Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan pada rongga antara lapisan


dalam tulang kepala dan duramater. Sering disebabkan oleh trauma pada kepala
yang menyebabkan robeknya pembuluh duramater, termasuk cabang A.
meningea media, V. meningea media dan pembuluh darah tulang tengkorak.
Perdarahan yang berlanjut dan berkembang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial, herniasi tentorial, dan bahkan kematian.EDH dapat juga
terjadi secara spontan tanpa didahului oleh suatu cedera kepala, biasanya oleh
karena penyakit sistemik. 1
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu
jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak
dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila
robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.2
Di Amerika Serikat: EDH terjadi 1-2% dari seluruh kasus trauma kepala
dan sekitar 10% pasien menunjukkan gejala koma traumatik. Data
Interanasional: tidak ada data yang diketahui, namun diperkirakan frekwensinya
tidak berbeda jauh dengan Amerika Serikat.3
Mortalitas rate-nya berkisar antara 5-43%. Tingkat kesadaran selama
operasi sangat berhubungan dengan mortalitas rate; pada pasien yang sadar
mortalitas 20%. Bilateral EDH memiliki mortalitas rate 15-20%. EDH fosa
posterior memiliki mortalitas rate sebesar 26%. Tingginya angka mortalitas rate
berhubungan dengan usia lanjut, adanya lesi intradura, lokasi temporal,

1
meningkatnya volume hematom, cepatnya progresipitas gambaran klinik,
abnormalitas pupil, meningkatnya tekanan intra cranial (ICP), menurunya
Glasgow coma scale (GCS).3
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan karena herniasi
uncal EDH lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan rasio laki-laki dan wanita
4:1. EDH jarang pada usia lebih muda dari 2 tahun. EDH juga pada orang usia
lebih tua dari 60 tahun sebab dura sangat melekat pada tulang kalvaria. Pasien
dengan usia lebih kecil dari 5 tahun dan lebih tua dari 55 tahun memiliki angka
mortalitas rate yang tinggi. Pasien dengan usia lebih kecil dari 20 tahun yang
sekitar 60% dari kasus EDH.3
.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.1.1 ANATOMI
A. Kulit kepala (SCALP)
1. Skin atau kulit : mengandung kulit dan kelenjar keringat (sebasea)
2. Connective Tissue / Jaringan pengikat
Sebagian besar saraf sensoris terdapat di daerah skin dan connective
tissue, sehingga pada anastesi infiltrasi memakai adrenalin tujukan
pada daerah ini. Adrenalin / epinefrin berguna mengurangi perdarahan.
3. Aponeurosis/ galea aponeurotika
Merupakan jaringan ikat berhubungan langsung dengan tengkorak,
dimana melekat 3 otot:
Anterior : m. Frontalis
Posterior : m. Occipitalis
Lateral : m. Temporalis
4. Loose aerolar tissue / penunjang longgar : jaringan aerolar longgar
memisahkan galea dari pericranium dan merupakan lokasi terjadinya
subgaleal hematoma. Karena kaya pembuluh darah, maka perlukaan
pada scalp dapat menyebabkan kehilangan darah yang hebat, terutama
pada anak-anak.
5. Perikarnium

Gambar 2.1. Gambar Scalp anatomy layer of scalp5

3
B. Tulang Tengkorak
1. Klavarium: klavarium tipis pada daerah temporal, tertutup oleh otot-
otot temporal
2. Basis kranii : permukaanya ireguler, sehingga sangat terpengaruh pada
cedera otak dengan adanya akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fossa :
a. Anterior : tempat lobus frontalis
b. Media : tempat lobus temporalis
c. Posterior : tempat batang otak bawah dan serebelum
Tulang tengkorak terdiri dari 3 lapisan:
a. Tabula Eksterna
b. Diploe
c. Tabula Interna

Gambar 2.2. Gambar Basis cranii6

C. Meningen
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan
meningens adalah duramater, arachnoid, dan pia mater.

1. Dura mater

Merupakan selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa melekat pada
tabula interna/permukaan dalam cranium , namun tidak melekat pada selaput
arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial yang disebut

4
dengan ruangan subdural yang lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri
atas dua lapisan:

a. Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum


yang membungkus dalam calvaria
b. Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater
spinalis yang membungkus medulla spinalis

Diperdarahi oleh :

a. meningea anterior cabang a. Opthalmika


b. Meningea media cabang a. Carotis eksterna
c. Meningea posterior cabang a. Vertebralis dan a. Occipitalis

Dipersarafi oleh :n. trigeminus dan n. vagus

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara dura dan pia mater


yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah4

Gambar 2.3. Gambar Meningens 5

5
D. Otak
1. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Hemisfer kiri memiliki pusat bahasa / bicara pada orang-
orang dengan kebiasaan, tangan kanan > 85% untuk left handed,
disebut dengan hemisphere dominan. Lobus frontalis adalah tempat
emosi, fungsi motor dan pada tempat dominant merupakan motor
speech area. Lobus parietalis berfungsi sebagai pusat sensorik dan
orientasi ruang.Lobus temporalis mengatur fungsi memori. Lobus
occipital relative kecil dan berfungsi sebagai pusat penglihatan.
2. Serebelum
Berfungsi dalam koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan ke-2
hemisfer serebri.
3. Batang Otak
Batang otak (brainstem) terdiri dari midbrain, pons dan medulla.
Midbrain dan upper pons terdiri dari reticuler activating system yang
bertanggung jawab atas kesadaran. Pusat cardiorespirator terdapat pada
medulla yang kemudian lanjut ke medulla spinalis. Walaupun cedera
kecil pada batang otak, dapat menimbulkan deficit neurologis yang
berat.4

E. Cairan Serebrospinal
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 30 cc/jam. Sebagian
besar diproduksi oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel
lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel
III pada orang sehat sekitar 20 ml dan total volume cairan serebrospinal
pada orang dewasa 120 ml.

6
Plexus Choroideus

Foramen Monroe

Ventrikel III

Aqua ductus Sylvulus

Ventrikel IV

Foramen Magendi dan Foramen luscha

Sistem dan rongga sub-arachnoid dibagian cranial maupun spinal


Gambar 2.4. Gambar Aliran dan produksi LCS4

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial : terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Intratentorial : berisi fosa kranii posterior4

2.1.2 FISIOLOGI
a. Tekanan Intra Kranial (TIK) / ICP intracranial pressure
Proses-proses patologis yang mengenai otak bias menyebabkan kenaikan
tekanan intracranial dimana selanjutnya hipertensi intracranial akan
mempengaruhi fungsi otak dan outcome. TIK normal 10 mmHg (136 mm
air). TIK > 20 mmHg dikatakan tidak normal dan TIK > 40 mmHg
dikategorikan kenaikan hebat / berat.
b. Doktrin Monro – Kellie
Prinsipnya volume total intracranial selalu tetap/sama. Bila ada massa
yang menyebabkan keluarnya darah dari vena dan LCS yang seimbang,
maka TIK akan bertahan normal, sampai suatu keadaan dimana
penambahan massa ini tidak terkompensasi.

7
c. CPP : Cerebral Perfusion Pressure
CPP : Mean Arterial Blood Pressure – ICP
Normal :
CPP = MBP – ICP = 90-10=80

Keterangan :
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MBP : Mean arterial Blood Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

CPP dibawah 70 mmHg umumnya berhubungan dengan prognosis buruk


pada cedera kepala. Padakenaikan TIK / ICP, adalah lebih penting bila tekanan
darah dipertahankan pada level normal. Mempertahankan cerebral perfusion
merupakan prioritas yang sangat penting dalam management cedera kepala.

d. Cerebral Blood Flow (CBF)


CBF normal 50 ml / 100 gr otak / menit.Pada CBF < 20-25 ml/100
gr/menit, aktivitas. EEG akan menghilang secara gradual danbila< 5
ml/100 gr/menit akan terjadi kematian sel atau kerusakan irrevertible. Pada
pasien-pasien non injured, autoregulation akan mempertahankan CBF.4

2.2 Definisi

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri


meningea media yang masuk ke dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
berjalan diantara duramater dan tulang dipermukaan dalam os temporale. Robekan
arteri meningea media menimbulkan hematoma epidural (EDH) dan desakan oleh
EDH akan memisahkan duramater dari tulang kepala sehingga EDH bertambah
besar.1

8
Gambar 2.5. Gambar Epidural Hematoma7

Hematoma epidural merupakan akumulasi darah pada rongga potensial di


antara dura mater dan tulang, dapat berlokasi di intrakranial (EDH) atau spinal
(SEDH). EDH terjadi pada sekitar 2% pasien-pasien dengan cedera kepala dan 5-
15% pasien dengan cedera kepala berat. EDH dianggap sebagai komplikasi
terberat dari cedera kepala, yang memerlukan diagnosis dan intervensi bedah
segera. EDH dapat memiliki onset akut (58%), subakut (31%) atau kronis (11%).8

Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah


temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat
robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH
berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai
volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9%
penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama.9

2.3 Epidemiologi

Kejadian hematoma epidural berikut trauma kepala bervariasi dengan


populasi yang disurvei. Ketika semua pasien yang mendapatkan resi di rumah
sakit untuk cedera kepala dipertimbangkan, hematoma epidural hanya terdiri dari

9
1% sampai 3% kasus.Jika hanya koma (Skor Koma Glasgow kurang dari atau
sama dengan 8), kejadian ini meningkat menjadi hampir 10%.10

Distribusi usia pasien dengan epidural hematoma mencerminkan cedera


kepala pada umumnya. Ini adalah penyakit pada orang dewasa muda, terutama
yang berusia antara 10 dan 40 tahun. Perdarahan epidural kurang sering terjadi
pada anak-anak di bawah usia 2 tahun dan pada orang dewasa yang berusia lebih
dari 60 tahun, karena kepatuhan ketat dura mater ke meja calvarial di kedua
ekstrem kehidupan. Elastisitas relatif dari tengkorak bayi dapat menyebabkan
kelangkaan hematoma epidural pada kelompok ini juga. Laki-laki lebih sering
terkena daripada wanita, dengan rasio gender keseluruhan sekitar 4: 1 pada
kebanyakan seri. Predileksi gender jauh lebih sedikit ditandai pada tingkat
ekstrem, mendekati rasio 1: 1. Dari catatan adalah bahwa seiring bertambahnya
populasi lansia, kita cenderung melihat peningkatan semua keadaan penyakit pada
orang tua, dan hematoma epidural tidak terkecuali. Namun, tinjauan institut
retrospektif terhadap 3.249 hematoma epidural menunjukkan bahwa 32 (kurang
dari 1%) pada pasien berusia di atas 65 tahun. Dalam kelompok ini, serangan
adalah faktor pendorong yang paling umum terjadi, dan tidak ada pasien dalam
keadaan koma atau di atas 75 tahun memiliki hasil yang baik.10

Hematoma epidural dapat terjadi di tempat manapun di kranial kubah.


Wilayah temporal terlibat dalam sekitar 70% kasus, dengan hematoma yang
biasanya terakumulasi di bawah tulang temporal skuamosa yang retak. Ujung
temporal hematoma epidural telah terbukti terkait dengan kejadian fraktur arkus
zygomatik yang lebih besar, fraktur rongga orbital lateral, fraktur tulang
tengkorak, dan cedera saraf kranial. Selain itu, bagian squamosal dari tulang
temporal relative tipis, cenderung mempertahankan fraktur dengan kekuatan lebih
rendah dari pada area tengkorak lainnya. Sekitar 15% terjadi pada konveksitas
frontal, 10% adalah parieto-oksipital, dan sisanya adalah parasagital atau
infratentorial.11

Lesi di dalam fosa posterior menyumbang sebagian kecil dari semua


perdarahan epidural, hampir selalu dikaitkan dengan fraktur tengkorak oksipital,

10
dan biasanya timbul dari sinus vena dural yang terganggu dan garis patah. Pada
populasi anak-anak, pemindaian CT aksial dapat menyebabkan klinisi
membingungkan fosa epidural posterior dengan trombosis sinus vena, karena
perdarahan dapat mengelupas sinus dural dari bagian dalam tulang subokcital,
menekan tapi tidak menutup sinus. CT venografi atau MRV akan membantu
dalam membuat perbedaan kritis ini karena antikoagulan untuk trombosis sinus
vena dapat terbukti menghancurkan jika diagnosis sebenarnya adalah pendarahan
epidural. Patah tulang tengkorak occipital telah ditemukan pada 85% sampai 95%
epidural posterior fosfoma posterior. Mereka sering terdiam secara klinis, hanya
menghasilkan keluhan umum. Beberapa studi institusi tunggal dari semua pasien
dengan hematoma epidural menemukan bahwa antara 2,7% dan 9,8% pasien
memiliki epidural hematoma epidural posterior. Pada kelompok 65 epidural
posterior fossa posterior, 53 pasien diobati dengan pembedahan dan 12
konservatif 4 dari pasien awalnya diobati secara konservatif dekompensasi dan
diperlukan pembedahan. Keputusan untuk menjalani terapi konservatif pada
umumnya didasarkan pada pasien yang tidak memiliki tanda atau gejala kompresi
batang otak, bak air terbuka, dan tidak ada hidrosefalus. Hidrosefalus telah
ditemukan sebagai tanda yang tidak menyenangkan dan anak-anak cenderung
memiliki hasil yang lebih baik daripada orang dewasa. Biasanya, hematoma
epidural bersifat unilateral. Namun, lesi bilateral dapat diidentifikasi sampai 5%.12

2.4 Etiologi

Mayoritas hematoma epidural muncul sekunder akibat trauma tengkorak


langsung dan biasanya memiliki fraktur tengkorak di atasnya. Sumber trauma
epidural hematoma sekunder dapat terjadi setelah dekompresi bedah hematoma
subdural akut kontralateral. Dalam kasus ini, hematoma subdural dievakuasi
kontralateral ke sisi fraktur tengkorak, dan CT pasca operasi menunjukkan adanya
hematoma epidural yang baru terbentuk di lokasi fraktur. Sejumlah kasus terjadi
secara spontan, biasanya akibat perdarahan dari tumor atau anomali vaskular yang
melibatkan tengkorak atau dura mater.7

11
Hematoma epidural biasanya terjadi akibat cedera kepala langsung. Pada
kebanyakan penelitian dari negara-negara industri, kecelakaan kendaraan
bermotor mendominasi, diikuti oleh jatuh. Serangan, kecelakaan olah raga, dan
luka lahir menyumbang sisanya. Mekanisme cedera sedikit tergantung pada usia,
dimana jatuh merupakan proporsi kasus yang relatif lebih besar pada anak kecil
dan orang tua. Meskipun jarang, penyebab epidural hematoma non trauma
meliputi: infeksi lokal (menyebabkan arteritis), malformasi vaskular, tumor ganas
dan metastasis, gangguan rheumatologis, sickle cell disease, dan pasien yang
menjalani operasi hemodialisis atau operasi jantung terbuka.5,6

Terlepas dari sifat yang memicu trauma, pukulan langsung ke kepala


merupakan hal yang esensial untuk pembentukan hematoma epidural. Gaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan lesi semacam itu bervariasi; Namun harus cukup
untuk merusak tengkorak dan melepaskan dura yang mendasari bagian dalam
kalvarial. Begitu dura dipisahkan dari bagian dalam, sebuah ruang ("ruang
epidural") tercipta dimana darah dapat menumpuk. Secara klasik, gaya yang
diberikan ke tengkorak melebihi kapasitas penyerapan dan elastisitas dan
menghasilkan fraktur. Namun, sekitar 10% orang dewasa dan 20% sampai 40%
anak-anak dengan hematoma epidural tidak memiliki fraktur tengkorak.
Kemungkinan rendahnya angka fraktur tengkorak yang menyertai hematoma
epidural pada anak-anak merupakan hasil dari elastisitas tengkorak yang lebih
besar, fontanella terbuka, dan sutura yang belum menyatu pada kelompok usia ini.
Namun, pada anak-anak kekuatan cedera kepala, meski tidak selalu menghasilkan
fraktur, tetap bisa menyebabkan dura terpisah dari tengkorak dan menciptakan
ruang epidural potensial.6

Gambar 2.6. Gambar Coup and contrecoup lession4

12
2.5 Patofisiologi

Sekitar 70-80% EDH terjadi pada daerah temporoparietal dimana fraktur


tulang kepala akan mencederai A. Meningea media atau cabang-cabanya pada
dura. Sedang EDH pada daerah frontal dan occipital terjadi sekitar 10%, yang
biasanya meluas ke supra dan infra tentorium. EDH hampir selalu berhubungan
dengan cedera kepala, kebanyakan EDH terjadi akibat fraktur tulang kepala yang
mengakibatkan rupture atau laserasi pada pembuluh arteri yang terletak
disepanjang bagian dalam tulang kepala antara tulang kepala dan duramater.
Lokasi yang tersering untuk terjadinya EDH adalah pada daerah temporoparietal,
dimana pada daerah tersebut cabang anterior dan posterior arteri meningea media,
bahkan cabang utamanya dapat terjadi laserasi. Akibat laserasi arteri tersebut
darah dapat berakumlasi di daerah laserasi, perdarahan ini jarang meluas melewati
garis sutura disebabkan karena ketatnya lapisan periosteum pada batas sutura
tersebut. EDH biasanya bersumber dari perdarahan pada arteri, namun perdarahan
yang berasal dari vena terjadi pada 1/3 kasus. Robekan pada sinus venosus yang
menyebabkan EDH pada daerah parietal-occipital atau pada fosa posterior.
Perdarahannya biasanya lebih kecil dan perjalananya tidak progresip, biasanya
diobati secra nonbedah.13

Venous EDH ini hanya terjadi akibat suatu fraktur depress yang menekan
dura sehinga membuat suatu rongga untuk berakumulasinya darah. Pada anak-
anak terjadinya EDH sangat jarang berhubungan dengan fraktur tulang kepala
karena tulang kalvaria masih memiliki elastisitas yang baik. 13

Terjadinya EDH tanpa adanya trauma pencetusnya pernah dilaporkan


walau hanya sedikit. EDH spontan ini biasanya disebabkan oleh penyakit infeksi
pada tulang kepala, malformasi pembuluh darah pada duramater, dan bisa oleh
karena proses metastase pada tulang kepala. Spontaneus EDH dapat juga terjadi
pada pasien-pasien degan kelainan pembekuan darah yang berhubungan dengan
penyakit primernya, seperti penyakit hati yang lanjut, alkoholisme yang kronis,
dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan disfungsi faktor
pembekuan. Volume EDH yang meluas dapat menimbulkan suatu pergeseran
parenkim otak dan herniasi.14

13
Penekanan pada jaringan otak dapat mengenai syaraf karnial III, sehingga
menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan kontralateral hemiparesi atau suatu
respon motorik ekstensor. EDH biasanya stabil dan mencapai ukuran maksimal
dalam hitungan menit setelah kecelakaan, Borovich mengambarkan progresipitas
EDH pada 9% pasien terjadi dalam 24 jam pertama, perdarahan yang berulang
atau perdarahan “oozing” di asumsikan sebagai penyebab pekembangan
progresivatas ini.13

Akumulasi darah
Ruptur/laserasi
Cedera kepala pada daerah
vaskular
laserasi

Pergeseran
Penekanan Gangguan pada
parenkim otak
jaringan otak saraf
(herniasi)

Hemiparese
Dilatasi pupil
Gangguan respon motorik

Gambar. 2.7 Bagan Patofisiologi EDH 13,14

2.6 Manifestasi Klinis

EDH memiliki gambaran klinis yang klasik pada sebagian kasus (10-27%)
pasien cedera kepala, gambaran klasik meliputi:

 Segera hilang kesadaran setelah kecelakaan (Loss of Consciousness)


 Diikuti dengan “Lucid Interval” selama beberapa jam
 Kemudian, diikuti dengan kontralateral hemiparesis, dilatasi pupil
ipsilateral
Bila tidak dilakukan tindakan segera maka dapat berlanjut menjadi decerebrasi
rigidity, Herniasi tentorium (HNT), respirasi distress dan bahkan kematian.
Deteriorisasi biasanya terjadi dalam beberapa jam, tapi dapat juga terjadi dalam

14
beberapa hari dan bahkan beberapa minggu (makin panjangnya interval sampai
terjadinya deteriorisasi biasanya karena perdarahan vena).15

Kontralateral hemiparese tidak selalu ditemui, terutama pada EDH yang


terdapat pada lokasi selain lateral atas hemispare. Bergesernya otak menjauhi
masa perdarahan dapat menimbulkan tekanan “cerebral peduncle” pada tentorium
disebelahnya yang dapat menimbulkan gejala ipsilateal hemiparese yang disebut
Fenomena Kernohan’s (tanda lokasi yang palsu), 60% pasien dengan EDH
menunjukan gejala dilatasi pupil, 85% dilatasi pupil pada ipsilateral. Tidak
dijumpainya gejala hilang kesadaran (LOC) terdapat pada 60% pasien. Tidak
dijumpainya gejala lucid interval pada 20% pasien, harus hati-hati karena gejala
lucid interval dapat juga dijumpai pada keadaan lain, termasuk pada subdural
hematom (SDH).14

Gejala lain yang sering tampak :

 Penurunan kesadaran bisa sampai koma


 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala hebat
 Rhinorea dan Otorea
 Tampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor

EDH harus dicurigai pada setiap pasien yang mengalami cedera kepala,
Walaupun gambaran klasik lucid interval antara hilang kesadaran pada saat
kecelakaan dan suatu penurunan status mental terjadi pada 10-33% dari kasus,
alterasi dari derajat kesadaran dapat dipresentasikan secara beragam. 15

15
EDH pada fosa posterior menunjukkan progresipitas yang sangat cepat
atau lambat dari gejala yang minimal bahkan sampai terjadi kematian dalam
hitungan menit. Setelah kecelakaan, pasien bisa hilang kesadaran dan pasien dapat
sadar kembali atau bahkan tetap tidak sadar.15

2.7 Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang
seperti foto rotgen kepala. Adanya garis fraktur menyongkong diagnosis EDH bila
sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat
menentukan lokasi hematom.1

2.8 Diferensial Diagnosis


Karena variabilitas dalam presentasi, pada intinya semua lesi intrakranial
traumatik harus dimasukkan sebagai pertimbangan diagnostik potensial.Secara
prinsip di antaranya adalah hematoma subdural akut, parenchymal contusion,
intraparenchymal hemorrhage dan diffuse axonal injury. Kesulitan dalam
membedakan entitas ini diperparah lagi oleh fakta bahwa mereka sering hidup
berdampingan dalam pasien yang sama.12

Terkadang, riwayat trauma yang jelas tidak terjadi dalam kasus seperti itu,
perdarahan subarachnoid spontan, perdarahan intraparenchymal hipertensi /
angiopatik, infark, kejang, infeksi, dan neoplasia serebral juga harus
dipertimbangkan. Semua dapat hadir dengan penurunan kesadaran, sakit kepala,
dan berbagai derajat disfungsi neurologis fokal atau global dan oleh karena itu,
dapat meniru hematoma epidural secara klinis. Efek psikotropika tambahan dari
alkohol atau obat-obatan mungkin semakin membingungkan penilaian status
mental. Kelainan sistemik yang dapat mengubah kesadaran seperti syok hipotensi
/ hipovolemik, hipoglikemia berat, atau ketoasidosis diabetes juga harus
dipertimbangkan dalam konteks yang sesuai.16,9

16
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Schedel foto
Biasanya didapati adanya tanda fraktur pada tulang kepala, walau 40%
kasus EDH terjadi tanpa dijumpai adanya fraktur, pada keadaan ini biasanya
usia penderita dibawah 30 tahun.

2. Cervical foto

Foto cervical biasanya sangat penting disebabkan resiko akan adanya


cedera leher yang berhubungan dengan timbulnya EDH.

3. Head CT-Scan

CT scan dapat menunjukkan lokasi, volume, dan cedera intracranial.


Gambaran hipodense yang irregular mengindikasikan adanya EDH dengan
perdarahan aktif. Gambaran Ct scan klasik EDH dapat dijumpai pada 84%
kasus. Gambaran berbentuk biconvex (lenticuler) dekat tulang, pada 11% kasus
sisi dekat tulang berbentuk konveks dan sepanjang otak berbentuk lurus, dan
5% berbentuk bulan sabit “cresent shape” menyerupai subdural hematom.13

EDH biasanya menunjukkan gambaran densitas yang seragam dengan tepi


yang tegas pada beberapa potongan ct scan, sangat tipis dan berdekatan dengan
tabula interna. Adanya gambaran udara pada EDH harus dicurigai akan fraktur
sinus atau tulang mastoid.14

Gambar 2.8. Gambar CT Scan EDH13

17
4. CT Angiography (CTA)

CT angiography (CTA) telah direkomendasikan sebagai pendekatan


diagnostik awal atau pertama pada pasien yang mengalami cedera kepala akut,
bukan CT kepala non-kontras tradisional, karena adanya informasi tambahan yang
diberikan oleh kontras. Ekstravasasi kontras ke hematoma atau ke otak di
sekitarnya telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk, dan juga
kemungkinan peningkatan hematoma berikutnya, baik aksial ekstraalit (epidural,
subdural) atau intraparenkim.17

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser


posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.14

Gambar 2.9. Gambar MRI pada EDH6

18
2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana dilakukan dengan trepanasi untuk mengevakuasi hematoma
dan menghentikan perdarahan
A. Penanganan darurat :
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Tidak semua kasus EDH memerlukan tindakan bedah segera, jika lesinya
kecil dan pasien dalam kondisi neurologik yang baik, mengobservasi pasien
dengan pemeriksaan neurologik yang berulang-ulang dapat dilakukan. CT scan
untuk pemantauan dapat dilakukan untuk melihat peningkatan hematom jika
sebelumnya pasien mengalami deteriorisai. Jika didapatkan peningkatan volume
dengan cepat maka operasi diindikasikan.1

B. Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital


Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
Elevasi kepala 30˚ dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendenlenburg terbalik untuk mengurangi tekanan
intra kranial dan meningkatkan drainase vena. 18
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530
mmHg.

19
b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 20% per infus untuk “menarik” air
dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui dieresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hama
diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan :1-
3mg/kg BB/hari. Cara ini berguna padakasus-kasus yang menunggu tindakan
bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound, mungkin
dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar
darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4mg tiap 6
jam. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg
dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat.
Digunakan untuk mengatasi tekanan intra kranial yang meningkat dan
mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis biasa
diterapkan adalah diawali 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB dalam setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam untuk mencapai
kadar serum 3-4 mg %.18

C. Tidakan operatif
Indikasi tindakan bedah pada EDH :

1. Adanya tanda-tanda symptom EDH


2. Adanya symptom EDH dengan ketebalan >1 cm atau volume > 25cc,
karena EDH dengan keadaan seperti ini akan sulit diabsorbsi oleh
pasien.

20
3. EDH pada pasien anak-anak lebih beresiko dibanding penderita dewasa
karena ruang yang terbatas untuk hematom.
EDH dengan volume >25 cc atau ketebalan >1 cm, adanya “midline shift”
>5mm, diindikasikan untuk operasi, sebab kebanyakan pasien dengan keadaan
tersebut akan makin memperburuk kesadaran dan tanda lateralisasinya. Baik pada
kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang progresif
maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom.
Tetapi sebelum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita
perhatikan adalah airway, breathing, dan circulation.13
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy.
Tindakan yang paling banyak diterima karena minimal komplikasi. Trepanasi atau
burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi EDH secara cepat dan local
anastesi. Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang infasih dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. 13
Tujuan tindakan bedah adalah:

a. Pengambilan clot, untuk menurunkan tekanan intra kranil dan


meminimalisasi efek fokal masa.
b. Hemostasis, koagulasi perdarahan jaringan lunak (vena dan vena dura).
mengunakan “bone wax” pada perdarahan intra diploid (arteri meningea
media)
c. Mencegah reakumulasi, melakukan jahitan gantung dura.14

2.11 Komplikasi
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana
keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.

2. Kompresi batang otak mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga


terjadi perubahan pada pola nafas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan sputum pada jalan nafas.1

21
2.12 Prognosis
Prognosis epidural hematom bergantung pada
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek)
b. Besarnya luka
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi
Jika ditangani dengan cepat, prognosis epidural hematom biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.4

22
BAB III
KESIMPULAN

Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura


mater dan tabula interna karena trauma. Pada penderita traumatik hematoma
epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan berasal dari
pembuluh darah pembuluh darah di dekat lokasi fraktur.

Tanda dan gejala penderita akan mengalami nyeri kepala, mual dan
muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting
adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Dalam perjalanannya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan
masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula peningkatan tekanan darah dan
bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi merupakan tanda kematian.

Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang


seperti foto rotgen kepala dan CT Scan. Adanya garis fraktur menyongkong
diagnosis EDH bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar.
Garis fraktur juga dapat menentukan lokasi hematoma.

Tatalaksana dilakukan dengan trepanasi untuk mengevakuasi hematoma


dan menghentikan perdarahan.Tidak semua kasus EDH memerlukan tindakan
bedah segera, jika lesinya kecil dan pasien dalam kondisi neurologik yang baik,
mengobservasi pasien dengan pemeriksaan neurologik yang berulang-ulang dapat
dilakukan. CT scan untuk pemantauan dapat dilakukan untuk melihat peningkatan
hematom jika sebelumnya pasien mengalami deteriorisai. Jika didapatkan
peningkatan volume dengan cepat maka operasi diindikasikan.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis epidural hematom biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

23
BAB IV

LAPORAN KASUS

a. Identitas Pasien

Nama : Tn. I
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Masuk : 01-05-2018
Ruang Rawat : Ruang Rawat Pria

b. Anamnesis
 Keluhan utama : Luka pada kepala dan berdarah
 Keluhan Tambahan : Pingsan, mata bengkak dan
berdarah
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSU Datu
Beru pada tanggal 01 mei 2018 14.30 WIB dengan keadaan sadar
diantar menggunakan mobil dan diterima oleh residen bedah, dokter
IGD, dokter muda dan perawat. Pasien mengeluhkan kepala sakit dan
mengeuarkan darah. Menurut keterangan ibu pasien os jatuh dari
sepeda ketika menyebrangi jembatan. Riwayat pingsan (+) selama 15
menit kemudian pasien sadar kembali. Terdapat memar pada daerah
mata sebelah kanan seluas kurang lebih 3 cm. Riwayat muntah
disangkal. Namun pasien masih dalam keadaan penurunan kesadaran
 Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, hipertensi,
 Riwayat penyakit keluarga :
Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
 Riwayat pemakaian obat :
Pasien tidak ada mengonsumsi obat sebelumnya.

24
c. Pemeriksaan fisik
 Primary Survei :

Airway : Clear (+), nafas spontan (+)

Breathing : 30 x/i, nafas spontan gerakan dinding dada simetris

Circulation :115 x/i akral hangat (+)

Dissability :deformitas (-)

GCS : E 4, M 4, V 5 : 13 , T : 36 c

 Status lokalis

SL at Regio Palpebra superior dextra

i : hematom (+), edema (+)

SL at Regio Temporo Frontal dextra

i : vulnus laceratum + (4 x 1 x 0,5 cm), perdarahan aktif (+)

p : nyeri tekan (+)

 Secondary Survei :
- Kulit :Warna kulit sama dengan warna kulit sekitar sawo matang
- Kepala : Didapatkan adanya hematoma pada regio frontal dextra,
vulnus laceratum pada regio temporo frontalis dextra (4 x 1
x 0,5 cm)
- Mata : Hematom at palpebra dextra, reflek cahaya (+/+), sklera
ikterik (-/-), conjungtiva anemis(-/-)
- Hidung : Nafas cuping hidung (-), Deformitas (-), Septum deviasi
(-), Konka hiperemis (-), Sekret (-)
- Mulut : Lembab (-), sianosis (-), karies gigi (-), Lidah kotor (-),
hiperemis (-)
- Leher : Pemebesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar
getah bening (-), deviasi trakea (-), otot bantu pernafasan (-)

25
Tabel 4.1 Pemeriksaan Fisik Thorax :
Paru Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris,statis, dinamis
2. Palpasi Nyeritekan (-) Nyeritekan (-)
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
Stem fremitus dekstra = Stem fremitus dekstra
sinistra = sinistra
3. Perkusi Sonor diseluruh lapang Sonor diseluruh lapang
paru paru
4. Auskultasi Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)
Belakang
1. Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris,statis, dinamis
2. Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
Stem fremitus dekstra = Stem fremitus dekstra
sinistra = sinistra
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang
paru paru
4. Auskultasi Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)

- Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : dalam batas normal
 Auskultasi : suara jantung : SI, SII (normal) reguler

26
- Abdomen
 Inspeksi :permukaan datar,warna sama seperti kulit
Sekitar, edema diarea sekitar pinggang (+)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
terdapat nyeri ketok ginjal dektra/sinistra (+)
 Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, ginjal tidak teraba
- Ekstremitas
 Superior : Edema(-/-), Sianosis(-/-)
 Inferior : Edema(+/+), Sianosis (-/-)
d. Diagnosis sementara : Susp. EDH + Cedera kepala sedang GCS E3V4M5,
vulnus laceratum regio temporofrontal dextra
e. Diagnosa Banding :
a. Hemtoma subdural
b. Hematoma subarachnoid
c. parenchymal contusion,
d. intraparenchymal hemorrhage,
e. diffuse axonal injury
f. Gangguan lain yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
f. Initial plans :
Cek darah rutin,CT-BT,Golongan darah
CT-scan brain without contras
Rx:
 Head up 30 °
 O2 3 lpm dengan nasal canul
 IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
 Inj. Antrain amp/8 jam
 Inj. Ranitidine amp/12 j
 Inj. ATS 1amp IM

27
g. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Tabel 4.2 Hasil Laboratorium darah

DarahRutin Nilai Normal


Hasil
HGB 11,6 g/dL 14,0- 17,5 g/dL
RBC 5,80.106/uL 4,5-5,9.106/uL
HCT 34,3 % 40,0 - 52,0 %
MCV 84,1 fL 80,0-97,0
MCH 29,3 pg 26,5-33,5
MCHC 34,8g/dL 31,5-35,0
RDW-SD 37,3 fL 35-47
RDW-CV 11,9 % 11,5-14,5
WBC 14,81.103/uL 4-11.103/uL
EO 0,0 % 2-4
BASO 0,4 % 0-1
NEUT 80,2 + % 50-70
LYMPH 11,7 - % 25-40
MONO 6,8% 2-8
PLT 206. 103/ uL 150- 450. 103/ uL
ct CT 10-16 8 10-16 menit
BT 4 4 1-6 menit

28
Ct-Scan Kepala Tanpa Kontras

 Tampak lesi hiperdens dengan ferifocal oedem sekitarnya bentuk


biconvek densitas 62,40 HU Temporofrontal dextra, dengan volume 61,96
cc.
 Sulci dan gyri baik
 Midline tidak shift
 Sistem ventrikel dalam batas normal
 Cerebellum, pons dan CPA baik
 Sinus-sinus paranasalis dan aircell mastoid yang terscan dalam batas
normal
 Orbita,bulbus oculi dan retroorbital space baik
 Tulang-tulang yang terscan kesan intak

Kesan : Epidural Hematoma dextra

Gambar 4.1. Gambar CT-Scan EDH

29
Tabel 4.3 FOLLOW UP HARIAN PASIEN

Tanggal tCatatan terintegrasi Terapi


VPasien mengelu S/ nyeri pada kepala post op (+) P/ Diet Susu 20 cc/ 6 jam
02-05-2018 Pusing (+), Mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
Muntah (+) Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
Pupil isokor (-/+) Inj. Antrain amp/8 jam
GCS E 3 M 6 V 5 = 14 Inj. Ranitidine amp/12 j
O/ KU : sedang IVFD RL 20 qtt/i
HR : 75 x/iinj ceftriaxone 1g/12jam
RR :22 x/iinjantrain 1amp/ 8 jam
T :36,0 C injranitidin 1g/12 jam
SL Regio palpebra superior
i : hematom (+)
SL Regio Frontal dextra
i : drainase
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-1)

S/ nyeri post op pada kepala (+) P/ Diet Susu 20 cc/ 6 jam


03-05-2018 Pusing (+), mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
Muntah (+) Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
Pupil isokor (-/+) Inj. Antrain amp/8 jam
GCS E 3 M 6 V 5 = 14 Inj. Ranitidine amp/12 j
O/ KU : sedang
HR : 105 x/i
RR :20 x/i
T :36,6 C
SL Regio palpebra superior
i : hematom (+)

30
SL Regio Frontal dextra
i : drainase
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-2)

S/ nyeri pada kenyer S/ Nyeri post op pada kepala (+) P/ Diet Susu 20 cc/ 6 jam
04-05-2018 Pusing (+), Mual (-) IVFD RL 20 gtt/i
Muntah (-) Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
Pupil isokor (-/+) Inj. Antrain amp/8 jam
GCS E 3 M 6 V 5 = 14 Inj. Ranitidine amp/12 j
O/ KU : sedang Cloramfenicol zalf 3x1
HR : 80 x/i
RR :20 x/i
T :36,6 C
SL Regio palpebra superior
i : hematom (+)
SL Regio Frontal dextra
i : drainase
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-3)

Nyeri post op pada kepala (+) S/ nyeri post op pada kepala (+) P/ Diet lunak
05-05-2018 Pusing (+), Mual (-) IFVD RL 20 gtt/i
Muntah (-) Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
Pupil isokor (-/+) Inj. Antrain amp/8 jam
GCS E 3 M 6 V 5 = 14 Inj. Ranitidine amp/12 j
O/ KU : sedang Cloramfenicol zalf 3x1
HR : 88 x/i P/ mobilisasi duduk
RR :20 x/i
T :36,6 C mobilisasiduduk

31
SL Regio palpebra
IVFDsuperior
RL 20 qtt/i
i : hematom
inj(+)
ceftriaxone 1g/12jam
SL Regio Frontal
injantrain
dextra
1amp/ 8 jam
i : drainaseinjranitidin 1g/12 jam
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-4)

180whehj
S/ nyeri post onyeri N nyeri kepala (+) P/ Diet lunak
-05-2018 Pusing (+) IFVD RL 20 gtt/i
Pupil isokor (-/+) Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
GCS E 4 M 6 V 5 = 15 Inj. Antrain amp/8 jam
O/ KU : sedang Inj. Ranitidine amp/12 j
HR : 78 x/i Cloramfenicol zalf 3x1
RR :20 x/i
T :36,1 C
SL Regio palpebra superior
i : hematom (+)
SL Regio Frontal dextra
i : drainase
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-5)

32
nyeri pada kepala (+) Nyeri kepala (-), Pusing (-) P/ Diet lunak
07-05-2018 Pupil isokor (-/+) IFVD RL 20 gtt/i
GCS E 4 M 6 V 5 = 15 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
O/ KU : sedang Inj. Antrain amp/8 jam
HR : 80 x/i Inj. Ranitidine amp/12 j
RR :22x/i Cloramfenicol zalf 3x1
T :36,1 C
SL Regio palpebra superior
i : hematom (-)
SL Regio Frontal dextra
i : drainase
p : nyeri tekan (+)
A/Post craniotomy a/i EDH frontalis (d)
(POD H-6)

Instruksi PBJ :

1. Cefixim syr 2x1


2. Ibuprofensyr 2x1
3. Cloramfenicol zalf 3x1

33

Anda mungkin juga menyukai