Anda di halaman 1dari 9

1

Ranah Hermeneutika Dan Korelasinya Dengan Linguistik


Oleh: Rizqi Fauzi Yasin
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor
(UNIDA)Tahun ajaran 1434-1435/2013-2014
Konsentrasi di bidang Pendidikan Bahasa Arab

A. Pendahuluan
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi,
filsafat, bahkan sastra. Hermeneutika baru muncul sebagai sebuah gerakan
dominan dalam teologi Protestan Erofa, yang menytakan bahwa hermenutika
merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang1. Hermeneutika sebagai
metode manafsirkan teks yang semakin digandrungi dalam kancah intelektual
negri kita memang memperlihatkan suatu “potensi kritis” yang sangat diperlukan
di dunia kontemporer ini.
Hermeneutika juga memiliki korelasi atau hubungan dengan disiplin ilmu-
ilmu lainnya seperti hermeneutika dan lingusitik, hermeneutika dan epistimulogi,
hermeneutika dan ilmu logika dan ilmu-ilmu yang lainnya. Maka pada makalah
ini penulis akan membahas mengenai tentang ranah dan korelasi hermeneutika
pada lingustik.

B. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau
filsafat tentang interpretasi makna2. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari
kata kerja Yunani hermeneuien, yang memiliki arti menfsirkan,
menginterpretasiakan atau menerjemahkan3.
Jika asal hermeneutika dirunut, maka kata tersebut merupakan derivasi
dari kata Hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas
menyampaikan dan menjelasakan pesan pesan (message) dari sang Dewa kepada
manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang
memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama
Hermes – yang digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap dan
lebih dikenal dengan sebutan Mercusiur- adalah menerjamahkan pesan-pesan dari
gunung Olimpus kedalam bahasa yang dapat dimengrti oleh manusia4. Oleh
karenanya, Hermes harus mampuh menginterpretasikan atau menerjamahkan
sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat

1
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Cetakan II,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 3
2
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosopy, and
Critique (London, Boston, and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm.1
3
Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Volume 6 (New York : Macmillan
Publishing Company, t.t.), hlm.279
4
E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1995),
hlm. 23
2

itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu5.
Secara teologis peranan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran
Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes
tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an6, dan
dikenal sebagia manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun,
kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar dilingkungan
pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan( tukang tenun/
memintal). Sedangkan dilingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai
Thoht, yang dalam mitologi Mesir dikenal dengan Nabi Musa a.s.
Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus diselesaikan
adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa
“langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi”. Dari sini makna
metaforis dari profesi tukang tenun/ memintal muncul, yaitu memintal atau
merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.
Dengan demikian, kata hermenutika yang diambil dari peran Hermes
adalah sebuah ilmu atau seni mnginterpretasikan (The art of interpretation) sebiah
teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah
dalam mencari makna, rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia harus
menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang sesuatu penafsiran.

C. Sejarah Hermeneutika
Kajian hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah menemukan
bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara priodik
hermeneutika dapat dibedakan dalam tiga fase; klasik, pertengahan, dan modern.
Hermeneutika klasik, lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks dan art of
interpretation’. Dan istilah ini pertama kali muncul pada abad ke XVII. Tetapi
hermeneutika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir jauh sebelumnya,
usianya setua dengan eksegesis teks7. Hermeneutika pertengahan, dimulai pada,
dianggap berasal dari, penafsiran terhadap Bible yang menggunakan empat level
pemaknaan baik secara literal, allegoris, tropologika (moral), dan eskatologis.
Tetapi pada masa reformasi protestan, empat pemaknaan itu kemudian
disempitkan pada eksegesis literal atau grametikal dan eksesegesis studi tentang
Yahudi dan Yunani. Dan hermeneutika modern, dapat dibedakan dalam beberapa
fase dengan aliran-aliran yang mengikutinya. Fase awal mulai abad ke 19 dengan
merujuk pada tokoh protestan ternama, Friedrich Schleirmacher (1768-1834) dan
murid-muridnya termasuk Emilio Betti, dengan teori hermeneutiknya. Fase kedua,
pada abad ke-20 dengan Martin Heidegger (1889-1976) sebagai tokohnya,

5
Ibid, hlm.24
6
Sayyed Hossen Nashr, Knowledge and The Sacred (New York : State university Press,
1989), hlm.71
7
Roger Fowler (ed) A Dictionary Of Modern Critical Term (London and New York:
Routledge & Kegan Paul,1987),hlm. 109
3

termasuk disi Hans-George Gadamer dengan aliran Filsafat hermeneutik, dan


terakahir adalah Jurgen Habermas, dengan hermeneutik kritiknya8.

D. Ranah Hermeneutika
Apa ranah dan tema kajian hermeneutik? Sebagian memberi jawaban
sederhana: Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis yang
mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan pemahaman (fahm, verstehen,
understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor
yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu. Segala sesuatu ini bisa
berupa syair, teks-teks hukum, perbuatan manusia, bahasa, atau kebudayaan dan
peradaban asing9.
Pengenalan masalah “pemahaman” sebagai sebuah ranah, tema, dan
batasan pengkajian hermeneutik akan menghadapkan pada dua dilema asasi,
pertama adalah bahwa pemahaman dan persepsi itu dibahas dalam berbagai
disiplin yang berbeda dan memiliki fungsi pada banyak cabang-cabang
pengetahuan.
Epistemologi (theory of knowledge), filsafat analisis, dan filsafat klasik
(metafisika) adalah bidang-bidang ilmu yang juga mengkaji masalah-masalah
pemahaman dan persepsi ini dalam sudut pandang tertentu. Dengan demikian,
pertama-tama harus diketahui dengan jelas bahwa dari sudut pandang mana
disiplin hermeneutik memandang permasalahan pemahaman dan persepsi itu yang
membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, aliran-aliran berbeda yang terdapat dalam disiplin hermeneutik
sendiri memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap persoalan pemahaman
dan persepsi itu. Akan tetapi, adanya kesamaan konsepsi yang sedikit terhadap
persoalan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan patokan terhadap tema dan
penjelas batasan pembahasan bagi hermeneutik, karena masing-masing aliran
pemikiran itu mengkaji tujuan-tujuan khusus dimana tujuan khusus inilah yang
lantas menyebabkan perbedaan tema dan ranah pembahasannya.
Sebagai contoh, seseorang yang memandang pemahaman itu dari sudut
pandang fenomenologikal, maka dalam hermeneutiknya mustahil ia berupaya
menemukan dan menegaskan suatu metode untuk memisahkan antara pemahaman
yang benar dan yang keliru.
Yang jelas seorang seperti Wilhelm Dilthey mengarahkan tujuan itu demi
menggapai humaniora yang valid dan benar. Dengan memandang hermeneutik
sebagai metodologi, diharapkan refleksi-refleksinya, pada puncaknya, akan
menghadirkan suatu metode umum untuk keseluruhan humaniora.

8
Pemebagian hermeneutik modern atau kontemporer ini meminjam pemetaannya Josef
Bleicher, Cotemporary Hermeneutics; hermeneutics as method, hlmhilosophy and critique
(London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul,1980)
9
Bruns, Gerald L, Hermeneutics Ancient and Modern, hlm. 1.
4

Yang pasti, aliran-aliran hermeneutik mengkaji tema pemahaman itu, yang


satu membahas kemutlakan pemahaman dari aspek fenomenologikal, yang lain
menjelaskan hakikat dan syarat-syarat wujud kehadiran pemahaman, aliran dari
mengkajinya dari sisi ruang-waktu dan sejarah, dan yang lainnya meneliti
pemahaman dunia internal-kejiwaan individu dan pikiran-pikiran setiap manusia
lewat peninggalan-peninggalan seni dan literatur-literatur, dan berupaya mencipta
suatu metode yang valid dan akurat untuk memahami pikiran-pikiran individu dan
kehidupan internal-kejiwaan setiap manusia.
Dua perspektif dalam masalah pemahaman ini, dengan tidak memandang
perbedaan dalam ruang lingkup kajian pemahaman, yang satu menunjuk pada
pemahaman secara mutlak dan yang lainnya menyibak pemahaman kehidupan
internal-kejiwaan manusia. Dua tema pembahasan ini tidak bisa dipungkiri
memiliki perbedaan dan tidak bisa dikatakan bahwa aliran-aliran hermeneutik
membahas semua persoalan tersebut secara merata dan komprehensif.
Lahirnya kajian hermeneutik filosofis yang dipelopori oleh Martin
Heidegger di abad keduapuluh Masehi dan pengembangan ranah pembahasannya
ditangan Hans-Georg Gadamer melahirkan pengaruh yang cukup besar pada
cabang-cabang ilmu, seperti kritik literatur, metodologi, teologi, dan ilmu-ilmu
sosial.
Sebagian menyangka bahwa domain pembahasan hermeneutik adalah
sama dengan tema hermeneutik filosofis, yakni refleksi filosofis dan
fenomenologikal dalam substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial
kehadirannya. Yang paling keliru adalah orang yang menyangka bahwa satu-
satunya ranah pengkajian yang mungkin bagi hermeneutik adalah sebagaimana
pandangan-pandangan para filosof Jerman terhadap hermeneutik dan tradisi-
tradisi hermeneutik di Jerman pada abad keduapuluh.
Pada dasarnya, hermeneutik filosofis terkait secara horizontal dengan
pembahasan-pembahasan universal hermeneutik yang senantiasa kita butuhkan
dan tidak ada jalan lain kecuali harus membahasnya. Kita menerima semua
pemikiran penafsiran tentang pemahaman teks atau setiap kecenderungan dalam
kritik literatur atau memilih pembahasan tentang filsafat humaniora yang ada pada
setiap maktab. Kita tidak mungkin menolak dan memungkiri keberadaan
pengkajian tentang substansi pemahaman manusia dan analisis hakikat wujudnya.
Akan tetapi, makna dari ungkapan di atas tidaklah membatasi ruang
lingkup pembahasan hermeneutik pada garis horizontal itu. Sebagai contoh, kita
bisa memperluas tema itu pada kategori penafsiran dan pemahaman teks serta
terus mengajukan teori-teori penafsiran baru dalam kategori pemahaman teks.
Pengajuan teori-teori baru ini tidak masuk dalam wilayah dan koridor pengkajian
hermeneutik filosofis, akan tetapi tergolong dalam tema perumusan dan
pengkajian hermeneutik.
Tidak terdapat alasan yang tepat bagi kita untuk membatasi hermeneutik
hanya pada tema pengkajian hermeneutik filosofis yang meliputi maktab Jerman
dan Perancis, atau hanya pada maktab Jerman saja yakni perspektif Heidegger dan
Gadamer.
5

Tentang ranah hermeneutik dan ketidaklogisan pembatasan domainnya


hanya pada hermeneutik filosofis, Richard E. Palmer menyatakan bahwa kita bisa
menunjuk tiga kategori yang berbeda secara ekstrim dalam wilayah hermeneutik,
ketiga kategori tersebut antara lain: Hermeneutik regional (khusus) merupakan
bentuk hermeneutik yang pertama kali ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu.
Pada kategori ini, dengan maksud merumuskan kualitas penafsiran teks-teks,
dibentuk kumpulan dari kaidah-kaidah dan metode-metode untuk setiap cabang-
cabang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu hukum, linguistik, kitab-kita suci, dan
filsafat.
Dan setiap ilmu itu memiliki kumpulan kaidah dan dasar penafsiran yang
khusus untuknya. Berdasarkan hal ini, setiap ilmu memiliki hermeneutik
tersendiri yang khusus berhubungan dengan ilmu tersebut.
Dengan dalil ini, masing-masing hermeneutik ini berkaitan erat dengan
suatu tradisi pemikiran dan ilmiah tertentu. Seperti dari setiap hermeneutik yang
mengajarkan metode tafsir teks-teks suci tak akan digunakan dalam penafsiran
teks-teks literatur klasik10. Hermeneutik umum yang berfungsi menetapkan
metode pemahaman dan penafsiran. Hermeneutik ini tidak dikhususkan untuk
ilmu tertentu, melainkan diterapkan untuk semua cabang ilmu-ilmu tafsir.
Kehadiran jenis hermeneutik ini dimulai pada abad kedepanbelas dan orang
pertama yang menyusun secara sistimatik adalah teolog Jerman bernama
Schleiermacher (1768-1834 M).
Kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum hermeneutik ini menjadi tolok atas
pemahaman teks, dengan tidak memandang latar belakang teks itu. Para ahli
hermeneutik mesti berusaha menyusun dan menetapkan kaidah-kaidah umum
tersebut.
Upaya Wilhelm Dilthey semestinya berada pada wilayah ini, karena ia
menekankan ilmu manusia secara mutlak, namun, asumsinya sangat sesuai
dengan asumsi para pengkritik hermeneutik umum. Dilthey mempunyai perspektif
bahwa segala prilaku, perkataan, dan karya-karya tulis manusia mewakili
kehidupan pikiran dan internal-kejiwaan mereka.
Dan semua ilmu manusia seharusnya diarahkan dalam pencarian dan
penyingkapan kehidupan internal-kejiwaan manusia sebagai pemiliki perbuatan
dan karya-karya tulis, dan masalah bisa menjadi suatu kaidah, aturan, metode
umum dan universal. Dan tujuan utama keberadaan hermeneutik adalah menyusun
dan menetapkan kaidah dan metode ini, yakni menghadirkan secara pasti dan
benar suatu metodologi yang menjadi mizan bagi ilmu manusia.
Hermeneutik filosofis yang berupaya menganalisa secara filosofis
fenomena pemahaman itu. Oleh sebab itu, tidak terdapat kecenderungan dalam
hermeneutik ini untuk berusaha menghadirkan suatu metode, dasar, dan kaidah
yang bisa menjadi tolok ukur atas pemahaman dan penafsiran, baik itu metode
yang terkait dengan pemahaman teks atau dalam humaniora secara umum.
Namun, apabila kita mencermatinya, jenis hermeneutik ini bukan hanya peduli

10
Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, hlm, 461
6

terhadap adanya ketetapan satu metode, bahkan senantiasa menggugat metodologi


dan menyanggah suatu pernyataan yang berbunyi, “Lewat penetapan metode bisa
mencapai hakikat”11.
Dengan memperhatikan tiga kategori berbeda yang tersebut di atas, kita
tak mungkin mengkhususkan tema hermeneutik itu kepada salah satu dari ketiga
kategori itu. Ketidakmungkinan ini karena ketiga kategori tersebut di bawah
cakupan hermeneutik, dengan demikian, tak logis jika tema hermeneutik hanya
berkaitan dengan salah satu dari ketiga kategori atau perspektif itu, misalnya
hanya menekankan pada hermeneutik filosofis. Dengan realitas seperti ini, arus
hermeneutik dalam semua aspek dan bidang ilmu akan senantiasa berlanjut12.

E. Hermenutika Dan Bahasa


Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa13. Setiap kegiatan
manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan
menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam
semesta perbincangan manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan,
sebab manusia memahami dalam bahasa. (Bdk. Heidegger: Language is the house
of Being). Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna,
selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas. Pemberian
penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Oleh karena itulah, persoalan
filsafat abad ke-20 ini selalu terkait dengan persoalan bahasa. Masalah
pemahaman adalah masalah tekstual, artinya begitu kita mau memahami realitas,
ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri selalu realitas.
Bahkan Derrida secara radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is
nothing beyond the text”.14
Melalui bahasa orang berkomunikasi, namun dengan bahasa pula
seseorang bisa salah paham dan salah tafsir. Dengan kata lain, hidup ini tidak
terlepas dari aktifitas bahasa. H.G Gadamer menyatakan bahwa bahasa merupakan
modus operanding dari cara berada manusia di dunia dan juga merupakan wujud
yang seolah-olah merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini15. Bahkan Martin
Heidegger mengatakan bahwa semua pemahaman (verstehen) bersifat
kebahasaan, intensional dan historikal16.

11
Menurut Hans-Georg Gadamer, hakikat-hakikat yang ada dalam fenomena-fenomena
sejarah seperti teks, peninggalan seni, tradisi, dan sejarah itu tidak bisa dicapai lewat bantuan suatu
metode.
12
Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, hlm, 461, 464
13
Kata “Bahasa” dalam bahasa Indonesia semakna atau sama dengan kata lughat dalam
bahasa Arab, language dalam bahasa Inggris, langue dalam bahasa Perancis, taal dalam bahasa
Belanda, spraceh dalam bahasa Jerman, Kokugo dalam bahasa Jepang, dan bahasa dalam bahasa
Sangsekerta. Atas dasar perbedaan sebutan itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengertian
bahasa untuk sebagian orang masih belum tepat. Lihat Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Metode
Pembelajaran Bahasa Arab, Cetakan keempat, ( Bandung: Humaniora, 2011), hlm.2
14
Edi Mulyono, M.Ag., Dkk, Belajar Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis Menuju
Praksis Islamic Studies, Cetakan kedua, (Jogjakarta:IRCiSoD, 2013), hlm. 17
15
Sumaryono, Hermeneutika, hlm.26
16
W. Pespoprodjo, Interpretasi (Bandung: Remaja Karya, 1987), hlm.69
7

Berbahasa selalu mengandaikan adanya dua dimensi: internal dan


eksternal. Dimensi internal adalah situasi psikologis dan kehendak berfikir
(intensi). Sedangkan dimensi eksternal adalah tindakan menafsirkan dan
mengekpresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir, yaitu kata-kata yang
ditunjukan kepada “orang lain”.17 Kerena berbahasa selalu melibatkan penafsiran
kehendak batin, maka tidaklah semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil
mempresentasikan seluruh isi hati, pikiran, dan benak kita. Oleh kerenanya,
kebenaran sebuah bahasa bukan semata terletak pada susunan grametikalnya saja,
tetapi juga pada tata pikir, intensi dan implikasi dari sebuah ucapan.
Melihat Kompleksiatas kaitan antara pikiran, perasaan, ucapan, dan
tindakan, maka disadari atau tidak, setiap saat orang selalu berada dalam dunia
penafsiran (proses untuk mengerti). Hermeneutika adalah cara baru untuk
“bergaul” dengan bahasa. Jika “mengeti” selalu dikaitkan dengan bahasa –dengan
berbagai kompleksitasnya-, maka bahasa juga membatasai dirinya sendiri.
Namun, semua buah pikiran orang harus diungkapkan dengan bahasa yang ada
sesuai dengan tata bahasa yang berlaku.
Dengan demikian, urgensi hermeneutika dan penerapannya cukup luas
pada ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenchaften) atau ilmu pengetahuan
tentang kehidupan (Life science); sejarah, hukum, agama, filsafat, seni,
kesusastraan, ligusitik dan sebagainya. Jika pengalaman manusia yang
diungkapkan dalam bentuk behasa tampak asing bagi pembaca (audience), maka
perlu untuk ditafsirkan secara benar. Disinilah hermeneutika memiliki peran yang
sangat besar.

F. Hermeneutik dan Linguistik18


Linguistik adalah salah satu disiplin ilmu manusia yang tertua. Hal ini
karena bahasa itu merupakan rukun-rukun penting dan urgen dalam kehadiran
konsepsi dan transaksi pemikiran serta komunikasi sosial. Berdasarkan realitas
ini, bahasa senantiasa menjadi tema dan ranah pembahasan teoritis para pemikir.
Pilologi, aturan-aturan bahasa, makna-makna, dan estetika bahasa merupakan
kajian-kajian klasik bahasa.
Dalam era modern, terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di
wilayah penelitian bahasa yang berpuncak pada kehadiran filsafat analisis bahasa
yang memandang segala pengkajian filosofis itu mesti berangkat dari observasi
linguistik dan fungsinya.

17
Komaruddin Hidayat, memahami Bahasa Agama; sebuah kajian Hermeneutika
(Jakarta: Paramadina,1996), hlm.43
18
Kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris dalam bahasa
Inggris, linguistique dalam dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Beland) diturunkan
dari bahasa Lantin Lingua yang berarti “bahasa”. Didalam bahasa “Roman” yaitu bahasa-bahasa
yang berasal dari bahasa Latin, terdapat kata-kata serupa atau mirip dengan kata latin lingua itu.
Antara lain, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Sepanyol, langue (dan langage )
dalam bahasa Prancis. Bahasa Inggris yang memungutnya dari langage Prancis menggunakan
bentuk language. Tidak diketahui apakah kata bahasa Arab lughatun masih berkaitan dengan
deretan kata-kata di atas. Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, cetekan keempat (Jakarta: Rineka
Cipta, 2012), hlm. 2
8

Pada sisi lain, hermeneutik juga berurusan dengan teks-teks, sementara


bahasa merupakan pembentuk teks. Dengan demikian, hermeneutik juga
memandang penting masalah-masalah linguistik. Gagasan ini, juga terlontar
dalam hermeneutik klasik dan hermeneutik modern, yang terkhusus sangat
ditekankan pada hermeneutik Gadamer.
Menurut Gadamer, bahasa itu bukan hanya sebagai media penyaluran
pemahaman, melainkan pembentuk suatu pemahaman. Dengan ibarat lain, hakikat
dan substansi pemahaman itu adalah bahasa. Berdasarkan gagasan ini, ilmu
hermeneutik mempunyai hubungan erat dengan linguistik beserta cabang-cabang
dan metode-metodenya yang beragam.
Namun masing-masing ilmu tersebut merupakan disiplin-disiplin ilmu
tertentu yang mempunyai tema, ranah, metode, dan tujuan-tujuan khusus. Pada
hakikatnya, bisa dikatakan bahwa ilmu hermeneutik itu mengambil manfaat dari
pembahasan linguistik. Begitu pula linguistik, khususnya pengkajian yang
merumuskan fungsi, kaidah, dan kerangka bahasa, sangatlah terkait dengan ilmu
hermeneutik, khususnya penerapan hukum dan kaidah bahasa.
Kenyataan ini sebagaimana hubungan hermeneutik dengan ilmu logika,
yakni hermeneutik tidak mungkin melepaskan dan memisahkan dirinya dari
penggunaan metode-metode umum logika dan berpikir.

G. Kesimpulan
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau
filsafat tentang interpretasi makna . Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata
kerja Yunani hermeneuien, yang memiliki arti menfsirkan, menginterpretasiakan
atau menerjemahkan.Kajian hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah
menemukan bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara
priodik hermeneutika dapat dibedakan dalam tiga fase; klasik, pertengahan, dan
modern Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis yang
mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan pemahaman (fahm, verstehen,
understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor
yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu. Pada prinsipnya,
hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan manusia yang berkaitan
dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan
dengan bahasa
9

Daftar Fustaka
Bleicher, Josef, 1980, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method,
Philosopy, and Critique, London, Boston, and Henley: Routledge &
Kegan Paul.
Chaer, Abdul, 2012, Linguistik Umum, cetekan keempat, Jakarta: Rineka Cipta

Eliade, Mircea, t.t, The Encyclopedia of Religion, Volume 6, New York :


Macmillan Publishing Company.

E. Sumaryono, 1995, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:


Kanisius.

Fowler, Roger, 1987, A Dictionary Of Modern Critical Term, London and New
York: Routledge & Kegan Paul.

Hidayat, Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama; sebuah kajian Hermeneutika,


Jakarta: Paramadina.

Izzan, Ahmad, 2011, Metode Pembelajaran Bahasa Arab, Cetakan keempat,


Bandung: Humaniora

Mulyono, Edi Dkk, 2013, Belajar Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis


Menuju Praksis Islamic Studies, Cetakan kedua, Jogjakarta: IRCiSoD

Nashr, Sayyed Hossen ,1989, Knowledge and The Sacred, New York : State
university Press

Palmer, Richard E, 2005, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,


Cetakan II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

W. Pespoprodjo,1987, Interpretasi, Bandung: Remaja Karya

http://teosophy.wordpress.com/2009/09/14/ranah-hermeneutik-dan-korelasinya-dengan-
ilmu-lain/

Anda mungkin juga menyukai