Anda di halaman 1dari 58

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakatu.

Puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan
kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga penulis dapat menyusun laporan
“Penyusunan Peta Kemiringan Lereng” ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Geologi Lingkungan dengan tepat waktu.

Diharapkan laporan ini dapat menjadi tambahan referensi bagi pembaca dan
pribadi penulis sendiri. Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan laporan ini, untuk
itu diharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki laporan ini
sehingga dapat menjadi referensi yang baik bagi kita semua.

Samata, 6 Juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG......................................................................... 4
1.2. TUJUAN.............................................................................................. 5
1.3. MANFAAT.......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. PENDAHULUAN GEOLOGI LINGKUNGAN............................. 6
2.2. KONSEP TEKTONIK DAN DEFORMASI BATUAN.................. 9
2.3. GEOMORFOLOGI........................................................................... 11
2.4. SUMBERDAYA GEOLOGI............................................................ 13
2.5. BAHAYA GEOLOGI....................................................................... 14
2.6. TPA SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH PADAT.......... 22
2.7. PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI
BENCANA GEOLOGI...................................................................... 26

BAB III METODOLOGI PENYUSUNAN PETA KELERENGAN


3.1. ALAT DAN BAHAN........................................................................... 28
3.2. PROSEDUR PENYELESAIAN.......................................................... 28

2
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. HASIL PERHITUNGAN..................................................................... 33
4.2. PEMBAHASAN HASIL PERHITUNGAN........................................ 56

BAB V PENUTUP
5.1. KESIMPULAN.................................................................................... 57
5.2. SARAN................................................................................................ 57

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 58

LAMPIRAN................................................................................................. 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Planologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perencanaan suatu
kota atau wilayah. Dalam merencanakan wilayah membutuhkan pertimbangan
dari berbagai disiplin ilmu yang salah satunya adalah ilmu geologi. Geologi
sendiri adalah ilmu yang mempelajari planet bumi termasuk komposisi,
keterbentukan, serta sejarahnya.
Dari berbagai cabang ilmu geologi, geologi lingkungan dan
geomorfologi merupakan cabang ilmu yang informasinya begitu diperlukan
dalam perencanaan sebuah wilayah.
Berdasarkan konsep dasar geologi lingkungan yang dikemukakan oleh
Killer (1982), dapat ditarik kesimpulan bahwa informasi geologi sangantlah
penting dalam melakukan perencanaan. Informasi tersebut terdiri atas
komponen sumberdaya dan kendala geologi yang data dasarnya tersaji dalam
bentk peta digital maupun analog.
Terdapat setidaknya sembilan informasi peta yang salah satunya
adalah peta kelerengan. Peta kelerengan sendiri dihasilkan dari perhitungan
peta kontur yang memberi informasi derajat kemiringan lereng sehingga dapat

3
diketahui tingkat kemiringan suatu lereng. Dari inforasi inilah dapat diketahui
peruntukan suatu dataran dalam perencanaan tata guna lahan suatu wilayah.
Maka dari itu, untuk mengetahui perhitungan kemiringan lereng dan
membaca peta kemiringan lereng sangatlah penting bagi seorang perencana
dalam melakukan/menyusun rencana tata guna lahan suatu kawasan.

1.2.TUJUAN
Adapun laporan ini disusun dengan beberapa tujuan, antara lain untuk :
1) Memahami bentuk-bentuk informasi geologi yang berkaitan dengan
perencanaan wilayah.
2) Mengetahui cara menghitung kemiringan lereng berdasarkan peta kontur.
3) Dapat menentukan fungsi suatu kawasan berdesarkan tingkat kemiringan
lerengnya.

1.3.MANFAAT
Adapun manfaat dari penyusunan laporan ini adalah :
1) Memberi pengetahuan mengenai ilmu geologi dan hubungannya dengan
perencanaan wilayah.
2) Menjadi tambahan referensi bagi pembaca.
3) Memberi informasi perhitungan kemiringan lereng dan penentuan fungsi
kawasan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.PENDAHULUAN GEOLOGI LINGKUNGAN


Geologi merupakan ilmu kebumian yang mempelajari berbagai hal
mengenai planet bumi, membahas komposisi, struktur, dan sejarah
perkembangan bumi, termasuk kehidupan masa lalu di bumi ini.
Cabang-cabang geologi antara lain ; geologi fisika, geologi sejarah,
geokimia, geofisika, geomorfologi, petrologi, petrografi, mineralogi,
paleontologi, stratigrafi, agrogeologi, geologi struktur, vulkanologi, geologi
ekonomi, geologi teknik, hidrogeologi, geologi minyak, dan geologi
lingkungan.
Geologi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara
alam (geological enviorontment) dengan aktivitas manusia yang bersifat
timbal balik.

2.1.1.Geologi Dan Masalah Lingkungan


a. Konsep Dasar Geologi Lingkungan
Konsep dasar geologi lingkungan menurut Killer (1982), yaitu :
1. Pada dasarnya bumi merupakan sistem yagn tertutup.

5
2. Bumi adalah satu-satunya tempat kehidupan manusia namun
sumberdaya alamnya terbatas.
3. Proses-proses alam yang terjadi sekarang merubah bentang alam
yang telah tersusun elama periode geologi baik secara alami maupun
buatan.
4. Selalu ada proses alam yang membahayakan dan mengancam
kehidupan manusia.
5. Perencanaan tata guna lahan dan penggunaan air harus diusahakan
agar mendapatkan keseimbangan antara pertimbangan ekonomi dan
penilaian estetika.
6. Efek dari penggunaan tanah sifatnya kumulatif, oleh karena itu
manusia memiliki kewajiban menerima dan menanggunganya.
7. Komponen dasar dari setiap lingkungan manusia adalah faktor
geologi, dan pemahaman terhadap lingkungannya membutuhkan
wawasan dan penafsiran yang luas terhadap ilmu kebumian dan
disiplin ilmu yag berkaitan.

b. Hubungan Geologi Dan Masalah Lingkungan


Kebutuhan manusia akan sumberdaya alam akan selalu
menimbulkan persoalan-persoalan dilematis seperti :
1) Persoalan kebutuhan air, mineral, dan energi.
2) Persoalan kebutuhan ketersediaan lahan.
3) Persoalan yang berkaitan dengan penataan ruang.

2.1.2.Geologi Lingkungan Untuk Perencanaan


a. Informasi Geologi Lingkungan Sebagai Data Dasar Perencanaan
Informasi geologi lingkungan terdiri atas komponen sumberdaya
geologi dan komponen kendala geologi.
Data dasar geologi lingkungan sekurang-kurangnya memiliki
sembilan informasi (peta digital dan peta analog) yaitu :
1) Peta topografi;

6
2) Peta citra penginderaan jauh;
3) Peta kelerengan;
4) Peta geologi;
5) Peta sumberdaya mineral dan energi;
6) Peta hidrologi/hidrogeologi;
7) Peta geologi teknik; dan
8) Peta bahaya geologi.

b. Informasi Geologi Lingkungan Untuk Analisis Perencanaan


Analisa komponen-komponen geologi lingkungan yaitu :
1) Komponen pendukung, antara lain analisis bentang alam, analisis
kondisi air tanah dan air permukaan, serta analisis potensi
sumberdaya mineral dan energi.
2) Komponen pembatas, yakni analisis potensi bahaya geologi untuk
membatasi perncanaan pembangunan suatu wilayah.

2.1.3.Analisa Geologi Lingkungan Dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis


Dan Sistem Penginderaan Jauh
a. Analisa Geologi Lingkungan Dengan Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (SIG)
SIG adalah suatu sistem teknologi informasi spasial (geografis) dan
data non spasial (atribut) yang berorientasi pada penggunaan teknologi
komputer. Adapun softwear yang umum digunakan adalah MapInfo,
Arcview, ArcGIS, dan AutoCad Map.

b. Aplikasi Citra Penginderaan Jauh Dalam Perncanaan Wilayah


Penginderaan jauh (inderaja) adalah suatu ilmu dan seni untu
memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan cara
menganalisa data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1998).

7
Beberapa citra satelit sumberdaya bumi beresolusi tinggi yang
biasa digunakan dalam penginderaan jauh antara lain ; Ikonos (RS=1m),
SPOT-5 HRG (RS=2,5cm), Quickbird (RS=60cm). World View-1
(RS=50cm), IRS (RS=5m), Terra ASTER (RS=15m), dan lain-lain.
Suatu studi citra inderaja secara sistematik biasanya melibatkan
interpretasi berdasarkan 9 unsur karakteristik citra yaitu: bentuk, ukuran,
bayangan, rona, tekstur, situs, asosiasi,dan konvergensi bukti.

2.2.KONSEP TEKTONIK DAN DEFORMASI BATUAN

2.2.1.Pengertian
Teori tektonik adalah suatu konsep yang mengkaji sifat-sifat dinamika
bumi yang menyebabakan dan menghasilkan deformasi kerak bumi.

2.2.2.Interior Bumi Dan Teori Tektonik Lempeng


a. Struktur Bumi
Secara kimia terdiri dari lapisan inti (core), selubung (mantle), dan
kerak (crust). Berdasarkan perbedaan mekais dan cara perpindahan
kalornya terdiri atas lapisan litosfer, astenosfer, mesosfer, dan barisfer.

b. Hipotetis-Hipotetis Geodinamika Sampai Teori Tektonik Lempeng


1) Hipotetis-Hipotetis Geodinamika Klasik
 Teori kontraksi (contraction theory)
 Teori geosinklin
 Teori katastrofisme
2) Konsep-Konsep Geodinamika Yang Mendasari Lahirnya Teori
Tektonik Lempeng
 Teori dua benua (laurasia-gondwana theory)

8
 Teori apungan benua (continental drift)
 Teori paleomagnetisme
 Pemekaran lantai samudra (sea floor spreading)
 Teori konveksi (convection theory)

c. Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory)


Teori ini menjelaskan bahwa kerak bumi terdiri atas lempeng-
lempeng yang padat dan kaku bergerak “terapung” di atas selubung
bagian atas yang bersifat plastis. Dimana pergerakan tersebut disebabkan
oleh adanya arus konveksi.

d. Konsekuensi Dinamika Lempeng Tektonik


1) Deformasi kerak bumi
2) Zonasi bahaya geologi
3) Zona sumberdaya geologi

2.2.3.Deformasi Batuan
Deformasi batuan adalah perubahan bentuk dan ukuran pada batuan
akibat kerja tektonik di dalam bumi. Dari pengertian ini lahirlah ilmu
geologi struktur, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk, unsur, dan proses
pembentukan batuan sebagai hasil dari proses deformasi.
Spencer (1988) berpendapat bahwa studi pada geologi struktur
meliputi struktur primer dan struktur sekunder batuan.
a. Jenis-Jenis Struktur Geologi
1) Kekar/retakan (joint)
2) Lipatan (folds)
3) Sesar/patahan (fault)

b. Jurus Dan Kemiringan Bidang

9
Jurus adalah arah garis yang dibentuk dari perpotongan antara
bidang perlapisan batuan dengan bidang horizontal, dinyatakan terhadap
arah utara searah jarum jam ke timur.
Kemiringan adalah sudut terbesar (dinyatakan dalam derajat)
antara bidang miring lapisan batuan denan bidang horizontal yang
arahnya tegak lurus dari garis/arah lurus. Bidang horizontal tidak
mempunyai kemiringan (0°) dan bidang tegak lurus=90°.

2.3.GEOMORFOLOGI
2.3.1.Pengertian
Geomorfologi adalh ilmu yagn mempelajari bentuk-betuk bentang
alam (landscape) dan proses-proses uamh berlangsung di permukaan bumi
sejak terbentuk sampai sekarang.
Katili (1959), mendefinisikan geomorfologi sebagai ilmuyang
mempelajari permukaan bumi yang terjasi karena kekuatan-kekuatan yang
bekerha di atas dan di dalam bumi.

2.3.2.Konsep Dasar Geomorfologi


a. Konsep Dasar Mempelajari Geomorfologi
Terdapat 9 poin konsep dasar mempelajari geomorfologi menurut
Thornburry (1958) yang salah satunya adalah “walaupun geomorfologi
menekankan pada fenomena bentang lahan yang ada sekarang, namun
untuk mempelajarinya secara maksimal perlu memahami sejarah (asal-
usul proses) dan dinamikanya.

b. Ilmu-Ilmu Kebumian yang Menunjang Ilmu Geomorfologi

10
Ilmu kebumian yang berhubungan erat dengan geomorfologi
terutama adalah fisiografi, geologi, meteorologi dan klimatologi,
hidrologi, serta geografi.

2.3.3.Proses-Proses Geomorfologi
Proses-proses geomorfologi yang mengakibatkan perubahan bentuk
bentang alam adalah semua aktivitas yang terjadi di bumi baik yang berasal
dari dalam bumi (proses endogen) maupun yang berasal dari luar bumi
(proses eksogen), dimana proses-proses tersebut terjadi secara kimia, fisika,
dan biologi.

2.3.4.Model Pendekatan Geomorfologi


Terdapat 3 jenis pendekatan geomorfologi dalam meneliti atau mempelajari
bentang alam, yaitu :
a. Pendekatan genetik (morfogenetik).
b. Pendekatan bentuk (morfografi).
c. Pendekatan parametrik (morfometrik).

2.3.5.Pemetaan Geomorfologi
Peta geomorfologi pada hakekatnya memberi informasi secara visual
mengenai bentuk, geometri, dan proses-proses geomorfologi sebagai suatu
proses alamiah yang berjalab sepanjang waktu geologi.

a. Analisis Morfologi pada Peta Topografi dan Interpretasi Citra


1) Analisis Morfologi pada Peta Topografi
Untuk menganalisis morfologi pada peta topografi, dilakukan
dua jenis analisis yaitu, analisa morfologi secara kualitatif dan analisa
morfologi secara kuantitatif.
2) Interpretasi Citra Penginderaan Jauh

11
Citra penginderaan jauh sumberdaya bumi berjenis citra foto dan
non foto (citra satelit dan radar).
Untuk tujuan analisis geomorfologi, ada 7 karakteristik dasar
interpretasi yang bisa digunakan yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan,
rona (tone), tekstur, dan situs.

b.Penyusunan Peta Geomorfologi


Dalam menyusun peta geomorfologi, terdapat tahapan-tahapan
penyusunan, yaitu :
1) Penyiapan peta topografi.
2) Penyusunan peta geomorfologi dalam SNI.
3) Desain peta geomorfologi.

2.4.SUMBERDAYA GEOLOGI
2.4.1.Pengertian
Sumberdaya alam menurut Soerianegara (1977) adalah unsur-unsur
lingkungan alam, baik fisik maupun hayati yang diperlukan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna meningkatkan kesejahteraan hidup.
Berdasarkan sifatnya sumberdaya alam dibagi dalam tiga kelompok
utama, yakni :
a. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources).
b. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable
resources).
c. Sumberdaya alam tidak terbatas (unlimited resources).

2.4.2.Sumberdaya Air
Air merupakan senyawa yang mutlak diperlukan oleh berbagai jenis
makhluk hidup, oleh karena tidak satupun kehidupan di bumi dapat
berlangsung tanpa air. Terdapat beberapa bidang kajian ilmu yang berkaitan
dengan sumberdaya air, yakni hidrometeorologi, hidrologi, dan

12
hidrogeologi, dimana kajian sumberdaya air memerlukan integrasi antara
ketiganya.
Sumberdaya air di bumi dapa berasal dari air permukaan, air tanah, dan
air angkasa. Ketersediaan air di bumi jumlahnya relatif tetap karena terus
terjadi siklus hidrologi yang dimulai dari peristiwa evaporasi/transpirasi,
presipitasi, inflimasi, lalu aliran air permukaan, dan akan terus berputar
seperti itu.

2.4.3.Sumberdaya Mineral
Sumberdaya mineral diperole dari hasil ekstraksi batuan atau
pelapukan batuan karena batuan merupakan kumpulan dari satu atau lebih
mineral.
Batuan penyusun kerak bumi berdasarkan kejadiannya (genesa) dibagi
menjadi 3, yaitu batuan beku (igneous rocks), batuan sedimen (sedimentary
rocks), dan batuan metamorf (metamorphic rocks).

2.4.4.Sumberdaya Energi
Sumberdaya energi adalah potensi geologi yang menghasilkan bahan
galin yang diolah dan dimanfaatkan menjadi energi untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Secara umum dumberdaya energi dapat dibedakan mejadi sumberdaya
senergi tidak terbarukan (konvensional), sumberdaya energi nuklir, dan
sumberdaya energi terbarukan (inkonvensional).
Ketersediaan sumberdaya energi ditinjau dari beberapa macam aspek,
yaitu keberadaan sumberdaya (cadangan terukur), tersebut di alam,
ketersediaan teknologi untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan
sumberdaya tersebut, evaluasi dalam aspek ekonomi, evaluasi dampak
lingkungan dan sosial, serta kompetisi dengan penggunaan penting lainnya.

2.4.5.Sumberdaya Lahan

13
Lahan adalah bagian dari bentang lahan (landscape) yang meliputi
ruang dan lingkungan fisik (iklim, topografi/relief, hidrologi, geologi, flora
dan fauna) yang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunanya.
Sumberdaya lahan terbentuk dan berkembang oleh pengaruh faktor
yang meliputi faktor biotik (flora dan fauna), faktor abiotik (iklim, tanah,
batuan, air, dan bentuk lahan), serta faktor manusia.

2.5.BAHAYA GEOLOGI
2.5.1.Pengertian
Bahaya (hazard) adalh keadaan atau fenomena alamiah maupun karena
ulah manusia yang berpotensi menimbulkan kerugian dan kerusakan tatanan
kehidupan.
Bahaya geologi (geological hazard) adalah kerentanan/kerawanan
yang ditimbulkan oleh proses-proses geologi. Adapun bencana alam geologi
(geological disaster) adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa alam
beraspekvgeologi (faktor-faktor geologi sangat dominan menjadi penyebab)
yang menimbulkan penderitaan/korban jiwa, kehilangan harta benda dan
merusak lingkungan hidup.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang dilalui busur “The Pasific
Ring of Fire)”, berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia dan sangat
aktif, menempatkan wilayah in sebagai jalur aktivitas kegunungapian dan
kegempaan yang sangat tinggi. Interaksi antarlempeng yang cukup intensif
membentuk pula sebagian besar relief yang bentang alamnya bergelombang
membentuk lembah-lembah, deretang pegunungan lipatan dengan
perbukitan berlereng-lereng sedang hingga terjal, hal ini berindikasi potensi
kerentanan gerakan tanah. Sementara di sebagian besar kawasan pesisir dan
pulau-pulau rawan terlanda gelombang tsunami.

2.5.2.Bahaya Gempa Bumi

14
Gempa bumi adalah wujud dari pelepasan energi secara mendadak di
dalam bumi kemudian berubah menjadi gelombang getaran yang dapat
dirasakan oleh manusia.
Bahaya gempa bumi adalah bahaya beraspek geologi paling dahsyat
dan sangat potensial mengakibatkan kerugian yang besar, terjadi secara
mendadak tanpa dapat diperhitungkan atau diperkirakan kapan waktunya,
dimana terjadinya, serta tingkat skala magnitudanya.

a. Jenis Gempa Bumi


Berdasarkan faktor peyebabnya dibedakan atas 4 sumber gempa
bumi :
1) Gempa Bumi Tektonik
Gempa yang terjadi akibat terlalu besarnya tekanan oleh
pergerakan antarlempeng-lempeng pada lapisan litosfer kerak bumi.
2) Gempa Bumi Vulkanik
Gempa bumi yang terjadi akibat aktivitas magma.
3) Gempa Bumi Runtuhan
Gempa bumi yang biasanya terjadi akibat adanya ruang kosong di
bawah tanah yang mengalami keruntuhan.
4) Gempa Bumi Buatan
Gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas dari manusia seperti
peledakan dinamit, nuklir, atau penumbukan tiang-tiang pancang ke
dalam bumi.

b. Intensitas dan Magnitude Gempa Bumi


1) Pencatat Gempa Bumi
Sistem pencatat gempa bumi terdiri dari sensor dan perekam.
Sensor untuk mendeteksi kecepatan getaran parikel batuan disebut
Seismometer dan sistem peralatannya disebut Seismograf,
sedangkan hasil pencatatannya disebut seismogram.
2) Pengukuran Magnitude Gempa Bumi

15
Besarnya magnitude gempa bumi dinyatakan dalam dua cara, yaitu :
a) Skala Richter (SR) : satuan yang dipakai untuk mengukur
magnitude gempa dengan menggunakan indeks angka latin yang
menerangkan besaran gempa dari skala 1 – 10.
b) Skala Modifet Mercalli Intensity (MMI) : mengukur intensitas
kekuatan gempa dengan dampak kerusakan yang
ditimbulkannya. Skalanya dinyatakan dalam angka romawi I –
XII.
3) Penentuan Lokasi Sumber Gempa
Pusat gempa dapat diketahui dengan cara menghitung selisih
waktu tiba dari gelombang P dan gelombang S (P = Kompres :
merubah volume batuan, S = Shear : mampu merubah bentuk
batuan).

4) Pengaruh Goncangan Gempa Bumi


Goncangan gempa bumi berpengaruh terhadap tingkat
kerusakan rekayasa bangunan, sifat batuan, serta jarak dari pusat
gempabumi.

c. Dampak Bencana Gempa Bumi


1) Likuifaksi atau peluluhan
2) Gerakan tanah
3) Kerusakan infrastruktur
4) Perubahan air tanah
5) Kebakaran
6) Korban jiwa
7) Gelombang tsunami

2.5.3.Bahaya Gunung Api


Gunung api (vulcano) adalah penerobosan magma (fluida panas) yang
berasal dari suatu wada di kedalaman beberapa kilometer di bawah

16
permukaan bumi dengan melalui lubang kepundan atau rekahan yang
menghubungkan ke permukaan bumi.
Bahaya letusan gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas
dan semburan material-material padat, cair dan gas dari gunung api yang
mengancam jiwa dan harta benda serta lingkungan sekitarnya.

a. Busur Gunung Api


Gunung api terbentuk pada empat busur, yaitu :
1) Busur gunung api tengah benua
2) Busur gunung api tepi benua
3) Busur gunung api tengah samudra
4) Busur gunung ap dasar samudra

b. Struktur Gunung Api


Struktur gunung api terdiri atas :
1) Struktur kawah
2) Kaldera
3) Rekahan dan graben
4) Depresi volkano-tektonik

c. Klasifikasi Gunung Api


1) Berdasarkan bentuk dan bentang alam gunung api : bentuk perisai,
kubah lava, kerucut piroklastik, maar, kaldera, dan bentuk strato.
2) Berdasarkan sumber erupsi : erupsi pusat, samping, celah, dan
eksentrik.
3) Berdasarkan tipe erupsi : tipe hawaiian, stromboli, plinian,
vulkanian, pelee, merapi, sint vincent, dan iceland.

d. Dampak Erupsi Gunung Api

17
Erupsi gunung api membawa dampak terhadap lingkungan, baik negatif
maupun positif. Dampak negatifnya berupa awan panas, lontaran batu
pijar, hujan abu, aliran lava, gas vulknik, lahar letusan, tsunami, lahar
hujan, banjir bandang, hingga longsoran vulkanik. Adapun dampak
positif letusan gunung api terhadap lingkungan menghasilkan
sumberdaya bahan galian, energi panas bumi, air panas, lahan, air,
geowisata dan cagar alam.

2.5.4.Bahaya Tsunami
Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan amplitudo dan
kecepatan tinggi yang datangnya secara tiba-tiba melanda daerah pantai.
Tsunami merupakan bahaya geologi yang dahsyat, terjadi secara mendadak
menyusul setelah terjadinya gempa yang secara signifikan berpotensi
meporak-porandakan wilayah pantai, pulau-pulau besar bahkan dapan
menenggelamkan pulau-pulau kecil.
a. Perbedaan Tsunami dengan Gelombang Biasa dan Gelombang Pasang
1) Gelombang laut biasa, adalah gelombang yang dibangkitkan energi
kinetik dari hembusan angin (wind generated waves), yang
menggerakkan partikel airvpada lintasan yang sama puncak, lembah,
panjang dan periode gelombang bervariasi setiap waktunya
2) Gelombang pasang-surut, adalah gelombang yang dibangkitkan oleh
pengaruh gaya gravitasi bulan terhadap bumi dan gaya sentrifugal
oleh rotasi bumi dan bulan pada porosnya, mengakibatkan
perpindahan volume air laut, membentuk gelombang dengan periode
sangat panjang.

b. Terjadinya Gelombang Tsunami


Gelombang tsunami dibangkitkan akibat :
1) Gempa tektonik di dasar samudra
2) Letusan gunung api bawah laut
3) Longsoran dengan volume besar di bawah laut

18
4) Jatuhnya benda angkasa berukuran besar

c. Karakteristik Gelombang Tsunami


Karakteristik gelombang tsunami terbagi dalam 3 kategori antara lain
karakteristik gelombang di perairan laut dalam, karakteristik gelombang
di perairan laut dangkal, dan karakteristik energi gelombang.

d. Intensitas Tsunami
Intensitas tsunami menggambarkan tinggi gelombang di darat dan
tingkat kerusakan yang diakibatkannya,diperkenalkan oleh G.
Papadopoulos dan F. Imamura (2001) yang membagi intensitas tsunami
dalam skala - XXI.

e. Dampak Bencana Tsunami


Dampak setelah kejadian tsunami di antaranya menimbulkan korban
jiwa, kehanucuran sarana dan prasana, kerusakan lingkungan,dan wabah
penyakit

2.5.5.Bahaya Gerakan Tanah


Gerakan tanah (masswasting) adalah proses pergerakan massa tanah
dan atu batuan dari tempat asalnya ke tempat yang lebih rendah (oleh gaya
gravitasi) akibat proses gangguan keseimbangan lereng.
a. Konsep Dasar Analisis Kemantapan Lereng
Gerakan tanah dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor internal
dan eksternal, dengan dasar analisis sebagai berikut.
1) Analisis faktor internal, dilakukan untu mengukur keseimbangan
lereng berdasarkan gaya-gaya yang bekerja di dalam lereng yaitu
‘kekuatan geser’ (shear strength) yang bekerja menahan

19
kelongsoran, dengan ‘tegangan geser’ (shear strees) yang bekerja
mendorong kelongsoran.
2) Analisis faktor eksternal, dilakukan untuk mengukur keseimbangan
lereng berdasarkan gaya-gaya yang bekerja di luar lereng yang
berpengaruh dan memicu terjadinya gerakan tanah.

b. Faktor Penyebab Terjadinya Gerakan Tanah


1) Faktor alam di antaranya pengaruh gempabumi, kondisi morfologi
dan geologi, pengaruh iklim serta pengaruh vegetasi.
2) Faktor kerja manusia yaitu pemotongan lereng, pengembangan
sawah basah, penambahan beban, getaran-getaran tanah, dan
penebangan pohon.

c. Klasifikasi Tipe Gerakan Tanah


1) Gerakan tanah tipe rayapan
2) Gerakan tanah tipe aliran cepat
3) Gerakan tanah tipe longsoran
4) Gerakan tanh tipe jatuh bebas massa tanah dan batuan
5) Gerakan tanah tipe amblesan.

d. Ciri-ciri dan Gejala Awal Gerakan Tanah


1) Ciri-ciri daerah rawan gerakan tanah :
a) Tebing terjal yang tersusun oleh batuan terpotong-potong oleh
kekar-kekar.
b) Lereng curam tersusun ole bongkah-bongkah batu dan massa
tanah yang mudah lepas.
c) Perbukitan gundul dengan kemiringan yang ekstrim, tersusun
oleh batuan/tanah mudah lepas.

20
d) Lereng tersusun dari tanah lapukan yang gembur (ketebalan
tanah >4m.
e) Lereng tersusun oleh perlapisan batuan yang searah kemiringan
lereng.
2) Gejala awal gerakan tanah :
a) Munculnya retakan lengkung memanjang pada lereng/bangunan
yang sejajar arah tebing
b) Terjadi amblesan tanah
c) Air sumur tiba-tiba keruh atau tidak berair akibat bergeser
d) Muncul mata air baru/rembesan air lumpur secara tiba-tiba pada
lereng
e) Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
f) Pohon-pohon tumbuh tidak normal (melengkung) dan tiang-tiang
listrik miring
g) Ada perubahan pada elemen bagnunan rumah, misalnya pintu
tidak bisa ditutup
h) Terdengar suara gemuruh dari atas lereng disertai getaran
i) Air sungai tiba-tiba keruh dan permukaan agak naik (gejal banjir
bandang)

e. Dampak Bencana Gerakan Tanah


1) Korban jiwa dan harta benda
2) Merusak infrastruktur
3) Merusak lingkungan
4) Banjir bandang

2.6.TPA SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH PADAT


2.6.1.Pengertian
Sampah (=limbah) adalah bahan-bahan sisa dari zat organik dan
anorganik yang terbuang atau dibuang dari hasil aktivitas manusia dan

21
hewan atau dari sumber suatu proses alam yang kehadirannya tidak
dikehendaki lingkungan, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang
negatif karena dalam penangannya untuk membuang atau membersihkannya
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Sampah dapat berupa zat padat, cair, atau gas. Secara kimiawi terdiri
dari bahan senyawa orgnik dan senyawa anorganik.
TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) didefinisikan sebagai sarana fisik
untuk berlangsungnya pemrosesan akhir sampah dalam bentuk
pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke
media lingkungan secara aman. Proses dari mata rantai pengolahan sampah
itu sendiri diawali dari timbulnya di sumber, pengumpulan, pemindahan atau
pengangkutan, serta pengisolasian dan pengolahan atau penimbunan.
Selain itu di tempat pemrosesan akhir tidak hanya ada proses
penimbunan sampah tetapi juga wajib terdapat empat aktivitas utama
penanganan sampah, yaitu (Litbang PU, 2009) :
a. Pemilahan sampah
b. Daur-ulang sampah non hayati (anorganik)
c. Pengomposan sampah hayati (organik)
d. Pengurungan/penimbunan sampah sampah residu dari proses di atas-di
lokasi
e. Pengurugan/penimbunan (landfill).

2.6.2.Jenis Sampah dan Permasalahannya


a. Karakteristik dan Penggolongan Sampah
Karakteristik sampah (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
dikelompokkan :
1) Karakteristik fisika, yaitu densitas, kadar air, kadar volatil, kadar
abu, nilai kalor, dan distribusi ukuran.
2) Karakteristik kimia, yaitu susunan kimia sampah yang terdiri dari
unsur C, N, O, P, H, S, dsb.
Penggolongan sampah :

22
1) Berdasarkan sumbernya, dibagi menjadi dua yaitu sampah domestik
dan non-domestik.
2) Berdasarkan komposisinya, dibedakan menjadi dua yaitu sampah
organik dan anorganik.
3) Berdasarkan bentuk fisiknya sampah terdiri dari tiga wujud yaitu
sampah padat, sampah cair, dan sampah gas.
4) Berdasarkan sifat biologis dan kimianya terdiri atas tujuh jenis yaitu
sampah mudah membusuk, tidak membusuk, hasil pembakaran,
mudah meledak, reaktif/mudah terbakar, bahan berbahaya dan
beracun (B3), serta sampah korosif.

b. Permasalahan Sampah
Permasalahan klasik dari penanganan sampah perkotaan di
Indonesia adalah :
1) Rendahnya tingkat pelayanan kebersihan (kurang dari 50% sampah
yang terangkut)
2) Masih bertumpuhnya pada paradigma 3P, yakni pengumpulan,
pengangkutan, dan pembuangan, sehingga umur suatu TPA sampah
menjadi sangat singkat
3) TPA dikelola seadanya dengan cara terbuka tanpa ada monitoring
bahan masuk, gas yang timbul maupun pengolahan air lindi.

Adapun beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan operasional


TPA yaitu (Damanhuri, 1995) :
1) Pertumbuhan vektor penyakit
2) Pencemaran udara
3) Pandangan dan bau tak sedap
4) Asap pembakaran
5) Pencemaran air lindi
6) Kebisingan
7) Dampak sosial

23
2.6.3.Penentuan TPA Sampah
a. Pemilihan Lahan
1) Prinsip Pemilihan Lahan Lokasi TPA
Prinsip pemilihan lahan adalah mencari dan menentukan lokasi
yang paling menguntungkan dengan memperhitungkan faktor
kerugian yang sekecil-kecilnya.
2) Pertimbangan Pemilihan Lahan Lokasi TPA
Pemilihan lahan didasarkan atas pertimbangan berbagai aspek,
(Oki, PLG, 2008) :
a) Aspek kesehatan masyarakat
b) Aspek lingkungan hidup
c) Aspek biaya
d) Aspek sosio-ekonomi
e) Aspek politis dan legal

b. Kriteria Penetapan Lokasi TPA


Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-3241-1994,
pertimbangan TPA sampah tidak berlokasi di danau, sungai, ataupun
laut. Kriteria penetapan penentuan lokasi TPA sampah disusun menjadi
tiga tahapan yaitu :
1) Tahap Regional, tahap untuk menghasilkan peta beberapa zona
kelayakan dengan parameter awal antara lain parameter geologi,
hidrogeologi, geomorfologi, tataguna lahan, dan iklim.
2) Tahap Penyisih, tahap untuk menghasilkan satu atau dua zona
terbaik dari zona-ona kelayakan pada tahap regional dengan kriteria
penilaian yaitu aspek iklim, utilitas, lingkungan biologis, kondisi
lahan, demografi, batas administrasi, estetika, bau, dan aspek
ekonomi.
3) Tahap Penetapan, merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh
intansi yang berwenang, dengan komponen satuan kelas yang dinilai

24
ialah komponen litologi, muka air tanah, jarak terhadap pemanfaatan
air, kemiringan lereng, curah hujan, potensi gerakan tanah,
penggunaan lahan (tumbuh-tumbuhan), dan kemudahan material
linear.

2.6.4.Pengelolaan Sampah Padat


Sampah padat adalah hasil buangan industri yang berupa padatan,
lumpur atau bubur yang berasal dari suatu proses pengolahan. Adapun cara
pengelolaannya terdapat beberapa metode sebagai berikut :
a. Konsep pengelolaan 3R.
b. Pengurugan (landfill).
c. Pengendalian lingkungan pengurugan.
d. Daur ulang.
e. Pengomposan.
f. Menimbun ke dasar laut (marine disposal).

2.7.PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA


GEOLOGI
2.7.1.Pengertian
Perencanaan ruang (spatial plan) bertujuan untuk menghasilkan
penggunaan ruang yang serasi dan efisien, memberikan kemakmuran yang
otimal bagi masyarakat. Dengan tatanan tektonik Indonesia yang terletak di
pertemuan tiga lempeng besar dunia, maka perencanaan tata ruang Indonesia
sejatinya berbasis kebencanaan.
Burby dan French (1981) menyebutkan peran perencanaan tata ruang
adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan
terhadap bahaya yang terkait dengan alam.
Penyusunan rencana tata ruang berbasis kebencanaan, dibutuhkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai kondisi geologi sebagai dasar-dasar
pertimbangan bagi perencanaan. Pemahaman kondisi fisik wilayah dengan

25
lingkungannya menjadi dasar perencanaan penataan ruang berbasis mitigasi
bencana.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No. 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana).
2.7.2.Fungsi Penataan Ruang
Adapun fungsi penataan ruang dapat diketahui sebagai berikut :
a. Pengaturan penatagunaan ruang
b. Pengendalian pemanfaatan ruang dan lingkungan
c. Pengendalian resiko bencana

2.7.3.Integrasi Bencana Dalam Penataan Ruang


Integrasi bencana alam dalam penataan ruang di Indonesia dapat
dilihat melalui hal-hal berikut ini :
a. Kebijakan penataan ruang dan penanggulangan bencana.
b. Manajemen penataan ruang berbasis mitigasi bencana.
c. Pemetaan zonasi bahaya geologi.
d. Penentuan pola ruang dan struktur ruang kawasan rawan bencana
geologi (Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung
Berapi dan Kawasan Rawn Gempa Bumi, Departemen PU. 2007).

2.7.4.Perencanaan Ruang Di Daerah Potensi Bencana Geologi


Untuk melakukan sebuah perencanaan ruang terhadap daerah potensi
bencana geologi maka perlu memperhatikan tinjuaan umum kawasan daerah
potensi bencana geologi (kawasan rawan gempa bumi, letusan gunung api,
tsunami, gerakan tanah, dan lain-lain) serta arahan perencanaan ruang
kawasan tersebut.

2.7.5.Mitigasi Bencana Geologi

26
Mitigasi bencana geologi merupakan suatu tindakan memperkecil
dampak dari suatu bencana beraspek geologi sebelum terjadi bencana. Istilah
mitigasi mencakup segala bentuk perlindungan mulai dari perlindungan
fisik, prosedur penilaian bahaya dalam rencana penggunaan lahan, sampai
kepada penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
Manajemen bencana (disaster management) dilaksanakan melalui tiga
tahapan mitigasi, sebagai berikut :
a. Tahap pra bencana : upaya pencegahan (preventive), mitigasi
(mitigation), dan kesiapsiagaan (preparedness).
b. Tahap tanggap darurat : penyelamatan atau evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengungsi, dan identifikasi
cepat-tepat cakupan bencana.
c. Tahap pasca bencana : rehabilitasi dan pembangunan kembali
(reconstruction).

BAB III

27
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.ALAT DAN BAHAN


1) Peta (Guide map), skala 1 : 25000
2) Kertas kalkir
3) Alat gambar antara lain : Rapidograph, Pensil, mistar, karet penghapus,
lettering set, pewarna transparan (pensil warna, stabillo), dll.

1.2.PROSEDUR PENYELESAIAAN
Adapun prosedur penyelesaian dalam pembuatan laporan ini yaitu:
1) Foto copy peta gude, ukuran A4 untuk peta kerja.
2) Diatas peta kerja, tarik garis-garis grid ( 2cm x 2cm ), gunakan pensil.
3) Membuat garis bantu dalam menghitung kemiringan lereng dimana dalam
menarik garis bantu harus memperhatikan garis kontur yang searah. Garis
kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki
ketinggian yang sama. Dan apabila terdapat dua garis kontur yang
berlawanan arah dalam satu grid ( 2cm x 2cm ) maka terdapat 2 garis
bantu dalam satu grid. Pada penarikan garis bantu tidak boleh melewati
aliran sungai dan penarikan garis bantu diusahakan mengenai semua garis
kontur dalam satu grid ( 2cm x 2cm ).Beberapa contoh lereng dan
bagaimana menentukan cara mengukur kelerengan berdasarkan pola-pola
kontur. Contoh penarikan garis bantu:
D
D D

B 640
800 800
C
20 0
i
sunga
80 0
C 40 0 C
30 0 30 0
B
865
A A A

B
1)

28
4) Hitung % kemiringan lereng setiap kotak grid, dengan meletakkan nilai
hasil hitungan didalam masing-masing kotak grid, sampai seluruh kotak
grid selesai dihitung kemiringannya. Prosentase Lereng dapat diukur
berdasarkan perbedaan tinggi dua titik dengan jarak datar dari kedua titik
tersebut atau secara matematis :

∆t (n−1)IC
∆𝑡 S % Kemiringan Lereng = dt = dt×Skala (%)

∆𝑡
dt Sudut Lereng = Arc tg 𝑑𝑡

Keterangan :

dt = Jarak datar
∆t = Beda tinggi
S = Slope
n =Jumlah garis kontur
IC = Interval kontur

Di bawah ini contoh perhitungan % kemiringan lereng dan pembuatan


peta geomorfologi. Pada salah satu kotak grid :

Jarak datar A – B = 2,3 cm pada peta skala 1 : 50.000

Interval kontur = 25 meter


A
50 0

80 0
40 0

865
A

29
( Σ K – 1 ) x I K x 100
% Sudut lereng =
dt x Skala

( 8 – 1 ) x 25 m x 100
=
(2,3 x 50.000)cm

= 15,2 %

5) Dari hasil perhitungan kemiringan lereng, tarik garis kesamaan besar sudut
lereng (kontur kelerengan). klasifikasi besaran % sudut lereng, tentukan
sendiri dengan memilih salah satu dari klasifikasi lereng oleh : Mabery,
Van Zuidan, atau Sampurno.

Klasifikasi besar sudut lereng oleh Sampurno

Sudut lereng Beda tinggi Istilah Relief

0–2% <5m datar/hampi datar/hampir datar


datar
3–7% 5 – 25 m bergelombang landai
miring landai
8 – 13 % 25 – 75 m bergelombang tajam
miring sedang
14 -20 % 75 – 200 m berbukit bergelombang
miring sekali
21 – 55 % 200 – 500 berbukit tersayat tajam
m terjal
56 -140 % pegunungan berlereng
500 – 1000 sangat terjal terjal
> 140 %
m
Curam pegunungan berlereng
> 1000 m tajam

30
Klasifikasi Lereng oleh Van Zuidan (1983)

KELERENGAN DESKRIPSI SATUAN MORFOLOGI


(%)

Dataran
0–8 Datar
Perbukitan berelief halus
8 – 15 Landai
Perbukitan berelief sedang
15 – 25 Agak Curam
Perbukitan berelief kasar
25 – 45 Curam
Perbukitan berelief sangat
> 45 Sangat Curam
kasar

6) Berdasarkan analisis kelerengan selanjutnya dibuat peta geomorfologi.


Setiap kelas lereng mewakili bentuk bentang alam (morfologi).
Menarik garis kesamaan kelerengan yang diperoleh dari hasil perhitungan
lereng, berdasarkan kelas-kelas lereng yang ditentukan.
Contohnya seperti berikut : Analisa morfologi berdasarkan peta sudut
lereng (Mabery, 1972) membagi dalam 7 kelas lereng : 0 – 3 %, 3 – 5 %, 5
– 10 %, 10 – 15 %, 15 – 30 %, 30 – 75 % dan lebo dari 75 %.

88 81 73 56 74 63 66 58 82 76 29

79 80 61 48 55 64 47 74 72 70 25

69 80 64 46 17 24 44 51 60 30 27

64 52 28 43 16 22 37 28 18 21 14

17 19 22 23 14 12 29 27 12 13 12

15 18 16 15 13 14 12 14 4 5 11

13 11 26 14 12 9 2 5 4 0 12

12 10 15 11 3 2 0 0 0 0 0

31
Dari
12 klasifikasi
10 15 lereng
11 3tersebut
2 masing-masing
0 0 0 kelas
0 lereng
0 dibedakan
berdasarkan simbol warna atau simbol garis, seperti gambar berikut :

0 - 3 %

3 - 5 %

5 - 10 %

10 - 15 %

15 - 30 %

30 - 70 %

> 70 %

32
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. HASIL PERHITUNGAN


Dari hasil perhitungan berdasarkan peta kontur lembar 02, dengan interval
kontur sepanjag 25 meter dan skala 1 : 25.000, diperoleh besar persentasi
kemiringan lereng sebagai berikut.
1.Kotak 1F 3. Kotak 1H

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (12 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 2,2 x 250

30000 27500
= = 60 % = = 67 %
500 550

2.Kotak 1G 4. Kotak 1I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (15 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 2,2 x 250

30000 35000
= = 67 % = = 67 %
450 550

33
5.Kotak 1J 8. Kotak 1M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(7 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,3 x 250 1,2 x 250

15000 15000
= = 46 % = = 32 %
325 475

6.Kotak 1K 9. Kotak 1N

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(7 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,2 x 250 2 x 250

15000 20000
= = 50 % = = 40 %
300 500

7.Kotak 1L 10. Kotak 2A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (6 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1 x 250 1,8 x 250

12500 12500
= = 50 % = = 38 %
250 325

34
11. Kotak 2B 14. Kotak 2E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,1 x 250

12500 17500
= = 29 % = = 67 %
425 275

12. Kotak 2C 15. Kotak 2F

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (14 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 2 x 250

20000 32500
= = 40 % = = 65 %
500 500

13. Kotak 2D 16. Kotak 2G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,1 x 250 1,6 x 250

12500 22500
= = 45 % = = 56 %
275 400

35
17. Kotak 2H 20. Kotak 2K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 1,7 x 250

20000 20000
= = 36 % = = 47 %
550 425

18. Kotak 2I 21. Kotak 2L

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(16 – 1) 25 (6 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,1 x 250 1,6 x 250

37500 12500
= = 71 % = = 31 %
525 400

19. Kotak 2J 22. Kotak 2M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(14 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,1 x 250 1,6 x 250

32500 25000
= = 70 % = = 62 %
525 400

36
23. Kotak 2N 26. Kotak 3C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(11 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,9 x 250 1,3 x 250

25000 15000
= = 53 % = = 46 %
475 325

24. Kotak 3A 27. Kotak 3D

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,9 x 250

12500 25000
= = 28 % = = 53 %
450 475

25. Kotak 3B 28. Kotak 3E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(5 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 1,6 x 250

10000 17500
= = 29 % = = 44 %
350 400

37
29. Kotak 3F 32. Kotak 3I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,5 x 250

12500 25000
= = 31 % = = 67 %
400 375

30. Kotak 3G 33. Kotak 3J

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,3 x 250

22500 10000
= = 56 % = = 31 %
400 325

31. Kotak 3H 34. Kotak 3K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(16 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 2,1 x 250

37500 22500
= = 75 % = = 43 %
500 525

38
35. Kotak 3L 38. Kotak 4A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (4 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 0,9 x 250

17500 7500
= = 41 % = = 33 %
425 225

36. Kotak 3M 39. Kotak 4B

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,9 x 250 1,7 x 250

22500 20000
= = 47 % = = 47 %
475 425

37. Kotak 3N 40. Kotak 4C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(12 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 1,6 x 250

27500 10000
= = 75 % = = 25 %
550 400

39
41. Kotak 4D 44. Kotak 4G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (4 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,6 x 250

17500 7500
= = 38 % = = 19 %
450 400

42. Kotak 4E 45. Kotak 4H

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (13 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,5 x 250 2,4 x 250

22500 30000
= = 36 % = = 50 %
625 600

43. Kotak 4F 46. Kotak 4I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,9 x 250 1,5 x 250

17500 22500
= = 37 % = = 60 %
475 375

40
47. Kotak 4J 50. Kotak 4M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,1 x 250

22500 17500
= = 53 % = = 64 %
425 275

48. Kotak 4K 51. Kotak 4N

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(4 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,3 x 250 2,2 x 250

7500 25000
= = 23 % = = 45 %
325 550

49. Kotak 4L 52. Kotak 5A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(11 – 1) 25 (3 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 0,5 x 250

25000 5000
= = 71 % = = 40 %
350 125

41
53. Kotak 5B 56. Kotak 5E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(5 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,6 x 250

10000 20000
= = 24 % = = 50 %
425 400

54. Kotak 5C 57. Kotak 5F

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(7 – 1) 25 (12 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,7 x 250

15000 27500
= = 35 % = = 65 %
425 425

55. Kotak 5D 58. Kotak 5G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (13 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,4 x 250

20000 30000
= = 44 % = = 86 %
450 350

42
59. Kotak 5H 62. Kotak 5K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(5 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 1,5 x 250

10000 15000
= = 29 % = = 40 %
350 375

60. Kotak 5I 63. Kotak 5L

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(12 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,3 x 250 1,7 x 250

27500 15000
= = 48 % = = 35 %
575 425

61. Kotak 5J 64. Kotak 5M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(14 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 0,8 x 250

32500 10000
= = 59 % = = 50 %
550 200

43
65. Kotak 5N 68. Kotak 6C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (13 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,9 x 250

17500 30000
= = 44 % = = 63 %
400 475

66. Kotak 6A 69. Kotak 6D

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (13 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,9 x 250 1,8 x 250

22500 30000
= = 47 % = = 67 %
425 450

67. Kotak 6B 70. Kotak 6E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(11 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,5 x 250 1,9 x 250

25000 22500
= = 67 % = = 47 %
375 475

44
71. Kotak 6F 74. Kotak 6I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,7 x 250

30000 20000
= = 71 % = = 47 %
425 425

72. Kotak 6G 75. Kotak 6J

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,4 x 250

20000 25000
= = 44 % = = 57 %
450 350

73. Kotak 6H 76. Kotak 6K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,3 x 250 1,9 x 250

22500 22500
= = 69 % = = 47 %
325 475

45
77. Kotak 6L 80. Kotak 7A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 0,9 x 250

20000 10000
= = 57 % = = 44 %
350 225

78. Kotak 6M 81. Kotak 7B

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(5 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,5 x 250 2 x 250

10000 22500
= = 27 % = = 45 %
375 500

79. Kotak 6N 82. Kotak 7C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (14 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 1,9 x 250

20000 32500
= = 40 % = = 68 %
500 475

46
83. Kotak 7D 86. Kotak 7G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(15 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,5 x 250 1,9 x 250

35000 22500
= = 93 % = = 47 %
375 475

84. Kotak 7E 87. Kotak 7H

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(17 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,9 x 250

40000 20000
= = 94 % = = 42 %
425 475

85. Kotak 7F 88. Kotak 7I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(15 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 1,5 x 250

55000 10000
= = 64 % = = 27 %
550 375

47
89. Kotak 7J 92. Kotak 7M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(12 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 1,9 x 250

27500 22500
= = 50 % = = 47%
550 475

90. Kotak 7K 93. Kotak 7N

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 2,3 x 250

30000 25000
= = 55 % = = 43 %
550 575

91. Kotak 7L 94. Kotak 8A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(11 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 2,6 x 250

15000 17500
= = 67 % = = 27 %
225 650

48
95. Kotak 8B 98. Kotak 8E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (17 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 2,5 x 250

22500 40000
= = 41 % = = 64 %
550 625

96. Kotak 8C 99. Kotak 8F

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(6 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,3 x 250

12500 25000
= = 31 % = = 77 %
400 325

97. Kotak 8D 100. Kotak 8G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(15 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,3 x 250 1,1 x 250

35000 15000
= = 61 % = = 55 %
575 275

49
101. Kotak 8H 104. Kotak 8K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(14 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,3 x 250 1,1 x 250

32500 10000
= = 57 % = = 36 %
575 275

102. Kotak 8I 105. Kotak 8L

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,6 x 250

20000 17500
= = 44 % = = 44 %
450 400

103. Kotak 8J 106. Kotak 8M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(14 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,3 x 250 1,6 x 250

32500 17500
= = 57 % = = 44 %
575 400

50
107. Kotak 8N 110. Kotak 9C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (8 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,9 x 250

25000 17500
= = 50 % = = 37 %
575 475

108. Kotak 9A 111. Kotak 9D

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 2,1 x 250

20000 25000
= = 40 % = = 48 %
500 525

109. Kotak 9B 112. Kotak 9E

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2,2 x 250 1,6 x 250

20000 15000
= = 36 % = = 37 %
550 400

51
113. Kotak 9F 116. Kotak 9I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (10 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,7 x 250 1,9 x 250

30000 22500
= = 71 % = = 47 %
425 475

114. Kotak 9G 117. Kotak 8F

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(13 – 1) 25 (11 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,5 x 250 2 x 250

30000 25000
= = 80 % = = 50 %
375 500

115. Kotak 9H 118. Kotak 9K

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 0,9 x 250

17500 15000
= = 50 % = = 67 %
350 225

52
119. Kotak 9L 122. Kotak 10A

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(11 – 1) 25 (5 – 1) 25
= x 100% = x 100%
2 x 250 2,2 x 250

25000 10000
= = 50 % = = 18 %
500 550

120. Kotak 9M 123. Kotak 10B

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,8 x 250

17500 20000
= = 44 % = = 44 %
400 450

400

121. Kotak 9N 124. Kotak 10C

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,6 x 250
17500 20000
= = 44 %
= = 50 %
400
400

53
125. Kotak 10D 128. Kotak 10G

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(12 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,8 x 250 1,6 x 250

27500 20000
= = 61 % = = 50 %
450 400

126. Kotak 10E 129. Kotak 10H

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(10 – 1) 25 (7 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,4 x 250 0,8 x 250

22500 15000
= = 64 % = = 75 %
350 200

127. Kotak 10F 130. Kotak 10I

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(3 – 1) 25 (9 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1 x 250 1,9 x 250

5000 20000
= = 20 % = = 42 %
250 475

54
131. Kotak 10J 134. Kotak 10M

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(8 – 1) 25 (4 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,6 x 250 1,5 x 250

17500 7500
= = 44 % = = 20 %
400 375

132. Kotak 10K 135. Kotak 10N

(n – 1) IC (n – 1) IC
% kelerengan = x 100% % kelerengan = x 100%
dt x skala dt x skala

(9 – 1) 25 (12 – 1) 25
= x 100% = x 100%
1,5 x 250 1,8 x 250

20000 27500
= = 53 % = = 61 %
375 450

133. Kotak 10L

(n – 1) IC
% kelerengan = x 100%
dt x skala

(11 – 1) 25
= x 100%
1,6 x 250

25000
= = 62 %
400

55
4.2. PEMBAHASAN HASIL PERHITUNGAN

Setelah memperoleh hasil perhitungan persentase kemiringan lereng,


selanjutnya berdasarkan klasifikasi Van Zuidan (1983), maka dapat
dikelompokkan peruntukkan lereng sebagai berikut :
4.2.1. Kemiringan Lereng 15 - 25%
Pada kemiringan lereng 15 - 25% merupakan daerah yang memiliki
kemiringan lereng yang agak curam, rawan terhadap bahaya longsor, erosi
permukaan, dan erosi alur. Sehingga peruntukan lahan pada daerah
kemiringan lereng 15 – 25% yaitu kawasan lindung namun bisa di jadikan
kawasan budidaya terbatas atau kawasan budidaya yang dikendalikan dapat
dilaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya secara terbatas dengan beberapa
persyaratan tertentu.
4.2.2. Kemiringan Lereng 25 – 45 %
Pada kemiringan lereng 30% sampai dengan 70 % merupakan lahan
yang memiliki kemiringan lereng yang curam sampai terjal , sering terjadi
erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang perlahan, daerah rawan
erosi dan longsor. Sehingga peruntukan lahan pada kawasan ini adalah
sebagai kawasan lindung namun bisa di jadikan kawasan budidaya terbatas
atau kawasan budidaya yang dikendalikan dapat dilaksanakan kegiatan-
kegiatan lainnya secara terbatas dengan beberapa persyaratan tertentu.
4.2.3. Kemiringan Lereng > 45 %
Sedangkan >45% merupakan lahan yang memiliki kemiringan lereng
yang sangat curam, sering ditemukan singkapan batuan , rawan terhadap erosi,
dan peruntukan lahan pada kawasan ini yaitu sebagai kawasan lindung.

Jadi pada peta keiringan lembar 2 terdapat dua fungsi kawasan yaitu
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dimana kemiringan lereng 15-45%
peruntukan lahannya yaitu sebagai kawasan budidaya terbatas dan terkendali, dan
kemiringan lereng >45% peruntukan lahannya sebagai kawasan lindung.

56
BAB V
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN
Dalam melakukan perencanaan wilayah dibutuhkan pertimbngan ilmu
geologi yang umumnya berbentuk peta baik digital maupun analog sebagai
informasi dasar. Salah satu jenis peta yang dibutuhkan adalh peta kelerengan
yang memberi informasi derajat kemiringan lereng suatu wilayah.
Peta kelerengan dibuat berdasarkan perhitungan peta kontur yang mana
dari hasil perhitungan tersebut dilakukan pengelompokkan derajat
kemiringan lereng dengan standarisasi tertentu. Hasil dari perhitungan
tersebutlah yang kemudian dijadikan acuan penentuan fungsi kawasan
berdasarkan aspek geologi.

5.2. SARAN
a. Bagi para pembaca, jadikan laporan ini sebagai acuan dengan
memperhatikan isi dari laporan ini dengan baik dan tidak meng-copypaste
laporan ini tanpa izin penulis.
b. Bagi saya sendiri selaku penulis, laporan ini harus menjadi pembelajaran
saya dalam menyusun laporan-laporan selanjutnya, juga menjadikan
laporan ini sebagai bahan pembelajaran saya untuk menambah ilmu
pengetahuan.

57
DAFTAR PUSTAKA

Nuhung. Slamet, 2012, GeologiLingkungan, Makassar

http://documents.tpis/documents/aspek-geologi-dalam-perencanaan-wilayah.html

58

Anda mungkin juga menyukai