan sapaan,
c. Pada akhir singkatan nama orang,
d. Dibelakang angka tau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar atau daftar.
2. Tanda Koma (,)
a. Memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat,
b. Memisahkan unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau pembilang,
c. Memisahkan anak kalimat dari induk kalimat apabila anak kalimat
tersebut mendahului induk kalimat.
3. Tanda Titik Koma (;)
a. Memisahkan kalimat setara dalam kalimat majemuk sebagai pengganti
kata penghubung,
b. Memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis atau setara.
4. Tanda Seru (!)
a. Tanda seru digunakan sesudah ungkapan atau pernyataan berupa seruan,
perintah, atau yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaa, atau
rasa emosi yang kuat.
5. Tanda Tanya (?)
a. Tanda tanya yang dipakai dan diletakan di dalam tanda kurung untuk
menyatakan bahwa kalimat yang dimaksud disangsikan atau kurang
terbukti kebenarannya,
b. Tanda tanya selalun dipakai pada akhir kalimat tanya.
6. Tanda Hubung (-)
a. Merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing----,
b. Menyambung suku kata yang terpisah oleh pergantian baris,
c. Menyambung unsur-unsur kata ulang.
7. Tanda Titik Dua (:)
a. Digunakan pada kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian,
b. Digunakan dalam teks drama sesudah kata yang menunjukan pelaku dalam
percakapan.

8
8. Tanda Elipsis (...)
a. Menunjukan bahwa ada satu petikan yang dihilangkan bagiannya,
b. Mengambarkan kalimat yang terputus-putus.
9. Tanda Kurung ( )
a. Mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian pokok
pembicaraan,
b. Mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
10. Tanda Kurung Siku ( {..} )
a. Mengapit huruf, kata, dan kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan
pada akhir kalimat.
11. Tanda Petik ("...")
a. Mengapit petikan lagsung yang berasal dari pembicaraan, naskah atau
bahan tertulis lain,
b. Mengapit judul syair, karangan, atau bab buku apabila dipakai dalam
kalimat.
12. Tanda Petik Tunggal ('..')
a. Mengapit terjemahan, penjelasan kata, atau ungkapan asing,
13. Tanda Garis Miring (/)
a. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, per, juga
nomor alamat.
b. Tanda garis miring dipakai dalam penomoran kode surat.
14. Tanda Penyingkat (Apostrof) (')
a. Tanda Apostrof menunjukan penghilangan bagian kata.

9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum semiotika adalah ilmu yang membahas tentang tanda ( the
study of signs ). Tokoh dalam Semiotika antara lain yaitu C.S Pierce
mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga
elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Ferdinand De Saussure
membagi semiotika menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan
pertanda (signified). Roland Barthes dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi.
Tipe-tipe tanda antara lain ikon (sesuatu yang melaksanakan fungsi
sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya), indeks (sesuatu yang
melaksanakan funsi sebagai penanda yang mengisyaratkan penandanya), simbol
(sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara
konvensi telah lazim di gunakan dalam masayarakat), gerak isyarat atau gesture,
gejala atau symptom, dan sinyal.

3.2 Kritik dan Saran


Menurut saya masih banyak hal tentang bahasa yang menarik untuk
dijadikan objek penelitian atau pembelajaran. Bidang-bidang seperti morfologi,
fonologi, sintaksis, semantik, semiotik, dan lain-lain merupakan disiplin ilmu
yang terus dikembangkan untuk mengkaji paradigma kebahasaaan.
Untuk itu sebagai pelajar, besar harapan saya agar selanjutnya banyak
peneliti-peneliti muda yang mengkaji ilmu kebahasaan lebih lanjut guna
memperkaya informasi para pelajar.

10
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka


Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
eprints.uny.ac.id98232BAB1%20-%2007204244030.pdf
http://regulerekstensib2011.blogspot.com/

11

Anda mungkin juga menyukai