Anda di halaman 1dari 34

1.

Sel Darah Merah


1.1 Struktur Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein dalam sel merah yang membawa oksigen dari
paru-paru ke jaringan tubuh dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Hemoglobin
terdiri dari empat molekul protein (globiln rantai) yang terhubung bersama –sama.
Hemoglobin dewasa normal (Hbg) molekul mengandung rantai 2-globulin alfa dan 2
rantai beta globulin.Pada janin dan bayi hanya ada beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobin terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma.Saat bayi tumbuh, rantai gamma
secara bertahap diganti dengan rantai beta. Setiap rantai globulin berisi struktur pusat
penting yang disebut molekul heme.Tertanam didalam molekul heme adalah besi yang
mengankut oksigen dan karbon dioksida dalam darah.Besi yang terkandung dalam
hemoglobin juga bertanggungjawan untuk warna darah merah.Hemoglobin juga
memainkan peran penting dalam mempertahankan bentuk sel dara merah.Struktur
hemoglobin abnormal bias mengganggu pembuluh darah.

Gambar 1: struktur hemoglobin

1
1.2 Proses eritropoeisis

Setiap orang memproduksi sekitar 1012 eritrosit baru tiap hari melalui proses
eritropoesis yang kompleks dan teratur dengan baik. Eritropoesis berjalan daris el induk
melalui sel progenitor CFUGEMM (unit pembentuk koloni granulosit eritrosit, monosist dan
megakaryosit), BFUE (unit pembetuk letusan eritroid) dan CFU eritroid yang menjadi
precursor eritrosit dan dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang yaitu pronormoblas.
Pronormoblas adalah sel besar denga sitoplasma biru tua dengan inti di tengah dan
nucleoli serta kromatin yang sedikit menggumpal. Pronormoblas menyebabkan
terbentuknya satu rangkaian normoblas yang semakin kecil melalui sejumlah pembelahan
sel. Normoblas ini juga mengandung hemoglobin yang makin banyak dalam sitoplasma ,
warna sitoplasma biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan apparatus yang
mensintesis protein, sedangkan kromatin initi menjadi semakin padat. Inti akhirnya
dikeluarkan dari normoblas dan kemudian berlanjut di dalam sumsum tulang dan
menghasilkan retikulosit yang masih mengandung sedikit RNA ribosom dan masih
mampu mensistesis hemoglobin. Sel ini sedikit lebih besar daripada eritrosit matur berada
selama 1 – 2 hari dalam sumsum tulang dan juga beredar di darah tepi selama 1 – 2 hari
sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya.
Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya memiliki bentuk cakram
bikonkaf tak berinti.Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel
darah merah berinti ( normoblas) tampak dalam darah apabila eritropoesis terjadi diluar
sumsum tulang ( eritropoesis ekstramedullar) dan juga terdapat pada beberapa penyakit
sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan dalam darah tepi manusia normal.Prekurosr
eritrosit paling awal adalah proeritroblas. Sel ini relative lebih besar dengan garis tengah
12 µm sampai 15 µm. Kromatin dalam intinya yang bulat besar tampak berupa granula
halus dan biasanya terdapat dua nukleolus nyata. Sitoplasmanya jelas basofilik.
Sementara proeritroblas berkembang, jumlah ribosom dan polisom yang tersebar merata
makin bertambah dan lebih menonjolkan basofilianya
Turunan proeritroblas disebut eritroblas basofilik.Sel ini agak lebih kecil daripada
proeritroblas.Intinya yang lebih bulat lebih kecil dan kromatinnya lebih
padat.Sitoplasmanya bersifat basofilik merata karena banyak polisom, tempat pembuatan
rantai globin untuk hemoglobin.Sel pada tahap perkembangan eritroid disebut eritroblas
2
polikromatofilik.Warna prokrormatofilik yang tampak terjadi akibat polisom menangkap
zat warna basa pada pulasan darah, sementara hemoglobin yang dihasilkan mengambil
eosin.Inti eritroblas prokromatofilik seidkit lebih kecil daripada inti eritroblas basofilik
dan granula kromatinnya yang kasar berkumpul sehingga mengakibatkan inti tampak
sangat basofilik.Pada tahap ini tidak tampak anak inti. Eritroblas polikromatofilik
merupakan sel paling akhir pada seri eritroid yang akan membelah.
Pada tahap pematangan berikutnya disebut dengan normoblas inti yang terpulas
gelap mengecil dan piknotik.Inti ini secara aktif dikeluarkan sewaktu sitoplasmanya
masih agak polikromatofilik, dan terbentuklah eritrosit polikromatofilik.Eritrosit
polikromatofilik lebih mudah dikenali sebagai retikulosit dengan polisom yang masih
terdapat dalam sitoplasma berupa retikulum.

Gambar 2: proses eritropoiesis

2. Anemia
2.1 Definisi
3
Pucat atau anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar Hb di bawah normal :
anak 6 bulan-6 tahun Hb normal > 11g%, anak di atas 6 tahun > 12g% sehingga terjadi
penurunan kemampuan darah untuk menyalurkan oksigen ke jaringan. Dengan demikian
anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik yang teliti serta
pemeriksaan laboratorium yang menunjang. Manifestasi klinik yang timbul tergantung
pada kecepatan timbulnya anemia, umur individu, serta mekanisme kompensasi tubuh
seperti peningkatan curah jantung dan pernapasan, meningkatkan pelepasan oksigen oleh
hemoglobin, mengembangkan volume plasma, redistribusi aliran darah ke organ-organ
vital (Yuindartato, 2012).
2.2 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian:
 Anemia defisiensi, anemia yang terjadi akibat kekurangan faktor-faktor
pematangan eritrosit, seperti defisiensi besi, asam folat, vitamin B12, protein,
piridoksin dan sebagainya.
 Anemia aplastik, yaitu anemia yang terjadi akibat terhentinya proses pembuatan
sel darah oleh sumsum tulang.
 Anemia hemoragik, anemia yang terjadi akibat proses perdarahan masif atau
perdarahan yang menahun.
 Anemia hemolitik, anemia yang terjadi akibat penghancuran sel darah merah yang
berlebihan. Bisa bersifat intrasel seperti pada penyakit talasemia, sickle cell
anemia/ hemoglobinopatia, sferosis kongenital, defisiensi G6PD atau bersifat
ektrasel seperti intoksikasi, malaria, inkompabilitas golongan darah, reaksi
hemolitik pada transfusi darah.
Menurut morfologi eritrosit:
 Anemia mikrositik hipokromik (MCV < 80 fl ; MCH < 27 pg)
- Anemia defisiensi besi
- Thalassemia
- Anemia akibat penyakit kronis
- Anemia sideroblastik
 Anemia Normokromik Normositik (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)
- Anemia pascaperdarahan akut
- Anemia aplastik-hipoplastik
- Anemia hemolitik- terutama didapat
4
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada gagal ginjal kronik
- Anemia pada mielofibrosis
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia pada leukemia akut
 Anemia Makrositik
- Anemia megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
 Nonmegaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroid
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anak didiagnosa menderita anemia, menurut *Word Health Organization* jika


kadar Hb kurang dari 12 g/dL untuk usia lebih dari 6 tahun dan kurang dari 11 g/dL usia
di bawah 6 tahun.
Tanda dan gejala yang sering timbul adalah sakit kepala, pusing, lemah, gelisah,
diaforesis (keringat dingin), takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat
atau syok, dan pucat (dilihat dari warna kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut
dan konjungtiva). Selain itu juga terdapat gejala lain tergantung dari penyebab anemia
seperti jaundice, urin berwarna hitam, mudah berdarah dan pembesaran lien.
Untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan sel darah merah secara lengkap, pemeriksaan kadar besi, elektroforesis
hemoglobin dan biopsi sumsum tulang (Rusdiana, 2012).
Untuk penanganan anemia diadasarkan dari penyakit yang menyebabkannya
seperti jika karena defisiensi besi diberikan suplemen besi, defisiensi asam folat dan
vitamin B12 dapat diberikan suplemen asam folat dan vitamion B 12, dapat juga dilakukan
transfusi darah, splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang (Sari, 2012).

2.2.1 Anemia Defisiensi Besi

2.2.1.a Definisi

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoiesis karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya

5
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Sebelum timbul gejala, terdapat 2
stadium awal yaitu stadium deplesi besi (iron depletion state) yang di tandai dengan
penurunan kadar serum tanpa penurunan kadar besi serum (SI) maupun Hb, dan stadium
kekurangan besi (iron deficiency state) yang ditandai oleh penurunan ferritin serum dan
SI tanpa penurunan kadar hemoglobin.

2.2.1.b Epidemiologi
Berdasarkan hasil–hasil penelitian terpisah yang dilakukan dibeberapa tempat di
Indonesia pada tahun 1980-an, prevalensi anemia pada wanita hamil 50-70%, anak belita
30-40%, anak sekolah 25-35% dan pekerja fisik berpenghasilan rendah 30-40% (Husaini
1989). Menurut SKRT 1995, prevalensi rata–rata nasional pada ibu hamil 63,5%, anak
balita 40,1% (kodyat, 1993). Prevalensi ADB pada anak di Negara sedang berkembang
masih tinggi. Pada anak sekolah dasar umur 7-13 tahun di Jakarta(1999) di dapatkan 50%
dari seluruh anak penderita anemia adalah ADB.
2.2.1.c Etiologi
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), ADB dapat
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung.Faktor
penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah,
kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe
dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak
yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi
penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel
hewan.Di dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan
bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut
mioglobin di dalam sel-sel otot.
Beberapa penyebab anemia defisiensi besi menurut umur :
 Bayi umur < 1 tahun
Persediaan besi yang kurang : BBLR atau bayi kembar, ASI eksklusif
tanpa supplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemia
semasa kehamilan
 Anak umur 1-2 tahun

6
- Masukan besi kurang karena tidak dapat makanan tambahan (hanya minum
susu)
- Kebutuhan meningkat : infeksi berulang/menahun
- Malabsorbsi
 Anak umur 2-5 tahun
- Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
- Kebutuhan meningkat karena infeksi menahun/berulang
- Perdarahan hebat
 Anak umur 5 tahun - masa remaja
- Kehilangan besi akibat perdarahan: infeksi parasit dan polip
 Usia remaja – dewasa
- Pada wanita, karena menstruasi berlebihan
2.2.1.d Faktor resiko

Diet Prenatal/perinatal Sosial

Minum susu sapi Anemia semasa hamil Sosial ekonomi rendah

Susu formula rendah Bayi berat badan lahir rendah Pertumbuhan cepat
besi
Prematuritas
ASI eksklusif tanpa
Kehamilan kembar
supplementasi besi

2.2.1.e Metabolisme besi dalam tubuh


Besi diabsorsi dalam usus halus (duodenum dan yeyenum) proksimal.Besi yang
terkandung dalam makanan ketika dalam lambung dibebaskan menjadi ion fero dengan
bantuan asam lambung (HCL). Kemudian masuk ke usus halus dirubah menjadi ion fero
dengan pengaruh alkali, kemudian ion fero diabsorpsi, sebagian disimpan sebagai
senyawa feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein
(transferin) yang akan digunakan kembali untuk sintesa hemoglobin. Sebagian dari
transferin yang tidak terpakai disimpan sebagai labile iron pool. Penyerapan ion fero
dipermudah dengan adanya vitamin atau fruktosa, tetapi akan terhambat dengan fosfat,
oksalat, susu, antasid. Berikut bagan metabolisme besi :

7
Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme dan besi non hem.Besi
non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanannya.Terdapat dalam semua
jenis sayuran misalnya sayuran hijau, kacang ± kacangan, kentang dan sebagian dalam
makanan hewani. Sedangkan besi heme hampir semua terdapat dalam makanan hewani
antara lain daging, ikan, ayam, hati dan organ ± organ lain.
Setiap hari turnover besi ini berjumlah 35mg, tetapi tidak semuanya harus di
dapatkan dari makanan.Sebagian besar yaitu sebanyak 34mg di dapat dari penghancuran
sel-sel darah merah tua, yang kemudian di saring tubuh untuk dapat dipergunakan lagi
oleh sum-sum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah yang baru.

8
2.2.1.f Penyerapan Zat besi
Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu :
 Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang dibutuhkan.Bila
besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan meningkat.
 Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan penyerapan
Asam klorida akan mereduksi Fe3+menjadi Fe2+ yang lebih mudah diserap oleh
mukosa usus.
 Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat meningkatkan
bsorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri menjadi ferro. Vitamin C dapat
meningkatkan absorbsi besi dari makanan melalui pembentukan kompleks ferro
askorbat. Kombinasi 200 mg asam askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan
penyerapan besi sebesar 25 – 50 %
9
 Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentukny kompleks besi fosfat
yang tidak dapat diserap.
 Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
 Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe
 Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan Fe.
 Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe
 Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan bertambah tuanya umur
bayi perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi yang lahir prematur dari pada bayi
yang lahir cukup bulan. Jumlah zat besi akan terus berkurang apabila susu diencerkan
dengan air untuk diberikan kepada bayi.
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya paling
tinggi.Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan susu sapi
hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 – 12% zat besi. Kebanyakan susu formula untuk
bayi yang terbuat dari susu sapi difortifikasikan denganzat besi. Rata – ratabesi yang
terdapat diabsorbsi dari susu formula adalah 4%.
Pada waktu lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/kg berat badan, dan
reserve zat besi kira – kir 25% dari jumlah ini. Pada umur 6 – 8 mg, terjadi penurunan
kadar Hb dari yang tertinggi pada waktu lahir menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena
ada perubahan besar pada sistem erotropoiesis sebagai respon terhadap deliveri oksigen
yang bertambah banyak kepada jringan kadar Hb menurun sebagai akibat dari
penggantian sel – sel darah merah yang diproduksi sebelum lahir dengan sel – sel darah
merah baru yang diproduksi sendiri oleh bayi. Persentase zat besi yang dapat diabsorbsi
pada umur ini rendah karena masih banyaknya reserve zat besi dalam tubuh yang
dibawah sejak lahir. Sesudah umur tersebut, sistemeritropoesis berjalan normal dan
menjadilebih efektif. Kadar Hb naik dari terendah 11 mg/100 ml menjadi 12,5 g/100 ml,
pada bulan – bulan terakhir masa kehidupan bayi.
Bayi yang lahir BBLR mempunyai reserve zat besi yang lebih rendah dari
bayiyang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap
berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal,sehingga
reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini
lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup
10
mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang
normal.
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan karena
makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana serelia dipergunakan
sebagai makanan pokok. Faktor budaya juga berperanan penting, bapak mendapat
prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan hewani,sedangkan anak dan ibu
mendapat kesempatan yang belakangan. Selain itu erat yang biasanya terdapat dalam
makanannya turut pula menhambat absorbsi zat besi.
2.2.1. g Patofisiologi
Deplesi Fe ditandai dengan penurunan cadangan Fe yang tercermin dari
berkurangnya konsentrasi serum ferritin.Selanjutnya terjadi peningktan absorpsi Fe
akibat menurunnya level Fe tubuh.Manifestasi keadan ini menimbulkan eritropoeisis
defisiensi Fe (defisiensi Fe tanpa anemia), cadangan Fe menipis dan produksi Hb
terganggu. Meskipun konsentrasi Hb di atas cut off point kategori anemia, namun terjadi
pengurangan transferin saturasi yaitu jumlah suplai Fe ke sumsum tulang tidak cukup,
meningkatnya konsentrasi eritrosit protoporfirin karena kekurangan Fe untuk membentuk
Hb. Diakhiri tahapan defisiensi Fe, anemia di tandai dengan konsentrasi Hb atau
hematokrit di bawah batas normal
2.2.1.h Gejala Klinis
 Lemas, pucat dan cepat lelah
 Sering berdebar-debar
 Sakit kepala dan iritabel
 Pucat pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku
 Konjungtiva okuler berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white)
 Adanya koilnikia, glositis dan stomatitis angularis
 Papil lidah atrofi : lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah, meradang dan sakit.
 Jantung dapat takikardi
 Jika karena infeksi parasit cacing akan tampak pot belly
 Limpa dapat membesar tapi umumnya tidak teraba

11
2.2.1.i Diagnosis
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan suatu anemia
defisiensi Fe :
1. Menurut WHO
· Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
· Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata menurun
· Kadar Fe serum menurun
· Saturasi transferin <15 % (N : 20-50 %)
2. Menurut Cook dan Monsen
· Anemia hipokrom mikrositer
· Saturasi transferin menurun
· Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
· Kadar feritin serum menurun
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria harus dipenuhi

3. Menurut Lankowsky
· Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun
· FEP meningkat
· Feritin serum menurun
· Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST menurun
· Respon terhadap pemberian preparat besi
2.2.1.j Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah tepi lengkap, MCV, MCHC,MCH
- Kadar Hb rendah, Ht menurun dengan penurunan nilai MCV dan MCH
- Jumlah eritrosit umumnya normal, tapi kadang menurun
- Jumlah leukosit dan hitung jenis biasanya normal kecuali disertai infeksi.
- Peningkatan trombosit jarang ditemukan
 Sediaan apus darah tepi (SADT)
- Mikrositik hipokrom
 Serum iron dan ferittin rendah, TIBC meningkat
12
 Pewarnaan besi pada jaringan sumsum tulang
 Pemeriksaan lain:
- Darah samar feses : perdarahan gastrointestinal
- Parsitologi : infeksi parasit

2.2.1.k Penatalaksanaan
Pengobatan sudah harus di mulai pada stadium dini untuk mencegah terjadinya
anemia defisiensi besi. Umumnya, tatalaksana ADB di lakukan secara kausal tergantung
penyebab yang memicu terjadinya ADB
1) Pemberian zat besi
 Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal, dilanjutkan sampai
cadangan besi terpenuhi. Ebaiknya dalam bentuk ferro karena lebih mudah
di serapp daripada bentuk ferri
 Dapat diberikan secara oral atau parentral dengan dosis 3-5mg/kgBB di
bagi dalam dua dosis, segera sesudah makan. Pemberiaan oral merupakan
cara yang mudah, murah dan memuaskan
 Pemberiaan parentral dilakukan bila dengan pemberian oral gagal,
misalnya akibat malabsorbsi atau efek samping yang berat pada saluran
cerna. Pemberiaan parentral kurang di gunakan karena boleh
menyebabkan syok anafilaktik
 Evaluasi hasil pengobatan dinilai dengan pemeriksaan Hb dan retikulosit
seminggu sekali serta pemeriksaan SI dan ferritin sebulan sekali
 Terapi harus diteruskan sampai 2 bulan setelah Hb normal
 Sulfas ferosus : 3 x 10mg/kgBB
 Vitamin C : 3x100mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi
13
2) Transfusi darah
 Di berikan bila kadar Hb < 6g/dl atau kadar Hb > 6g/dl disertai lemah,
gagal jantung, infeksi berat atau menjalani operasi
 Dalam bentuk suspensi sel darah merah (PRC)
3) Diet
 Sumber hewani : hati, daging, ikan
 Sumber nabati : bayam,gandum, kacang kedelai, beras
 Kadar besi pada sumber hewani lebih tinggi di bandingkan dengan nabati
karena penyerapan besi nabati dihambat oleh tannin, kalsium dan serat dan
di percepat oleh vitamin C, HCl, asam amino dan fruktosa
 Makanan tinggi vitamin C : jeruk
4) Edukasi
2.2.1.l Pencegahan
 Primer : pemberian ASI saja setelah usia 6 bulan dapat menyebabkan defisiensi
besi, oleh sebab itu perlu supplementasi besi sebagai pencegahan. Bila
menggunakan susu formula, pilihlah formula yang di fortifikasi dengan besi
 Sekunder : Bayi yang memiliki satu atau lebih faktor resiko harus menjalani
skrining ADB. Skrining tersebut meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar
ferritin dalam serum dan saturasi ferritin
 Gizi :
- Berikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama setelah lahir.
- Bayi usia kurang dari 1 tahun yang tidak mendapatkan ASI, sebaiknya
diberikan susu formula dengan kandungan zat besi 12 mg/L.
- Bayi usia 6 bulan ke atas bisa diberikan sereal dengan tambahan zat besi serta
vitamin C secukupnya untuk membantu penyerapan zat besi.
- Pertimbangkan juga untuk memberikan anak usia di atas 6 bulan bubur
dengan daging yang dihaluskan.
2.2.1.m Prognosis
Prognosa baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinisnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

2.2.2 Anemia Megaloblastik


2.2.2.a Definisi
Anemia megloblastik adalah anemia makrositik yang ditandai dengan adanya
peningkatan ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh abnormalitas hematopoiesis
14
dengan karakteristik dismaturasi nucleus dan sitoplasma sel myeloid dan eritroid sebagai
akibat gangguan sintesis DNA. Sel- sel yang terserang adalah sel yang relative
mempunyai pergantian yang cepat seperti prekursor hemotopoietik dalam sumsum tulang
dan epitel mukosa saluran cerna. Walaupun pembelahan sel berjalan lamban,
perkembangan sitoplasma berjalan normal sehingga sel cenderung menjadi besar.
Pertumbuhan inti dan sitoplasma yang tidak sejajar merupakan salah satu kelainan
morfologi utama yang terlihat di sumsum tulang.
2.2.2.b Etiologi

Hampir seluruh kasus anemia megaloblastik pada anak (95%) disebabkan oleh
defisiensi asam folat atau vitamin B12, yang disebabkan oleh gangguan metabolism
sangat jarang. Keduanya merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam sintesis
nucleoprotein, keadaan defisiensi tersebut akan menyebabkan gangguan sintesis DNA
dan selanjutnya akan mempengaruhi RNA dan protein.
2.2.2.c Penyebab anemia megaloblastik:
a) Defisiensi asam folat
- Asupan yang kurang: kemiskinan, ketidaktahuan, faddism, cara pemasakan,
pemakaian susu kambing, malnutrisi, diet khusus untuk fenilketonuria,
prematuritas, pasca cangkok sumsum tulang
- Gangguan absorbsi: congenital dan didapat
- Kebutuhan yang meningkat (percepatan pertumbuhan, anemia hemolitik
kronis, penykit keganasan, keadaan hipermetabolisme, penyakit kulit
ekstensif, sirosis hepatis, pasca cangkok sumsum tulang.
- Gangguan metabolime asam folat
- Peningkatan eksresi: dialysis kronis,penyakit hati dan penyakit jantung
b) Defisiensi vitamin B12.
- Asupan kurang: diet kurang mengandungi vitamin B12, defisiensi pada ibu
yang menyebabkan defisiensi vit B12 ada ASI
- Gangguan absorbsi: kegagalan sekresi faktor intrinsic, kegagalan absorbs di
usus kecil.
- Gangguan transport vitamin B12
- Gangguan metabolime vitamin B12
15
c) Lain-lain:
- Gangguan sintesis DNA congenital dan didapat.

Keadaan lain yang berhubungan dengan anemia megaloblastik adalah defisiensi


asam askorbat, tokoferol dan tiamin.
2.2.2.d Manifestasi klinis
Gejala klinik sering timbul perlahan-lahan berupa pucat, mudah lelah dan
anoreksia. Gejala pada bayi yang menderita defisiensi asam folat adalah iritabel, gagal
mencapat berat badan yang cukup dan diare kronis. Perdarahan karena trombositopenia
terjadi pada kasus yang berat. Pada anak yang lebih besar gejala dan tanda yang muncul
berhubungan dengan anemianya dan proses patologis penyebab defisiensi asam folat
tersebut. Defisiensi asam folat sering menyertai kwarshiorkor, marasmus atau sprue.
Anemia megaloblastik ringan dilaporkan terjadi pada bayi lahir sangat rendah
sehingga dianjurkan untuk diberikan suplementasi asam folat secara rutin. Puncak insiden
anemia megaloblastik terjadi pada usia 4-7 bulan.
Pada anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12 disamping gejala yang
tidak spesifik seperti lemah, lelah, gagal tumbuh atau iritabeljuga ditemukan gejala
pucat, glositis, muntah, diare dan ikterus. Kadang-kadang timbul gejala neurologis seperti
parestesia, deficit sensori, hipotonia, kejang, keterlambatan perkembangan regresi
perkembangan dan perubahan neuropsikiatrik. Masalah neurologis karena defisiensi
vitamin B12 dapat terjadi pada keadaan yang tidak disertai kelainan hematologis.
Anemia pernisiosa merupakan anemia yang disebabkan karena kerusakan faktor
intrinsic yang dihasilkan sel parietal gaster oleh karena aktivitas lymphocyte mediated
immune. Kekurangan FI menyebabkan terjadinya malabsorbsi vitamin B12.
2.2.2.e Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium anemia megaloblastik karena defisiensi asam
folat didapatkan anemia makrositik (MCV>100Fl), anisositosis dan poikilositosis,
retikulositopenia dan sel darah merah berinti dengan morfologi megaloblastik. Pada
defisiensi yang lama dapat disertai trombositopenia dan neutropenia. Neutrofil besar-
besar dengan nucleus hipersegmentasi. Kadar asam folat serum menurun. Pada defisiensi
kronis kadar folat dalam sel darah merah merupakan indicator yang paling baik. Kadar
16
besi dan vitamin B12 serum normal atau meningkat. Kadar LDH meningkat jelas.
Sumsum tulang hiperseluler karena terdapat hyperplasia eritroid. Perubahan
megaloblastik jelas meski masih ditemukan precursor sel darah merah yang normal.
Pada anemia karena defisiensi vitamin B12, kadar vitamin B12
<100pg/ml(menurun). Kadar besi dan asam folat serum normal atau meningkat. Kadar
LDH meningkat menggambarkan adanya eritropoiesis yang tidak efektif. Dapat disertai
peningkatan kadar bilirubin sampai 2-3 mg/dl. Masa hidup eritrosit berkurang. Terdapat
peningkatan ekskresi asam metilmalonik dalam urin dan ini merupakan indeks defisiensi
vitamin B12 ynag sensitive. Pda pemeriksaan tes Schilling dengan cara radiolabeled B12
absorption test akan menunjukkan absorbs kobalamin yang rendah yang menjadi normal
setelah pemberian faktor intrinsic lambung.
2.2.2.f Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis ditemukan keluhan karena gejala anemianya,
kemudian dicari informasi kea rah faktor etiologi atau predisposisi seperti riwayat diet,
riwayat operasi, riwayat pemakaian obat-obatan sepeti antibiotic, antikonvulsan, gejala
saluran cerna seperti malabsorbsi, diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemia,
ikterus ringan, lemon yellow skin, glositis, stomatitis, purpura, neuropati. Pemeriksaan
laboratorium awal adalah pemeriksaan darah rutin termasuk indeks eritrosit, apus darah
tepi dan sumsum tulang. Selanjutnya untuk diagnosis pasti dilakukan pemeriksaan kadar
asam folat, vitamin B12 dan tes Schilling sesuai indikasi.
2.2.2.g Penatalaksanaan
1) Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat
Terapi awal dimulai dengan pemberian asam folat dengan dosis 0.5-1mg/hari,
diberikan peroral atau parenteral. Respon klinis dan hematologis dapat timbul segera,
dalam 1-2 hari terlihat perbaikan nafsu makan dan keadaan membaik. Dalam 24-
48jam terjadi penurunan kadar besi serum dan dalam 2-4 hari terjadi peningkatan
kadar retikulosit yang mencapai puncaknya pada hari 4-7, diikuti kenaikan kadah Hb
menjadi normal dalam waktu 2-6 minggu. Lamanya pemberian asam folat tidak
diketahui secara pasti, namun biasanya terapi diberikan selama beberapa bulan
sampai terbentuk populasi eritrosit yang normal. Pendapat lain menyatakan
17
pemberian asam folat dilanjutkan selama 3-4 minggu sampai sudah terjadi perbaikan
hematologis yang menetap, dilnjutkan pemeliharaan dengan multivitamin yang
mengandung 0.2mg asam folat.
Pada keadaan diagnosis pasti masih diragukan dapat dilakukan tes diagnostic
dengan pemberian preparat asam folat dosis kecil 0.1mg/ hari selama 1 minggu
karena respon hematologis diharapkan sudah terjadi dalam 72 jam. Dosis yang lebih
besar dapat memperbaiki anemia karena defisiensi vitamin B12 namun dapat
memperburuk kelainan neurologisnya. Transfuse diberikan hanya pada keadaan
anemia yang sangat berat
2) Anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12
Respon hematologis segera terjadi setelah pemberian vitamin B12 1mg
parenteral, biasanya terjadi retikulosis pada hari 2-4, kecuali jika disertai denga
penyakit inflamasi. Kebutuhan fisiologis vitamin B12 adalah 1-5ug/hari dan respon
hematologis telah terjadi pada pemberian vitamin B12 dosis rendah, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian dosis rendah dapat dilakukan sebagai tes terapeutik
pada keadaan diagnosis defisiensi vitamin B12 masih diragukan. Jika terjadi
perbaikan neurologis, harus diberikan injeksi vitamin B12 1 mg intramuscular
minimal selama 2 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan seumur
hidup dengan cara pemberian injeksi 1mg vitamin B12/ bulan. Pada keadaan risiko
terjadi defisiensi vitamin B12(seperti pada gastrektomi total, reseksi ileum) dapat
diberikan pemberian vitamin B12 profilaksis.
2.2.2.h Prognosis
Pada umumnya baik, kecuali bila ada komplikasi kardiovaskular atau infeksi yang
berat.

2.2.3 Anemia Aplastik


2.2.3.a Definisi
Keadaan yang disebabkan berkurangnya sel-sel darah dalam darah tepi sebagai
akibat terhentinya pembentukan sel hemapoetik dalam SSTL, sehingga penderita
mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan
trombosit.Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom,
hitung retikulosit rendah atau hilang, biopsi sumsum tulang menunjukkan keadaan yang
18
disebut pungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi penggantian dengan
jaringan lemak (Yuindartato, 2012).
2.2.3.b Klasifikasi
Anemia aplastik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
 Kongenital
Timbul perdarahan bawah kulit diikuti dengan anemia progresif dengan clinical
onset 1,5-22 tahun, rerata 6-8 tahun. Salah satu contoh adalah sindrom fanconi
yang bersifat constitusional aplastic anemia resesif autosom, pada 2/3 penderita
disertai anomali kongenital lain seperti mikrosefali, mikroftalmi, anomali jari,
kelainan ginjal, perawakan pendek, hiperpigmentasi kulit.
 Didapat
disebabkan oleh radiasi sinar rontgen dan sinar radioaktif, zat kimia (seperti
benzena, insektisida, As, Au, Pb), obat-obatan (seperti kloramfenikol, busulfan,
metotrexate, sulfonamide, fenilbutazon), individual seperti alergi, infeksi seperti
hepatitis, serta sebab-sebab lain seperti keganasan, penyakit ginjal, penyakit
endokrin. Yang paling sering bersifat idiopatik.
2.2.3.c Patofisiolog
Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini yaitu:
 Kerusakan sel induk hematopoietic
 Kerusakan lingkungan mikrosumsum tulang
 Proses imunologik yang menekan hematopoiesis
Keberadaan sel induk hematopoietic dapat diketahui lewat petanda sel yaitu CD
34, atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoietic dikenal
sebagai longterm culture-initiating cell(LTC-IC), longterm marrow culture (LTMC),
jumlah sel induk/CD 34 sangat menurun hingga 1-10% dari normal. Demikian juga
pengamatan pada cobble-stone area forming cell jumlah sel induk sangat menurun. Bukti
klinis yang menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi
sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian sel
induk dari luar akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada anemia aplastik. Beberapa
sarjana menganggap gangguan ini disebabkan olh proses imunologis.

19
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk hematopoietic
tergantung pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri dari sel stroma yang
menghasilkan berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel stroma
sumsum tulang pasien anemia aplastik tidak menunjukkan kelainan dan menghasilkan
sitokin perangsang dalam jumlah normal sedangkan sitokin penghambat akan meningkat.
Sel stroma dapat menunjang pertumbuhan sel induk,tapi sel stroma normal tidak dapat
menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar tmuan tersebut, teori
kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang main banyak ditinggalkan.
Pada pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin atau metilprednisolon
memberi kesembuhan sekitar 75% dengan ketahanan hidup jangka panjang menyamai
hasil transplantasi sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi ini sangat mendukung
teori proses imunologik.
2.2.3.d Gejala klinis dan hematologis
Secara klinis anak tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti
anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena
sifatnya aplasia sistem hematopoietic, maka umumnya tidak ditemukan ikterus,
pembesaran limpa, hepar maupun kelenjar getah bening.
2.2.3.e Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan tanpa adanya
organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relative.
Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsy sumsum tulang yaitu gambaran
sel sangat kurang, anyak jaringan penyokong dan jaringan lemak, aplasia sistem
eritropoietik, granulopoietik dan trombopoietik. Di antara sumsum tulang yang sedikit ini
banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).
2.2.3.f Pengobatan
 Pengobatan terhadap infeksi
Anak diisolasi dalam ruang khusus. Pemberian obat antibiotic hendaklah
dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang.
 Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfuse darah. Hendaknya
harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin
20
yang tinggi karena dengan transfuse darah yang terlampau sering, akan timbul depresi
terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi
transfusi), akibat dibentuknya antibody terhadap sel darah merah, leukosit dan
trombosit. Dengan demikian transfusi diberikan bila diperlukan. Pada keadaan yang
sangat gawat(perdarahan massif, perdarahan otak) dapat diberikan suspense
trombosit.
 Tranplantasi sumsum tulang
Ditetapkan sebagai terapi terbaik pada pasien anemia aplastik. Donor yang
terbaik berasal dari saudara kandung dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)nya
cocok.
2.2.3.g Prognosis
Bergantung pada:
 Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler
 Kadar HbF yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
 Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik
 Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi
masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.
2.2.4. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit
100-120 hari). Gejala umum penyakit ini disebabkan adanya penghancuran eritrosit
sehingga dapat menimbulkan gejala anemi, bilirubin meningkat bila fungsi hepar buruk
dan keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran
tersebut (hipereaktif eritropoetik) sehingga dalam darah tepi dijumpai banyak eritrosit
berinti, retikulosit meningkat, polikromasi, bahkan eritropoesis ektrameduler. Adapun
gejala klinis penyakit ini berupa : menggigil, pucat, cepat lelah, sesak napas, jaundice,
urin berwarna gelap, dan pembesaran limpa.
Penyakit ini dapat dibagi dalam 2 golongan besar yaitu :
 Gangguan Intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena ada gangguan dalam
metabolisme. Dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
21
Gangguan pada struktur dinding eritrosit
- Sferositosis
Umur eritrosit pendek, bentuknya kecil, bundar dan resistensi terhadap
NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar dan sering disertai ikhterus,
jumlah retikulosit meningkat. Penyebab hemolisis pada penyakit ini disebabkan
oleh kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia lebih menyolok
dibanding dengan ikhterus. Suatu infeksi yang ringan dapat menimbulkan krisis
aplastik. Utnuk pengobatan dapat dilakukan transfusi darah dalam keadaan kritis,
pengangkatan limpa pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3
tahun), roboransia (Samitta, 2000).
- Ovalositosis (eliptositosis)
50-90% Eritrosit berbentuk oval (lonjong), diturunkan secara dominan,
hemolisis tidak seberat sferositosis, dengan splenektomi dapat mengurangi proses
hemolisis.
- A beta lipoproteinemia
Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak
pada dinding sel (Samitta, 2000).
- Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah.
 Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit
- Defisiensi G6PD
Akibat kekurangan enzim ini maka glutation (GSSG) tidak dapat
direduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi (GSH) diduga penting untuk
melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan. Diturunkan secara
dominan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih nyata pada laki-laki. Proses
hemolitik dapat timbul akibat atau pada : obat-obatan (asetosal, sulfa, obat anti
malaria), memakan kacang babi, alergi serbuk bunga, bayi baru lahir. Gejala klinis
yang timbul berupa cepat lelah, pucat, sesak napas, jaundice dan pembesaran
hepar. Untuk terapi bersifat kausal.
- Defisiensi glutation reduktase
Disertai trombositopenia dan leukopenia dan disertai kelainan neurologis.
22
- Defisiensi glutation
Diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
- Defisiensi piruvat kinase
Pada bentuk homozigot berat sekali sedang pada bentuk heterozigot tidak
terlalu berat. Khas dari penyakit ini adanya peninggian kadar 2,3 difosfogliserat
(2,3 DPG). Gejala klinis bervariasi, untuk terapi dapat dilakukan tranfusi darah.
- Defisiensi triose phosphatase isomerase (TPI)
Menyerupai sferositosis tetapi tidak ada peningkatan fragilitas osmotik dan
hapusan darah tepi tidak ditemnukan sferosit. Pada bentuk homozigot bnersiaft
lebih berat.
- Defisiensi difosfogliserat mutase
- Defisiensi heksokinase
- Defisiensi gliseraldehide 3 fosfat dehidrogenase
Ketiga jenis terakhir diturunkan secara resesif dan diagnosis ditgakkan
dengan pemeriksaan biokimia.

3. Chronic Kidney Disease


3.1 Definisi
Definisi yang tercantum dalam clinical practise guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari
criteria dibawah ini :

23
Tabel 3.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,


berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

 Kelainan Patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium


Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

3.2 Epidemiologi
Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak.
Menurut laporan 2006, kejadian Gagal Ginjal Terminal (GGT) / End-Stage Renal
Disease (ESRD) di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu
juta. Studi kohort yang dilakukan dari Chronic Renal Insufficiency arm of the North
American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) menunjukkan
persentase 19% pada kelompok usia 0-1tahun,17% pada kelompok usia 2-5tahun, 33%
pada kelompok usia 6-12tahun, 31% pada kelompok usia diatas 12 tahun.
Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada.
Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988)
menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan PGK sebesar 4.9%
dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita
penyakit ginjal yang berobat jalan. CKD pada anak umumnya disebabkan oleh karena
penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari
seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam
periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17% (IDAI, 2011).
24
3.3 Etiologi
Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan congenital
misalnya displasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia > 5 tahun sering
disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik) dan penyakit
didapat (glomerulonefritis kronis).
3.4 Klasifikasi

Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan,


identifikasi awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan
komplikasi CKD. Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi
glomerulus, yaitu stadium lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah.

Tabel 3.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
1,4

LFG
Derajat Penjelasan
(ml/menit/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
1 > 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
2 60 – 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan penurunan
3 30 – 59
LFG sedang
4 Gagal Ginjal 15 – 29
5 < 15 atau dialisis
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium
25
Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

Nilai LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena LFG dapat
menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat dihitung berdasarkan
rumus berikut:

K X TB (cm)

LFG (mL/menit/1,73 m2) =

Kreatinin serum (mg/dL)

 K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1
tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55
untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan
0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
 TB=tinggi badan
3.5 Patogenesis
Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh sebab
struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun penyebab
utamanya telah dihilangkan. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder
yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada CKD. Bukti lain
yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya gambaran histologik ginjal
yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut.
Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
gagal ginjal terminal (GGT) atau Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD)
Hyperfiltration injury / cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari kerusakan
glomerulus,dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari kerusakan
ginjal. Dengan hilangnya nefron , sisa nefron yang lain mengalami hipertrofi struktural
dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah glomerular. Kekuatan
pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron yang masih hidup. Meskipun
mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat memelihara fungsi ginjal , hal ini dapat
26
menimbulkan kerusakan progresif pada glomeruli yang masih hidup,disebabkan efek
langsung dari peningkatan tekanan hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau
efek beracun dari peningkatan protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu,
dengan populasi nefron yang mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup
akan mengalami peningkatan beban ekskresi yang bertambah,sehingga akan
menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana
dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek yang
menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan
efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan
proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis.
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit
dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi.
Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi kalsium-
fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah. Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum
pada pasien PGK, dapat merusak fungsi glomerular melalui oxidant-mediated injury
(IDAI, 2011). ..
3.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupaa manifestasi:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D.
4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon
pertumbuhan).
Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi,
kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti:
 Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan : hiperkalemia
/hipokalemia, hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
 Gangguan asam basa: asidosis metabolic.

27
 Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak
(hiperlipidemia).
 Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder,
osteodistrofi ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.
 Gangguan metabolisme hormon: anemia normokrom normositer
hipertensi.
 Gangguan perdarahan.
 Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap
latihan rendah.
 Gangguan jantung : kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan
penebalan septum interventrikular.
 Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif dan
retardasi mental.
 Gangguan perkembangan seksual : keterlambatan pubertas.
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama.
Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada
CKD ,kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sisa maupun
overload cairan pada tubuh (IDAI, 2011) .
Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan PGK kemampuan nefron untuk
mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang
stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau kadang tidak begitu
terlihat pada pemeriksaan fisik.Pada berbagai bentuk gangguan ginjal
(cth,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat
menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang
diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan ekstraselular
sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan pada ginjal
6
.Hiponatremia (dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD,hal ini
disebabkan retensi dari air yang berlebihan,sehingga menyebabkan dilusi pada cairan
intravascular.
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi
kalium,dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat LFG <10mL/menit/1.73m 2.
apabila hiperkalemia terjadi pada LFG >10mL/menit/1.73m2 ,harus dicari penyebab dari
hiperkalemia,termasuk diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic
28
hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat,tranfusi darah, hemolisis, katabolisme
protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron
antagonist. Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi
biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang berlebihan,
kehilangan kalium dari GIT
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD
sebagai akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia. Uremia,
walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran kapasitas
ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak bertanggung jawab
atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal yang
berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal berperan dalam
uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged,
dan uncharged compound. Sebagai tambahan,produk ekskresi nitrogen termasuk
diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari metabolism asam nukleat, polyamines,
mioinositol, fenol, benzoate, dan indol.
Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis
kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini .Kadar urea
yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar urea yang tinggi pada
saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau
nafas seperti ammonia),dan uremic frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar
ureum yang sangat tinggi,dan dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat
mengakibatkan uremic pericarditis maupun uremic cardiomyopathy.
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan
yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin
yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular
Anemia ,hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan
karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial,
tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk
kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari
eritrosit.

29
Abnormal hemostasis, pada pasien PGK terjadi waktu perdarahan yang
memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III, agregasi platelet yang
abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik
karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal.
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang
dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam
keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH
namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari
insulin like growth factor–binding proteins.
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan
untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan
CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan
berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme
sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi
ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD ketika LFG menurun kira-kira 50%
dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional menyebabkan penurunan aktivitas
hidroksilase-1α ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D aktif (1,25
dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan
penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan
peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH)
sebagai upaya untuk memperbaiki hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi
tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal,
mekanisme kompensasi untuk meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai,
sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan
mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH.
3.7 Diagnosis
Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis

30
Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, lelah,
letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini
dapat berlangsung secara bertahun-tahun.
 Pemeriksaan Fisik
Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda
pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.
 Pemeriksaan Penunjang
- Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid, kadar
vitamin D, factor pembekuan. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
kadar ureum dan kreatinin dan penurunan LFG.Kelainan biokimiawi darah
meliputi anemia, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperfosfatemia,dan asidosis metabolic.
- Radiologi: USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran ginjal yang
mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks untuk melihat pembesaran
jantung.
- Foto tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal.
3.8 Tatalaksana
 Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan tergantung
dari status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus
dilakukan sebelum LFG <10 mL/ menit/1,73m 2. Indikasi absolut untuk tindakan awal
dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:
a. Hipertensi tidak terkendali, hipertensiensefalopati.
b. Gagal jantung : kardiomiopati
c. Perikarditis tamponade
d. Neuropati perifer: parestesis, disfungi motorik.
e. Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang.
f. Depresi sumsum tulang: anemia berat, leucopenia.
Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis
peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis adalah suatu teknik
untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat molekul kecil dari darah
secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses
sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial
dari lengan yang tidak dominan (Rachmadi, 2009).

31
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat.
Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter
peritoneal dari Tenckhoff. Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan
Terapi pengganti ginjal yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada
transplantasi untuk semua kelompok umur. Keuntungan dari Perionial dialysis dan
hemodialisis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
 Transplantasi Ginjal
Trasplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginkal
tahap akhir. Indijasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir dengan
gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan
yang optimal. Pemerikasaan imunologi yang penting untuk keberhasilan transplantasi
adalah golongan darah ABO dan antigen HLA 3. Transplantasi dapat berasal dari
kadaver (jenazah) atau donor hidup keluarga.
Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk bayi, anak
dan remaja karena merupakan usaha yang paling baik yang dilakukan untuk
mengembalikan anak ke kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha untuk
memelihara dan mempertahankan keadaan pasien sampai saat pasien akan dilakukan
transplantasi (IDAI, 2011).
3.9 Prognosis
Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival rate
adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis dan
transplantasi. Angka mortalitas pada anak dengan PGK lebih rendah daripada penderita
dewasa. Bayi yang menjalani dialysis memiliki angka mortalitas yang lebih buruk
dibanding anak yang usianya lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan usia
≤18 tahun, yang berada dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA ditemukan
bahwa anak yang telah menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas yang lebih
rendah (13,1 kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih berada dalam
daftar tunggu (17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada tahun 2005 Annual Data
report (ADR) menunjukkan bahwa 92% anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal
dapat bertahan selama 5 tahun kedepan dibanding 81% dari anak-anak yang menjalani
32
hemodialisis maupun peritoneal dialysis. Akhirnya, Usia harapan hidup untuk anak
berusia 0–14 tahun dan sedang menjalani dialisis hanya 18.3 tahun, dimana populasi usia
yang sama dan menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 50 tahun (IDAI, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia. Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter
535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP
Dr.HAsan Sadikin Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ed.. 4 . Bandung:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran: 2012
4. Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney
Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS
Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
5. Samitta, M. Bruce. Anemia, dalam Nelson, E Waldo., Kliegmen, Robert. Buku Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: EKG. 2000; h 1680-1712.

33
6. Rusdiana, Nelly. Pendekatan Diagnosis Pucat pada Anak. Available at
http://respiratory.usu,.ac.id/handle/123456789/18404. Accessed on 7 Septembe 2019.
7. Yuindartanto, Andrei. Anemia Pada Anak. Available at http://anemia-pada-
anak/2009/08/08. accessed on 6 September 2019.
8. Sari Wahyuni, Arlinda. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. Avialable at:
http://library.usu.ac.id/download.anemia-defisiensi-besi-pada-anak. Accessed on 6
September 2019.

34

Anda mungkin juga menyukai