Tes Laboratorium
EKG : Iskemia/infark Biasanya norma
Foto thoraks : Distribusi edema perihiler Distribusi edeme perifer
Enzim kardiak : Mungkin meningkat Biasanya normal
Edema paru non kardiogenik muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan
penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia
berat, dan kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat,
pankreatitis) (Andrew,2010).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada edema paru kardiak ditemukan frekuensi napas yang meningkat, dilatasi alae
nasi, retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikular menunjukan tekanan
negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pau terdengar
ronkhi basah kasar setengah lapangan paru atau lebih sering disertai wheezing. Pemeriksaan
jantung ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II mengeras, dan tekanan darah
meningkat (Mukty dkk,2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto toraks
Menunjukan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda-tanda
bendungan paru, akibat edema intertsisial atau alveolar (Nabili S, 2010):
1. Garis Kerley A : Garis-garis memanjang dari hilus kea rah perifer
2. Garis Kerley B : Garis-garis sejajar dari perifer
3. Garis Kerley C : Garis-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah
paru
Hilus berkabut : batas hilus tak jelas (Nabili S, 2010)
Gambaran berkabut atau kesuraman yang merata dari sentral dan meluas tersebar
seperti kupu-kupu (butterfly pattern) disertai garis kerley A, B, dan C. Gambaran radiologi
seperti terlihat pada kedua tipe edema paru. Pada edema paru non kardiogenik, gambaran
radiologi kadang-kadang tampak normal (Mukty dkk,2009).
Pada foto toraks edema paru non-kardiologik nampak infiltrat difus bilateral yang
ringan atau alveolar, bercak-bercak (patchy bilateral) atau konflurens. Sulit untuk membedakan
foto toraks antara ARDS dan edema paru karena gagal jantung (Nabili S, 2010)
Hasil analisa gas darah normal. Rasio PaO2 terhadap fraksi O2 yang dihirup
(FiO2) menurun < 200 mmHg. Awalnya terdapat alkalosis respirasi yang
kemudian dalam perjalanan penyakit menjadi asidosis respiratorik karena
eleminasi CO2 menurun.
Lekositosis atau leukopenia, anemia, trombositopenia. Jarang terjadi
disseminated intravascular coagulation (DIC),yang dapat terjadi pada keadaan
sepsis, trauma berat atau trauma kepala.
Gangguan faal hati dapat terjadi karena timbulnya multiple organ dysfunction
syndrome (MODS)
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema,
sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema.
Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive
care unit (ICU) setting.
Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis dan pemeriksaan yang disebabkan edema
paru dan gejala klinis penyakit dasarnya (Wilson LM, 1995).
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menentukan diagnosis antara
lain: Rontgenogram dada yang memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat bilateral yang difus
tanpa disertai oleh tanda edema paru kardiogenik. Kadang-kadang satu paru-paru terserang
lebih hebat dari paru-paru lainnya. Jika edema paru tersebut menyertai proses paru-paru lain
(seperti pneumonia, fibrosis kistik) maka temuan klinis dan rontgenografis pada penyakit
primer dapat mengaburkan temuan-temuan pada edema paru (Suwondo A,1998).
Analisa gas darah dapat mendukung dan juga sebagai acuan pada pengobatan edema
paru. Pada edema paru pemeriksaan analisa gas darah (AGD) memperlihatkan hipoksemia
berat (Ayus JC et al, 2000).
CT Scan toraks juga dapat membantu dalam diagnosa dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan dari edema paru. Elektrokardiografi untuk membedakan edema paru
akibat kelainan jantung (Ayus JC et al, 2000).
TATALAKSANA
Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit primer yang menyebabkan
terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme
kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan (Simadibrata
M,2000).
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan rasa nyeri
dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan memberikan tekanan positif
terputus-putus. Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik mungkin akan semakin besar
sehingga pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU) (Haslet C,1999).
Untuk mengoptimalkan oksigenasi dapat dilakukan teknik-teknik ventilator, yaitu
Positive end expiratory pressure (PEEP) 25-15 mmH2O dapat digunakan untuk mencegah
alveoli menjadi kolaps. Tekanan jalan napas yang tinggi yang terjadi pada ARDS dapat
menyebabkan penurunan cairan jantung dan peningkatan risiko barotrauma (misalnya
pneumotoraks). Tekanan tinggi yang dikombinasi dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri
dapat menyebabkan kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya permeabilitas yang
meningkat hingga timbul edema paru, sehingga penerapannya harus hati-hati (Haslet C,1999).
Salah satu bentuk teknik ventilator yang lain yaitu inverse ratio ventilation dapat
memperpanjang fase inspirasi sehingga transport oksigen dapat berlangsung lebih lama dengan
tekanan yang lebih rendah. extra corporeal membrane oxygenation (ECMO) menggunakan
membran eksternal artifisial untuk membantu transport oksigen dan membuang CO2. Strategi
terapi ventilasi ini tidak begitu banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk memperbaiki
prognosis secara umum tapi mungkin bermanfaat pada beberapa kasus (Haslet C,1999).
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan
menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler
paru. Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal
(nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu
mempertahankan keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan
perfusi jaringan dan transport oksigen yang optimal (Haslet C,1999).
Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga
dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan
perfusi organ yang terganggu, untuk itu penggunaanya harus hati-hati. Obat-obat inotropik dan
vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis
(vasodilatasi sistemik) (Simadibrata M,2000).
Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena
diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan
vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki
disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO
secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin sehingga mencegah reaksi sistemik (Simadibrata
M,2000).
Strategi terapi suportif terkini yang dalam uji coba (Wilson LM, 1995) :
1. Perbaikan metode ventilator (beberapa cara terbaru)
Lung–protective ventilation dengan higher PEEP
Non invasive positive pressure ventilation
High frequency ventilation
Tracheal gas insuflation
Proportional- assist ventilation
Inverse ratio ventilation dan airway pressure-release ventilation
a. Surfactant replacement therapy, dengan memakai aerosol surfaktan sintetis
hasilnya mengecewakan, tetapi dengan memakai natural mamalia surfactant dan
perbaikan alat aerosol terbukti memperbaiki stabilitas alveolar, mengurangi
insidens atelektasis/intrapulmonary shunting. Meningkatkan efek antibakterial
dan antiinflamasi.
b. Extra corporeal gas exchange
c. Prone positioning, terbukti baik dalam oksigenasi karena terjadi shift perfusi dan
perbaikan gas exchage
d. Fluorocarbon liquid-assisted gas exchange
e. Antiinflamasi
fluorokortikoid dosis tinggi
anti endotoxin monoclonal antibody
anti TNF-a
anti IL-1
activated protein C
antioksidan
1. N-asetilsistein
2. Prosistein
3. Oxygen free radical scavenger
4. Precursor flutathine
agonis/inhibitor prostaglandin
ketokonazol® inhibitor daripada tromboksan dan leukotrien/menekan
pembentukan dan pelepasan TNF-a dari makrofag
lisofilin dan pentoksifilin® suatu fosfordiesterase inhibitor memperlambat
kemotaksis neutrofil
anti IL-8, platelet activating factor inhibitor
enhance resolution of alveolar edema dengan vasopresor/b2 agonis
enhance repair of IL alveolar epithelial barrier dengan hepatocyte growth factor dan
keratinocyte growth factor’
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium. Meski secara klinik
kenyataannya sukar di deteksi (Irmawan,2010):
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley
B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran
napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe
sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ayus JC, Varon J, Arieff AI. Hyponatremia, Cerebral Edema, and Noncardiogenic
Pulmonary Edema in Marathon Runners. Annals of Internal Medicine. 2 May 2000.
Volume 132. Number 9; 711-14.
2. Haslet C. Pulmonary Oedema Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Grassi C,
Brambilla C, Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease. McGrow-Hill
International (UK) ltd. London. 1999; 766-89.
3. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman Diagnosis
dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208
4. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al,
Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1998; 767-72.
5. Wilson LM. Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
(Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa:
Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995; 645-48.
6. Irmawan. 2010. Diagnosis dan Pengelolaan Edema Paru Kardiogenik
Akut. http://www.dunia-kesehatan.com/. Tanggal 20 juni 2012
7. Andrew Baird. 2010. Acute pulmonary oedema – management in general practice. In :
AustRAliAn FAmily PhysiciAn Vol. 39, no. 12.
8. Mukty, dkk. Sembab paru (Edema paru). Dalam : Alsagaff,H.,Mukty a, editors. Dasar-
dasar Ilmu penyakit paru, surabaya: Airlangga University Press;2009.p.323-8
9. Nabili. S, 2010. Pulmonary Edema. Diakses dari http//:www.medicinet.com. tanggal
20 juni 2012.