JURNAL KOMUNITAS
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas
P.M. Laksono
Abstract
Education in Indonesia is currently in an ambivalent state. Education should positively equip
people with practical and substantive knowledge capital that has the potential to be useful,
instead of becoming an obstacle to sustainable development because of the practical, specific,
and momentary demand of the ever-changing economic, political, and social interests. The
fact has encouraged the authors to write this article which aims to propose a discourse about
the contextualization of educational anthropology in Indonesia in order that education can
serve its fundamental purposes. After observing the fact by using analysis involving the theories
of anthropology and social sciences, it is obtained several conclusions, among them is that
contextualization of Indonesian Anthropology education should be made to fill the new
spirit of Indonesian nationalism with acculturation to deal with the crisis caused by global
communication system. In anthropology education, the learners in total should be given the
opportunity to develop the appreciation, empathy / affective and cognitive experience of his
life according to a learned discourse on the subject. To realize that, one appropriate approach
is reflective participatory approach in order to reach the cognitive and symbolic discourse of a
changing socio-cultural identity, so it will create more reflective and appreciative knowledge,
namely the discovery of human existence itself.
102
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
tang menolak Barat. Dari kenangannya se- nya merupakan inovasi Barat yang masih
bagai bagian dari kelas menengah-atas Jawa perlu diisi semangat dan makna baru. Oleh
yang tidak menginginkan, bahkan memara- kareena itu, sari pati masalah akulturasi da-
hi, anak-anaknya menjadi seperti orang Ero- lam membangun negeri-negeri bekas jajahan
pa ataupun berasimilasi dengan mereka, Ko- (1975: 173-174) adalah pengisian nasionalis-
entjaraningrat tahu persis, bahwa para elite me dengan ”jiwa” baru.
Jawa itu mengakui dan mendorong anaknya BRO’G Anderson (1994: 124-125) sea-
mendapatkan pendidikan Barat tetapi tetap kan-akan mengelaborasi proposisi itu ketika
menganjurkan anak mereka menghargai bu- ia secara tajam dan inspiratif membedah hu-
dayanya sendiri. Jadi mereka tetap memberi bungan bahasa Jawa, Belanda, dan Melayu
pendidikan intensif etiket Jawa, seni dan sas- revolusioner dalam karyanya tentang bahasa
tra, atau pun agama Islam. politik Indonesia. Ia membayangkan proses
Koentjaraningrat merasa lebih aman akulturasi itu terjadi sebagai usaha untuk
untuk mengatakan bahwa ketika itu orang- menguasai krisis budaya yang maha besar,
orang Indonesia mencari suatu identitas bu- yaitu peristiwa pendakuan “modernitas”
daya. Jelaslah di sini beliau memberi tekanan dalam suatu tatacara tradisi sosial politik
perhatian pada peranan pelaku/aktor dalam mandiri dan pribumi. Di sana orang-orang
perubahan sosial. Seperti akan tampak da- Indonesia dari semua asal-usul melalui ba-
lam makalah ini, perhatian pada aktor ini hasa politik Indonesia bersentuhan dengan
akan merupakan tema yang terus berulang kenyataan-kenyataan modern dan kuna. Se-
ketika kita membicarakan posisi antropologi jak saat itu kesadaran nasional orang-orang
dalam gerakan (perubahan) sosial di Indone- muda pun terbentuk dengan perantaraan ba-
sia. Para pemimpin dan intelektual gerakan hasa Indonesia, yang mewarisi tiga bahasa
nasional awal 30an tahu, kalau melihat ke (Belanda, Jawa, dan Melayu revolusioner)—
luar batas-batas identitas etnik, persoalannya dan dua tradisi (Belanda-Barat dan jawa).
menjadi lebih sulit, tetapi mereka mendapat- Bahasa Indonesia baru niscaya berkembang
kan suatu kompromi antara mempromosi- menjadi alat komunikasi yang dapat melan-
kan ajaran-ajaran, adat, dan seni etnik den- tunkan bukan saja nasionalisme Indonesia
gan mengembangkan bahasa Indonesia yang tetapi juga aspirasi dan tradisi Indonesia ser-
baru muncul (1975: 172). Baginya, persoalan ta realitas internasional. Untuk menemukan
utama pada jalan menuju kemajuan yang di- jiwa Antropologi yang baru haruslah diikuti
hadapi generasi Indonesia ketika itu adalah dengan perubahan metode dan kajian serta
persoalan identitas budaya. Ia mengatakan: ruang lingkup, sehingga Antropologi bisa
”Identifikasi pada budaya Timur tidak masuk menjadi satu ilmu dan pendekatan yang
akal, karena konsepnya diciptakan di Barat membumi (Marzali, 2000).
dan untuk kebutuhan Barat” (1975: 173). Sejarah menunjukkan betapa di jaman
Sementara itu, kembali mengidentifikasi kolonial, Indonesia itu merupakan negeri
diri dengan lingkungan lama di kampung birokratik yang menakjubkan karena berba-
halaman juga absuurd, karena hanya akan gai alam budaya dan bahasa (mandiri) ter-
mentautkan orang dengan budaya etnik dan hubungkan oleh organisasi birokratik dan
kekerabatan yang sempit. Jadi, itu juga tidak teknis. Itu semua kata Anderson hanya bisa
akan memberi peluang bagi mereka mene- terjadi melalui penguasaan bahasa orang
gakkan martabat dan identitas sosial-buda- lain, kedwibahasaan atau “penterjemahan”
yanya dalam kerangka Indonesia modern. yang menjembatani satu alam bahasa ke
Inilah kira-kira kompromi yang di- alam bahasa lain. Namun demikian di jaman
bayangkan Koentjaraningrat. Segala usaha kolonial kedwibahasan tidak semata-mata
kembali ke budaya primordial, akhirnya merupakan urusan teknis kebahasaan teta-
menjadi urusan pribadi. Oleh karena itu pi juga merupakan suatu masalah psikologi
satu-satunya acuan yang mungkin bagi das- dan bahkan agama yang tidak main-main.
ar identitas budaya dan martabat manusia Anderson (1999: 124-126) mengklaim bah-
adalah kesatuan nasional, yang sesungguh- wa Indonesia modern adalah sintesis dari
103
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
suatu nalar dan perspektif budaya-politik Hanya makna imperatifnya saja yang berta-
baru. yang berasal dari fragmentasi dunia han. Dengan sangat telak Anderson meny-
budaya dan bahasa birokrasi kolonial dan atakan bahwa bahasa Indonesia mengalami
awal pasca kolonial, dan restorasi dari suatu kramanisasi, yaitu penduaan berjenjang baik
kesatuan kesadaran yang seolah-olah belum dari segi kosa kata maupun modalitasnya.
pernah terjadi sejak awal konfrontasi dengan Kemudian ada bahasa Indonesia resmi (kra-
penjajahan Belanda. Melalui pelbagai petu- ma) yang dipakai untuk keperluan admi-
alangan dan transformasi bahasa (perantara) nistrasi dan acara resmi serta untuk penya-
nasional, orang dari berbagai lapisan men- paan orang yang dirasa perlu dihormati, dan
cari suatu kegenahan identitas yang berakar ada bahasa Indonesia pergaulan (ngoko baru)
(dalam). Jadi Indonesia bukan semata-mata seperti bahasa Jakarta yang dipakai dalam
penjelmaan dari salah satu alam bahasa dan keperluan sehari-hari secara egaliter. Begitu-
budaya lama saja, tetapi juga bukan semata- lah Anderson menggambarkan betapa baha-
mata adopsi alam bahasa dan budaya asing. sa dan pencitraan tradisi jawa selamat, tetapi
Oleh Karena itu agar Antropologi dapat di dalam suatu modalitas Indonesia-Barat,
diajarkan semenarik dan semaksimal mung- yang telah secara nyata menguliti kekayaan
kin mengena pada masyarakat sasaran perlu metafisiknya.
ada upaya membelajarkan Antropologi Ma- Bahasa-bahasa dan budaya-budaya
syarakat Indonesia secara kreatif, kritis dan lain di Indonesia kiranya juga tidak terlepas
mendalam (Widyaningsih, 2011). dari proses serupa ketika para pendukung-
Dalam kasus bagaimana Melayu revo- nya mencari suatu identitas Indonesia bagi
lusioner menjalankan tugas mendisiplinkan dirinya. James T. Siegel (1997: 17) mengung-
dan mempersatukan kosa kata yang berasal kapkan ketika pada awal abad 20 orang dari
dari birokasi kolonial, dari nasionalis revo- berbagai latar belakang kesukuan (Cina,
lusioner, dan dari tadisi Jawa, Anderson me- Jawa, Betawi, Indo dll.) mulai membaca dan
nemukan “suatu imposisi yang tumbuh dari menulis informasi dalam bahasa Melayu pa-
daging Jawa pada rangka Melayu revolusio- sar (bukan Melayu tinggi. Bahasa Melayu
ner.” Pendek cerita, bagi para tokoh nasio- pasar yang menjadi bahasa Indonesia itu
nalis, bahasa Belanda adalah bahasa penja- berlaku sebagai lingua franqa atau bahasa
jah yang sejak lama memang hanya menjadi perantara. Ketika orang menggunakan baha-
bahasa para penjajah, sehingga tidak dapat sa perantara, maka hubungan antara diri dan
menjadi pemersatu. Sementara kedwibaha- identitas si pengguna melemah jika diban-
saan mereka membuka suatu wawasan kritis dingkan ketika ia menggunakan bahasa ibu-
mengenai masyarakat kolonial dan cakrawa- nya. Meskipun demikian saat itu mereka ti-
la baru mengenai masyarakat setelah penja- dak lantas kehilangan identitas kesukuannya
jahan berakhir. Bahasa Indonesia sebagai karena ketetapan rasial pemerintah kolonial.
bahasa baru diangkat ke dalam kancah revo- Niscaya mereka mengalami ketidak pasti-
lusi tanpa ingatan dan konotasi historis yang an atas identitasnya. Nah menurut Siegel
luas, membawakan suatu proyek, suatu aspi- pencaharian identitas yang mereka lakukan
rasi pada kesatuan dan kesamaan, tawaran terjadi dengan cara menyembunyikan identi-
masa depan yang didambakan. tasnya sendiri sambil meminjam dari tempat
Sejak 1950, bahasa Indonesia secara lain untuk memperkaya miliknya. Jadi peng-
gradual mengalami formalisasi dan kehilan- gunaan Melayu sebagai bahasa kedua untuk
gan karakter anti kolonialnya. Kata “bung” hampir semua orang Indonesia memberikan
misalnya, selama revolusi menjadi ungkapan suatu perasaan kepada orang Indoensia bah-
penyapaan yang egaliter bagi sesama kaum wa mereka masih memiliki andalan (lain)
pergerakan, lambat tetapi pasti berubah ka- ketika berbicara, yaitu bahasa ibu mereka.
rena era pasca kolonial. Kata itu selanjutnya Oleh karena itu seseorang pembicara Indo-
cenderung dipakai hanya untuk menyapa nesia dapat mempertukarkan identitasnya
orang-orang yang diperintah (kacung, kuli menggunakan bahasa perantaranya untuk
dsb.) saja: “Hai bung tolong ambilkan ...!”. mendapatkan identitas yang bukan millik
104
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
105
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
106
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
107
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
pada hampir semua jenis pendidikan tinggi, Marjinal. Artinya para lulusan SLTA ada
paling banyak (sekitar setengahnya) masuk pada posisi marginal untuk memperebutkan
dalam program studi ekonomi dan bisnis. posisi kelas menengah yang kerjanya lebih
Jumlah mahasiswa pendidikan profe- administratif
sional perguruan tinggi baik negeri maupun Data makro ini menunjukan betapa
swasta, yang masuk program studi ekonomi konflik pengertian antara bapak dosen dan
dan bisnis dua kali lebih banyak dari total ma- anaknya itu punya cakupan arti yang luas.
hasiswa teknik, IPS dan IPA. Jika program Pak dosen betul bahwa persaingan menca-
studi ekonomi, bisnis dan teknik dianggap pai posisi kelas menengah baru yang status
sebagai program studi terapan, maka jum- ekonominya paling tinggi butuh pendidikan
lah mereka akan mencapai sebanyak hampir yang maksimal. Ia kiranya juga benar bahwa
tiga kali lipat mahasiswa program studi yang mendedikasikan dirinya sebagai dosen yang
lebih substantif, seperti di bidang IPA dan tidak kaya cukup masuk akal karena hanya
IPS. Jika fakta ini diruntut sampai ke lapan- sebagian kecil saja orang yang berhasil jadi
gan kerja yang mereka masuki, maka akan kaya seperti para Kelas Menengah baru di
tampak kecenderungan lulusan pendidikan Jakarta itu. Namun kiranya kita juga harus
yang semakin tinggi akan cenderung mengisi maklum, bahwa anaknya punya alasan kuat
pekerjaan-pekerjaan professional dan cleri- memilih segera berbisnis karena kehendak
cal. Pola kelompok lulusan sekolah lanjutan dari kecenderungan umum yang ada, yaitu
atas dan perguruan tinggi pekerjaan dalam rame-rame cari uang lewat bisnis. Malahan
bidang pertanian secara dramatis ditinggal- ada data yang menunjukan bahwa 32.6%
kan, dan pentingnya pekerjaan dalam sektor dari para manager adalah lulusan SLA, kira-
produksi dan transportasi menurun dengan kira sebanding dengan jumlah manager lulu-
tajam juga (Hull dan Jones 1994:170). san akademi dan universitas. Jadi kasus kon-
Selanjutnya dalam hidup sehari-hari flik bapak anak itu sesungguhnya memang
pendidikan ternyata sangat menentukan mencerminkan fakta yang lebih substansial
posisi seseorang dalam masyarakat. Data dan luas, yang berisi konflik-konflik internal
survei kelas menengah Jakarta dari Harian dalam pendidikan, yaitu antara tututannya
Kompas menunjukan, bahwa standar pen- untuk menyiapkan sumber daya manusia da-
didikan yang menentukan kelas seseorang lam rangka pertumbuhan ekonomi dan untuk
bergeser. Pada masa lalu seseorang dengan pengembangan martabat manusia. Dengan
pendidikan minimal sampai menengah da- kata lain, jika ditempatkan dalam kerang-
pat mencapai posisi kelas menengah. Den- ka pembangunan yang berkelanjutan, maka
gan tingkat pendidikan yang sama saat ini pendidikan ini dapat memainkan peran yang
orang hanya dapat bertahan di kelas bawah. ambivalen. Pertama pendidikan dapat secara
Sementara untuk mencapai Kelas Menengah positif membekali manusia baik dengan mo-
Baru orang harus punya pendidikan tinggi, dal pengetahuan praktis maupun substantif
minimal SLTA. Lulusan SLTA dari data yang amat berguna bagi umat manusia apa-
itu nampaknya harus jadi Kelas Menengah bila di dalamnya termuat visi yang memihak
108
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
bukan hanya pada hidup sesaat tetapi pada sikap dogmatis bertentangan dengan sikap
hidup sejahtera yang adil bagi umat manu- historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan
sia secara lintas generasi. Kedua pendidikan dalam pendidikan pada “proses” bukan
justeru punya potensi yang sebaliknya, yaitu hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya
menjadi kendala bagi pembangunan berke- menghidupkan kesadaran historis dengan
lanjutan karena tuntutan-tuntutan praktis, membiasakan peserta didik melihat “akar-
khusus, dan sesaat yang dikehendaki oleh akar” sejarah dari masalah-masalah masa
kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, kini yang kita hadapi (Bernas, 21 Februari
dan sosial yang selalu berubah. 1997: 2.).” Pendidikan seperti inilah yang
Pada dasarnya pendidikan antropologi katanya berwawasan kemanusian, jadi juga
itu mengarah pada usaha-usaha pengemban- berwawasan antropologi.
gan manusia ke arah sasaran-sasaran yang Barangkali khas ilmu antropologi,
lebih substansial, halus penuh apresiasi dan mungkin juga umumnya ilmu-ilmu huma-
empati pada hidup manusia itu sendiri dari niora, paradigma ilmu ini terus bergeser
pada ke arah hidup material yang praktis. Da- dan simpang siur. Barangkali satu-satunya
lam era pertumbuhan ekonomi yang sedang yang cukup luas disepakati adalah proses
dipacu, seperti di negeri kita saat ini, konflik pengembangan pengetahuannya saja, yaitu
internal dalam pendidikan kita cenderung melalui kerja lapangan yang panjang, hidup
berjalan tidak seimbang. Kepentingan se- dengan orang lain untuk memahami masy-
mentara untuk melayani pasar, kekuasaan arakat dan budaya lain. Antropologi punya
dan globalisasi cenderung menunda, bahkan obsesi memahami lian, yaitu yang berbeda
mengabaikan perlunya pendidikan antropo- dari dirinya sendiri untuk mengenali dirinya
logi untuk membimbing manusia berkem- sendiri. Mengenai siapa lian dan apa itu ke-
bang ke arah hidup yang lebih bermartabat budayaan, nyaris setiap antropolog punya
secara utuh. Meminjam istilah Johar MS pengertian sendiri. Clifford Geertz misalnya
dalam seminar Pembangunan Pendidikan secara sederhana menggambarkan kebuda-
Berwawasan Kemanusiaan di LP3 Universi- yaan itu sebagai jarin-jaring makna yang di-
tas Muhamadiyah Yogyakarta, maka dalam rajut manusia sendiri, sehingga bersifat pub-
praktek pendidikan kita itu belum berwa- lik. Dalam karir akademiknya lian itu adalah
wasan kemanusiaan, belum mengarah pada orang Jawa, Bali dan Marokko. Secara lebih
keutuhan antropologi peserta didik (Bernas, sederhana lagi saya sering menerangkan
21 Februari 1997: 2). Johar melihat pemak- pada para mahasiswa bahwa kebudayaan
saan pendidikan terjadi bukan hanya lewat itu adalah semua yang kita tahu sama tahu
kurikulum tetapi juga dalam kehidupan ke- (TST). Tentu aktualisasi kebudayan dalam
luarga, sehinga lahir gejala kekerasan yang hidup amat beraneka ragam dan luas sekali
juga meluas. bidangnya. Oleh karena itu dalam antropo-
Kecenderungan praktek pendidikan logi pun ada banyak sekali pengkhususan,
itu jelas berbeda dengan citra ideal dari pen- sudah jamak pula di kalangan antropolo-
didikan yang digambarkan M Sastraprateja gi para antropolog itu berwacana dengan
dalam seminar yang sama. Saya sependapat membuka pengalaman etnografisnya dalam
dengan Sastraprateja, bahwa pendidikan masyarakat tertentu yang terkadang tidak
berkaitan dengan revolusi kesadaran historis seorang pun pernah mendengarnya. Untuk
manusia akan hakekat hidupnya: eksistensi memahami proses pendidikan antropologi
manusia terbentang antara masa lampau dan yang mereka alami sepanjang karir itu baik
masa depan. Dengan demikian pendidikan saya kutipkan pokok-pokok yang dipaparkan
itu arahnya tidak hanya pada ilmu penge- oleh Cilfford Geertz dalam bukunya After
tahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada the Fact. Contoh ini baik karena ditulis ant-
usaha pemahaman atas diri sendiri dalam ropolog yang karirnya panjang dan reputa-
konteks historisnya. Secara praktis Sastrap- sinya luas mencakup bahkan bidang-bidang
rateja menyarankan tiga hal. “Pertama, pen- di luar antropologi.
getahuan manusia itu bersifat historis, maka
109
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
1. Obyek studi: “The history of noti- On the first turning it means ex-post inter-
on formation, in this aspect of culture as in pretation, the main way (perhaps the only
any other-- and the story of “Islam” actual- way) one can come to terms with the sorts of
ly stands rather well as a patch sample for lived-forward, understood-backward pheno-
a general weave-- is an obscure and unsett- mena anthropologists are condemned to deal
led process. Sorting out the domestic from with. On the second (and even more proble-
the imported, -the bread-in-the-bone from matic) turning, it means the the post-positi-
the lightly held, the dying out from the co- vist critique of empirical realism, the move
ming on is a continous business, carried on away from simple correspondence theories
without much in way of codiable rule or sys- of truth and knowledge which makes of the
tematized plan. It is concluded only when, very term “fact” a delicate matter’ (Geertz
at a lost for the moment as to what to say 1995: 167-168).
next, you turn, equally improvisationally, to
another patch out of another weave”(Geertz SIMPULAN
1995:57).
Dari paparan di atas kita dapat men-
2. Pendekatan: “Anthropology, or gatakan bahwa pendidikan antropologi itu
anyway social or cultural anthropology, is in penuh lekuk liku karena obyek dan subyek
fact rather more something one pick up as yang dipelajarinya terus bergeser, sementara
one goes along year after year trying to figu- pengalaman pribadi para penelitinya atau
re out what it is and how to practice it than orang yang mempelajarinya juga terus berge-
something one has instilled in one through ser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh ka-
“a systematic method to obtain obedience” rena itu hasilnya lebih bersifat pengetahuan
or formalized “train(ing) by instruction and reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan
control.” It is, of course, taught, sometimes eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena
fiercely with lots of rules to obey and aut- itu harus dipahami benar bahwa pendidikan
hority to respect, and it has it on ways, from antropologi itu pada hakekatnya berbeda
book reviews to tenure decisions of inflic- sekali dengan pendidikan yang pragmatis.
ting “punishment intended to correct.” But Dalam pendidikan antropologi para peserta
the “specified character or pattern of beha- didik secara total utuh mestinya diberi ke-
vior,” to say nothing to the “moral or men- sempatan mengembangkan daya apresiasi,
tal improvement,” does not very reliably empati/afektif dan kognitifnya sesuai den-
emerge. The blurred image is indeed a lack gan pengalaman hidupnya untuk berkenalan
of firm edge and defined target to what we dan berwacana dengan subyek yang dipela-
do, however hard some may work to disgui- jarinya. Pendidikan antropologi sebaiknya
se the fact. Perhaps this is a scandal, perhaps jauh dari pendekatan-pendekatan normatif
it is a strength. But in either case it makes tetapi dekat dengan proses yang kreatif sa-
any attempt to characterize the field synop- ling percaya dan saling belajar antara murid
tically something of an exercise in special dan guru..
pleading.” (Geertz 1995: 97)
DAFTAR PUSTAKA
3. Hasil akhir: “For me at least (and
that is the “we” we are talking about here), Anderson, B., R.O’G . 1994. Language and power: Ex-
ploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca and
anthropology, ethnographical anthropolo-
London: Cornell University Press. Chapter IV
gy, is like that: trying to reconstruct elusive, and VI.
rather ethereal, and by now wholly departed Bogan, R. dan Taylor, S.J. 1975. Introduction to Quali-
elephants from the footprints they have left tative Research Methods. New York: John Wiley
on my mind. ‘After the fact,” is a double pun, &Sons Inc.
Geertz, Clifford. 1995. After the Fact: Two Countries,
two tropological turns on a literal meaning. Four Decades, One Anthropologist. Cambridge
On the literal level, it means looking for facts, Massachusetts: Harvard University Press.
which I have of course, “in fact’ been doing. Hull, T. dam Jones, G.W. 1994. “Demographic Per-
110
P.M. Laksono / Komunitas 5 (1) (2013) : 101-111
111