Anda di halaman 1dari 3

I.

PENDAHULUAN
Salah satu langkah yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan atau
mengurangi masalah kehilangan produktivitas pertanian adalah pengendalian
hama yang merupakan masalah yang dapat merugikan. Karena keberadaan hama
tanaman dapat mengurangi jumlah ketersediaan produksi tanaman pangan yang
merupakan bahan pangan bagi manusia (Rismunandar, 1989).
Peran pestisida untuk meningkatkan kualitas dan produksi komoditas
pertanian di berbagai negara masih dominan. Cooper dan Dobson (2007)
menyatakan bahwa penggunaan pestisida yang bijaksana banyak menguntungkan
manusia, seperti meningkatnya produksi tanaman dan ternak karena menurunnya
gangguan hama dan penyakit pada tanaman (OPT), terjaminnya kesinambungan
pasokan makanan dan pakan karena hasil panen meningkat, serta meningkatnya
kesehatan, kualitas dan harapan hidup manusia akibat tersedianya bahan makanan
bermutu dan perbaikan lingkungan.
Salah satu upaya untuk meminimalkan penggunaan pestisida sintetis adalah
mengoptimalkan penggunaan pestisida alternatif yang lebih ramah lingkungan,
seperti pestisida nabati dan hayati, serta meningkatkan penggunaan beberapa jenis
pestisida tersebut yang kompatibel secara bersamaan. Istilah pestisida hayati yang
digunakan oleh Pal dan Gardener (2006), yaitu organisme hidup, seperti serangga
predator, nematoda entomopatogen, mikroorganisme antagonis, dan hasil
fermentasi bahan alami untuk mengendalikan OPT.
Ketersediaan biopestisida di pasaran (toko pertanian) lebih terbatas,
dibandingkan dengan pestisida sintetik. Hal ini berkaitan dengan beberapa
kelemahan biopestisida, antara lain memerlukan ruangan yang relatif lebih besar
dan tidak tahan disimpan lama. Petani di Indonesia umumnya membuat pestisida
nabati sendiri, tidak membeli di toko pertanian, dan bahan-bahan yang digunakan
tersedia di lingkungan sekitarnya. Pestisida hayati diperoleh dari institusi
pemerintah lingkup Kementerian Pertanian (Dinas Pertanian Kabupaten, Balai
Proteksi Tanaman) dalam bentuk larutan siap semprot, atau masih perlu
pengenceran.
Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena
senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann
and D’Arcy 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi
sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit
(Kardinan 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racun pada manusia,
sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen.
II. PEMBAHASAN

1. EKSPLORASI
Cotesia plutellae paling sering ditemukan di daerah dataran rendah misalnya
di Sumatera Selatan tetapi dapat juga ditemukan di daerah dataran tinggi .
Parasitisasi larva P. xylostella oleh Cotesia plutellae di dataran rendah
berkisar antara 14,71-80,95%, sedangkan di daerah dataran tinggi berkisar
antara 7,14- 90%. Hal ini didukung oleh pendapat Muliani (1993) yang
melaporkan bahwa Cotesia plutellae berasal dari Taiwan dan diintroduksi ke
Indonesia tahun 1989. Cotesia plutellae efektif memarasit pada suhu
lingkungan yang relatif tinggi, yaitu antara 20-35oC. Dengan demikian,
Cotesia plutellae merupakan parasitoid yang lebih sesuai untuk dilepas pada
daerah dataran rendah karena suhu relatif tinggi dibanding dengan daerah
dataran tinggi.
2. ISOLASI
- Tempat asal dan lokasi
Telur atau larva P. xylostella contoh dari setiap lokasi dan setiap jenis
Brassicaceae yang berbeda dimasukkan dalam wadah yang terpisah,
dicatat lokasi, waktu pengambilan contoh dan jenis Brassicaceae. Untuk
telur contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi (diameter 1 cm dan
tinggi 12 cm), sedangkan larva contoh langsung dimasukkan ke dalam
wadah plastik (berdiameter 15 cm dan tinggi 20 cm) secara 2 terpisah.
Larva contoh dari lapangan dibawa ke laboratorium dan diberi daun
caisin. Pada bagian tutup wadah plastik tersebut diletakkan tabung reaksi
(diameter 1 cm dan tinggi 12 cm) untuk penampung parasitoid yang
muncul. Imago parasitoid yang muncul dimasukkan dalam botol vial yang
berisi alkohol 70%. Di laboratorium, diamati perubahan morfologi telur
dan larva P. xylostella tadi sehingga dapat dikenal antara inang yang
terparasit dan yang sehat.
- Sumber
Terdapat pada jenis tanaman Brassicaceae, utamanya terutama kubis,
sawi, kembang kol, pakchoi, selada, dan caisin. Terdapat pada bagian
tanam batang hingga daun tanaman. Pada stadium inang yang berumur
opulasi larva tertinggi ditemukan saattanaman berumur 4 mst, sedangkan
parasitisasi tertinggi saat tanaman 5 mst. Kecenderung peningkatan
populasilarva diikuti peningkatan parasitisasi minggu berikutnya
3. EKSTRAKSI
Dari sejumlah kokon parasitoid yang terkumpul, satu kelompok kokon
dimasukkan ke dalam tabung gelas (tinggi 20 cm; diameter 3 cm) yang
disumbat dengan kapas. Sejumlah imago parasitoid yang muncul dari kokon
tersebut diberi pakan berupa madu dengan konsentrasi 10% yang ditempelkan
pada dinding tabung. Tabung-tabung gelas berisi parasitoid ditutup dengan
kain hitam untuk mengurangi keaktifan gerak imago parasitoid.
4. APLIKASI
- Objeknya : Plutella xylostella
- Jenis Biopestisida : Biopestisida Hayati
- Mekanisme Kerja Biopestisida dan Metode Aplikasi
Cotesia plutellae adalah endoparasitoid larva soliter (Betina C.
plutellaemeletakkan telur di dalam tubuh instar dua P. xylostella. Setelah
mencapai larva C. plutellae memasuki instar akhir (ketiga), larva C.
plutellae keluar dari tubuh larva P. xylostella melalui ruas abdomen ketiga
dari sebelah samping atau bawah dan langsung memintal kokon untuk
fase pupanya. Kokon C. plutellae berwarna putih bersih, keras, dan
panjangnya antara 3-4 mm. Imago C. plutellae yang muncul dari kokon
berwarna hitam mengkilat dengan panjang tubuh berkisar ± 3 mm.
Larva P. xylostella yang terparasit berwarna hijau kekuningan, sedangkan
larva sehat berwarna hijau. Abdomen posterior larva yang sakit ini lebih
besar dibandingkan dengan larva sehat.

III. PENUTUP
Cotesia plutellae merupakan parasitoid yang lebih sesuai untuk dilepas
pada daerah dataran rendah karena suhu relatif tinggi dibanding dengan daerah
dataran tinggi.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai