Anda di halaman 1dari 9

NAMA : EMA ARISANDI

NIM : K011181706

KELAS : SISTEM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

TUGAS PAPER

MASALAH – MASALAH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dijelaskan bahwa Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem
Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan
menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Salah satu misi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan adalah memperluas kepesertaan JKN-KIS mencakup seluruh Indonesia paling lambat 1
Januari 2019 melalui peningkatan

iurannya. Manfaat yang dijamin oleh Program JKN berupa pelayanan kesehatan perseorangan yang
komprehensif, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk obat dan
bahan medis. Pemberian manfaat menggunakan teknik layanan terkendali mutu dan biaya
(managed care). JKN merupakan program jaminan sosial yang menjamin biaya pemeliharaan
kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan nasional secara
gotong royong wajib oleh seluruh penduduk Indonesia dengan membayar premi secara berkala atau
dibayarkan oleh pemerintah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program jaminan sosial
pemerintah Republik Indonesia yang memberikan kepastian jaminan bagi rakyat Indonesia dengan
cara membayar premi secara berkala atau dibayarkan oleh BPJS. Manfaat yang dapat diperoleh
yakni pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis. Pembayaran tarif premi setiap bulannya secara
mandiri sesuai dengan kelas yang dipilih terdiri dari tiga kelas, yaitu: Kelas 1 sebesar Rp. 80.000,-
/orang/bulan; Kelas 2 sebesar Rp. 51.000,-/ orang/bulan; dan Kelas 3 sebesar Rp. 25.500,-
/orang/bulan

MASALAH – MASALAH JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

1. RENDAHNYA KEPESERTAAN

Berdasarkan identifikasi faktor potensial penyebab masalah yang diidentifikasi dengan diagram fi
shbone pada Gambar 1 maka disepakati Sebab potensial pertama yakni Rendahnya pengetahuan
masyarakat yang berada pada tulang M1.1.1 dan M3.2.1.1. Berdasarkan hasil penelitian
menggunakan wawancara kuesioner terhadap warga Desa Payaman diketahui bahwa sebagian besar
masyarakat tidak memiliki pengetahuan tentang JKN, otomatis masyarakat juga tidak tahu manfaat
penting yang bisa didapatkan dengan memiliki JKN. Beberapa warga memiliki kartu JKN Penerima
Bantuan Iuran (PBI), namun masyarakat hanya sebagai obyek pasif tanpa mengetahui alur yang jelas
cara pengurusan kartu JKN. Sehingga, masyarakat hanya bergantung kepada bidan desa dan
perangkat desa. Selain itu masyarakat yang sudah memiliki kartu JKN juga tidak mengetahui cara
pemakaiannya, sehingga kurang merasakan manfaat kepemilikan JKN dan lebih memilih berobat
tanpa menggunakan kartu tersebut. Hal tersebut menyebabkan penyebaran informasi tentang
pentingnya kepemilikan kartu JKN menjadi minim, karena masyarakat tidak menggunakan kartu JKN
yang mereka miliki dengan maksimal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ramadhana dan Amir (2015) yang menyatakan bahwa kemampuan dan kemauan menjadi
peserta BPJS secara signifi kan dipengaruhi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat
pengetahuan terhadap BPJS. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Susilo (2015) juga menyatakan
tingkat pengetahuan, pendidikan, pendapatan dan akses pelayanan kesehatan memiliki hubungan
terhadap kepesertaan BPJS Kesehatan Mandiri. Sebab potensial kedua yakni kurangnya sosialisasi
yang berada pada tulang M2.1.1.1. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat menyatakan bahwa
mereka tidak pernah mendapatkan sosialisasi tentang JKN dari bidan desa, perangkat desa, pihak
puskesmas maupun pihak BPJS Kesehatan, sehingga dengan karakteristik masyarakat yang pasif,
masyarakat tidak tahu darimana bisa mendapatkan informasi terkait JKN, penggunaan akses internet
sangat minim, hanya dilakukan oleh kalangan pelajar, namun mereka bukan sebagai pengambil
keputusan penggunaan JKN. Selain itu kantor BPJS jauh dari Desa Payaman, membutuhkan waktu
1,5 jam untuk dapat mencapai Kantor BPJS yang berada di pusat kota, sedangkan lokasi Desa
Payaman berada di perbatasan dengan jawa tengah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Iriani and JK (2015) yang menyatakan bahwa sosialisasi JKN berdampak secara
kognitif, afektif dan behavioral. Dampak secara kognitif berupa peningkatan pengetahuan mengenai
informasi JKN, dampak secara afektif berupa kesadaran masyarakat untuk menyisakan pendapatan
yang berguna saat masyarakat sakit dan dampak behavioral berupa kesediaan masyarakat
mendaftarkan diri mengikuti program JKN. Sebab potensial ketiga yakni kurangnya media promosi
kesehatan yang berada pada tulang M5.1.1. Berdasarkan hasil observasi di Desa Payaman, tidak
ditemukan adanya media promosi kesehatan yang berkaitan dengan JKN, misalnya poster, spanduk,
leafl et atau sejenisnya. Salah satu program BPJS Kesehatan yang mendukung Indikator Keluarga
Kesehatan Kementerian Kesehatan adalah promosi kesehatan melalui media (Rusady, 2016).
Menurut Mulyadi (2014) Masyarakat dengan akses media elektronik dengan mudah menemukan
informasi BPJS di internet atau televisi. Namun tidak berlaku bagi masyarakat dengan akses terbatas.
Sosialisasi lebih seharusnya dibuat dalam bentuk imbauan, penyuluhan, dan pengumuman di
berbagai tempat umum dan pusat keramaian. Penggunaan media cetak dan media elektronik yang
belum merata untuk sosialisasi program JKN menyebabkan masyarakat tidak mengetahui tentang
program JKN (Putrawan, Junaid and Suriani, 2016). Sebab potensial keempat yakni kepala keluarga
kurang menyadari pentingnya JKN yang berada pada tulang M1.2.4.1 dan M4.1.1. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa di Desa Payaman, kepala keluarga merupakan pengambil keputusan
utama dalam keluarga, pencari nafkah utama keluarga dan anggota keluarga mengikuti keputusan
yang dipilih oleh kepala keluarga. Kepala keluarga di Payaman kurang menyadari pentingnya JKN.
Pendapatan mayoritas di bawah 1 juta rupiah per bulan dan karakter masyarakat yang pasif
menyebabkan masyarakat lebih memilih menunggu bantuan dari pemerintah. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Werdani et al., 2013) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan, sikap kepala keluarga, informasi yang diperoleh kepala keluarga,
dukungan keluarga terhadap kepala keluarga, dan penghasilan kepala keluarga dengan keikutsertaan
dalam JKN. Sebab potensial kelima yakni pendidikan masyarakat yang rendah berada pada tulang
M1.4.2.1 dan M3.2.1.2. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Payaman menunjukkan bahwa 47,88
warga merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD); 16,34% lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP);
4,08% lulusan SMA; 9,31% lulusan S1 4,41% belum sekolah; 5,38% masih menempuh pendidikan,
10,13% tidak memberikan jawaban dan sisanya tidak tamat sekolah. Tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap kepesertaan JKN, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susilo
(2015) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, pendidikan, pendapatan dan akses pelayanan
kesehatan memiliki hubungan terhadap kepesertaan BPJS Kesehatan Mandiri. Namun tingkat
pendidikan bukanlah faktor penyebab masalah yang dapat dengan mudah ditangani, membutuhkan
waktu dan biaya yang besar, oleh karena itu rendahnya pendidikan masyarakat dapat diimbangi
dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang JKN.

Yang pertama, ucap Harli, persoalan BPJS Kesehatan sudah muncul sejak proses
aktivasi kartu. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa
aktif sepekan setelah pendaftaran diterima. "Padahal sakit menimpa tanpa terduga
dan tak mungkin bisa ditunda," ujar Harli di Jakarta, Ahad, 9 Agustus 2015.

Selanjutnya, rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga
disebut Harli terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu
fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski
sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tutur Harli, menyulitkan
orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh.

Masalah lain, menurut Harli, adalah rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan
karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta
wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas.

Persoalan keempat, kata Harli, banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran


biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Harli menilai,
sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya
menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat,
dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.

Harli mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem dan pelaksanaan BPJS


Kesehatan. "Agar pelayanan kesehatan yang layak dapat segera terpenuhi."

Mengakhiri Defisit Dana BPJS Kesehatan


yang Menahun
hwal defisit anggaran sudah jadi masalah yang menahun dan jadi sorotan selama tiga tahun
terakhir. Defisit anggaran diperkirakan membengkak hingga Rp9 triliun pada 2017. Angka
tersebut naik tiga kali lipat dari defisit anggaran pada 2014 yang hanya Rp3,3 triliun.

“BPJS Kesehatan selalu defisit, dan tahun ini mencapai Rp9 triliun karena semuanya kuratif
dan menunjukkan 80 persen peserta sakit," kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pada
Agustus lalu.

Defisit anggaran yang dimaksud adalah defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang
merupakan bagian dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan BPJS
Kesehatan adalah sebagai pengelola dari DJS. Pendapatan BPJS Kesehatan murni berasal
dari penyelenggaraan program JKN.

BPJS Kesehatan memiliki laporan kinerja keuangan yang terpisah dari DJS. Namun, pada
umumnya penggambaran kondisi defisit DJS, sering memakai istilah defisit dana BPJS.
“Sebenarnya enggak salah, kurang tepat saja. Aset di BPJS itu untuk menalangi kalau dana
di DJS kurang. Penyertaan Modal Negara (PMN) sebelum masuk ke DJS, dicatatkan dulu di
BPJS,” kata Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch kepada Tirto.
Anggaran yang defisit disebabkan nilai klaim yang lebih tinggi dibandingkan dengan iuran
premi. Salah satu hal yang mendorong di antaranya adanya perilaku masyarakat yang baru
mendaftar BPJS Kesehatan ketika sudah menderita sakit.

Apalagi, tata cara pendaftaran BPJS Kesehatan pada tahun pertamanya masih longgar.
Pada 2014, peserta ternyata boleh langsung menggunakan fasilitas kesehatan, meski pada
hari yang sama, baru mendaftar di BPJS Kesehatan.

Namun, aturan itu sudah direvisi. Pada 1 Juni 2015, BPJS Kesehatan tidak bisa langsung
digunakan setelah peserta melakukan pendaftaran. Hal itu tercantum dalam Peraturan BPJS
Kesehatan No.1/2015 tentang tata cara pendaftaran dan pembayaran iuran.

Berdasarkan aturan itu, setidaknya dibutuhkan waktu 14 hari untuk mendapatkan akun
virtual setelah melakukan pendaftaran. Setelah mendapatkan akun virtual, peserta harus
membayar iuran pertama minimal 1 bulan.

Setelah membayar iuran, BPJS Kesehatan akan memberikan kartu peserta kepada
pendaftar. Setelah kartu BPJS tersebut diterima, maka fasilitas BPJS Kesehatan bisa
digunakan oleh orang yang bersangkutan.

Sayangnya, meski pemerintah secara tegas telah mengatur tata cara tersebut, ternyata
masih ada saja sejumlah warga yang lebih memilih untuk menunda, atau menghindari
pendaftaran BPJS Kesehatan sejak dini.
Selain itu, defisit anggaran juga disebabkan banyaknya jumlah peserta yang menunggak
iuran premi. Sedikitnya 10 juta peserta masih menunggak. Dari jumlah itu, mayoritas
penunggak iuran disumbang dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta
mandiri. PBPU termasuk kategori peserta BPJS yang Bukan Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan (Non PBI) termasuk di dalamnya ada Peserta Pekerja Penerima Upah
(PPU). Kategori lainnya adalah peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah atau
disubsidi.

“Angkanya itu masih kumulatif. Untuk lebih pastinya, sebaiknya kita lihat nanti [audit dari]
kantor akuntan publik,” ujar Kemal Imam Santoso, Direktur Keuangan dan Investasi BPJS
Kesehatan kepada Tirto.

Kondisi ini juga diperparah dengan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang belum sesuai
dengan ekspektasi. Pada 2016, jumlah peserta hanya mencapai 171,93 juta orang, atau 91
persen dari target sebanyak 188 juta orang.

Namun, tidak menutup kemungkinan kepesertaan yang bertambah justru memperparah


defisit. Apalagi perilaku yang mendaftar ketika sedang sakit masih sering dilakukan oleh
calon peserta.
Kenaikan Premi dan Solusi

Dalam menekan defisit DJS, pemerintah mulai menyiapkan sejumlah opsi antisipasi di
antaranya adalah mengurangi manfaat pelayanan, menaikkan iuran premi dan menambah
suntikan dana dari pemerintah.

Baca juga: Sri Mulyani Upayakan Tutup Defisit Keuangan BPJS Kesehatan

Dari ketiga opsi tersebut, tampaknya menaikkan iuran premi paling realistis dan pernah
dilakukan pemerintah. Pasalnya, besaran iuran jaminan kesehatan memang dapat ditinjau
paling lama dua tahun sekali dengan peraturan presiden.

Hal itu tercantum di Pasal 161 Peraturan Presiden No. 111/2013 tentang Jaminan
Kesehatan. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan memang diperkenankan untuk melakukan
kenaikan iuran sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.

“Saya pikir pemerintah lebih baik menyesuaikan iuran premi, karena sudah ada regulasinya.
Kalau opsi lain nanti saja, yang penting patuh dulu dengan regulasi,” kata Timboel Siregar.

Pertanyaan kini, apakah kenakan iuran premi dapat signifikan mengurangi defisit?

Sejak 2014 hingga sekarang, kenaikan iuran premi baru dilakukan sebanyak satu kali, yakni
pada 2016. Misalnya, iuran PBI naik menjadi Rp23.000 per orang per bulan dari sebelumnya
Rp19.225 per orang per bulan.

Kemudian, iuran PBPU dan peserta bukan pekerja juga dinaikkan. Untuk kelas 3, iuran tidak
naik atau tetap sebesar Rp25.500 per orang per bulan. Untuk kelas 2, pemerintah
menaikkan iuran menjadi Rp51.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp42.500 per
orang per bulan. Untuk kelas 1, naik menjadi Rp80.000 per orang per bulan dari sebelumnya
Rp59.500 per orang per bulan.

Dengan didukung dari kenaikan iuran tersebut, pemasukan DJS sepanjang 2016 melonjak
34 persen menjadi Rp74,40 triliun dari pendapatan 2015 sebesar Rp55,53 triliun. Adapun,
beban tercatat Rp73,89 triliun, tumbuh 21 persen.

Hasil itu membuat 2016 menjadi satu-satunya tahun di mana DJS tidak defisit, atau surplus
sebesar Rp508 miliar. Secara kumulatif, defisit DJS turun menjadi Rp8,56 triliun di akhir
2016 dari sebelumnya Rp9,06 triliun di akhir 2015.

Namun, bila ditilik lagi, anggaran DJS yang surplus itu lebih disebabkan adanya hibah
pendapatan dari BPJS Kesehatan sebesar Rp6,8 triliun pada 2016, yang berasal dari PMN.
Kalau hibah ini dikeluarkan, anggaran DJS 2016 masih defisit Rp6,3 triliun, tertinggi sejak
2014.

Dengan kata lain, kenaikan iuran premi belum cukup signifikan untuk mengurangi defisit
anggaran DJS. Setiap tahunnya, nilai beban DJS selalu lebih tinggi ketimbang pendapatan
iuran premi.

Ada solusi lain yang bisa dilakukan BPJS Kesehatan untuk mengurangi defisit pada DJS,
yakni dengan cara meningkatkan kepesertaan pekerja penerima upah (PPU), khususnya
untuk non pemerintah.

Jumlah peserta PPU non pemerintah baru tercatat 10,9 juta orang. Capaian BPJS
Kesehatan itu jauh dari jumlah PPU yang tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak
47 juta orang. Artinya dana pengelolaan BPJS bisa dimaksimalkan lagi.

Padahal, potensi sumbangan pendapatan iuran dari PPU ini cukup besar. Pendapatan iuran
dari 10,9 juta PPU itu mencapai Rp10,4 triliun pada semester I-2017, atau menyumbang 29
persen dari total iuran yang diraup senilai Rp35,9 triliun.

Bayangkan, jika jumlah PPU tersebut bertambah sekitar 10 juta peserta saja. Itu artinya
akan ada tambahan pendapatan iuran sebanyak Rp20 triliun per tahun. Bukan tidak
mungkin, anggaran DJS yang defisit, berbalik menjadi surplus, dengan asumsi peserta PPU
ini juga lebih sadar akan kesehatan.

Potensi peserta PPU ini seperti pekerja swasta lebih cenderung memakai asuransi swasta
karena ditanggung oleh perusahaan masing-masing dan sudah berlangsung sejak lama.
Apalagi sempat ada kendala soal koordinasi manfaat (coordination of benefit/CoB) antara
BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta.

Mengurangi defisit anggaran JKN memang tidaklah mudah. Upaya menaikkan iuran premi
mampu dapat membantu mengurangi defisit. Namun, bila BPJS sebagai pengelola DJS
mampu meningkatkan jumlah kepesertaan PPU, mengejar surplus DJS sebuah
keniscayaan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor: 183/PMK.07/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan
Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum
(DAU) dan/atau Dana Bagi Hasil (DBH). PMK tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menyebut
penyaluran transfer ke Daerah dan Dana Desa dapat dilakukan penundaan dan/atau
pemotongan dalam hal daerah menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam PMK tersebut disebutkan bahwa
pemotongan DAU dan/atau DBH dilakukan terhadap Pemerintah Daerah, baik provinsi
maupun kabupaten/kota yang mempunyai tunggakan, yang telah melampaui jangka waktu 1
(satu) tahun, yang sudah dilakukan upaya penagihan secara optimal oleh BPJS Kesehatan.
“Pemotongan DAU dan/atau DBH diperhitungkan sebagai penyelesaian tunggakan,”
demikian bunyi Pasal 2 ayat (3) PMK ini sebagaimana dilansir laman resmi Setkab. Sebelum
dilakukan pemotongan dimaksud, berdasarkan PMK ini, BPJS Kesehatan akan melakukan
rekonsiliasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menentukan besaran tunggakan
berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Dalam hal pemda tidak
bersedia melakukan rekonsiliasi atau tidak menyepakati sebagian atau seluruh jumlah
tunggakan, maka BPJS Kesehatan dapat meminta Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit atas besaran Tunggakan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, berdasarkan hasil audit tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan atau pejabat
yang ditunjuk menetapkan besaran tunggakan masing-masing Pemerintah Daerah. Selain
itu, berdasarkan penetapan besaran tunggakan, Direktur Utama BPJS Kesehatan atau
pejabat yang ditunjuk menyampaikan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH
sebagai penyelesaian tunggakan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
Menurut PMK ini, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan
besaran dan tahapan pemotongan DAU/atau DBH yang dilakukan dengan
mempertimbangkan besarnya permintaan pemotongan, besarnya penyaluran, sanksi
pemotongan dan/atau penundaan lainnya, serta Kapasitas Fiskal Daerah yang
bersangkutan. Selanjutnya, hasil perhitungan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan atas nama Menteri Keuangan. “Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
sebagaimana dimaksud, Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transfer
Dana Perimbangan melaksanakan pemotongan DAU dan/ atau DBH, dilaksanakan pada
saat proses penerbitan Surat Permintaan Pembayaran dan Surat Perintah Membayar
penyaluran DAU dan/atau DBH,” demikian bunyi Pasal 7 ayat 1 dan 2 PMK ini. Dana hasil
pemotongan DAU dan/atau DBH untuk penyelesaian tunggakan, berdasarkan PMK ini,
dicatat dengan menggunakan kode akun Penerimaan Nonanggaran, yang merupakan
komponen penerimaan Dana Perhitungan Pihak Ketiga sebagai bagian dari iuran
Pemerintah Daerah. Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak diundangkan pada 4
Desember 2017.

Baca selengkapnya di artikel "Sri Mulyani akan Potong DAU Daerah Penunggak Iuran BPJS
Kesehatan", https://tirto.id/cBwo

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofjan Djalil mengatakan, salah satu penyimpangan mendasar
yang ditemukan dalam penyelenggaraan program tersebut adalah praktik curang yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat. Berdasarkan temuan pemerintah, ada masyarakat yang memanfaatkan program
BPJS Kesehatan untuk menyembuhkan penyakit mereka saja, setelah itu tidak bayar iuran lagi. "Ada
semacam moral hazard yang terjadi dan ini harus segera dibenahi," kata nya, Senin (5/1/2015). Direktur
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Akmal Taher menambahkan, masalah lain yang juga mewarnai program
BPJS Kesehatan adalah adanya salah klaim dari pihak rumah sakit. Salah klaim tersebut bahkan,
menyebabkan klaim yang diajukan pihak rumah sakit lebih tinggi dari yang seharusnya. Akmal
mengatakan, pihaknya belum tahu secara pasti kesalahan klaim tersebut disebabkan oleh unsur
kesengajaan atau tidak. Akmal belum mau mau memastikan nilai kesalahan klaim tersebut. "Tahun
pertama masih sosialisasi, tahun 2015 akan dipertegas dan menyiapkan pengawasannya dan akan ditindak
sesuai hukum," ujar Akmal. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengakui masih ada banyak
permasalahan yang mewarnai program BPJS Kesehatan selama 2014. Oleh sebab itu, ke depan, BPJS
Kesehatan akan memperbaiki pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Pelaksanaan BPJS Kesehatan harus
lebih baik, sebab peserta BPJS Kesehatan terus meningkat. Begitu pula mitra BPJS Kesehatan seperti
rumah sakit, klinik dan dokter. Untung Suseno Sutarjo, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan,
mengatakan, jumlah peserta penerima bantuan iuran yang berasal dari kalangan masyarakat tidak mampu
pada tahun 2015 ini akan bertambah sampai dengan 2,2 juta. Untuk menambah peserta tersebut pemerintah
telah mengalokasikan tambahan anggaran sekitar Rp 800 miliar pada 2015 dengan premi Rp 19.225 per
orang per bulan. "Preminya sama seperti yang tahun kemarin," kata Untung. Memang pelayanan BPJS
Kesehatan, khususnya terhadap masyarakat miskin penerima bantuan iuran (PBI) yang pengobatannya
ditanggung APBN, belum memuaskan. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan,
buruknya pelayanan ini bisa dilihat dari sikap rumah sakit yang masih mencari alasan untuk tidak melayani
warga miskin penerima bantuan iuran. Menurut Timboel, alasan rumah sakit bermacam- macam. Namun
umumnya beralasan kamar pasien sedang penuh. Padahal ketika dicek banyak kamar kosong. "Ini seperti
terjadi di Cengkareng, dan banyak kasus lainnya," kata Timboel, dalam sebuah pernyataan yang
dikeluarkannya di Jakarta pekan ini. (Agus Triyono)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Permasalahan Penting di BPJS Kesehatan
", https://ekonomi.kompas.com/read/2015/01/06/130228826/Ini.Permasalahan.Penting.di.BPJS.Kesehatan.
.

Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Beberapa persoalan yang akan penulis sampaikan pada kesempatan ini yaitu persoalan yang
berkaitan dengan kepesertaan, biaya operasional, dan pelayanan.

Pertama, dalam hal kepesertaan, penulis menemukan setidaknya sampai saat ini terdapat dua
wujud fisik kartu yang berbeda, yakni kartu yang didominasi logo dan tulisan BPJS
Kesehatan serta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kartu yang didominasi tulisan Kartu
Indonesia Sehat, disertai logo dan tulisan BPJS Kesehatan dengan ukuran yang lebih kecil.
"Dualisme" kartu kepesertaan BPJS Kesehatan bisa memunculkan diskriminasi pelayanan.
Pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) pasti adalah warga miskin yang iuran kepesertaannya
dibayar oleh pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI) yang dialokasikan dalam APBN.

Seperti diketahui KIS, merupakan salah satu dari tiga "kartu sakti" yang dijanjikan Joko
Widodo (Jokowi) diberikan kepada rakyat miskin saat kampanye Pilpres 2014. KIS
diluncurkan saat program pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dengan nama
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada era pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah diintegrasikan ke BPJS Kesehatan dan diberi nama baru sebagai
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih berlaku. Tak heran bila saat ini masih dijumpai
warga miskin yang berobat menggunakan KIS, kartu BPJS Kesehatan, bahkan mungkin kartu
Jamkesmas.

Kalau selama ini kita masih menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS
Kesehatan dengan pasien asuransi swasta, apalagi pasien yang membayar tunai, belakangan
ini muncul juga diskriminasi terhadap peserta BPJS Kesehatan yang membayar iuran secara
mandiri dan PBI. Oleh karena itu, kita mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya menerbitkan
satu jenis kartu untuk pesertanya, baik yang mandiri maupun PBI.

Kedua, masalah biaya operasional. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari media onine,
bahwa pada tahun 2014, biaya operasional, terutama klaim dari ribuan fasilitas pelayanan
kesehatan mencapai Rp 42,65 triliun, sedangkan premi yang diterima hanya Rp 40 triliun
atau terjadi defisit sekitar Rp 2,6 triliun. Tahun ini diperkirakan BPJS mengalami defisit lebih
besar lagi, yakni Rp 6 triliun. Salah satu penyebab defisit adalah perilaku curang dari
sebagian peserta. Mereka buru-buru menjadi peserta dan membayar iuran saat sedang sakit
dan langsung mendapat pelayanan. Tak tanggung-tanggung, penyakit yang diderita tergolong
berat, sehingga biaya perawatan dan pengobatannya mencapai belasan juta hingga puluhan
juta rupiah, sementara iuran yang dibayar hanya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah.

Ketiga, masalah pelayanan. Berdasarkan data yang sering penulis temui di tempat penyedia
jasa pelayanan kesehatan, masalah pelayanan adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan
peserta maupun penyedia jasa pelayanan kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar
keluhan bahwa mereka mendapat pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding
sesama pasien yang membayar tunai atau menjadi peserta asuransi swasta. Pemeriksaan
dilakukan terburu-buru dan diobati seadanya. Tak jarang, pasien masih harus mengeluarkan
sejumlah uang karena obat tertentu tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan.
Dari sisi pelayan kesehatan, khususnya dokter, terdengar keluhan imbal jasa yang sangat
minim, tak sebanding dengan tenaga dan keahlian mereka. Sedangkan dari penyedia fasiltas
kesehatan, khususnya rumah sakit, hingga kini masih saja ada laporan tentang pembayaran
klaim yang tak tepat waktu.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis menyarankan kepada BPJS Kesehatan untuk
melakukan perbaikan sejumlah peraturan, memperbaiki pelayanan kepada pasien dan lebih
menghargai dokter. Bahkan, kalau memang besaran iuran yang berlaku saat ini dinilai kurang
memadai dan harus ditingkatkan, hendaknya disampaikan kepada pemerintah dan DPR. Bila
kenaikan iuran dianggap tindakan tidak populer, pemerintah bisa mengalokasikan lebih
banyak dana ke BPJS Kesehatan, termasuk menambah jumlah PBI, sejalan dengan
peningkatan signifikan anggaran kesehatan pada belanja APBN.

Kramat Jati, 9 Oktober 2017

KOMPASIANA ADALAH PLATFORM BLOG, SETIAP ARTIKEL MENJADI TANGGUNGJAWAB


PENULIS.

LABEL

kesehatan

Anda mungkin juga menyukai