Anda di halaman 1dari 41

Makalah Farmasi

DERMATITIS KONTAK IRITAN


KRONIS KUMULATIF

Oleh:
Dwitia Ayu Iswari Made
G99162100

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal (Sularsito et al, 2009). Dermatitis kontak adalah
reaksi fisiologik yang terjadi pada kulit karena kontak dengan substansi tertentu,
dimana sebagian besar reaksi ini disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya
disebabkan oleh alergen yang merangsang reaksi alergi (Lehrer, 2006). Dermatitis
kontak merupakan suatu respon inflamasi dari kulit terhadap antigen atau iritan
yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa malu dan merupakan kelainan
kulit yang paling sering pada para pekerja (Michael, 2005; Schalock, 2006).
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang
bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan
mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis
(Schalock, 2006). DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak
terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan
angkanya secara tepat sulit diketahui (Sularsito et al, 2005; Marks et al, 2007).
DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit), biasanya
sebagai respon terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang berbeda-beda bisa
terjadi. Tiga perubahan patofosiologi utama adalah disrupsi sawar kulit, perubahan
seluler epidermis dan pelepasan sitokin.6 Iritan pada DKI meliputi yang ditemui
sehari-hari seperti air, deterjen, berbagai pelarut, asam, bassa, bahan adhesi, cairan
bercampur logam dan friksi. Sering bahan-bahan ini bekerja bersama untuk
merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara memindahkan minyak dan

2
pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan masuk lebih dalam dan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan memicu inlamasi (Kezic, 2009)..
DKI masih belum banyak diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis
kontak alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang dermatitis kontak konsern pada
DKA. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis adalah berdasarkan ekslusi
penyakit kutan lainnya (khususnya DKA) dan pada penampakan klinis dermatitis
pada tempat yang terpapar dengan cukup terhadap iritan yang diketahui (Hogan,
2006). Terkadang penampakan klinis DKI kronik mirip dengan DKA. Beberapa
sumber menyatakan DKI kronik pada telapak tangan dan telapak kaki sulit
dibedakan dengan DKA (Jovanovi, 2003). Dalam penatalaksanaan DKI, penting
bagi penderita dan dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan
penyakitnya tersebut sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif
(Kezic,2009). Makalah ini membahas kasus DKI yang mengenai seorang penderita
pada daerah telapak tangan dan telapak kakinya setelah terpapar substansi deterjen

II. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya
dermatitis kontak sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta mendapat
penanganan yang adekuat dan tepat agar dapat mengontrol gejala dengan baik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak ialah peradangan kulit (epidermis dan dermis)
sebagai respon terhadap faktor eksogen dan endogen yang disebabkan oleh
bahan atau substansi yang menempel pada kulit dan dikenal dua
macamdermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis
kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik.
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa diketahui proses sensitasi. Sebaliknya,
dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitasi
terhadap suatu allergen (Djuanda, 2006; Stateschu, 2011). Dermatitis kontak
iritan (DKI) adalah efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika
maupun kimia yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan
respon peradangan pada dermis dalam wakttu dan konsentrasi yang
cukup(Verayati,2011). Substansi tersebut mengiritasi kulit, menjadikannya
tidak intak lagi (rusak) dan merangsang reaksi peradangan. Jadi iritasi kulit
merupakan penyebab tersering dermatitis kontak (Sularsito & Djuanda, 2009).
Bentuk respon dari dermatitis kontak dihasilkan melalui satu atau dua jalur
utama, iritan atau alergi, dimana 80% didominasi oleh dermatitis kontak iritan
dan sisanya 20% adalah dermatitis kontak alergi. Keduanya dapat bersifat
akut maupun kronis.DKI adalah inflamasi kutaneus yang disebabkan oleh
efek sitotoksik langsung dari bahankimia atau fisik tanpa menghasilkan
antibodi spesifik. Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi radang
imunologi kulit akibat kontak dengan alergen. Berbeda dengan dermatitis
kontak iritan, reaksi radang terjadi melalui proses imunologi. Saat pajanan
pertama kali, seseorang tidak mengalami reaksi apapun terhadap alergen.
Seseorang menjadi peka terhadap alergen setelah berulang kali kontak dengan
alergen (Koh&Goh, 2009).

4
B. Epidemiologi
Efek samping bahan deterjen dari bahan kimia terhadap kulit telah
banyak dilaporkan dan umumnya melibatkan dermatitis kontak yang dapat
terjadi akibat reaksi alergi maupun bahan iritan dan bagian tubuh yang terlibat
biasanya adalah tangan dan kaki. DKI dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan
(DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui
(Sularsito et al, 2009). Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya
penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh adanya keluhan yang mengganggu pasien.
Di Amerika, DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan
mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau
iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih,
pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis
tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-bersih,
penata rambut dan tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan karena
pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja yang
sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x tiap
pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena
pekerjaan (OR=4,13) (Jovanovi, 2005; Kezic, 2009).
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada
perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada
wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan
usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia. Banyak kasus karena
dermatitis ”diaper” (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada urine dan
feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak
toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang
terpapar iritan dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan
riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang (Kezic, 2009).

5
C. Etiologi
Etiologi Dermatitis Kontak Iritan
Pada DKI, kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berulang), adanya oklusi menyebabkan kulit
lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis, serta faktor suhu
dan kelembaban lingkungan. Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lebih lanjut
lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitamlebih tahan dari kulit putih); jenis
kelamin (insiden DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang pernah
atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun),
misalnya dermatitis atopik Penggunaan deterjen dapat menghilangkan lipid
dan kelembapan alami tangan. (Sularsito & Djuanda, 2009).

Etiologi Dermatitis Kontak Alergi


Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (< 1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai
faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi
alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,
terpajan sinar matahari)(Sularsito&Djuanda, 2009).

D. Patogenesis

6
Patogenesis Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Pada DKI, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan
oleh bahan iritan melalui kerja kimia atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan
tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan
mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan merusak membran
lemak keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak
lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran
mengaktifkan fosfolipase dan melepas asam arakidonat (AA), diasilgliserida
(DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA dirubah
menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi
vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi
sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga
memperkuat perubahan vaskular. DAG dan second messengers lain
menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1)
dan granulocyte macrophage colony stimulation factor (GMCSF). IL-1
mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor
IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel
tersebut.Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan
TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifkan sel T, makrofag
dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan
kulit setelah 6 bulan berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan
fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh
iritan.

Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

7
Dermatitis kontak alergi dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (IV) yang terbatas pada sejumlah orang tertentu setelah terpapar satu
atau beberapa substansi antigenik. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami
sensitisasi dapat menderita DKA.
1. Fase Sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol. Di dalam
kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-
antigen kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan
CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans, dan kompleks reseptor
sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Sel
langerhans mensekresi IL-1 yang kemudian menstimulasi sel-T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini
akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik sehingga menjadi lebih
banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh.
Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.
2. Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada
fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan
diproses secara kimia menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR
kemudian diekspresikan di permukaan sel.Selanjutnya kompleks
HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada selT yang telah
tersensitisasi baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi
aktivasi. Keratinosit menghasilkan sejumlah sitokin dan eikosanoid
yang akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada
dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan histamin, berbagai
jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4).

8
Eikosanoid, baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun
dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi 7 vaskular dan
meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis.
Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil,
monosit dan sel darah lain dari pembuluh darah masuk ke dalam
dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik
DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung 24-48 jam.
(Sularsito&Djuanda, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Dermatitis adalah peradangan kulit dengan morfologi khas namun
penyebabnya bervariasi. Manifestasi klinis dari DKI bermacam-macam
tergantung faktor eksternal seperti lingkungan (tekanan mekanik, suhu, dan
kelembaban) dan faktor predisposisi individu (umur, jenis kelamin, penyakit
kulit sebelumnya, keadaan atopik, dan lokasi anatomis). Orang yang berusia
lanjut tidak hanya lebih rentan terhadap DKI melainkan gejala dan klinisnya
lebih berat, hal ini disebabkan karena telah menurunnya barrier pertahanan
kulit. Faktor lingkungan seperti suhu dingin dan kelembaban udara yang
menurun dapat menurunkan kadar air dalam stratum korneum. Suhu yang
dingin sendiri dapat menurunkan kekompakan lapisan korneosit sehingga
menyebabkan terpecahnya stratum korneum (Wahyudi & Hutomo, 2005).
Pada pasien dengan DKI, ketika kulit terkena paparan iritan maka kulit akan
menjadi radang, bengkak, kemerahan, dan dapat berkembang menjadi vesikel
kecil atau papul (tonjolan) yang pada tahap akut mengeluarkan cairan. Pada
tahap kronis, kulit menjadi bersisik, mengalami likenifikasi, menebal, retak,
dan dapat berubah warna.(Koh & Goh, 2009).Gatal, perih, dan rasa terbakar
terjadi pada bintik-bintik merah tersebut. Reaksi inflamasi dapat bermacam-
macam, mulai dari gejala awal seperti yang telah disebutkan tadi sampai
pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Pada pasien yang terpapar
iritan kronis, area kulit tersebut dapat mengalami radang, dan mulai
mengkerut, membesar, bahkan terjadi hiper/hipopigmentasi dan penebalan

9
(likenifikasi). Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi DKI diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu kategori
mayor terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif.
Kategori lain terdiri atas DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI
eritematosa, dan DKI subyektif (Sularsito & Djuanda, 2009). Tanda dan
gejala DKA sangat tergantung pada alergen, tempat, dan durasi pemaparan
serta faktor individu. Pada umumnya kulit tampak kemerahan dan bulla.
Blister juga mungkin terjadi dan dapat membentuk crust dan scales ketika
pecah. Gatal, rasa terbakar, dan sakit merupakan gejala dari DKA.Pada yang
akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel,vesikelataubula.Vesikelataubula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.DKA dapat meluas ketempat lain dengan cara autosensitasi (Sularsito &
Djuanda, 2009).

F. Diagnosis
Diagnosis penyakit kulit akibat kerja tidak hanya membutuhkan
pengetahuan yang baik mengenai dermatologi, tapi juga pengetahuan praktis
tentang proses pekerjaan pasien, bahan yang digunakan, praktik, dan
kebiasaan pasien. Tampilan klinis penyakit kulit akibat kerja sama dengan
penyakit kulit yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Terdapat bahaya
saat kita mengabaikan penyakit kulit akibat kerja yaitu bahwa penyakit pasien
akan kambuh lagi bila pasien kembali bekerja (Koh&Goh, 2009). Anamnesis
yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Pemeriksaan tambahan yang
relevan termasuk uji tempel dan tes laboratorium yang dilakukan bersamaan
dengan kunjungan ke tempat kerja, sering memungkinkan dokter untuk
menegakkan diagnosis yang tepat (Koh&Goh, 2009). Perbedaan antara DKI
dan DKA dapat dilihat pada Tabel 1.

10
11
Anamnesis
Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk
mencari kausanya karena hal tersebut penting dalam menentukkan terapi dan
tindak lanjutnya supaya tidak terjadi kekambuhan (Koh & Goh, 2009). Pada
anamnesis yang penting untuk ditanyakan antara lain:
1. Riwayat pekerjaan sekarang: tempat bekerja, jenis pekerjaan, kegiatan
yang lazim dilakukan pada hari kerja, pakaian pelindung dan peralatan,
dan fasilitas kebersihan dan prakteknya
2. Faktor pekerjaan sehubungan dengan gangguan kulit seperti material
yang dipakai dan proses yang dilakukan, informasi mengenai
kesehatan dan keselamatan tentang material yang ditangani, apakah
ada perbaikan pada akhir pekan atau pada hari libur, riwayat kerja
yang lalu sebelum bekerja di tempat tersebut, riwayat tentang penyakit
kulit akibat kerja yang pernah diderita, apakah ada pekerjaan rangkap
di samping pekerjaan yang sekarang
3. Riwayat lainnya secara umum: latar belakang atopi (perorangan atau
keluarga), alergi kulit, penyakit kulit lain, pengobatan yang telah
diberikan, kemungkinan pajanan di rumah, dan hobi pasien.

Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai; yang tersering adalah daerah yang terpajan,
misalnya tangan, lengan, muka, atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam
kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel,
edema, bula, dan eksudasi. Kelainan yang kulit yang kronis berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, kering, dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat
pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau
ulkus (Taylor & Sood, 2003).

12
Pemeriksaan Penunjang
Uji tempel adalah tes definitif untuk menentukan dermatitis kontak
alergi. Prosedur tes ini digunakan untuk mengidentifikasi alergen yang
menyebabkan dermatitis. Prosedur tes ini berupa penempelan satu set alergen
yang dicurigai yang ditutup rapat di atas kulit punggung bagian atas selama
48 jam (Koh&Goh, 2009). Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji
tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Pembacaan kedua dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya
72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respon alergik dan iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam setelah aplikasi (Sularsito&Djuanda, 2009).

G. Penatalaksanaan
Pencegahan
Berdasarkan hasil penelitian, gejala DKAK dapat berkurang ketika
penderita beristirahat dari pekerjaannya dan kekambuhan saat bekerja
bervariasi, yaitu 35-80%. Pasien dengan DKAK yang memiliki prognosis
yang buruk, pencegahan lini pertama sangatlah penting untuk dilakukan
(Taylor & Sood, 2003). Prevalensi dermatosis akibat kerja dapat diturunkan
melalui pencegahan yang sempurna, antara lain:
1. Pendidikan pengetahuan tentang kerja dan bahan yang mungkin dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja dan cara mempergunakan alat
serta akibat buruk alat tersebut.
2. Para karyawan dilengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung
yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya
merangsang atau karsinogen seperti baju pelindung dan sarung tangan.
3. Melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima di suatu
perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini, karyawan baru dapat

13
ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan
terhadap dirinya.
4. Pemeriksaan kesehatan berkala yang bertujuan untuk mengetahui
dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit
kulit akibat kerja.
5. Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara
sukarela untuk mengetahui apakah ada menderita suatu dermatosis
akibat kerja
6. Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia, dan ahli dalam bidang
tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja, atau
memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan
pekerjaan untuk mencegah kontaminasi kulit (Taylor & Sood, 2003).

Pengobatan
Dermatitis Kontak Iritan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan
dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup
dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila
diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat
diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis yang ditangani ataupun tidak ditangani secara alami
membutuhkan waktu sekitar 10-21 hari untuk mereda akibat sistem imun
pasien sendiri.Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema,
edema, vesikel, atau bula, serta eksudatif, misalnya prednison 30 mg/hari.
Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal

14
atau larutan air salisil 1:1000. Untuk DKA ringan atau DKA akut yang
telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik),
cukup diberikan kostikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau
tacrolimus (Sularsito & Djuanda, 2009).

15
BAB III
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. F
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin :P
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Laundry
Alamat : Surakarta
No. RM : 01370XXX
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 19 September 2017
Tanggal Pemeriksaan : 19 September 2017

2. Keluhan Utama
Gatal dan perih pada kedua jari tangan.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSDM dengan keluhan
kulit mengelupas di ujung jari-jari kedua tangan dan telapak kaki. Keluhan
ini sudah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya pasien merasakan
sedikit gatal pada ujung-ujung jari kedua tangan diikuti munculnya
perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kemudian sering digaruk, lalu
kulit pasien seperti bersisik dan mengelupas. Keluhan ini dikatakan muncul
setelah pasien mencuci dengan detergen attack. Menurut pasien keluhan
sempat berkurang setelah pasien berhenti mencuci dengan tangan, namun
kemudian muncul kembali beberapa minggu setelah pasien kembali
mencuci menggunakan detergen dengan tangannya. Dikatakan kaki pasien
juga terkena air cucian yang mengandung air detergen.

16
Pasien juga mengeluh perih pada ujung jari-jari kedua tangannya. Keluhan
ini dirasakan sejak 6 bulan yang lalu bersamaan dengan munculnya
kemerahan dan pengelupasan kulit. Keluhan kulit terasa lebih tebal ada,
gatal tidak ada. Keluhan timbulnya lesi yang sama pada lipatan siku dan
lutut tidak ada. Karena kesibukan pasien maka pasien baru dapat berobat
sebulan setelah keluhan awal muncul. Saat ini pasien mengatakan gatal
muncul hampir setiap saat, baik pagi maupun malam hari dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Dua hari sejak rasa gatal tersebut muncul gelembung-
gelembung air dan menjadi luka akibat digaruk.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat sakit ginjal (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat mondok (-)
Riwayat sakit serupa (-)
Riwayat alergi (-)

5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum jamu (-)
Riwayat minum obat bebas (-)
Riwayat minum alkohol (-)
Riwayat merokok (-)

6. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat alergi (-)

17
7. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : gatal dan perih pada kedua jari tangan
b. Kulit : kuning (-), kering (-), pucat (-), menebal(-), gatal
(+) di jari tangan, kemerahan (+) di tangan,
bercak-bercak kuning (-), luka (-)
c. Kepala : pusing (-), nyeri kepala (-), nggliyer (-),kepala
terasa berat (-), perasaan berputar-putar (-),
rambut mudah rontok (-)
d. Mata : konjungtiva pucat (-/-), mata berkunang kunang(-),
pandangan kabur (-), gatal (-), mata merah (-/-)
e. Hidung : tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau
air berlebihan (-), gatal (-).
f. Telinga : pendengaran berkurang (-), keluar cairan atau darah
(-), telinga berdenging (-).
g. Mulut : bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-), sariawan
(-), gigi mudah goyah (-), sulit berbicara (-)
h. Tenggorokan : rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-),
sakit tenggorokan (-), suara serak (-).
i. Sistem respirasi : sesak nafas (-),batuk (-),dahak (-), darah (-), nyeri
dada (-), mengi (-).
j. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), terasa ada yang menekan (-),
sering pingsan (-), berdebar-debar(-), keringat
dingin (-), ulu hati terasa panas (-), denyut
jantung meningkat (-), bangun malam karena
sesak nafas (-).
k. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), rasa penuh di perut (-),
cepat kenyang (-), nafsu makan berkurang (-),
nyeri ulu hati (-), BAB cair (-), sulit BAB (-),
BAB berdarah (-),perut nyeri setelah makan
(-), BAB warna seperti dempul (-), BAB
warna hitam (-).

18
l. Sistem muskuloskeletal : lemas (-), seluruh badan terasa keju
kemeng (-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-),
bengkak sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot
(-), kejang (-), leher cengeng (-)
m. Sistem genitouterina : nyeri saat BAK (-), panas saat BAK (-),
sering buang air kecil (-), air kencing
warna seperti teh (-), BAK darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan (-),
sering menahan kencing (-), rasa pegal di
pinggang, rasa gatal pada saluran kencing
(-), rasa gatal pada alat kelamin
n. Ekstremitas :
Atas : luka (+/+), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin
(-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit (-/-)
Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa
dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit
(-/-)

19
B. PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 19 September 2017
1. Keadaan Umum : CM, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
 Tensi : 120 / 80 mmHg
 Nadi : 80 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
 Frek nafas : 18 x/menit, abdominothorakal
 Suhu : 36,30C
3. Status gizi :
 BB : 50 kg
 TB : 160 cm
 BMI : 19,53kg/m2
 Kesan : Status gizi cukup
4. Kulit : warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna putih, mudah rontok (-),
luka (-), atrofi m. Temporalis (-).
6. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), skleraikterik (-
/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), strabismus (-/-)
7. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeritekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung :nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut :sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi
berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
10. Leher : JVP R + 2 cm (tidak meningkat), trakea ditengah,simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Axilla : rambut axilla rontok (-)

20
12. Thorax : bentuk normochest, simetris, pengembangan dadakanan =
kiri, venektasi (-), retraksi intercostal (-),spidernevi (-),
pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar(-),
pembesaran KGB axilla (-/-), atrofi m. Pectoralis (-).
a. Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : ictus kordis tidak kuat angka, teraba di 1 cm sebelah
medial SIC V linea medioclavicularis sinistra
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis
dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
- Pinggang jantung : SIC III lateral parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
 Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
b. Pulmo
i. Depan
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis: pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis: pergerakan kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri

21
 Perkusi
- Kanan : sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC
VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut
paru hepar
- Kiri : sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI
lineamedioclavicularis sinistra
 Auskultasi
- Kanan :suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
- Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
ii. Belakang
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis: pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis: pergerakan kanan=kiri, fremitus raba kanan =kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor.
- Kiri : Sonor.
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)

22
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
13. Abdomen
 Inspeksi : dinding perut sejajar dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi : timpani, Pekak alih (-), Pekak sisi (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-);hepar dan
lien tidak teraba
14. Ekstremitas
Akral dingin Oedem

15. Status Lokalis


Regio :manusdextra et sinistra
Effloresensi: Makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah
multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada jari-jari tangan. Di atas
efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi eritema
akibat garukan pasien.

23
C. Diagnosis Banding
1. Dermatitis KontakIritan
2. Dermatitis KontakAlergi
3. Dermatitis Atopi

D. Diagnosis
Dermatitis Kontak Iritan tipe kumulatif kronis et causa bahan-bahan
kimia pembersih

E. Penatalaksanaan
A. Non – Medikamentosa
1. Avoidance atau menghindari pajanan bahan iritan, serta
menyingkirkan faktor memperberat
2. Tidak menggaruk luka dan memakai alat pelindung diri yang
adekuat ( sarung tangan) agar tetap dapat bekerja
3. Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, kondisi
pasien dan penatalaksanaan
B. Medikamentosa
1. Kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl
0.9%
2. Hydrocortisone cream 2,5%
3. Dimethicone cream 5%
4. Loratadine tablet 10 mg 1 x 1

24
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

R/ Solutio fisiologis 0,9% ml 500 fl. No. I


Cum kassa steril box No. I
ʃ 2 dd epithema
R/ Hydrocortisone cream 2,5% tube No. I
ʃ uc
R/ Dimethicone cream 5% tube No. I
ʃ2 dd ue
R/ Loratadine tab mg 10 No. V
ʃ 1 dd tab I
Pro : Ny. F (35 tahun)

I. Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting
pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang
dioleskan di kulit pada tempat tertentu.Kortikosteroid topikal telah
digunakan untuk mengobati penyakit kulit sejak diperkenalkan
hidrokortison sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid
pada tahun 1952

A. Klasifikasi Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal diklasifikasikan dalam 7 golongan
berdasarkan potensi klinisnya, yaitu:

25
1. Golongan I : Super Potent
• Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5%
• Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05%
• Diflorasone diacetate ointment 0,5%
• Halobetasol proprionate ointment 0,05%

2. Golongan II : Potent
• Amcinonide ointment 0,1%
• Betamethasone diproprionate AF cream 0,05%
• Mometasone fuorate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate ointment 0,05%
• Halcinonide cream 0,1%
• Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
• Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%

3. Golongan III : Potent, upper mid-strength


• Triamcinolone acetonide ointment 0,1%
• Fluticasone proprionate ointment 0,05%
• Amcinonide cream 0,1%
• Betamethasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone valerate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate cream 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,5%

4. Golongan IV : Mid-strength
• Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
• Flurandrenolide ointment 0,05%
• Fluticasone proprionate cream 0,05%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Mometasone fuorate cream 0,1%

26
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%

5. Golongan V : Lower mid-strength


• Alclometasone diproprionate ointment 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Betamethasone valerate cream 0,1%
• Fluocinolone acetonide cream 0,025%
• Flurandrenolide cream 0,05%
• Hydrocortisone butyrate cream 0,1%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Triamcinolone acetonide lotion 0,1%

6. Golongan VI : Mild strength


• Alclometasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Desonide cream 0,05%
• Fluocinolone acetonide cream 0,01%
• Fluocinolone acetonide solution 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%

7. Golongan VII : Least potent


• Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan
prednisole.

Dalam penggolongan ini, obat yang sama dapat ditemukan


dalam klasifikasi potensi obat yang berbeda tergantung dari
vehikulum yang digunakan.

B. Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum
dan melalui membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan

27
sel-sel lain yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu
memasuki jaringan, kortikosteroid berdifusi menembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA
dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan
perantara efek fisiologis steroid.

Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang


berhubungan dengan mekanisme kerja yang berbeda, antara lain
adalah efek anti-inflamsi, imunosupresif, antiproliferasi, dan
vasokonstriksi. Efek kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi
oleh ikatan kortikosteroid pada reseptor di sitosol, diikuti dengan
translokasi kompleks obat-reseptor ke daerah nukleus DNA yang
dikenal dengan corticosteroid responsive element, dimana lalu bisa
menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang berdampingan,
dengan demikian meregulasi proses inflamasi.

 Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat
kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa
kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan
menghibisi pelepasan phospholipase A2, suatu enzim yang
bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin,
leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain.
Kortikosteroid juga menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang
terlibat dalam aktivasi gen pro-inflamasi. Gen-gen ini
diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran dalam
resolusi inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan
interleukin 1α (IL-1α), sitokin proinflamasi penting, dari
keratinosit. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-

28
inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis
dan menstabilisasi membran lisosom dalam memfagositosis sel.
 Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat
immunosupresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan
efek faktor-faktor humoral yang terlibat dalam proses inflamasi,
menginhibisi migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan
mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast dan
fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid
bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.
 Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh
inhibisi sintesis dan mitosis DNA, yang sebagian menjelaskan
terapi obat-obat ini pada dermatosis dengan scale. Aktivitas
fibroblas dan pembentukan kolagen juga diinhibisi oleh
kortikosteroid topikal.
 Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi
masih belum jelas, namun dianggap berhubungan dengan
inhibisi vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan
prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler-kapiler di
lapisan superfisial dermis berkonstraksi, sehingga mengurangi
edema.

Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis


kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan
berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit
hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan
struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal,
karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi
dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.

29
Hidrokortison efektif semcara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak
tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor
digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik
apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di
antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep,
fatty ointment (paling baik penetrasinya).

C. Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu
merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu
diingat bahwa kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Kortikosteroid topical direkomendasikan untuk aktivitas
anti-inflamasinya pada penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga
digunakan untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk
mengurangi sistesis molekul-molekul connective tissue. Variebel
tertentu harus dipertimbangkan saat mengobati kelainan kulit
dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon penyakit terhadap
kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bias dibedakan
dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif sedang, dan
kurang responsif sesuai tabel 2.

Highly Moderately Least Responsive


Responsive Responsive
 Psoriasis  Psoriasis  Palmo-plantar psoriasis
(intertriginous)  Atopic  Psoriasis of nails
 Atopic dermatitis
dermatitis (adult)  Dyshidrotic eczema
(children)  Nummular  Lupus erythematous
 Seborrheic eczema  Pemphigus
dermatitis  Primary
 Intertrigo irritant  Lichen planus
dermatitis  Granuloma annulare
 Necrobiosislipoidicadiabeticum

30
 Popular  Sarcoidosis
urticaria  Allergic contact dermatitis,
 Parapsoriasis
acute phase
 Lichen
simplex  Insect bites
chronicus

D. Dosis
Largo dan Maibach mengobservasi dalam beberapa literature
terkini bahwa untuk kortikosteroid super poten, pemberian satu kali
per hari sama manfaatnya dengan pemberian dua kali per hari. Sama
halnya, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit perbedaan dengan
pemberian sekali atau dua kali per hari untuk kortikosteroid poten
atau poten sedang. Karena itu, pemberian kortikosteroid topical satu
kali per hari lebih dipilih, dapat mengurangi risiko efek samping,
mengurangi biaya pengobatan, dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Sebagai aturan pakai, pemberian kortikosteroid topical
sebaiknya tidak lebih dari 45 g/minggu untuk kortikosteroid topical
poten atau 100 g/minggu untuk potensi sedang dan lemah jika
absorpsi sistemik dihindari.
Penyakit-penyakit yang sangat responsive biasanya akan
memberikan respon pada preparat steroid lemah, sedangkan
penyakit yang kurang responsive memerlukan steroid topical
potensi menengah atau tinggi. Kortikosteroid topical potensi lemah
digunakan pada daerah wajah dan intertriginosa. Kortikosteroid
sangat poten seringkali diperlukan pada hyperkeratosis atau
dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak tangan dan
kaki. Kortikosteroid topical harus dihindari pada kulit dengan
ulserasi atau atrofi.
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2
atau 3 minggu) atau secara intermiten. Saat kontrol terhadap

31
penyakit sudah dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi
lemah harus dimulai. Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya
pemakaian hanya pada pagi hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan)
dilakukan ketika kontrol terhadap penyakit sudah tercapai sebagian.
Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba harus dihindari setelah
penggunaan jangka panjang untuk mencegah rebound phenomena.

E. EfekSamping
Efek samping dapat terjadi apabila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau
sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal
termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis
akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis
peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid
menjadi beberapa tigkat, yaitu:

 Efek Epidermal
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan
aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata
lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-
epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin
topikal secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah
ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan.

 Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada
substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan

32
vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur
jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang
terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu
blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk
jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.
 Efek Vaskular
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya
menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil
di superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan
menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi
berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi (Valencia &Kerdel, 2008).

II. Emolien
Emolien menyejukkan, menghaluskan, dan melembabkan kulit dan
diindikasikan untuk semua penyakit kulit bersisik (seperti iktiosis). Efek
obat-obat ini singkat dan sebaiknya tetap sering dioleskan walaupun telah
terjadi perbaikan. Emolien berguna pada penyakit eksim kering, dan kurang
baik pada psoriasis. Sediaan sederhana seperti krim yang mengandung air
sesuai untuk beberapa pasien dengan kulit yang kering namun sediaan yang
lebih berminyak meliputi parafin putih yang lembut, salep emulsi, dan salep
parafin putih cair yang lembut juga tersedia. Tingkat keparahan, keinginan
pasien dan lokasi pemberian obat seringkali menentukan pemilihan emolien.
Beberapa bahan kadang dapat menyebabkan sensitisasi dan ini sebaiknya
dicurigai bila timbul reaksi eksematosa. Kalamin dan seng oksida dapat
ditambahkan karena berguna dalam eksim kering. Dapat dicampur bahan
penebal seperti talk dan kaolin.Sediaan seperti krim dengan dasar salep dan
salep emulsi dapat digunakan sebagai bahan pengganti sabun untuk pencuci
tangan dan untuk mandi. Penggunaannya digosokkan pada kulit sebelum

33
dibilas seluruhnya. Penambahan minyak untuk mandi dapat juga membantu
sediaan yang mengandung antibakteri harus dihindarkan kecuali bila ada
infeksi atau jika ada keluhan yang berulang. Urea digunakan sebagai
pelembab. Digunakan dalam kondisi kulit bersisik dan berguna pada pasien
lanjut usia. Urea dipakai dengan obat topikal seperti kortikosteroid untuk
meningkatkan penetrasi.
Pada neonatus, sediaan emolien yang berbasis parafin bebas
pengawet dapat melembabkan kulit tanpa mempengaruhi flora kulit normal.
Zat seperti minyak zaitun juga digunakan. Pembentukan blisters
(epidermolysis bullosa) atau iktiosis dapat dihilangkan dengan mengoleskan
cairan dan salep parafin putih yang lembut sambil menunggu hasil
pemeriksaan kulit.

III. Anti Histamin


Histamin adalah suatu alkoloid yang disimpan di dalam mast sel.
dan menimbulkan berbagai proses faal dan patologik. Pelepasan histamin
terjadi akibat reaksi antitigen-antibodi atau kontak antara lain dengan obat,
makanan, kemikal dan venom. Histamin ini kemudian mengadakan reaksi
dengan reseptornya (H1 dan H2) yang tersebar di berbagai jaringan tubuh.
Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler dan reaksi mukus. Perangsangan reseptor H2 terutama
menyebabkan sekresi asam lambung. Antihistamin meghambat reaksi alergi
yang menghasilkan histamine, serotonin, bradikinin, asam arakidonat yang
akan diubah menjadi prostaglandin.Penderita yang mendapat obat AH1
klasik akan menimbulkan efek samping, mengantuk, kadang-kadang timbul
rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini
sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila
obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang. Dekade ini muncul
antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang
tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah. Termasuk dalam
AH1 non sedatif ini adalah; terfenidin, astemizol, loratadin, mequitazin.

34
A. Farmakologi
AH1 non sedatif berbeda dengan AH1 klasik oleh sifat
farmakokinetiknya. Secara in-vitro diketahui bahwa terfenidin,
astemisol terikat lebih lambat kepada reseptor H1 daripada AH1
klasik dan jika telah terikat akan dilepaskan secara lambat dari
ikatan reseptor.
1. Terfenidin
Merupakan suatu derivat piperidin. Terfenidin diabsorbsi
sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam
pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama
kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan didistribusi
luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi
melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23
jam. Efek maksimum telah terlihat sekitar 3-4 jam dan
bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg
diberikan 2 X sehari.
2. Astemizol
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan
cincin benzimidazol. Astemizol pada pemberian oral kadar
puncak dalam darah akan dicapai setelah 1 jam pemberian.
Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20
hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif
dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan
tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat
dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal
bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan
sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan protein
plasma sekitar 96%.
3. Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin. Absorbsinya cepat pada
pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah

35
6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat,
duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1
X sehari (malam hari).
4. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin. Penambahan atom C1
meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin.
Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam
pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat
dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh
descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg
satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar
puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda
setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai jaringan
tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL)
bersifat aktif secara farmakologi clan juga tidak ada
kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di
dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40%
melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati
waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10
mg 1 X sehari.

B. Penggunaan Anti Histamin 1 (AH1) Non Sedatif


AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja
histamin terutama diperifer, sedangkan di sentral tidak terjadi karena
tidak dapat melalui sawar darah otak. Antihistanin bekerja dengan
cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor histamin pada sel,
menyebabkan histamin tidak mencapai target organ. AH1 non
sedatif umumnya mempunyai efek antialergi yang tidak berbeda
dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti melaporkan bahwa untuk
penderita seasonal rhinitis alergika, terfenidin bekerja lebih cepat (1-

36
3 jam) dari astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit ini astemizol
dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik. Loratadin dan Mequitazin
mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama dengan terfenidin.
Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang paling tidak spesifik,
karena masih mempunyai efek antikolinergik. Efek terhadap
"psychomotor performance" dari terfenidin, asetemizol, loratadin
dari berbagai penelitian menyatakan tidak dijumpai kelainan. Pada
reaksi wheal dan flare, pemberian per oral terfenidin 60 mg
menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah pemberian, efek
maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12 jam sesudah pemberian (2).
Pada loratadin respon wheal akan ditekan pada pemberian 1-2 jam.
(Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian jangka panjang dan untuk
penderita yang pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya
pengemudi mobil lebih sesuai diberi AH1 non sedatif, karena efek
sedasi dan atltikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu
penderita. Krause dan Shuter 1985 mendapat hasil astemizol lebih
baik pada penggunaan jangka panjang terhadap urtikaria kronik
dibandingkan dengan chlorfeniramin. Ferguson et al mendapatkan
hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin dengan plasebo
dalam menurunkan skor itch dan wheal. Loratadin mengurangi
sistem chronic idiopathic urticaria dari pada plasebo. Untuk
pengobatan seasonal allergic rhinitis (SAR) telah dilakukan
beberapa uji klinik antara lain Katelaris membandingkan loratidin
dengan azatadin pada 34 penderita dan mendapatkan efek kedua
obat sama baiknya, tetapi loratadin kurang efek sampingnya.

C. Toksisitas dan Efek Samping


Penyelidikan pada binatang percobaan memperlihatkan
dijumpainya toksisitas yang rendah, sedang aktivitas mutagenik dan
karsinogenik tidak dijumpai pada AH1 non sedatif. Pemberian dosis
terapi AH1 non sedatif meskipun jarang sekali, dapat juga timbul

37
sedasi dan efek samping lain. Pemberian astemizol lebih dari 2
minggu dapat meningkatkan nafsu makan dan menambah berat
badan. Pada beberapa AH1 sedatif ada yang daPat melalui ASI tepai
konsentrasinya cukup kecil. Efek antikolinergik jarang sekali terjadi
pada penggunaan AH1 non sedatif, kecuali mequitazin (Gapar,
2003).

38
BAB V

PENUTUP

Pekerja di bidang kebersihan terutama laundry adalah salah satu profesi


yang rentan mengalami dermatitis kontak terutama karena sering terpapar langsung
dengan bahan kimia yang terkadung dalam produk-produk pembersih yang
digunakan saat bekerja. Manifestasi klinis yang muncul berupa radang, bengkak,
kemerahan, dan dapat berkembang menjadi vesikel kecil atau papul (tonjolan) yang
pada tahap akut mengeluarkan cairan. Pada kasus diatas diberikan terapi non
medikamentosa dan medikamentosa yang meliputi:
Non – Medikamentosa :
1. Avoidance, atau mengurangi kontak dengan menggunakan sarung
tangan
2. Tidak menggaruk luka
3. Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, kondisi
pasien dan penatalaksanaan
Medikamentosa :
1. Kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl
0.9%
2. Hydrocortisone cream 2,5%
3. Dimethicone cream 5%
4. Loratadine tablet 10 mg 1 x 1

39
DAFTAR PUSTAKA

Gapar RS. Farmakologi obat-obat anti histamin non sedative pada penyakit
alergi.USU library. 2003. p. 1-4.

Hogan, D. Contact Dermatitis, Irritant. Emedicine; 2006. Diunduh pada 14


November 2016 dari : http://www.emedicine.com/specialties.htm

Jovanovi, D. L. et al. Chronic Contact Allergic And Irritant Dermatitis Of Palms


And Soles: Routine Histopathology Not Suitable For Differentiation. Acta
Dermatoven APA Vol 12, No 4; 2003.p:127

Kezic S, Visser MJ, Verberk MM. Individual Susceptibility to Occupational


Contact Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47. P. 469-78.

Koh D, Goh CL. Gangguan Kulit. Dalam: Jeyaratnam J, Koh D. Buku Ajar Praktik
Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC; 2009. p. 96-125.

Lehrer, M. S. Contact dermatitis. Medline Plus Medical Encyclopedia; 2006.


Diunduh pada 14 November 2016 dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html

Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. Third
Edition. USA: Mosby inc; 2002. p. 3-15.

Michael, J. A. Dermatitis, Contact. Emedicine; 2005. Diunduh pada 14 November


2016 dari: http://www.emedicine.com/specialties.htm

Schalock, P. C. Dermatitis. Merck Manual Home Edition; 2006. Available at:


http://www.merck.com

Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009. p.
129- 153.

40
Taylor JS, Sood A. Occupational Skin Disease. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 6th ed. USA: McGraw Hill; 2003. p. 1309-30.

Valencia I.C, Kerdel F.A. Topical Corticosteroids.In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. 7th ed. United States of America: The McGraw-Hill
Companies Inc; 2008. p. 2102-6.

Wahyudi N, Hutomo M. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Berkala Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 2005; Vol. 18, No. 3, p. 232-38.

41

Anda mungkin juga menyukai