Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Intelegence sebagai kecerdasan, intelegensi, kecakapan untuk menangani

situasi-situasi dan kemampuan mempelajari sesuatu, termasuk pencapaian

kemampuan dengan kata lain, kemampuan yang berurusan dengan kerumitan-

kerumitan atau dengan hal-hal abstrak, kemampuan dan kecakapan berpikir.

Dengan demikian kecerdasan dapat diartikan sebagai kesempurnaan akal budi

yang diwujudkan dalam kemampuan-kemampuan umum yang terdiri dari

berbagai komponen untuk memperoleh kecakapan-kecakapan tertentu.

Dreven J, 1989, dalam (Adriani, 2014) menyatakan emosional

menyangkut atau disebabkan oleh emosi, dipakai dalam pengertian teknis : (a)

untuk suatu bias kecenderungan yang disebabkan attude (sikap) yang emosional

dalam melihat atau menafsirkan fakta (b) untuk ekspresi yang menunjukan

berbagai perubahan motor dan kelenjar yang menyertai rangsangan emosional

terutama yang menimbulkan suatu gambaran yang sedikit banyak bersifat khusus

dan dapat diamati dari luar, (c) untuk patten atau pola dalam pengertian yang

praktis sama akan tetapi dengan tekanan khusus atau kondisi tertentu yang

berkaitan dengan kondisi perasaan.

Solovey dan Mayer dalam (Adriani, 2014) mengembangkan sebuah model

dengan penekanan pada aspek kognitif dan memfokuskan pada kemampuan-

kemampuan tersebut meliputi empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,

1
2

mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan penyesuaian diri, diskusi,

kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketentuan, kesetiakawanan,

keramahan dan rasa hormat (Shaphiro, 1997). Secara konsep mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai emotional intelligence, at the most general level,to

the ability to recognize and regulate emotions in ourselver and in other. Meliputi

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,

mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan

berpikir dan berempati.

Emosi merupakan salah satu elemen dasar pada diri manusia menciptakan

perilaku pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Paul Ekman yang

menyatakan emosi memberikan pengaruh kepada proses berpikir (Goleman,

2000). Lebih lanjut memaparkan emosi dapat melumpuhkan proses berpikir

rasional karena emosi dapat memberikan masukan kepada proses berpikir rasional

yang berada di wilayah kecerdasan emosional. Ia mengungkapkan bahwa emosi

dapat memberikan masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional manusia

dan terdapat dua jenis pikiran yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional.

Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi

dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi,

karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam

belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang bagus. Akan

tetapi kenyataannya dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan

prestasi belajar siswa tidak setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa
3

yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar

yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya

relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang tinggi. Itu sebabnya taraf

inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan

seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Termasuk juga dalam hal

ini banyak di temukan fenomena bahwa banyak siswa yang memiliki

intelegensi tinggi ketika duduk di bangku sekolah tidak bisa mempertahankan

prestasi mereka (tidak sukses) ketika telah berkecimpung dalam kehidupan

bermasyarakat, bahkan kesuksesan mereka kalah jika dibandingkan dengan anak

yang dahulunya memiliki intelegensi sedang, atau bahkan rendah atau tidak

memiliki pendidikan yang tinggi. Ada faktor tertentu penyebab terjadinya

fenomena tersebut. Menurut Goleman (2000) kecerdasan intelektual (IQ) hanya

menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor

kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional

Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi,

mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta

kemampuan bekerja sama. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi

sangatlah penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa (Suryaputra, N,

2008).

Menurut Gagne dalam (Nur, 2008), salah satu hasil belajar yang penting

adalah keterampilan intelektual. Keterampilan intelektual memungkinkan

seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol

atau gagasan-gagasan. Keterampilan intelektual juga dapat memberi kemampuan


4

mengklasifikasi atau mengelompokkan peristiwa-peristiwa, objek-objek dan

kegiatan-kegiatan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tahapan

keterampilan intelektual adalah kemampuan memecahkan masalah yang

merupakan tahapan tertinggi keterampilan intelektual. Pada tahapan ini,

diharapkan setiap orang mampu menggabungkan aturan, dalil serta teori yang

telah dipahami sebelumnya untuk mencapai suatu pemecahan yang menghasilkan

aturan dengan tingkat yang lebih tinggi.

Keterampilan intelektual bisa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor

eksternal dan faktor internal. Pengaruh faktor eksternal dalam keterampilan

intelektual salah satunya adalah faktor lingkungan dan faktor internal dalam

keterampilan intelektual yaitu faktor kecerdasan intelektual (IQ), faktor spiritual

(SQ) dan faktor kecerdasan emosional (EQ). Misalnya seseorang yang sedang

emosional, tidak akan bisa berpikir dengan baik, betapapun tingginya IQ dan CQ

(Creatif Quotient) mereka. Oleh karena itu, muncul konsep baru yakni EQ atau

Emotional Quotient. Ide ini dipublikasikan secara luas pertama kali oleh seorang

pakar psikologi dari Harvard, Goleman, pada tahun 1950-an. Ia dalam bukunya

yang berjudul Emotional Intelligence menyatakan bahwa sesungguhnya IQ bukan

satu-satunya faktor kesuksesan. Kecerdasan emosional diperlukan apabila

individu menghadapi masalah yang dapat menimbulkan tekanan untuk individu

tersebut sehingga dapat mengendalikan emosi yang dimilikinya agar dapat

menghadapi masalah dengan baik.

Akan tetapi mampukah seorang guru didaerah kita mengetahui bentuk-

bentuk kecerdasan emosional yang dimiliki setiap anak didiknya. Sebab generasi
5

sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi

sebelumnya, lebih kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, gugup,

mudah cemas, impulsif dan agresif. Oleh karenanya kecerdasan emosi merupakan

bekal terpenting dalam mempersiapkan anak kedepannya, termasuk tantangan

untuk berhasil secara akademis. Persyaratan kecerdasan emosional digunakan

untuk pertama kalinya oleh Salovey dan Mayer 1990, yang dimaksud kecerdasan

dalam apa yang orang mengenali perasaan, memotivasi dan mengelola emosi

dalam kehidupan. Berkaitan dengan manajemen, Goleman (1995) menyebutkan

bahwa orang dengan IQ tinggi membuat seorang guru brilian dari analis

keuangan, tapi IQ tinggi dikombinasikan dengan EQ tinggi menciptakan kita

untuk menjadi pemimpin itu. Tampaknya IQ yang terdiri verbal, numerik, dan

keterampilan penting bagi kepemimpinan yang efektif berpikir.

Pemecahan masalah terutama pemecahan masalah fisika memerlukan

suatu tingkatan pemikiran paradigma pengukuran kecakapan yang meliputi

intellegence quatient(IQ), emotional quatient(EQ), creativity quatient(CQ) dan

religiousity quatient(RQ). Konsep EQ dan RQ mengacu pada kecerdasan otak

kanan, Otak kanan dalam analisis para pakar diyakini bermuatan daya cerna

terhadap suatu masalah dan pengelolaan emosi (Suryaputra, 2008).

Pada proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak

dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap

mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi

itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci

keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah


6

bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman

yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan

emotional intelligence siswa pada proses pemecahan masalah fisika.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mendeskripsihan

hubungan antara kecerdasan emosional siswa dengan kemampunan memecahkan

masalah fisika.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti

dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana hubungan antara kecerdasan

emosional dengan pemecahan masalah fisika pada siswa SMA Negeri 1 Palu?”.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan pemecahan

masalah fisika pada siswa SMA Negeri 1 Palu.

2. Mengetahui besarnya hubungan antara kecerdasan emosional dengan

pemecahan masalah fisika pada siswa SMA Negeri 1 Palu.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat menjadi bahan

pertimbangan bahwa dalam proses pembelajaran tidak hanya berorientasi pada

perkembangan intelektual semata, akan tetapi kecerdasan emosional siswa juga

perlu dikembangkan secara lebih maksimal.


7

1.5. Batasan Istilah

Adapun batasan-batasan istilah dalam proposal ini adalah sebagai berikut :

1) Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali

emosi dirinya, kemampuan untuk mengelola emosinya, kemampuan untuk

memotivasi dan memberikan dorongan untuk maju, kemampuan untuk

mengenal emosi orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan

dengan orang lain.

2) Pemecahan masalah adalah pemecahan masalah berdasarkan Polya yang

terdiri dari (1). Memahami masalah (2). Merencanakan penyelesaian (3).

Menyelesaikan masalah sesuai rencana (4). Memeriksa kembali hasil

pemecahan masalah (solusi).

Anda mungkin juga menyukai