Anda di halaman 1dari 2

NAMA : T.

ALVIANDRA FITRYAN
NPP : 28.0253
KELAS : F14

PEMILU 2019 DAN PENGARUHNYA


Proses tahapan dan penyelenggaraan pemilu sudah selesai. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) pada 21 Mei 2019 menetapkan rekapitulasi akhir perolehan suara pemilu presiden dan
pemilu legislatif.
Dalam putusan KPU, pasangan 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin mendapatkan suara
sebesar 55,50% suara dan pasangan 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebesar 44.50%.
Suara petahana naik sebesar 2.35% bila dibandingkan pemilu 2014 lalu.
Pemilu 2019 menjadi istimewa karena beberapa hal. Pertama, dari sisi penyelenggaraan
pemilu dilakukan secara serentak di hari yang sama untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu
Indonesia pasca-reformasi. Pemilu 2019 dikenal dengan pemilu lima kotak, karena pada hari
yang sama pemilih memilih lima kotak suara, yaitu presiden/wakil presiden, DPR-RI, DPR
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD.
Kedua, dari sisi pemilih, pemilu nasional 2019 termasuk salah satu pemilu terbesar di
dunia dengan jumlah pemilih mencapai 192 juta pemilih yang tersebar di 34 provinsi di seluruh
Indonesia dan pemilih luar negeri.
Ketiga, angka partisipasi pemilih meningkat secara signifikan bila dibandingkan dengan
pemilu - pemilu sebelumnya. Sebesar 81.97% dari pemilih menyalurkan hak pilihnya dalam
pemilu ini. Sebagai catatan, pada pemilu presiden 2004 putaran pertama, tingkat partisipasi
sebesar 79.76%. Lalu turun menjadi 74.44% pada pemilu 2004 putaran kedua. Pada pemilu
2009, tingkat partisipasi turun lagi ke angka 72.09% dan turun lagi menjadi 70% pada pemilu
2014.
Setelah pemilu, menarik untuk dilihat bagaimana pengaruh pesta demokrasi dan tahun
politis ini kepada pemerintahan, politik, dan ekonomi di Indonesia. Yang pertama adalah dari
segi pemerintahan dan politik dimana akan terjadi dualisasi. Polarisasi dalam Pilpres 2019
membuat negara bak terpecah jadi dua kubu. Untuk mendinginkannya, eks Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD menyarankan rekonsiliasi yang saling menguntungkan atau win-
win solution. Bentuknya, kata dia, berbagi kekuasaan antara kubu yang menang dengan kubu
yang kalah dalam Pilpres 2019. Senada, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan tak
menutup kemungkinan bahwa sejumlah partai oposisi akan bergabung dengan koalisi Jokowi
dengan berkaca pada Pilpres 2014. Saat itu, Partai Golkar, PAN, dan PPP yang semula oposisi
berbalik mendukung Jokowi-JK.
Sejumlah parpol kubu 02 disebut-sebut mulai merapat ke kubu 01. Misalnya, PAN dan
Partai Demokrat. Belakangan, Gerindra dikabarkan akan masuk kubu Jokowi setelah mendapat
sejumlah posisi. Hanya saja, rekonsiliasi via bagi-bagi kekuasaan ini memberi sejumlah risiko.
Yakni, pemerintahan akan 'gemuk'. Sebaliknya, oposisi akan semakin kurus jika hal itu terjadi.
Walhasil, kontrol terhadap eksekutif akan kurang. Bukan hanya itu, nantinya Presiden Jokowi
akan mendapat kritik dari publik jika terlalu banyak menempatkan politisi di dalam
kabinet. Fenomena parpol koalisi tak loyal tampak pada kebijakan Partai Golkar dan PKS di
DPR dalam kepemimpinan SBY periode 2009-2014. Misalnya, dalam hal RUU Pemilu.
Namun, desain koalisi presidensial ini sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden.
Jokowi punya pilihan: apakah akan membentuk koalisi gemuk atau koalisi yang tidak terlalu
gemuk dengan tetap mempertahankan partai-partai yang mendukungnya dalam pemilu. Namun
menurut pendapat saya, kalau saya sebagai Jokowi saya akan membuat parlemen yang tidak
terlalu gemuk, namun tetap membuka kemungkinan memasukkan partai oposisi dikarenakan
parlemen sebagai tombak pemerintahan dibidang legislative harus kuat.
Kemudian dari sisi ekonomi, hadirnya pemilu 2019 ini sebelumnya memiliki andil dalam
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada
kuartal I-2019 dimana pada saatu itu merupakan masa kampanye terjadi pertumbuhan ekonomi
yakni pengeluaran konsumsi Lembaga non profit rumah tangga (PK-LNPRT). Namun Tahun
politis ini tidak hanya membawa keuntungan namun juga membawa tantangan ekonomi
tersendiri bagi pemerintahan Indonesia. Isu-isu terkait pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
kesenjangan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, perdagangan internasional ditengah perang
dagang dan melemahnya permintaan dunia, serta keuangan menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah baru.

Anda mungkin juga menyukai