Anda di halaman 1dari 11

Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

JURNAL KOMUNITAS
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas

KONTEKSTUALISASI (PENDIDIKAN) ANTROPOLOGI INDONESIA

P.M. Laksono 

Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta, Indonesia, 55218

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Dunia pendidikan Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang ambivalen.
Diterima Desember 2012 Pendidikan yang seharusnya dapat secara positif membekali manusia dengan modal
Disetujui Januari 2013 pengetahuan praktis maupun substantif yang berguna justru mempunyai potensi
Dipublikasikan Maret 2013
yang sebaliknya, yaitu menjadi kendala bagi pembangunan berkelanjutan karena
Keywords: tuntutan-tuntutan praktis, khusus, dan sesaat yang dikehendaki oleh kepentingan-
anthropology, kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang selalu berubah. Fakta tersebut menjadi
education, latar belakang penulisan artikel ini yang bertujuan mengajukan sebuah wacana
participatory, tentang kontekstualisasi pendidikan Antropologi di Indonesia agar pendidikan
reflective dapat berfungsi sebagaimana idealnya. Setelah melakukan pengamatan terhadap
fakta yang ada dengan menggunakan analisis berbasis teori-teori Antropologi
dan ilmu sosial, diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya, kontekstualisasi
pendidikan Antropologi Indonesia harus diupayakan untuk mengisi nasionalisme
Indonesia dengan jiwa baru untuk menghadapi krisis akulturasi akibat sistem
komunikasi global. Dalam pendidikan antropologi, para peserta didik secara total
mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya apresiasi, empati/afektif dan
kognitifnya sesuai dengan pengalaman hidupnya untuk berwacana dengan subyek
yang dipelajarinya. Untuk mewujudkan hal itu salah satu pendekatan yang sesuai
adalah pendekatan reflektif partisipatoris agar dapat menjangkau ranah kognitif
dan simbolik suatu identitas sosial budaya yang sedang berubah, sehingga akan
sampai pada hasil yang lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif, yaitu
pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri.

Abstract
Education in Indonesia is currently in an ambivalent state. Education should positively equip
people with practical and substantive knowledge capital that has the potential to be useful,
instead of becoming an obstacle to sustainable development because of the practical, specific,
and momentary demand of the ever-changing economic, political, and social interests. The
fact has encouraged the authors to write this article which aims to propose a discourse about
the contextualization of educational anthropology in Indonesia in order that education can
serve its fundamental purposes. After observing the fact by using analysis involving the theories
of anthropology and social sciences, it is obtained several conclusions, among them is that
contextualization of Indonesian Anthropology education should be made to fill the new
spirit of Indonesian nationalism with acculturation to deal with the crisis caused by global
communication system. In anthropology education, the learners in total should be given the
opportunity to develop the appreciation, empathy / affective and cognitive experience of his
life according to a learned discourse on the subject. To realize that, one appropriate approach
is reflective participatory approach in order to reach the cognitive and symbolic discourse of a
changing socio-cultural identity, so it will create more reflective and appreciative knowledge,
namely the discovery of human existence itself.

© 2013 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 2086-5465
Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, 55218.
Email. laksono@gmail.com
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

PENDAHULUAN Koentjaraningrat (1959: 478) mem-


bantah T.S.G. Moelia (1951) yang menyata-
Secara strategis antropologi di Indone- kan bahwa ilmu antropologi-budaya itu tidak
sia niscaya perlu menanggapi dialektika “du- mampu memperhatikan masalah-masalah
nia lama” dan “dunia baru” atau akulturasi akulturasi, dan hanya ilmu sosiologi atau-
yang sedang dialami para warga masyarakat pun ilmu ”etnososiologi” yang mampu me-
dan kebudayaan di seluruh Indonesia.. Ko- mecahkan soal-soal akulturasi. Ia mengacu
entjaraningrat menunjukkan dengan sangat pada hasil-hasil penting dari para sarjana
jelas bahwa persoalan pokok dalam dunia antropologi Amerika dan Inggris sesudah
antropologi budaya adalah persoalan proses tahun 1930 (1959: 439-474) dan kemudian
perubahan kebudayaan (di Indonesia) (1959: mengajarkan kepada para muridnya tentang
139), yaitu bagaimana perubahan kebuda- perkembangan-perkembangan baru dalam
yaan telah menghasilkan keaneka ragaman antropologi yang diikutinya. Bersama Harsja
masyarakat di Indonesia. Ia memaparkan W Bachtiar beliau menerbitkan buku Meto-
secara luas pendekatan evolusionisme, difu- de-Metode Penelitian Masyarakat di Indo-
sionisme dan strukturalisme dari para sarja- nesia yang memperkenalkan metode survei
na Belanda dan mencanangkan pendekatan dalam penelitian masyarakat dan kebuda-
baru dari para sarjana Inggeris dan Amerika yaan. Kemudian ia menulis kolom berseri di
yang mengkaji akulturalisme paska Perang harian Kompas yang dibukukan sebagai Ke-
Dunia Kedua. Kalau antropologi sebelum budayaan dan Mentalitas dalam Pembangu-
Perang Dunia dilihatnya sebagai bidang ka- nan di Indonesia, dengan mengadopsi sistem
jian mengenai kebudayaan Indonesia kuna, kerangka tindakan Parsonian. Setelah itu ia
maka sesudah perang sebagai antropologi bahkan memperkenalkan strukturalisme
yang menghadapi persoalan krisis akulturasi Claude Levi-Strauss dalam bukunya Sejarah
akibat benturan budaya Eropa dan Amerika Teori Antropologi (1980).
dengan masyarakat di negeri bekas jajahan.
Dalam hal ini inti masalah akulturasi di In- Masalah Timur dan Barat
donesia adalah bagaimana mengisi nasiona- Khusus untuk soal akulturasi, perlu ki-
lisme dengan “jiwa baru” (Koentjaraningrat ranya kita perhatikan tiga bab terakhir buku
1959:173-174). Anthropology in Indonesia (Koentjaraningrat
Setelah lebih dari setengah abad In- 1975), yang merupakan semacam pemutak-
donesia merdeka, para antropolog perlu ki- hiran total disertasinya, yang mencanangkan
ranya mengungkapkan sumbangan apa saja teori-teori akulturasi dari Inggeris dan Ame-
yang dapat diberikan bidang keilmuannya rika. Di situ Koentjaraningrat menyatakan,
bagi akulturasi bangsanya dengan dunia (glo- bahwa pemahaman sesungguhnya mengenai
balisasi). Untuk menjawab tantangan serupa akulturasi hanya dapat dicapai melalui pene-
ini saya ingin menyarankan agar kita meref- litian induktif dari para pribadi yang sedang
leksikan atau mengkontekstualisasikan (isu- berinteraksi satu sama lain pada sejumlah
isu strategis) antropologi (di) Indonesia pada setting sosial yang berbeda dan berubah
hubungannya dengan persoalan pokok akul- (1975: 167). Dengan demikian dia membe-
turasi. Selain itu Antropologi juga mengha- rikan kritik antara lain pada penjelasan psi-
dapi masalah yang nyata menghadang di de- kologis deduktif B.J.O. Schrieke, bahwa bu-
pan mata para mahasiswa terutama adalah daya-budaya Indonesia mengalami inferiority
masalah perut, masalah karir, masalah masa complex terhadap pengaruh kolonial Belanda
depan diri dan seterusnya. Sehubungan den- (Barat). Secara serentak budaya-budaya itu
gan hal itu, kembali saya pertanyakan, apa cenderung pada dua ekstrem: mengasimilasi
yang bisa diperbuat dengan keahlian dalam atau menolak total nilai-nilai Barat. Mereka
bidang antropologi untuk mengisi perut, un- menerima Barat sambil menyangkal (secara
tuk meningkatkan karir, dan menjamin masa berlebihan) warisan budaya Indonesia atau
depan yang cerah bagi diri lulusannya (Sha- sebaliknya berpuas diri (secara berlebihan)
hab, 2006). pada budayanya sendiri sambil berteriak lan-

102
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

tang menolak Barat. Dari kenangannya se- nya merupakan inovasi Barat yang masih
bagai bagian dari kelas menengah-atas Jawa perlu diisi semangat dan makna baru. Oleh
yang tidak menginginkan, bahkan memara- kareena itu, sari pati masalah akulturasi da-
hi, anak-anaknya menjadi seperti orang Ero- lam membangun negeri-negeri bekas jajahan
pa ataupun berasimilasi dengan mereka, Ko- (1975: 173-174) adalah pengisian nasionalis-
entjaraningrat tahu persis, bahwa para elite me dengan ”jiwa” baru.
Jawa itu mengakui dan mendorong anaknya BRO’G Anderson (1994: 124-125) sea-
mendapatkan pendidikan Barat tetapi tetap kan-akan mengelaborasi proposisi itu ketika
menganjurkan anak mereka menghargai bu- ia secara tajam dan inspiratif membedah hu-
dayanya sendiri. Jadi mereka tetap memberi bungan bahasa Jawa, Belanda, dan Melayu
pendidikan intensif etiket Jawa, seni dan sas- revolusioner dalam karyanya tentang bahasa
tra, atau pun agama Islam. politik Indonesia. Ia membayangkan proses
Koentjaraningrat merasa lebih aman akulturasi itu terjadi sebagai usaha untuk
untuk mengatakan bahwa ketika itu orang- menguasai krisis budaya yang maha besar,
orang Indonesia mencari suatu identitas bu- yaitu peristiwa pendakuan “modernitas”
daya. Jelaslah di sini beliau memberi tekanan dalam suatu tatacara tradisi sosial politik
perhatian pada peranan pelaku/aktor dalam mandiri dan pribumi. Di sana orang-orang
perubahan sosial. Seperti akan tampak da- Indonesia dari semua asal-usul melalui ba-
lam makalah ini, perhatian pada aktor ini hasa politik Indonesia bersentuhan dengan
akan merupakan tema yang terus berulang kenyataan-kenyataan modern dan kuna. Se-
ketika kita membicarakan posisi antropologi jak saat itu kesadaran nasional orang-orang
dalam gerakan (perubahan) sosial di Indone- muda pun terbentuk dengan perantaraan ba-
sia. Para pemimpin dan intelektual gerakan hasa Indonesia, yang mewarisi tiga bahasa
nasional awal 30an tahu, kalau melihat ke (Belanda, Jawa, dan Melayu revolusioner)—
luar batas-batas identitas etnik, persoalannya dan dua tradisi (Belanda-Barat dan jawa).
menjadi lebih sulit, tetapi mereka mendapat- Bahasa Indonesia baru niscaya berkembang
kan suatu kompromi antara mempromosi- menjadi alat komunikasi yang dapat melan-
kan ajaran-ajaran, adat, dan seni etnik den- tunkan bukan saja nasionalisme Indonesia
gan mengembangkan bahasa Indonesia yang tetapi juga aspirasi dan tradisi Indonesia ser-
baru muncul (1975: 172). Baginya, persoalan ta realitas internasional. Untuk menemukan
utama pada jalan menuju kemajuan yang di- jiwa Antropologi yang baru haruslah diikuti
hadapi generasi Indonesia ketika itu adalah dengan perubahan metode dan kajian serta
persoalan identitas budaya. Ia mengatakan: ruang lingkup, sehingga Antropologi bisa
”Identifikasi pada budaya Timur tidak masuk menjadi satu ilmu dan pendekatan yang
akal, karena konsepnya diciptakan di Barat membumi (Marzali, 2000).
dan untuk kebutuhan Barat” (1975: 173). Sejarah menunjukkan betapa di jaman
Sementara itu, kembali mengidentifikasi kolonial, Indonesia itu merupakan negeri
diri dengan lingkungan lama di kampung birokratik yang menakjubkan karena berba-
halaman juga absuurd, karena hanya akan gai alam budaya dan bahasa (mandiri) ter-
mentautkan orang dengan budaya etnik dan hubungkan oleh organisasi birokratik dan
kekerabatan yang sempit. Jadi, itu juga tidak teknis. Itu semua kata Anderson hanya bisa
akan memberi peluang bagi mereka mene- terjadi melalui penguasaan bahasa orang
gakkan martabat dan identitas sosial-buda- lain, kedwibahasaan atau “penterjemahan”
yanya dalam kerangka Indonesia modern. yang menjembatani satu alam bahasa ke
Inilah kira-kira kompromi yang di- alam bahasa lain. Namun demikian di jaman
bayangkan Koentjaraningrat. Segala usaha kolonial kedwibahasan tidak semata-mata
kembali ke budaya primordial, akhirnya merupakan urusan teknis kebahasaan teta-
menjadi urusan pribadi. Oleh karena itu pi juga merupakan suatu masalah psikologi
satu-satunya acuan yang mungkin bagi das- dan bahkan agama yang tidak main-main.
ar identitas budaya dan martabat manusia Anderson (1999: 124-126) mengklaim bah-
adalah kesatuan nasional, yang sesungguh- wa Indonesia modern adalah sintesis dari

103
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

suatu nalar dan perspektif budaya-politik Hanya makna imperatifnya saja yang berta-
baru. yang berasal dari fragmentasi dunia han. Dengan sangat telak Anderson meny-
budaya dan bahasa birokrasi kolonial dan atakan bahwa bahasa Indonesia mengalami
awal pasca kolonial, dan restorasi dari suatu kramanisasi, yaitu penduaan berjenjang baik
kesatuan kesadaran yang seolah-olah belum dari segi kosa kata maupun modalitasnya.
pernah terjadi sejak awal konfrontasi dengan Kemudian ada bahasa Indonesia resmi (kra-
penjajahan Belanda. Melalui pelbagai petu- ma) yang dipakai untuk keperluan admi-
alangan dan transformasi bahasa (perantara) nistrasi dan acara resmi serta untuk penya-
nasional, orang dari berbagai lapisan men- paan orang yang dirasa perlu dihormati, dan
cari suatu kegenahan identitas yang berakar ada bahasa Indonesia pergaulan (ngoko baru)
(dalam). Jadi Indonesia bukan semata-mata seperti bahasa Jakarta yang dipakai dalam
penjelmaan dari salah satu alam bahasa dan keperluan sehari-hari secara egaliter. Begitu-
budaya lama saja, tetapi juga bukan semata- lah Anderson menggambarkan betapa baha-
mata adopsi alam bahasa dan budaya asing. sa dan pencitraan tradisi jawa selamat, tetapi
Oleh Karena itu agar Antropologi dapat di dalam suatu modalitas Indonesia-Barat,
diajarkan semenarik dan semaksimal mung- yang telah secara nyata menguliti kekayaan
kin mengena pada masyarakat sasaran perlu metafisiknya.
ada upaya membelajarkan Antropologi Ma- Bahasa-bahasa dan budaya-budaya
syarakat Indonesia secara kreatif, kritis dan lain di Indonesia kiranya juga tidak terlepas
mendalam (Widyaningsih, 2011). dari proses serupa ketika para pendukung-
Dalam kasus bagaimana Melayu revo- nya mencari suatu identitas Indonesia bagi
lusioner menjalankan tugas mendisiplinkan dirinya. James T. Siegel (1997: 17) mengung-
dan mempersatukan kosa kata yang berasal kapkan ketika pada awal abad 20 orang dari
dari birokasi kolonial, dari nasionalis revo- berbagai latar belakang kesukuan (Cina,
lusioner, dan dari tadisi Jawa, Anderson me- Jawa, Betawi, Indo dll.) mulai membaca dan
nemukan “suatu imposisi yang tumbuh dari menulis informasi dalam bahasa Melayu pa-
daging Jawa pada rangka Melayu revolusio- sar (bukan Melayu tinggi. Bahasa Melayu
ner.” Pendek cerita, bagi para tokoh nasio- pasar yang menjadi bahasa Indonesia itu
nalis, bahasa Belanda adalah bahasa penja- berlaku sebagai lingua franqa atau bahasa
jah yang sejak lama memang hanya menjadi perantara. Ketika orang menggunakan baha-
bahasa para penjajah, sehingga tidak dapat sa perantara, maka hubungan antara diri dan
menjadi pemersatu. Sementara kedwibaha- identitas si pengguna melemah jika diban-
saan mereka membuka suatu wawasan kritis dingkan ketika ia menggunakan bahasa ibu-
mengenai masyarakat kolonial dan cakrawa- nya. Meskipun demikian saat itu mereka ti-
la baru mengenai masyarakat setelah penja- dak lantas kehilangan identitas kesukuannya
jahan berakhir. Bahasa Indonesia sebagai karena ketetapan rasial pemerintah kolonial.
bahasa baru diangkat ke dalam kancah revo- Niscaya mereka mengalami ketidak pasti-
lusi tanpa ingatan dan konotasi historis yang an atas identitasnya. Nah menurut Siegel
luas, membawakan suatu proyek, suatu aspi- pencaharian identitas yang mereka lakukan
rasi pada kesatuan dan kesamaan, tawaran terjadi dengan cara menyembunyikan identi-
masa depan yang didambakan. tasnya sendiri sambil meminjam dari tempat
Sejak 1950, bahasa Indonesia secara lain untuk memperkaya miliknya. Jadi peng-
gradual mengalami formalisasi dan kehilan- gunaan Melayu sebagai bahasa kedua untuk
gan karakter anti kolonialnya. Kata “bung” hampir semua orang Indonesia memberikan
misalnya, selama revolusi menjadi ungkapan suatu perasaan kepada orang Indoensia bah-
penyapaan yang egaliter bagi sesama kaum wa mereka masih memiliki andalan (lain)
pergerakan, lambat tetapi pasti berubah ka- ketika berbicara, yaitu bahasa ibu mereka.
rena era pasca kolonial. Kata itu selanjutnya Oleh karena itu seseorang pembicara Indo-
cenderung dipakai hanya untuk menyapa nesia dapat mempertukarkan identitasnya
orang-orang yang diperintah (kacung, kuli menggunakan bahasa perantaranya untuk
dsb.) saja: “Hai bung tolong ambilkan ...!”. mendapatkan identitas yang bukan millik

104
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

siapa pun. ada suatu penolakan atas tatacara adat yang


Tsuchija Kenji dan James Siegel dianggap sebagai sisa-sisa jaman jahiliah di
(1990:75) menyajikan contoh bagaimana masa lalu. Sementara di Ambon, hubun-
pencarian identitas itu terjadi dalam praktek. gan antara keduanya tidak ada persoalan,
Mereka menemukan para murid sekolah dan bahkan adat dapat dibikin di dalam masjid.
guru di Pulau Banda termasuk dalam ranah Namun ini tidak terjadi di kalangan Protes-
formal. Anak-anak itu seringkali mengutip tan di ambon. Hubungan antara adat dan
pengetahuan yang mereka dapatkan di seko- agama di antara orang Protestan di Ambon
lah untuk menjawab pertanyaan para wisata- serupa dengan hubungan antara adat dan Is-
wan. Jawaban-jawaban mereka atas pertany- lam di Minangkabau.
aan sederhana seperti soal arah selalu kaku Sejauh ini saya telah menunjukkan be-
dan formal. Lebih dari itu mereka bicara seo- berapa hubungan konseptual yang niscaya
lah-olah mereka sedang membaca keras dari kita hadapi untuk melanjutkan rintisan yang
buku pelajaran mereka. Sementara itu, keti- telah dicanangkan Koentjaraningrat sejak
ka bercakap-cakap dengan teman-temannya awal karirnya. Persoalan utama yang diaju-
mereka berbicara secara lancar. Anak-anak kannya sebagai tugas antropologi domestik
itu menggunakan bahasa buku pelajaran ke- adalah persoalan mengisi nasionalisme In-
tika berbicara dengan wisatawan daripada donesia dengan jiwa baru ketika bangsa kita
dengan bahasa yang dipakai oleh orang Ban- menghadapi krisis akulturasi akibat tertaut-
da dewasa. Alih-alih menggambarkan pen- kannya seluruh kehidupan di tanah air ini
getahuan mereka sendiri mengenai Banda, dengan dunia yang begitu terbuka oleh sis-
anak-anak Banda itu memilih bersandar pada tem komunikasi global. Tentu saja itu juga
pengetahuan resmi. Tentu saja pengetahuan akibat globalisasi kapital hari-hari ini. Selan-
resmi di Banda, seperti juga di tempat lain jutnya kutipan dari Anderson (1984) serta
di Indonesia ketika itu dikontrol oleh nega- Kenji dan Siegel (1990), memperlihatkan
ra, dan harus disampaikan secara sempurna, betapa secara khas orang-orang Indonesia
seperti yang mereka tunjukkan kepada para mensiasati krisis itu dengan mengembang-
wisatawan. Kasus ini menunjukkan betapa kan bahasa Indonesia sebagai bahasa peran-
konstruksi Indonesia kemudian merupakan tara, jembatan antara orang-orang Indonesia
suatu masalah apropriasi atas anonimitas, (domestik), yang bhineka, dengan dunia (in-
yaitu suatu proses yang tidak semestinya ternasional) dan tentu saja jembatan pen-
mengubah struktur yang sebelumnya. Jadi terjemahan antara bahasa ibu (daerah) dan
itu juga merupakan proses yang mempro- bahasa Belanda, Inggeris dll. Dengan cara
duksi batas-batas tegas antara struktur-struk- itulah rupanya kita telah meniupkan jiwa
tur domestik/lokal/regional dengan struktur baru di Nusantara, yaitu identitas sosial-
nasional atau pun global, sambil membuka budaya baru bukan milik siapa pun. Jiwa itu
peluang untuk saling menggantikannya. bahkan juga giat bekerja membentuk relasi
Dalam hubungan antara adat dan aga- yang khas, misalnya menyangkut hubungan
ma, tulisan Franz and Keebet von Benda- antara adat dan agama di Minangkabau dan
Beckmann (1988) mengenai adat dan agama di Ambon (von Benda Beckman 1988). Lalu
di Minangkabau dan Ambon dapat menjadi dengan cara aktif mengapropriasi/mencuri
ilustrasi yang baik untuk mengggambarkan sesuatu yang anonim, (dianggap) belum ber-
konstruksi identitas semacam itu. Kedua nama dan belum bertuan, jiwa itu melawan
ahli antropologi hukum itu mempersoalkan arus tekanan dari luar.
bagaimana adat dapat diasimilasikan secara Jelas dalam relasi seperti itu dunia
berbeda oleh satu agama tetapi secara serupa sosial-budaya lama tidak lantas mati oleh la-
oleh agama yang berbeda? Di Minangkabau hirnya negara bangsa Indonesia, tetapi hadir
mereka menemukan betapa hubungan anta- kembali dalam bentuknya yang baru. Da-
ra adat dan Islam seringkali menjadi pokok lam etnografinya tentang aneh atau sesuatu
debat yang sengit, sehingga ada pepatah adat yang tidak pada tempatnya, Siegel (1986:
basandi syarak, syarak basandi adat. Bahkan 88) menggambarkan bagaimana ketika jagad

105
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

Indonesia dijawakan. Katanya tokoh-tokoh Pilihan pendekatan yang saya tawar-


wayang dapat dicabut dari kasanah bahasa kan dalam tulisan ini adalah pendekatan ref-
Jawa untuk menggambarkan tokoh dan peris- lektif partisipatoris untuk menjangkau ranah
tiwa nasional, sehingga jagad nasional dapat kognitif dan simbolik suatu identitas sosial
dikenali dalam istilah-istilah Jawa meskipun budaya yang sedang berubah. Dengan de-
bahasa yang diucapkan adalah bahasa Indo- mikian penelitian antropologi itu berpartisi-
nesia. Ludruk Srimulat yang terkenal sangat pasi tepat di dalam produksi makna melalui
lucu dan mampu membuat penontonnya partisipasi dalam lingkaran pembacaan dan
tertawa jungkir balik, ternyata rahasianya interpretasi (Schwandt 1994:121). Sehingga
adalah kemampuan mereka mengeksploitasi sifat penelitiannya kwalitatif ontologis dari-
habis-habisan sesuatu yang aneh, tidak pada pada objektivis. Oleh karena itu tafsir etno-
tempatnya. Segala sesuatu yang lucu adalah grafi yang saya acu itu bersifat diskursif ka-
segala sesuatu yang aneh. Srimulat menam- rena menjadi bagian atau tidak terpisahkan
pilkan tuan menirukan jongos, di mana ba- dari tafsir lainnya. Menulis dan membaca
hasa lolos dari tingkat tingkat bicara, krama etnografi (beretnografi) itu memperbin-
diucapkan tetapi tidak berfungsi. Salah satu cangkan hidup sehari (dunia), mengalihkan
contoh judul lakon yang dimainkan “Mayat peristiwa sehari-hari menjadi fakta simbolik
jatuh Cinta.” Srimulat memancing ketawa melalui dialektika/komunikasi antara proses
dengan menjungkir balikkan tatanan sosial penarikan jarak (distansiasi) antara penulis
dengan menampilkan apa saja yang tidak dan tulisannya dengan proses pencomotan
pada tempatnya (Siegel idem: 97-98). (apropriasi) apa yang tertulis menjadi pen-
Dalam pidato pengukuhan, saya (Lak- galaman milik kita (lihat Ricoeur 1976: 43).
sono 2009) menempatkan isu ontologi identi- Namun demikian perlu diingat bahwa dialek-
tas sosial budaya, dialektika antara nalar dia- tika/komunikasi itu tidak selalu berlangsung
lektik dan nalar analitik, pencarian diri kita seimbang, selalu saja ada kemungkinan ter-
yang unik itu sebagai bungkus atas paling jadi kegagalan karena ada perbedaan keku-
tidak tiga persoalan besar yang telah ditenga- asaan dan campur tangan pemegang kuasa
rai Kontjaraningrat, yaitu persoalan integrasi arus besar, seperti yang terjadi di Jawa Timur
nasional, perubahan sosial budaya dan pen- dalam kegagalan penamaan seseorang seba-
gembangan komunitas. Secara strategis isu gai dukun yang mengarah pada kekerasan/
yang sama dapat juga kita pergunakan untuk pembunuhan para dukun itu (Siegel 2006:
menanggapi persoalan pendidikan nasional 210-231).
dan kependudukan yang akut. Dalam hal Langkah aplikatif dari pendekatan
ini antropologi diharapkan menempatkan seperti itu akan menempatkan antropologi
persoalan-persoalan itu dalam ranah kogni- untuk beretnografi dengan memperhatikan
tif dan simbolik. Saya yakin kita tahu bahwa secara terfokus pada kwalitas interkoneksi
banyak eksplorasi pendekatan antropologi di yang hampa makna, aneh tidak pada tem-
Indonesia telah dilakukan dalam ranah kog- patnya, tidak sepadan, tidak stabil dan kre-
nitif dan simbolik ini, yang mungkin untuk atif, yaitu pada friksi (Tsing 2005: 3-4; Siegel
menghemat ruang tidak perlu saya sebutkan 1986: 87-137). Di sini kita melihat fragmen-
satu per satu. Meskipun dari satu ranah, se- fragmen bagaimana orang-orang Indonesia
bagai pembaca etnografi Indonesia kita akan bersiasat di garis depan perjumpaan globali-
mendapati betapa karya-karya itu umum- sasi dengan sumberdaya alam dan manusia,
nya mengandung nuansa paradigmatik yang ketika apa saja dijadikan barang dagangan.
berbeda-beda nyaris sesuai “selera” para ant- Di sini pulalah antropologi ambil bagian
ropolognya. Memang benar, jika sejauh ini dalam gerakan perubahan kebudayaan, ber-
para antropolog tidak/belum sepakat untuk partisipasi dalam isu pokok yang ditelaahnya
memilih satu paradigma sebagai jalan pen- sendiri. Sehingga memiliki relevansi (pendi-
carian kebenaran. Pertentangan paradigma dikan) pada masalah sosial-budaya bangsa.
dalam antropologi belumlah usai (Guba dan Sasaran perbincangan tentunya ada-
Lincoln 2005). lah untuk melawan kecenderungan bahwa

106
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

pendidikan antropologi, setelah dihapuskan Secara kasus, dapat saya bayangkan


dari kurikulum SMA, telah menjadi sekedar adanya keluhan dari seorang rekan dosen
pelengkap atau assesori kurikulum pendidi- program studi antropologi berikut ini. Rekan
kan tinggi kita. Sementara itu sesungguhnya saya ini begitu cemas karena anak laki-laki
ada tuntutan bagi insan perguruan tinggi un- yang sangat disayanginya tidak mau melan-
tuk mampu menghayati kemanusiaan secara jutkan kuliah dan memilih untuk secepatnya
utuh dalam menjalankan perannya sebagai kerja cari uang antara lain dengan masuk
agen kemajuan bangsa. Belajar dari ranah dalam sistem multi level marketing. Kepa-
teori dan metodologi di atas, kita tahu ant- da anaknya ia mencoba menasehati: “Co-
ropologi dapat menyumbangkan pengertian balah kau kuliah biar dapat selembar ker-
yang mendalam bagaimana konstruk iden- tas (ijazah), bukankah hari ini kalau orang
titas kebudayaan kita terbangun, bahkan tak punya kertas itu susah cari kerja? Selain
bagaimana pemegang kuasa dapat meneli- itu, bukankah kemudian kamu dapat mem-
kungnya pun dapat terjelaskan. Ini artinya bantu banyak orang?” Anaknya menjawab:
antropologi memiliki daya dan kapasitas un- “Bapak sudah doktor dan jadi dosen, tetapi
tuk mengawal agar proses itu berjalan lebih bapak tidak dapat kaya. Mana mungkin kita
seimbang atau memihak yang sedang dile- dapat membantu orang kalau tidak kaya?
mahkan. Mengingat potensinya ini mungkin Membantu orang itu kan pakai uang pak.”
ada di antara kita yang bertanya-tanya men- Bahkan anaknya pernah mengatakan: “Ka-
gapa (pendidikan) antropologi Indonesia lau kuliah itu kita bayar hanya untuk duduk-
justeru melemah di tempat-tempat di mana duduk mendengar orang ngomong, sementa-
masyarakat dan budaya setempat dikalahkan ra dalam bisnis saya omong didengarkan dan
oleh kekuatan eksploitasi (modal, negara, dapat duit.” Rekan saya itu katanya sempat
dan jaringan sistem nilai global) atas sumber tersentak dan nyaris tidak dapat lagi mem-
daya alam yang dahsyat, seperti di sebagian bujuk anaknya. Ia sadar betapa berbeda cita-
besar Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan cita dan nilai hidup yang dihayatinya dengan
Papua? Mungkinkah kita membangkitkan yang dihayati sang anak tercinta. Hidup se-
minat pada antropologi dan mendorong para bagai dosen antropologi, yang telah dige-
antropolog untuk tampil ikut ambil bagian lutinya lebih dari 25 tahun penuh dedikasi,
bersama warga setempat menegakkan mar- tiba-tiba dianggap nothing oleh anak kan-
tabat dan identitas manusia dalam akulturasi dungnya sendiri. Maka ia pun bertanya pada
di tempat-tempat itu? saya: “Laksono, apakah zaman sekarang ini
Dari paparan pada ranah teori dan sudah sedemikian lain dari zaman saya?’
metodologi kita tahu bahwa pertanyaan itu Pertanyaan itu hanya dapat dijawab
sangat kompleks untuk dapat dituntaskan dengan menampilkan beberapa indikator
dalam satu tulisan pendek seperti ini, tetapi frekwensional yang lebih makro sifatnya.
bukan mustahil dapat kita jawab dalam sua- Misalnya saja dari data pendaftaran maha-
tu program pengembangan antropologi In- siswa menurut program studinya. Berkenaan
donesia yang komprehensif. Oleh karena itu dengan hal ini kita tahu, bahwa akhir-akhir
apa yang dapat saya lakukan di sini adalah ini pertumbuhan sektor industri baik manu-
mengajak para pembaca sekalian untuk se- faktur maupun konstruksi telah menuntut
cara bersama-sama berusaha merefleksikan perubahan tekanan pada pendidikan teknik
tema ini dalam proses belajar-mengajar yang dan engineering untuk semua jenjang pendi-
kita alami di kampus. Untuk itu pertama- dikan. Iptek nyaris telah menjadi slogan bagi
tama kita perlu meninjau apakah alasan bagi arah pengembangan pendidikan kita, sehing-
perbincangan kita ini cukup nyata dan rele- ga jurusan-jurusan antropologi di perguru-
van. Kemudian barulah kita coba merinci an tinggi negeri misalnya pernah (mungkin
permasalahan pendidikan antropologi yang masih) sulit untuk menambah staf pengajar
ada diperguruan tinggi serta menyarankan karena prioritas pengangkatan ditujukan un-
kemungkinan-kemungkinan pengembangan- tuk jurusan-jurusan teknik. Namun begitu,
nya. ternyata dalam praktek jumlah mahasiswa

107
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Pendidikan Profesional Perguruan Tinggi Menurut Program


Studi.
Non Kepen- Kepen- Non Kepen-
No Program Studi dididikan % dididikan % didikan &
Jumlah Jumlah Kependidikan
1 Teknologi 44.484 17,99 202.833 82,01 247.317
2 Ekonomi dan Bisnis 211.916 26.70 581.903 73,30 793.819
3 IPS 31.694 12,31 225.714 87,69 257.408
4 IPA 5.635 7,72 67.400 92,28 73.035
Jumlah 307.695 20,90 1.164.318 79,10 1.472.013
Sumber: Ministery of Education (1994:87-94).

pada hampir semua jenis pendidikan tinggi, Marjinal. Artinya para lulusan SLTA ada
paling banyak (sekitar setengahnya) masuk pada posisi marginal untuk memperebutkan
dalam program studi ekonomi dan bisnis. posisi kelas menengah yang kerjanya lebih
Jumlah mahasiswa pendidikan profe- administratif
sional perguruan tinggi baik negeri maupun Data makro ini menunjukan betapa
swasta, yang masuk program studi ekonomi konflik pengertian antara bapak dosen dan
dan bisnis dua kali lebih banyak dari total ma- anaknya itu punya cakupan arti yang luas.
hasiswa teknik, IPS dan IPA. Jika program Pak dosen betul bahwa persaingan menca-
studi ekonomi, bisnis dan teknik dianggap pai posisi kelas menengah baru yang status
sebagai program studi terapan, maka jum- ekonominya paling tinggi butuh pendidikan
lah mereka akan mencapai sebanyak hampir yang maksimal. Ia kiranya juga benar bahwa
tiga kali lipat mahasiswa program studi yang mendedikasikan dirinya sebagai dosen yang
lebih substantif, seperti di bidang IPA dan tidak kaya cukup masuk akal karena hanya
IPS. Jika fakta ini diruntut sampai ke lapan- sebagian kecil saja orang yang berhasil jadi
gan kerja yang mereka masuki, maka akan kaya seperti para Kelas Menengah baru di
tampak kecenderungan lulusan pendidikan Jakarta itu. Namun kiranya kita juga harus
yang semakin tinggi akan cenderung mengisi maklum, bahwa anaknya punya alasan kuat
pekerjaan-pekerjaan professional dan cleri- memilih segera berbisnis karena kehendak
cal. Pola kelompok lulusan sekolah lanjutan dari kecenderungan umum yang ada, yaitu
atas dan perguruan tinggi pekerjaan dalam rame-rame cari uang lewat bisnis. Malahan
bidang pertanian secara dramatis ditinggal- ada data yang menunjukan bahwa 32.6%
kan, dan pentingnya pekerjaan dalam sektor dari para manager adalah lulusan SLA, kira-
produksi dan transportasi menurun dengan kira sebanding dengan jumlah manager lulu-
tajam juga (Hull dan Jones 1994:170). san akademi dan universitas. Jadi kasus kon-
Selanjutnya dalam hidup sehari-hari flik bapak anak itu sesungguhnya memang
pendidikan ternyata sangat menentukan mencerminkan fakta yang lebih substansial
posisi seseorang dalam masyarakat. Data dan luas, yang berisi konflik-konflik internal
survei kelas menengah Jakarta dari Harian dalam pendidikan, yaitu antara tututannya
Kompas menunjukan, bahwa standar pen- untuk menyiapkan sumber daya manusia da-
didikan yang menentukan kelas seseorang lam rangka pertumbuhan ekonomi dan untuk
bergeser. Pada masa lalu seseorang dengan pengembangan martabat manusia. Dengan
pendidikan minimal sampai menengah da- kata lain, jika ditempatkan dalam kerang-
pat mencapai posisi kelas menengah. Den- ka pembangunan yang berkelanjutan, maka
gan tingkat pendidikan yang sama saat ini pendidikan ini dapat memainkan peran yang
orang hanya dapat bertahan di kelas bawah. ambivalen. Pertama pendidikan dapat secara
Sementara untuk mencapai Kelas Menengah positif membekali manusia baik dengan mo-
Baru orang harus punya pendidikan tinggi, dal pengetahuan praktis maupun substantif
minimal SLTA. Lulusan SLTA dari data yang amat berguna bagi umat manusia apa-
itu nampaknya harus jadi Kelas Menengah bila di dalamnya termuat visi yang memihak

108
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

bukan hanya pada hidup sesaat tetapi pada sikap dogmatis bertentangan dengan sikap
hidup sejahtera yang adil bagi umat manu- historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan
sia secara lintas generasi. Kedua pendidikan dalam pendidikan pada “proses” bukan
justeru punya potensi yang sebaliknya, yaitu hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya
menjadi kendala bagi pembangunan berke- menghidupkan kesadaran historis dengan
lanjutan karena tuntutan-tuntutan praktis, membiasakan peserta didik melihat “akar-
khusus, dan sesaat yang dikehendaki oleh akar” sejarah dari masalah-masalah masa
kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, kini yang kita hadapi (Bernas, 21 Februari
dan sosial yang selalu berubah. 1997: 2.).” Pendidikan seperti inilah yang
Pada dasarnya pendidikan antropologi katanya berwawasan kemanusian, jadi juga
itu mengarah pada usaha-usaha pengemban- berwawasan antropologi.
gan manusia ke arah sasaran-sasaran yang Barangkali khas ilmu antropologi,
lebih substansial, halus penuh apresiasi dan mungkin juga umumnya ilmu-ilmu huma-
empati pada hidup manusia itu sendiri dari niora, paradigma ilmu ini terus bergeser
pada ke arah hidup material yang praktis. Da- dan simpang siur. Barangkali satu-satunya
lam era pertumbuhan ekonomi yang sedang yang cukup luas disepakati adalah proses
dipacu, seperti di negeri kita saat ini, konflik pengembangan pengetahuannya saja, yaitu
internal dalam pendidikan kita cenderung melalui kerja lapangan yang panjang, hidup
berjalan tidak seimbang. Kepentingan se- dengan orang lain untuk memahami masy-
mentara untuk melayani pasar, kekuasaan arakat dan budaya lain. Antropologi punya
dan globalisasi cenderung menunda, bahkan obsesi memahami lian, yaitu yang berbeda
mengabaikan perlunya pendidikan antropo- dari dirinya sendiri untuk mengenali dirinya
logi untuk membimbing manusia berkem- sendiri. Mengenai siapa lian dan apa itu ke-
bang ke arah hidup yang lebih bermartabat budayaan, nyaris setiap antropolog punya
secara utuh. Meminjam istilah Johar MS pengertian sendiri. Clifford Geertz misalnya
dalam seminar Pembangunan Pendidikan secara sederhana menggambarkan kebuda-
Berwawasan Kemanusiaan di LP3 Universi- yaan itu sebagai jarin-jaring makna yang di-
tas Muhamadiyah Yogyakarta, maka dalam rajut manusia sendiri, sehingga bersifat pub-
praktek pendidikan kita itu belum berwa- lik. Dalam karir akademiknya lian itu adalah
wasan kemanusiaan, belum mengarah pada orang Jawa, Bali dan Marokko. Secara lebih
keutuhan antropologi peserta didik (Bernas, sederhana lagi saya sering menerangkan
21 Februari 1997: 2). Johar melihat pemak- pada para mahasiswa bahwa kebudayaan
saan pendidikan terjadi bukan hanya lewat itu adalah semua yang kita tahu sama tahu
kurikulum tetapi juga dalam kehidupan ke- (TST). Tentu aktualisasi kebudayan dalam
luarga, sehinga lahir gejala kekerasan yang hidup amat beraneka ragam dan luas sekali
juga meluas. bidangnya. Oleh karena itu dalam antropo-
Kecenderungan praktek pendidikan logi pun ada banyak sekali pengkhususan,
itu jelas berbeda dengan citra ideal dari pen- sudah jamak pula di kalangan antropolo-
didikan yang digambarkan M Sastraprateja gi para antropolog itu berwacana dengan
dalam seminar yang sama. Saya sependapat membuka pengalaman etnografisnya dalam
dengan Sastraprateja, bahwa pendidikan masyarakat tertentu yang terkadang tidak
berkaitan dengan revolusi kesadaran historis seorang pun pernah mendengarnya. Untuk
manusia akan hakekat hidupnya: eksistensi memahami proses pendidikan antropologi
manusia terbentang antara masa lampau dan yang mereka alami sepanjang karir itu baik
masa depan. Dengan demikian pendidikan saya kutipkan pokok-pokok yang dipaparkan
itu arahnya tidak hanya pada ilmu penge- oleh Cilfford Geertz dalam bukunya After
tahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada the Fact. Contoh ini baik karena ditulis ant-
usaha pemahaman atas diri sendiri dalam ropolog yang karirnya panjang dan reputa-
konteks historisnya. Secara praktis Sastrap- sinya luas mencakup bahkan bidang-bidang
rateja menyarankan tiga hal. “Pertama, pen- di luar antropologi.
getahuan manusia itu bersifat historis, maka

109
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

1. Obyek studi: “The history of noti- On the first turning it means ex-post inter-
on formation, in this aspect of culture as in pretation, the main way (perhaps the only
any other-- and the story of “Islam” actual- way) one can come to terms with the sorts of
ly stands rather well as a patch sample for lived-forward, understood-backward pheno-
a general weave-- is an obscure and unsett- mena anthropologists are condemned to deal
led process. Sorting out the domestic from with. On the second (and even more proble-
the imported, -the bread-in-the-bone from matic) turning, it means the the post-positi-
the lightly held, the dying out from the co- vist critique of empirical realism, the move
ming on is a continous business, carried on away from simple correspondence theories
without much in way of codiable rule or sys- of truth and knowledge which makes of the
tematized plan. It is concluded only when, very term “fact” a delicate matter’ (Geertz
at a lost for the moment as to what to say 1995: 167-168).
next, you turn, equally improvisationally, to
another patch out of another weave”(Geertz SIMPULAN
1995:57).
Dari paparan di atas kita dapat men-
2. Pendekatan: “Anthropology, or gatakan bahwa pendidikan antropologi itu
anyway social or cultural anthropology, is in penuh lekuk liku karena obyek dan subyek
fact rather more something one pick up as yang dipelajarinya terus bergeser, sementara
one goes along year after year trying to figu- pengalaman pribadi para penelitinya atau
re out what it is and how to practice it than orang yang mempelajarinya juga terus berge-
something one has instilled in one through ser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh ka-
“a systematic method to obtain obedience” rena itu hasilnya lebih bersifat pengetahuan
or formalized “train(ing) by instruction and reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan
control.” It is, of course, taught, sometimes eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena
fiercely with lots of rules to obey and aut- itu harus dipahami benar bahwa pendidikan
hority to respect, and it has it on ways, from antropologi itu pada hakekatnya berbeda
book reviews to tenure decisions of inflic- sekali dengan pendidikan yang pragmatis.
ting “punishment intended to correct.” But Dalam pendidikan antropologi para peserta
the “specified character or pattern of beha- didik secara total utuh mestinya diberi ke-
vior,” to say nothing to the “moral or men- sempatan mengembangkan daya apresiasi,
tal improvement,” does not very reliably empati/afektif dan kognitifnya sesuai den-
emerge. The blurred image is indeed a lack gan pengalaman hidupnya untuk berkenalan
of firm edge and defined target to what we dan berwacana dengan subyek yang dipela-
do, however hard some may work to disgui- jarinya. Pendidikan antropologi sebaiknya
se the fact. Perhaps this is a scandal, perhaps jauh dari pendekatan-pendekatan normatif
it is a strength. But in either case it makes tetapi dekat dengan proses yang kreatif sa-
any attempt to characterize the field synop- ling percaya dan saling belajar antara murid
tically something of an exercise in special dan guru..
pleading.” (Geertz 1995: 97)
DAFTAR PUSTAKA
3. Hasil akhir: “For me at least (and
that is the “we” we are talking about here), Anderson, B., R.O’G . 1994. Language and power: Ex-
ploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca and
anthropology, ethnographical anthropolo-
London: Cornell University Press. Chapter IV
gy, is like that: trying to reconstruct elusive, and VI.
rather ethereal, and by now wholly departed Bogan, R. dan Taylor, S.J. 1975. Introduction to Quali-
elephants from the footprints they have left tative Research Methods. New York: John Wiley
on my mind. ‘After the fact,” is a double pun, &Sons Inc.
Geertz, Clifford. 1995. After the Fact: Two Countries,
two tropological turns on a literal meaning. Four Decades, One Anthropologist. Cambridge
On the literal level, it means looking for facts, Massachusetts: Harvard University Press.
which I have of course, “in fact’ been doing. Hull, T. dam Jones, G.W. 1994. “Demographic Per-

110
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111

spectives,” dalam Hal Hill, Indonesia’s New Or- idem.


der: The Dynamics of Socio-economic Transforma- Siegel, J.T. 1986. Solo in the New Order: Language and
tion. St. Leonard, NSW 2065 Australia: Allen Hierarchy in an Indonesian City. Princeton, New
& Unwin Pty Ltd. Jersey: Princeton University Press.
Kenji, T and Siegel, J. 1998. “Invincible Kitsch or as Simanjuntak, B.A. 2010. Melayu Pesisir dan Batak Pegu-
Tourists in the Age of Des Alwi,” Indonesia, nungan (Orientasi Nilai Budaya). Jakarta: Yayas-
no.50, Cornell Southeast Program.
an Obor Inonesia.
Koentjaraningrat. 1975 Anthropology in Indonesia.
Tsing, A.L. 2005. Friction: An Ethnography of Global
KITLV Biographical Series 8.’S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff. Connection. Princeton and Oxford: princeton
Maanen, John Van (ed.). 1979. Qualitative Methodology. University Press..
Beverly Hills: Sage Publications. von Benda-Beckmann, F. and Keebet. 1988. “Adat and
Oosten, J.G. 1988. “The Stranger-King: a Problem of Religion in Minangkabau and Ambon, dalam
Comparison,” dalam David S. Moyer and Hen- David S. Moyer and Henri J.M. Claessen (eds.),
ri J.M. Claessen (eds.), Time Past, Time Present, Time Past, Time Present, Time Future. Dordrecht-
Time Future. Dordrecht-Hollang/Providence- Hollang/Providence-U.S.A.: Foris Publication.
U.S.A.: Foris Publication. Hlm.259-275. Hlm.193-214.
Raslan, K. 2010. Ceritalah Indonesia. Jakarta: KPG (Ke- Widyaningsih. 2011. Meningkatkan Kualitas Pembe-
pustakaan Populer Gramedia). lajaran Mata Kuliah Antropologi Masyarakat
Ricoeur, P. 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Indonesia Melalui Pendekatan Pembelajaran
Surplus of Meaning. Forth Worth, Texas: The
Kreatif Kritis. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan
Texas Christian University Press.
Vol 4 No 2, September 2011.
Rochana, T. 2012. Relevansi Kurukulum Prodi Pen-
didikan Sosiologi Antropologi dengan Kebu- Shahab, Y.Z. 2006. Tantangan Peran Antropolo-
tuhan Mengajar Guru SMA. Jurnal Komuni- gi di Indonesia. Jurnal Antropologi Indone-
tas.4(1):57-68 sia.30(2):25-30
Schwands, T.A. 1994. “Constructivist, Interpretivist Marzali, A. 2000. Pendidikan Antropologi dan Pem-
Approaches to Human Inquiry,” dalam Nor- bangunan Indonesia. Jurnal Antropologi Indone-
man K. denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.) sia.24(62):45-60

111

Anda mungkin juga menyukai