Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. PENGERTIAN
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari fungsi
struktural jantung atau sebagai kegagalan jantung dalam mendistribusikan
oksigen sesuai dengan yang dibutuhkan pada metabolisme jaringan,
meskipun tekanan pengisian normal atau adanya peningkatan tekanan
pengisian (Mc Murray et al., 2012).
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan
oleh ketidakmampuan jantung dalam memompa darah untuk memenuhI
kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro et al., 2015).
Gagal Jantung didefenisikan sebagai ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
kejaringan tubuh. Sering disebut juga dengan Congestive Heart Failure (CHF)
karena umumnya pasien mengalami kongesti pulmonal dan perifer (Smeltzer
et al., 2010).
Menurut Crawford (2009) gagal Jantung adalah sindrom klinis yang
kompleks yang dikarakteristikkan sebagai disfungsi ventrikel kanan, ventrikel
kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan pengaturan
neuruhormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas,
retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal. Umumnya terjadi pada
penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer
mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
B. ANATOMI FISIOLOGI KARDIOVASKULER
Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses
pengangkutan berbagai substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri
dari organ penggerak yang disebut jantung, dan sistem saluran yang terdiri
dari arteri yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan
darah menuju jantung.
Jantung manusia merupakan organ berongga yang memiliki 2 atrium dan 2
ventrikel. Jantung merupakan organ berotot yang mampu mendorong darah
ke berbagai bagian tubuh. Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan
berukuran sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebalah kiri.
Jantung dibungkus oleh suatu selaput yang disebut perikardium. Jantung
bertanggung jawab untuk mempertahankan aliran darah. Untuk mejamin
kelangsungan sirkulasi, jantung berkontraksi secara periodik.
Otot jantung berkontraksi terus menerus tanpa mengalami kelelahan.
Kontraksi jantung manusia merupakan kontraksi miogenik, yaitu kontraksi
yang diawali kekuatan rangsang dari otot jantung itu sendiri dan bukan dari
syaraf.
1. Ukuran dan bentuk
Ukuran jantung panjangnya kira-kira 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-
kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 gram dan
sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Setiap harinya jantung berdetak
100.000 kali dan dalam masa periode itu jantung memompa 2000 galon
darah atau setara dengan 7.571 liter darah.
Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah
dada, bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas
processus xiphoideus. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis
pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi
kanan caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1
cm dari tepi lateral sternum. Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi
caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri
caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di kiri linea
medioclavicularis.
2. Pelapis
Selaput yang membungkus jantung disebut perikardium dimana terdiri
antara lapisan fibrosa dan serosa, dalam cavum pericardii berisi 50 cc yang
berfungsi sebagai pelumas agar tidak ada gesekan antara perikardium dan
epikardium. Perikardium adalah kantong berdinding ganda yang dapat
membesar dan mengecil, membungkus jantung dan pembuluh darah besar.
Kantong ini melekat pada diafragma, sternum dan pleura yang
membungkus paru-paru. Di dalam perikardium terdapat dua lapisan yakni
lapisan fibrosa luar dan lapisan serosa dalam.
3. Dinding Jantung
Terdiri dari tiga lapisan
a. Epikardium luar tersusun dari lapisan sel-sel mesotelial yang berada di
atas jaringan ikat.
b. Miokardium tengah terdiri dari jaringan otot jantung yang berkontraksi
untuk memompa darah. Kontraksi miokardium menekan darah keluar
ruang menuju arteri besar.
c. Endokardium dalam tersusun dari lapisan endotellial yang melapisi
pembuluh darah yang memasuki dan meninggalkan jantung.
4. Ruang Jantung
Ada empat ruang, atrium kanan dan kiri atas yang dipisahkan oleh septum
intratrial, ventrikel kanan dan kiri bawah dipisahkan oleh septum
interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium menerima darah dari
vena yang membawa darah kembali ke jantung. Ventrikel berdinding
tebal. Bagian ini mendorong darah ke luar jantung menuju arteri yang
membawa darah meninggalkan jantung.
a. Atrium kanan terletak dalam bagian superior kanan jantung, menerima
darah dari seluruh jaringan kecuali paru-paru.
Vena cava superior dan inferior membawa darah yang tidak
mengandung oksigen dari tubuh kembali ke jantung.
Sinus koroner membawa kembali darah dari dinding jantung itu
sendiri.
b. Atrium kiri di di bagian superior kiri jantung, berukuran lebih kecil
dari atrium kanan, tetapi dindingnya lebih tebal. Atrium kiri
menampung empat vena pulmonalis yang mengembalikan darah
teroksigenasi dari paru-paru.
c. Ventrikel kanan terletak di bagian inferior kanan pada apeks jantung.
Darah meninggalkan ventrikel kanan melalui trunkus pulmonar dan
mengalir melewati jarak yang pendek ke paru-paru.
d. Ventrikel kiri terletak di bagian inferior kiri pada apeks jantung. Tebal
dindingnya 3 kali tebal dinding ventrikel kanan darah meninggalkan
ventrikel kiri melalui aorta dan mengalir ke seluruh bagian tubuh
kecuali paru-paru.
5. Katup Jantung
Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan
keduanya yaitu katup trikuspidalis, sedangkan pada atrium kiri dan
ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/
bikuspidalis. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat
terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel.
a. Katup Trikuspidalis
Katup trikuspidalis berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan.
Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan
menuju ventrikel kanan. Katup trikuspidalis berfungsi mencegah
kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup
pada saat kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid
terdiri dari 3 daun katup.
b. Katup Pulmonal
Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam
ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis
bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan
berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal
trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun
katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila
ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari
ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis.
c. Katup Bikuspidalis
Katup bikuspidalis atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid
menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua
daun katup.
d. Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta.
Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga
darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup
pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk
kembali kedalam ventrikel kiri.

6. Sistem Penghantar Jantung


SA Node (pace maker), di dinding atrium kanan dekat muara vena cava
superior; 60-100x/mnt. Fungsi utama jantung adalah memompa darh ke
seluruh tubuh dimana pada saat memompa jantung otot-otot jantung
(miokardium) yang bergerak. Untuk fungsi tersebut, otot jantung
mempunyai kemampuan untuk menimmbulkan rangsangan
listrik. Aktifitas kontraksi jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh
selalu didahului oleh aktifitas listrik. Aktifitas listrik ini dimulai pada
nodus sinoatrial (nodus SA). Pada nodus SA mengawali gelombang
depolarisasi secara spontan sehingga menyebabkan timbulnya potensial
aksi yang disebarkan melalui sel-sel otot atrium, nodus atrioventrikuler
(nodus AV), berkas His, serabut Purkinje dan akhirnya ke seluruh otot
ventrikel.
a. AV node, di dasar atrium kanan dekat sekat atrium-ventrikel; 40-
60x/mnt.
b. Berkas his, berkas dari AV node masuk ke septum interventrikel.
c. Serat Purkinje, serat yang menyebar ke miokard ventrikel; 20-40x/mnt.
7. Sirkulasi Jantung
Darah kotor dari tubuh bagian atas diafragma dan darah kotor dari bagian
bawah diafragma melalui vena kava superior dan vena kava
inferior masuk ke atrium kanan- lalu masuk ke ventrikel kanan melalui
katub trikuspidalis-kemudian melalui arteri pulmonalis darah kotor
dibawa ke kedua paru,didalam paru darah menjadi kaya oksigen, dan darah
yang kaya oksigen tersebut dibawa masuk ke atrium kiri melalui vena
pulmonal – lalu masuk ke ventrikel kiri melalui katub bicuspid /katub
mitral-dari ventrikel kiri darah dialirkan ke sistemik melalui katub
semilunar aorta, begitu seterusnya.

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS


1.Etiologi
Gagal Jantung disebabkan oleh disfungsi miokardial dimana jantung
tidak mampu untuk mensuplai darah yang cukup untuk mempertahankan
kebutuhan metabolik jaringan perifer dan organ tubuh lainnya. Gangguan
fungsi miokard terjadi akibat dari miokard infark acut MCI), Prolonged
Cardiovaskular Stress (hipertensi dan penyakit katup), toksin (ketergantungan
alkohol) atau infeksi (Crawford,2009).
Menurut Lilly, 2011; Black & Hawks, 2009 didalam Yuliana, 2012.
Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri
dari: (1) kerusakan kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan afterload, dan (3)
kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan pengisian diastolik).
Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease (miokard
infark dan miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan aortic
regurgitasi) dan cardiomyopathies. Peningkatan afterload terjadi karena
stenosis aorta, mitral regurgitasi, hipervolemia, defek septum ventrikel, defek
septum atrium, paten duktus arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi
berat. Sedangkan kerusakan pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan
karena hipertrofi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosi miokard,
transient myocardial ischemia, dan kontriksi perikardial.
Etiologi Gagal Jantung menurut Brunner & Suddarth, (2002) adalah
kelainan otot jantung yang dapat menyebabkan menurunnya kontraktilitas
jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung
mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot
degeneratif atau inflamasi.
Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda
dari gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap
etiologi dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara
industri, Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan
pada 60-75% pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi
memberi kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75%
pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi
memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus.
Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak
aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi
membentuk thrombus pada tungkai bawah atau panggul. Emboli paru dapat
berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri pulmonalis yang
sebaliknya dapat mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel .
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan
hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan
memberi tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban
meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik.
2. faktor pencetus
Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi
pada LV, infark miokard, obesitas, diabetesFaktor resiko minor meliputi
merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik, albuminuria, anemia, stress,
lifestyle yang buruk. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas. Infeksi yang
disebabkan oleh virus, parasit, bakteri. Toksik yang disebabkan karena
pemberian agen kemoterapi (antrasiklin, siklofosfamid, 5 FU), terapi target
kanker (transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.
Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.(Ford et al., 2015)

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi
dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
1. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi,
tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa
adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien
yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien
dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien
yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
2. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda
dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan
pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri
ataupun penyakit valvular asimptomatik.
3. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada
jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah
terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah,
tidak dapat melakukan aktivitas berat.
4. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat
keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan


gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :
1. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
2. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild
CHF).

3. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja
mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
4. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang
berat (severe CHF).

Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA


memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus
pada faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi
menurut NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang
ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan
seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien.
E. PATOFISIOLOGI
Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian
adaptasi kompensasi yang dimaksudkan untuk mempertahankan homeostasis
kardiovaskuler. Salah satu adaptasi terpenting adalah aktivasi system saraf
simpatik, yang terjadi pada awal gagal jantung. Aktivasi system saraf
simpatik pada gagal jantung disertai dengan penarikan tonus parasimpatis.
meskipun gangguan ini dalam kontrol otonom pada awalnya dikaitkan
dengan hilangnya penghambatan masukan dari arteri atau refleks baroreseptor
kardiopulmoner, terdapat bukti bahwa refleks rangsang juga dapat
berpartisipasi dalam ketidakseimbangan otonom yang terjadi pada gagal
jantung. dalam kondisi normal masukan penghambatan dari “tekanan tinggi”
sinus karotis dan baroreceptor arcus aorta dan “tekanan rendah”
mechanoreceptor cardiopulmonary adalah inhibitor utama aliran simpatis,
sedangkan debit dari kemoreseptor perifer nonbaroreflex dan otot
“metaboreseptor” adalah input rangsang utama outflow simpatik. Pada gagal
jantung, penghambat masukan dari baroreseptor dan mekanoreseptor
menurun dan rangsangan pemasukan meningkat, maka ada peningkatan
dalam aktivitas saraf simpatik, dengan hilangnya resultan dari variabilitas
denyut jantung dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer. Berbeda
dengan sistem saraf simpatik, komponen dari sistem renin-angiotensin
diaktifkan beberapa saat kemudian pada gagal jantung. mekanisme untuk
aktivasi RAS dalam gagal jantung mencakup hipoperfusi ginjal, penurunan
natrium terfiltrasi mencapai makula densa di tubulus distal, dan
meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, yang menyebabkan peningkatan
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin memotong empat asam
amino dari sirkulasi angiotensinogen, yang disintesis dalam hepar, untuk
membentuk angiotensin I. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memotong
dua asam amino dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II.
Mayoritas (90%) dari aktivitas ACE dalam tubuh terdapat dalam jaringan,
sedangkan 10% sisanya terdapat dalam bentuk terlarut (ikatan non membran)
dalam interstitium jantung dan dinding pembuluh darah. Angiotensin II
mengerahkan efeknya dengan mengikat gabungan dua reseptor G-Protein
angiotensin yang disebut tipe 1 (AT 1) dan angiotensin tipe 2 (AT 2).
Reseptor angiotensin yang dominan dalam pembuluh darah adalah reseptor
AT1. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel,
sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin, sedangkan aktivasi reseptor
AT2 menyebabkan vasodilatasi, penghambatan pertumbuhan sel, natriuresis,
dan pelepasan bradikinin. Angiotensin II memiliki beberapa tindakan penting
untuk mempertahankan sirkulasi homeostasis jangka pendek. Namun,
ekspresi berkepanjangan dari angiotensin II dapat menyebabkan fibrosis
jantung, ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II dapat juga memperburuk
aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari
ujung saraf simpatik, serta merangsang zona glomerulosa korteks adrenal
untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron menyediakan dukungan jangka
pendek ke dalam sirkulasi dengan melakukan reabsorbsi natrium dalam
pertukaran dengan kalium di tubulus distal. Aldosterone dapat menimbulkan
disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan menghambat uptake
norepinefrin, salah satu atau semua dari kelainan tersebut dapat memperburuk
gagal jantung.
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II
adalah vasokonstriktor kuat dari ginjal (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik,
di mana ia merangsang pelepasan noradrenalin dari terminal saraf simpatis,
menghambat tonus vagus, dan mempromosikan pelepasan aldosteron. Hal ini
menyebabkan retensi natrium dan air dan peningkatan ekskresi kalium. Selain
itu, angiotensin II memiliki efek penting pada miosit jantung dan dapat
menyebabkan disfungsi endotel yang diamati pada gagal jantung kronis.

F. TANDA DAN GEJELA


Adapun manifestasi klinis yang ditemui pada pasien gagal jantung
berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri, terdiri dari: (Lilly, 2011;
Ignatavisius & Workman, 2010 dalam Yuliana 2012).
1. Gagal Jantung kiri, dengan tanda dan gejala berupa:
a. Penurunan cardiac output: kelelahan, oliguri, angina, konfusi dan
gelisah, takikardi dan palpitasi, pucat, nadi perifer melemah, akral
dingin.
b. Kongesti pulmonal: batuk yang bertambah buruk saat malam har
(paroxysmal noctural dyspnea), dispnea, krakels, takipnea dan
orthopnea.
2. Gagal Jantung kanan, manifestasi klinisnya adalah kongesti sistemik yaitu
berupa: distensi vena jugularis, pembesaran hati dan lien, anoreksia dan
nausea, edema menetap, distensi abdomen, bengkak pada tangan dan jari,
poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah atau
penurunan tekanan darah karena kegagalan pompa jantung
3. Manifestasi klinis Gagal Jantung Menurut Hayes., dkk (2008). Yaitu:
Demam, Hipertensi, Nocturia, Dypsnea, Paroxysmal atau dypsnea
noctural, Batuk, Orthopnea, Hypoxemia, Pernafasan Cheyne-Stokes,
Anorexia, Mual, Kelelahan, Kelemahan, Cemas, Bingung, Sakit kepala
dan Insomnia.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat berupa :
1. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya
dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal
dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
2. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi
kerusakan pada katup jantung.
3. Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat
menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkanhati tidak dapat
berfungsi dengan baik.
4. Serangan jantung dan stroke.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda
akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko
terkena serangan jantung atau stroke.

H. TES DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung harus mencakup
evaluasi awal pada jumlah darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum
(termasuk pemeriksaan kalsium, magnesium), blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, glukosa, profil lipid puasa, tes fungsi ginjal dan hati, x-ray
dada, elektrokardiogram (EKG) dan thyroid-stimulating hormone (Yancy et
al., 2013).
EKG: Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia, misalnya takikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
funsi/struktur katup atau penurunan kontraktilitas ventricular.
Skan jantung: Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
Kateterisasi jantung: Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan dan sisi kiri dan stenosi katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan ke
dalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan
kontraktilitas.
Rontgen dada: Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh
darah abnormal.
Echocardiography: Menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel
kiri, pembesaran ventrikel dan abnormalitas katup mitral. Untuk memperkuat
diagnosis dilakukan pemeriksaan fisik yang biasanya menunjukkan denyut
nadi yang lemah dan cepat, tekanan darah menurun, bunyi jantung abnormal,
pembesaran jantung, pembengkakan vena leher, cairan di dalam paru-pau,
pembesaran hati, penambahan berat badan yang cepat, pembengkakan perut
atau tungkai.
Pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung, dapat pula dilakukan
pemeriksaan kadar serum natrium peptida (NICE, 2010).

I. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Tatalaksana Terapi CHF
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan
American Heart Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai
berikut :
a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor
resiko.
b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.
d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.
2. AlgoritmaTerapi
a. Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi
gagal jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi
9tahun 2015 (Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal
jantung kongestif (CHF) adalah sebagai berikut :
1) Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja
menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara
menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian
remodeling jantung serta retensi air dan garam.
2) Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan
menggunakan β-blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif
yang masih stabil dan untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri
tanpa kontraindikasi ataupun adanya riwayat intoleran pada β-
blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker sendiri yaitu dengan
menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh
darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat
memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga mampu
meningkatkan periode refractory.
3) Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada
subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan
hanya untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang
intoleran pada penggunaan ACE I. Food and Drug Approval
(FDA) menyetujui penggunaan candesartan dan valsartan baik
secara tunggal maupun kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan
terapi pada pasien gagal jantung kongestif.
4) Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan
edema baik sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi
gagal jantung kongestif ditujukan untuk meringankan gejala
dyspnea serta mengurangi retensi air dan garam (Figueroa dan
Peters, 2006). Diuretik yang banyak digunakan yaitu dari golongan
diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid (HCT) dan golongan
diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung henle di ginjal
seperti furosemid.
5) Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat
golongan antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg
perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
6) Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai
sifat inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan
kontraktilitas dan meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin
memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan dosis
rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan
kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring
ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
7) Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling
melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri
yang dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta
meningkatkan stroke volum dan cardiac output. Hidralazin
memiliki mekanisme yaitu dengan menghambat inositoltrifosfat
(IP3) pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi untuk
melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan ion
kalsium intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama (dilatasi
pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban
awal jantung) dengan mekanisme aktivasi cGMP (cyclic
Guanosine Monophosphate) sehingga menurunkan kadar ion
kalsium intraseluler.

3. Terapi Diit
Gagal jantung kongestif terjadi akibat menurunnya efisiensi miokard
yang disebabkan oleh infark miokard, penyakit katup jantung,
hipertensi, defisiensi tiamin dan kondisi lainnya. Laju darah menurun
dengan gangguan eksresi natrium dan air. Sering sebagai akibat adanya
edema perifer, edema paru dan asites.
Nutrisi kuratif:
a. Pengurangan natrium pada diet untuk mengurangi retensi cairan.
b. Jumlah natrium yang diizinkan berkisar 45-70 mg/kg/hari pada
bayi, 2 g untuk orang dewasa. Kotak pembatasan natrium
memberikan petunjuk untuk mencapai batasan natrium. Biasanya
natrium dibutuhkan untuk jangka panjang sehingga pasien dan
keluarganya perlu mendapatkan instruksi tentang pembatasan
natrium.
c. Pengurangan untuk pemasukan cairan membantu mengurangi
volume peredaran darah.
d. Jumlah cairan yang dianjurkan berkisar 80-160 ml/kg/hari pada
bayi dan 1,5-2 liter/hari pada orang dewasa. Ini termasuk makanan
yang berasal dari makanan serta cairan yang diberikan bersama
obat. Beberapa makanan padat pada suhu ruangan dan cair pada
suhu tubuh. Gelatin dapat dihitumg 100% air, es krim 33%, es
buah dan sherbet 50% serta custard 75%. Zat-zat gizi bila mungkin
harus dipenuhi dalam volume kecil. Bila perlu diberikan makanan
parenteral, 20% emulsi lemak (2 kkal/ml) dapat digunakan sebagai
sumber lemak
e. Tingkatkan pemasukan kalium menjadi 4-7 g/hari, kecuali bila ada
gangguan ginjal.
f. Diuretik meningkatkan kehilangan kalium dan terjadi hipokalemia
sebagai predisposisi dari toksisitas digitalis.
g. Bagi makanan yang akan dimakan dalam sehari dalam bentuk porsi
kecil.
h. Bagi pasien jantung dengan sesak napas, makan dalam 5-6 porsi
kecil sehari lebih dapat diterima dengan baik dari pada 3 porsi
besar sehari.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CHF
A. PENGKAJIAN
a. Biodata Klien
Biodata klien meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin,
suku/bangsa, agama, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat). Identitas
penanggung jawab (nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, status,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat) dan catatan
masuk (tanggal, waktu masuk, caranya, diagnosa medis, no register dan
tanggal pengkajian
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Klien dengan CHF biasanya mengeluh sesak napas, nyeri, kelelahan,
nyeri ulu hati, dan batuk.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan klien yang dirasakan saat ini yang berhubungan dengan keluhan
utama.
Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai kelemahan fisik klien
secara PQRST, yaitu :
P : Provoking incident, kelemahan fisik terjadi setelah melakukan
aktivitas ringan sampai berat, sesuai dengan gangguan pada jantung.
Q : Quality of pain, seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan
aktivitas yang dirasakan atau digambarkan klien. Biasanya setiap
beraktivitas klien merasakan sesak nafas.
R : Region, apakah kelemahan fisik bersifat lokal atau memengaruhi
keseluruhan sistem otot rangka dan apakah disetai ketidakmampuan dalam
melakukan pergerakan.
S : Severity (scale) of pain, Kaji rentang kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Biasanya kemampuan klien dalam
beraktivitas menurun sesuai derajat gangguan perfusi yang dialami organ.
T : Time, sifat mula timbulnya, keluhan kelemahan beraktivitas
biasanya timbul perlahan. Lama timbulnya kelemahan saat beraktivitas
biasanya setiap saat, baik saat istirahat maupun saat beraktivitas
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami sakit sebelumnya yang tidak
berhubungan atau yang berhubungan dengan penyakit sekarang.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan klien.
5) Riwayat Sosial Ekonomi
Meliputi pekerjaan klien saat ini, keadaan ekonomi keluarga klien saat
ini.Apakah ekonomi klien kurang, cukup, atau lebih.
Pengkajian Pola fungsi dan Pengkajian Fisik
6) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum :
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien gagal jantung
biasanya baik atau composmentis dan akan berubah sesuai tingkat
gangguan perfusi sistem saraf pusat.
b) Tanda-Tanda Vital :
TD : Nadi : Respirasi : Suhu :
Sistem pernapasan:
Gejala-gejala kongesti vascular pulmonal adalah dipsnea, ortopnea,
dispnea nocturnal pasroksismal, batuk dan edema pulmonal akut,
takipnea. Adanya sputum mungkin bersemu darah.
Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut pada dada, keluhan kelemahan
fisik dan adanya edema ektremitas. Ujung jari kebiruan, bibir pucat
abu-abu.
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan
volume sekuncup. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup
biasanya ditemukan apabila gagal jantung adalah kelainan katup. Irama
jantung disritmia. Bunyi jantung S3 (Gallop) adalah diagnostik, S4
dapat terjadi. S1 dan S2 mungkin melemah.
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan
adanya hipertrofi jantung (kardiomegali).

Sistem persyarafan
Kesadaran klien biasanya composmentis. Sering ditemukan sianosis
perifer apabila terjadi gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian
objektif klien meliputi wajah meringis, menangis, merintihm meregang
dan menggeliat.

Sistem Perkemihan
Pengukuran volume output urine selalu dihubungkan dengan intake
cairan. Perawat perlu memonitor adanya oliguruia karena merupakan
tanda awal dari syok kardiogenik. Adanya edema ekstremitas
menunjukkan adanya retensi cairan yang parah. Penurunan berkemih,
urine berwarna gelap, berkemih malam hari (nokturia).
Sistem Pencernaan
a) Hepatomegali
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka
tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan
terdorong masuk ke rongga abdomen, suatu kondisi yang
dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini
dapat menyebabkan tekanan pada diafragma sehingga klien dapat
mengalami distress pernapasan.
b) Anoreksia
Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat
pembesaran vena dan stasis vena didalam rongga abdomen.
Sistem muskolo
Ektremitas
Pada ujung jari terjadi kebiruan dan pucat. Warna kulit pucat dan
sianosis.
a) Edema
Edema sering dipertimbangkan sebagai tanda gagal jantung yang
dapat dipercaya dan tentu saja, ini sering ditemukan bila gagal
ventrikel kanan telah terjadi. Ini sedikitnya merupakan tanda yang
dapat dipercaya bahwa telah terjadi disfungsi ventrikel.
b) Mudah lelah
Klien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah, hal ini terjadi
akibat curah jantung yang berkurang yang dapat menghambat
sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan dan menghambat
pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat
meningkatnya energy yang digunakan untuk bernapas dan insomnia
yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.
Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan kelemahan
dan keletihan. Gejala-gejala ini dapat dipicu oleh
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia.
DIAGNOSA
Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dari proses keperawatan yang
mana didukung oleh penyebab serta tanda-tanda dan gejalanya. Diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien dengan CHF yaitu :
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas

miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi

listrik, perubahan struktural.

2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai

oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi

glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan

retensi natrium/air.

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

membran kapiler-alveolus

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah

baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.

6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program

pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi

tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal jantung.


B. Intervensi Keperawatan

Merupakan tahap ketiga proses keperawatan yang ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan klien berdasarkan diagnosa keperawatan yaitu prioritas masalah,

menetapkan tujuan, menetapkan kriteria hasil, mengidentifikasi tindakan

keperawatan yang tetap untuk mencapai tujuan.

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas

miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi

listrik, perubahan struktural.

Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung.

Kriteria hasil : Tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia

terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung, melaporkan

penurunan episode dispnea, angina, ikut serta dalam aktivitas yang

mengurangi beban kerja jantung.

Intervensi :

a. Auskultasi nadi apikal, kaji frekuensi dan irama jantung.

Rasional : biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat)

untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.

b. Catat bunyi jantung.

Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa.

Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke

serambi yang distensi. Murmur dapat menunjukkan inkompetensi/

stenosis katup.
c. Palpasi nadi perifer.

Rasional : penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi

radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang

atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulsus alternan.

d. Pantau TD.

Rasional : pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah dapat

meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi dan

hipotensi tidak dapat normal lagi.

e. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis.

Rasional : pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder

terhadap tidak adekuatnya curah jantung, vasokontriksi dan anemia.

Sianosis dapat terjadi sebagai refraktori GJK. Area yang sakit sering

berwarna biru atau belang karena peningkatan kongesti vena.

f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai

indikasi (kolaborasi).

Rasional : meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk

melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk

meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan

menurunkan kongesti.

g. Berikan obat sesuai indikasi : diuretik, vasodilator, antikoagulan.

Rasional : tipe dan dosis diuretik tergantung pada derajat gagal jantung

dan status fungsi ginjal. Penurunan preload paling banyak digunakan

dalam mengobati pasien dengan curah jantung relative normal ditambah


dengan gejala kongesti. Diuretik mempengaruhi reabsorpsi natrium dan

air. Vasodilator digunakan untuk meningkatkan curah jantung,

menurunkan volume sirkulasi dan tahanan vaskuler sistemik, juga kerja

ventrikel. Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembentukan

thrombus/emboli pada adanya faktor risiko seperti statis vena, tirah baring,

disritmia jantung.

h. Pemberian cairan IV.

Rasional : karena adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri, pasien tidak

dapat mentoleransi peningkatan volume cairan (preload). Pasien GJK juga

mengeluarkan sedikit natrium yang menyebabkan retensi cairan dan

meningkatkan kerja miokard.

i. Pantau seri EKG dan perubahan foto dada.

Rasional : depresi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi

karena peningkatan kebutuhan oksigen miokard, meskipun tak ada

penyakit arteri koroner. Foto dada dapat menunjukan pembesaran jantung.

j. Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, kreatinin.

Rasional : peningkatan BUN/Kreatinin menunjukan hipoperfusi/gagal

ginjal.
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai

oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi

Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas yang di inginkan

Kriteria hasil: Berpartisipasi pada aktivitas yang di inginkan, memenuhi

perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang

dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.

Intervensi :

a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila

klien menggunakan vasodilator, diuretik dan penyekat beta.

Rasional : hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek

obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretik) atau pengaruh fungsi

jantung.

b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,

disritmia, dispnea berkeringat dan pucat.

Rasional : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan

volume sekuncup selama aktivitas dapat menyebabkan peningkatan segera

frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan

kelemahan.

c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.

Rasional : dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung

daripada kelebihan aktivitas.

d. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)

Rasional : peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja


jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi

jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali.

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi

glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan

retensi natrium/air.

Tujuan: Tidak terjadi kelebihan volume cairan

Kriteria hasil : Klien akan mendemonstrasikan volume cairan stabil

dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas,

tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak

ada edema, menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.

Intervensi :

a. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat hari dimana

diuresis terjadi.

Rasional : pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena

penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga

pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.

b. Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24

jam.

Rasional: terapi diuretik dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-

tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.


c. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama

fase akut.

Rasional : posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan

produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.

d. Pantau TD dan CVP (bila ada).

Rasional : hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan

cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru,

gagal jantung.

e. Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan

konstipasi.

Rasional : kongesti viseral (terjadi pada GJK lanjut) dapat

mengganggu fungsi gaster/intestinal.

f. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) : diuretik, tiazid.

Rasional : diuretik meningkatkan laju aliran urine dan dapat

menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada tubulus ginjal. Tiazid

meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan.

g. Konsultasi dengan ahli diet.

Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang

memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

membran kapiler-alveolus.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertukaran gas


Kriteria hasil : Klien akan mendemonstrasikan ventilasi dan

oksigenisasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam

rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan, berpartisipasi dalam

program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.

Intervensi :

a. Pantau bunyi nafas, catat krekles.

Rasional: menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan secret

menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.

b. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.

Rasional: membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.

c. Dorong perubahan posisi.

Rasional: membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.

d. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.

Rasional: hipoksemia dapat terjadi berat selama oedem paru.

e. Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi

Rasional : meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat

memperbaiki/ menurunkan hipoksemia jaringan.

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah

baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan

Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil : Klien akan mempertahankan integritas kulit,

mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.


Intervensi :

a. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya

terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.

Rasional : kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi

fisik dan gangguan status nutrisi.

b. Pijat area kemerahan atau yang memutih.

Rasional: meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.

c. Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak

pasif/aktif.

Rasional: memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu

aliran darah.

d. Berikan perawatan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.

Rasional: terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat

kerusakan.

e. Hindari obat intramuskuler.

Rasional : edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat

absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya

infeksi.

6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program

pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman tentang hubungan

fungsi jantung/penyakit/gagal jantung.

Tujuan : Pengetahuan klien bertambah


Kriteria hasil : Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan

episode berulang dan mencegah komplikasi, mengidentifikasi faktor resiko

dan beberapa teknik untuk menangani, melakukan perubahan pola

hidup/perilaku.

Intervensi :

a. Diskusikan fungsi jantung normal.

Rasional: pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat

memudahkan ketaatan pada program pengobatan.

b. Kuatkan rasional pengobatan.

Rasional : klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang

dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat

yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.

c. Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi.

Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan

sendiri/penatalaksanaan dirumah.

4. Pelaksanaan Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan

dengan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun dan disesuaikan

dengan kondisi klien

Pelaksanaan pada klien dengan CHF antara lain meningkatkan cardiac

output, memandirikan klien untuk melakukan aktifitas, mengotrol

keseimbangan cairan, mencegah terjadinya gangguan pertukaran gas,


mencegah terjadinya kerusakan integritas kulit, memberikan informasi

tentang kondisi dan program pengobatan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah proses membandingkan efek atau hasil suatu

tindakan keperawatan dengan normal atau kriteria tujuan yang sudah dibuat

merupakan tahap akhir dari proses keperawatan evaluasi terdiri dari :

Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap

respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan

analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan

perkembangan.

Sedangkan evaluasi keperawatan yang diharapkan pada klien dengan

CHF yaitu :

1) Tidak terjadi penurunan cardiac output,

2) Mampu melakukan aktifitas secara mandiri,

3) Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan,

4) Tidak terjadi gangguan pertukaran gas,

5) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit,

6) Memahami tentang kondisi dan program pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai