Anda di halaman 1dari 37

PAPER

“BACTERIAL VAGINOSIS (BV)”

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Kesehatan Reproduksi (KIA) kelas A)

Dosen Pengampu :

Devi Arine Kusumawardani, S.Keb., M.Kes.

Disusun oleh :

Eka Lutfiatul H. (182110101045)

Selsa Eka Dias Sari P. (182110101069)

Nizar Maulana F. (182110101093)

Wanda Tiara Saputri (182110101099)

Rafa Talitha Kusuma (182110101115)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2019
PENDAHULUAN

Penyakit kelamin sudah lama dikenal oleh masyarakat dan beberapa


diantaranya sudah banyak terjadi di Indonesia. Ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin berkembang pesat, sehingga banyak ditemukan penyakit-
penyakit baru yang perlu dicegah dan ditangani dengan benar. Penggunaan
istilah kelamin tidak hanya mengganggu fungsi alat kelamin, tetapi juga
berpengaruh pada organ tubuh lainnya. Kebanyakan ketika membericarakan
tentang penyakit kelamin, maka yang terlintas di benak kita adalah Penyakit
Menular Seksual (PMS). Namun, sejak tahun 1998, istilah PMS diubah
menjadi Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk menjangkau penyakit dengan
gejala yang tidak disadari oleh pasien (asimtomatik). Penderita asimtomatik
sendiri sering terjadi dan banyak dialami oleh wanita (Daili,2009).
Vaginitis adalah masalah ginekologis yang paling banyak dihadapi
oleh dokter yang memberi pelayanan terhadap perempuan. Pembuatan
diagnosis yang akurat bisa sangat sulit, yang menyebabkan upaya
pengobatan juga kompleks. Terlebih lai, adanya obat yang dijual bebas
menaikkan kemungkinan pemberian pengobatan yang tidak sesuai untuk
vaginitis.
Angka prevalensi dan penyebab vaginitis tidak diketahui pasti,
sebagian besar karena kondisi-kondisi ini sering didiagnosis sendiri dan
diobati sendiri oleh penderita. Selain itu, vaginitis sering tidak menimbulkan
gejala (asimptomatis) atau disebabkan oleh lebih dari satu organisme
penyebab. Kebanyakan ahli meyakini bahwa sampai sekitar 90% kasus
vaginitis disebabkan oleh vaginosis bacterial (BV), kandidiasis vulvovaginal
dan trikomoniasis. Penyebab non-infeksi termasuk vaginal atrophy, alergi
dan iritasi kimiawi. Penyebab tersering vaginitis adalah bakterial vaginosis,
kandidiasis vulvovaginal, trikomoniasis, atropi vaginal, alergi dan iritasi
kimiawi.
Menurut Agustina (2014) bahwa penyebab perubahan mikrobiologi
yang khas ditemukan pada kasus VB masih belum seluruhnya diketahui,
begitu juga kemungkinan penularan VB melalui hubungan seksual masih
belum bisa ditegakkan. Pasien wanita dengan VB mempunyai risiko lebih
tinggi terhadap penularan infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Dari
beberapa penjelasan diatas, maka perlu adanya perhatian serius untuk
penanganan dan pencegahan penyakit ini supaya tidak menimbulkan
penyakit yang lebih serius.
Wanita yang belum aktif secara seksual pun dapat mengalami
perkembangan infeksi seperti Bacteria Vaginosis (BV), ataupun infeksi
jamur yang biasa disebut Candidiasis. Umumnya, kedua infeksi ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan jumlah bakteri yang berada di dalam
vagina. Sedangkan, bagi wanita yang sudah aktif secara seksual, umumnya
mendapatkan Trikomoniasis, yang hanya menular melalui hubungan intim.
Vaginitis memiliki berbagai tipe yang berbeda-beda, namun tipe yang
paling umum adalah ketiga tipe penyakit tersebut. Penyebab dan
penanganan Bacteria Vaginosis (BV), Candidiasis, dan Trikomoniasis
berbeda-beda, tetapi tanda dan gejalanya bisa sangat serupa.
Banyaknya wanita yang terkena penyakit ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan serta gaya hidup yang tidak sesuai dengan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Adanya jamur yang menginfeksi kelamin
biasanya disebabkan karena kurang menjaga kebersihan vagina saat
menstruasi, kurangnya frekuensi ganti celana dalam sehari, kurang menjaga
hygiene vulva setelah melakukan hubungan seksual, berlebihan dalam
penggunaan deodoran dan terlalu sering menggunakan larutan kimia
pembersih vagina untuk cebok juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
penyakit vaginitis (Bahram, et al. 2009).

2
PEMBAHASAN

A. Definisi Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal, dan


Trikomoniasis

Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering


terjadi di pelayanan primer. Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena,
kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau
trikomoniasis vulvovaginal. Vaginitis terjadi ketika flora vagina telah
terganggu oleh adanya mikroorganisma patogen atau perubahan lingkunang
vagina yang memungkinkan mikroorganisma patogen berkembang
biak/berproliferasi. Pemeriksaan untuk vaginitis meliputi penilaian risiko
dan pemeriksaan fisik, dengan fokus perhatian pemeriksaan pada adanya
dan karakteristik dari discharge vagina.

Pemeriksaan laboratorium diantaranya yaitu dengan metode sediaan


basah garam fisiologis (Wet Mount) dan KOH, pemeriksaan PH discharge
vagina dan "whiff" test. Pengobatan untuk vaginosis bacterial dan
trikomoniasis adalah metronidazol, sementara untuk kandidiasis vaginal,
pilihan pertama adalah obat anti jamur topikal (Am Fam Physician, 2000).
Vaginitis adalah masalah ginekologis yang paling banyak dihadapi oleh
dokter yang memberi pelayanan terhadap perempuan. Pembuatan diagnosis
yang akurat bisa sangat sulit, yang menyebabkan upaya pengobatan juga
kompleks. Terlebih lagi, adanya obat yang dijual bebas menaikkan
kemungkinan pemberian pengobatan yang tidak sesuai untuk vaginitis.

Bacterialis Vaginosis (BV)

Vaginosis bakterial (VB) adalah kondisi tidak seimbang pada


ekosistem vagina yang ditandai adanya konsentrasi Lactobacillus sebagai
flora normal vagina digantikan oleh konsentrasi tinggi bakteri anaerob,
terutama Bacteroides sp., Mobilluncus sp., Gardnerella vaginalis, dan
Mycoplasma hominis (Bhalla, 2007: 167). Penyakit ini disebut juga vaginitis

3
nonspesifik, vaginitis Gardnerella vaginalis atau vaginosis anaerobik. Hal
ini diperkirakan akibat tindakan bilas vagina dengan antiseptik.

Gambar 1. Bacterial Vaginosis

Sumber : The NEW ENGLAND JOURNAL of MEDICINE

Umumnya, tubuh kita memiliki bakteri baik yang melindungi


tubuh dari bakteri jahat yang mampu memnginfeksi dan menimbulkan
penyakit. Namun pada kasus penyakit BV ini, jumlah bakteri baik dalam
vagina menurun sehingga tidak mampu melawan bakteri jahat yang
menginfeksi. Pergantian Lactobacillus spp. ini menyebabkan penurunan
konsentrasi H2O2 yang umumnya ditandai dengan produksi sekret vagina
yang banyak, berwarna abu-abu hingga kuning, tipis, homogen, berbau
amis dan terdapat peningkatan pH. Sindrom klinis ini dikenal pula sebagai
Haemophilus Vaginalis Vaginitis, Gardnerella Vaginalis Vaginitis, atau
vaginitis non spesifik.

VB merupakan penyebab paling sering dari keluhan alat kelamin


vagina dan keputihan yang bau, namun 50% pasien VB tidak memberikan
gejala apapun. Bacterial vaginosis (BV) biasanya tidak bergejala, namun
ketika menimbulkan gejala biasanya disertai dengan keputihan yang berbau
(Zabor, et al.2010). Vaginosis Bacterialis ini dapat dialami oleh wanita

4
segala usia. Penyakit ini termasuk infeksi ringan, namun jika dibiarkan dan
tidak diobati dapat mengakibatkan Infeksi Menular Seksual (IMS).

Bacterial vaginosis (BV) yang sudah lama diketahui dapat


memberikan komplikasi yang serius. Bacterial Vaginosis (BV) juga
memberikan dampak pada wanita yang tidak hamil yaitu peningkatan risiko
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) maupun infeksi penyakit
kelamin lainnya, sedangkan wanita hamil dengan Bacterial Vaginosis (BV)
lebih sering mempunyai bayi yang lahir prematur atau dengan berat lahir
rendah (berat lahir rendah kurang dari 5,5 pon) (CDC & Prevention, 2010).
VB dapat memberikan komplikasi berupa infeksi traktus urinarius.
Penyebab perubahan mikrob yang khas ditemukan pada kasus VB masih
belum seluruhnya diketahui, begitu juga kemungkinan penularan VB
melalui hubungan seksual masih belum bisa ditegakkan. Pasien wanita
dengan VB mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penularan infeksi
menular seksual (IMS) lainnya.

Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab


vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada
perempuan usia reproduksi. Infeksi ini disebabkan oleh perkembangbiakan
beberapa organisme, termasuk di antaranya Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus species, Mycoplasma hominis dan Peptostreptococcus species.
Menentukan angka prevalensi bakterial vaginosis adalah sulit karena
sepertiga sampai dua pertiga kasus pada perempuan yang terkena tidak
menunjukkan gejala (asimptomatik). Selain itu, angka prevalensi yang
dilaporkan bervariasi menurut populasi.

Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien rawat


inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin.
Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-
klinik kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari
satu, peran dari penularan secara seksual masih belum jelas. Berbagai

5
penelitian membuktikan bahwa mengobati pasangan dari perempuan yang
menderita bakterial vaginosis tidak memberi keuntungan apapun dan bahkan
perempuan yang belum seksual aktif juga dapat terkena infeksi ini. Faktor
risiko tambahan untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk pemakaian
IUD, douching dan kehamilan.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa bakterial vaginosis adalah faktor


risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini dan kelahiran prematur.
Pengobatan unfeksi ini selama kehamilan menurunkan risiko tersebut.
Akibat buruk lain termasuk di antaranya adalah peningkatan frekuensi hasil
Papanicolaou (Pap) smears abnormal, penyakit radang panggul (PRP) dan
endometritis. Selulitis vaginal, PRP dan endometritis dapat terjadi jika
perempuan menjalani prosedur ginekologis yang infasif ketika sedang
menderita bakterial vaginosis.

Kurangnya pengetahuan tentang Bacterial vaginosis (BV) dan


pencegahannya dapat menyebabkan tingginya angka kejadian Bacterial
vaginosis (BV) (Lumintang.2008). Selain itu kurang menjaga kebersihan
vagina saat menstruasi, kurangnya frekuensi ganti celana dalam sehari,
kurang menjaga hygiene vulva setelah melakukan hubungan seksual,
berlebihan dalam penggunaan deodoran dan terlalu sering menggunakan
larutan kimia pembersih vagina untuk cebok dapat meningkatkan resiko
terjadinya Bacterial vaginosis (BV) (Bahram, et al. 2009).

Kandidiasis Vulvovaginal

Candidiasis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jenis jamur


yaitu Candida, atau Candida albicans. Candidiasis dapat mempengaruhi area
kelamin, mulut, kulit, dan darah. Selain itu, obat-obatan dan kondisi
kesehatan tertentu dapat menyebabkan lebih banyak jamur yang tumbuh,
terutama di area tubuh yang hangat dan lembap. Candidiasis pada vagina
disebut yeast vaginitis dan candidiasis pada mulut dikenal sebagai thrush.
Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di

6
Amerika Serikat dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan
pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya,
dan sekitar 5% perempuan mengalami episode rekurensi. Agen penyebab
yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans. Saat ini,
frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata)
meningkat, mungkin merupakan akibat dari peningkatan penggunaan
produk-produk anti jamur yang dijual bebas. Faktor risiko untuk terjadinya
kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan.

Gambar 2. Candida Albicans

Sumber : https://us.fotolia.com/id/225067767

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi


penyakit ini meningkat pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi
oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang lain
termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur masih
muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral
seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada perempuan
dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.

Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi.


Chorioamnionitis pada saat hamil dan syndrome vestibulitis vulva pernah
dilaporkan. Sulit untuk memastikan spesies Candida sebagai penyebab
vaginitis karena sekitar 50% perempuan yang tidak mengalami gejala
apapun pada vaginanya ditemukan Candida sebagai bagian dari flora
endogen vagina. Candida tidak ditularkan secara seksual, dan episode

7
kandidiasis vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah pasangan
seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang
perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-
laki tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.
Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya
empat atau lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun.
Belum jelas apakah rekurensi ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi
atau presipitasi.

Trikomoniasis

Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan


oleh serangan protozoa parasit Trichomonas vaginalis. Trichomoniasis
merupakan infeksi yang biasanya menyerang saluran genitourinari; uretra
adalah tempat infeksi yang paling umum pada laki-laki, dan vagina adalah
tempat infeksi yang paling umum pada wanita. Protozoa Trichomonas
vaginalis, sebuah organisme yang motile dengan 4 flagella, adalah penyebab
ke tiga terbanyak dari vaginitis.

Penyakit ini mengenai 180 juta perempuan di seluruh dunia dan


merupakan 10 sampai 25% dari infeksi vagina. Saat ini, angka insidensi
vaginitis trichomonal terus meningkat di kebanyakan negaranegara industri.
Trichomonas vaginalis menular melalui hubungan seksual dan ditemukan
pada 30 sampai 80 persen laki-laki pasangan seksual dari perempuan yang
terinfeksi. Trikomoniasis berhubungan dan mungkin berperan sebagai
vektor untuk penyakit kelamin lain.

8
Gambar 3. Vagina terinfeksi Trikomoniasis

Sumber : http://obatherbalalami32.blogspot.com/2016/02/ciri-ciri-keputihan-
dan-cara.html

Berbagai penelitian membuktikan bahwa penyakit ini meningkatkan


angka penularan HIV. Faktir risiko untuk trikomoniasis termasuk
penggunaan IUD, merokok dan pasangan seksual lebih dari satu. Sekitar
20%-50% dari perempuan dengan trichomoniasis tidak mengalami gejala
apapaun. Trikomoniasis mungkin berhubungan dengan ketuban pecah dini
dan kelahiran prematur. Pasangan seksual harus diobati dan diberi instruksi
untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai ke dua pihak sembuh.

B. Epidemiologi Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal, dan


Trikomoniasis
Epidemiologi merupakan suatu cabang ilmun kesehatan yang
bertujuan untuk menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah
kesehatan dalam suatu penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya
masalah serta gangguan kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan
maupun penanggulangannya (Noor Nasri Noor, 2000). Jadi pada intinya,
dalam epudemiologi terdapat tiga kata kunci yaitu frekuensi penyakit,
determinan penyakit, serta pencegahan maupun penanggulangan penyakit.

9
Berikut beberapa penjelasan terkait epidemiologi penyakit Bacteria
Vaginosis, Kandidiasis Vulvagional, dan Trikomoniasis.

Bacteria Vaginosis (BV)

Penyebaran penyakit VB termasuk sulit untuk ditentukan karena


sepertiga sampai seperempat wanita yang terinfeksi bersifat asimptomatik.
VB merupakan infeksi vagina yang paling sering terjadi pada wanita yang
aktif melakukan hubungan seksual, penyakit ini dialami pada 15% wanita
yang mendatangi klinik ginekologi, 10- 25% wanita hamil dan 33-37%
wanita yang mendatangi klinik IMS. Beberapa penelitian nasional telah
dilakukan di Amerika serikat, prevalensi VB yang dilaporkan oleh National
Health and Nutrition Survey (NHANES) yang menegakkan VB melalui
kriteria Nuggent menemukan dari 12.000 pasien yang dikumpulkan,
prevalensi VB sebesar 29,2% dan ditemukan prevalensi 3,13 kali lebih
tinggi pada Afrika.

Prevalensi dan distribusi BV bervariasi di antara seluruh populasi


dunia. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi BV tinggi pada populasi
ras Afrika, Afro-Amerika, dan Afro-Karibia (Koumans EH, 2007).
Prevalensi BV didapatkan sebesar 32% di antara wanita Asia di India dan
Indonesia. Berdasarkan penelitian Pudjiastuti di poli IMS RSUD Dr.
Soetomo Surabaya periode 2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV, yang
merupakan 0,71% dari jumlah kunjungan pasien Divisi IMS dan 0,1% dari
jumlah kunjungan pasien baru URJ Penyakit Kulit dan Kelamin. Kelompok
usia terbanyak didapatkan pada kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 74.3%
(Pudjiastuti, 2014).

BV bukan merupakan suatu proses inflamasi, sehingga penegakan


diagnosis didukung oleh beberapa kriteria klinis dan pemeriksaan
laboratorium sederhana. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)
2005, maka di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menggunakan kriteria Amsel
dengan didapatkannya keluhan cairan vagina yang homogen, sedikit tanda

10
peradangan, dan pada pemeriksaan laboratorium ditemukan duh tubuh
vagina berbau amis jika diteteskan KOH (Whiff test positif ), pH duh tubuh
vagina > 4,5 (4,7-5,7), dan pemeriksaan mikroskop ditemukan jumlah clue
cells meningkat > 20% dari jumlah sel epitel, lekosit normal < 30/lp
(Koumans EH, 2007). Penatalaksanaan BV diberikan pada semua pasien
BV dengan tujuan menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, serta
mengurangi risiko komplikasi infeksi (Murtiastutik D, 2008).

Kandidiasis Vulvovaginal

Prevalensi infeksi jamur telah meningkat sejak tahun 1980 pada


berbagai kelompok pasien. Candida sp. adalah penyebab paling umum
ketiga dari infeksi jamur pada anak-anak di Amerika Serikat dan Eropa.
Beradsarkan penelitian Apriliana Puspitasari dkk, kejadian kandidiasis di
Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2011-2013 adalah 137 pasien baru (114 pasien dengan
infeksi pada kulit, dan 23 pasien dengan infeksi pada kuku). Distribusi jenis
kelamin yang paling banyak terutama adalah perempuan yaitu 54,3% pada
tahun 2011, 80% pada tahun 2012, dan 56,6% pada tahun 2013.

Jenis kandidiasis pada kulit paling banyak yaitu kandidiasis


intertriginosa (62,2%) (Rahmadhani, 2016). Candida albicans adalah spesies
yang paling banyak di seluruh dunia, mewakili rata-rata global 66% dari
semua Candida sp. Angka kejadian kandidiasis di Asia dari beberapa studi
epidemiologi di Hong Kong menyebutkan bahwa C. albicans adalah spesies
yang paling sering diidentifikasi dengan rata-rata 56% dari kasus
kandidiasis. Candida albicans masih merupakan penyebab tertinggi Candida
bloodstream infection, yaitu 33,3% di Singapura, 55,5% di Taiwan 55,6%,
dan 41% di Jepang. Candida parapsilosis di Thailand memiliki angka
kejadian yang sedikit lebih tinggi yaitu (45%) dibandingkan Candida
albicans sebesar 44,5%.

11
Candida parapsilosis dan Candida tropicalis di Malaysia menjadi
agen etiologi utama, diikuti oleh Candida albicans dengan 11,76% kasus
kandidemia. Frekuensi kejadian C. albicans sebagai spesies dominan dari
37% di Amerika Latin sampai 70% di Norwegia sebagai akibat dari
kejadian kandidiasis invasif yang meningkat dengan meningkatnya populasi
individu yang rentan, dan pengobatan terhambat oleh resistensi antijamur.
Prevalensi kandidiasis di Indonesia sekitar 20-25%, dapat menyerang
rambut, kulit, kuku, selaput lendir, dan organ lain seperti mulut dan
kerongkongan.

Trikomoniasis
Trikomoniasis menyebar luas di seluruh dunia, baik di pedesaan
maupun di perkotaan.Trikomoniasis ditemukan pada 2 hingga 3 juta wanita
di United States. Di dunia, Trichomonas vaginalis mengenai lebih dari 180
juta wanita. Sulit untuk menentukan berapa jumlah priayang terinfeksi
karena pada pria, infeksi Trichomonas vaginalis bersifat asimptomatis.
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu, trikomoniasis ini
terutama ditemukan pada orang denganaktivitas seksual yang tinggi, tetapi
dapat juga ditemukan pada bayi dan penderita setelahmenopause. Penderita
wanita lebih banyak dibandingkan pria. Walaupun terakhir
banyakditemukan pada pasien dalam dekade kedua dan ketiga, infeksi dapat
terjadi di segala usia, dandilaporkan 17% pada bayi, dari 1 hari hingga 11
bulan.

Menurut World Heath Organization, prevalensi trikomoniasis pada


tahun 2008 mencapai 276,4 juta dari jumlah total kasus baru penyakit
menular seksual (105.7 juta Klamidia trakomatis, 106.1 juta Neisseria
gonore, 10.6 juta sifilis). Trikomoniasis telah dikaitkan dengan peningkatan
serokonversi virus HIV pada perempuan. Selain itu, trikomoniasis dikaitkan
dengan kelahiran prematur atau pecahnya ketuban dan berat badan lahir
rendah. Faktor resiko trikomoniasis diantaranya penyakit menular seksual

12
lainnya, kontak seksual dengan banyak pasangan seksual, tidak pakai
kondom, pekerja seks komersial, dan kadar pH vagina yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan di daerah Bitung dengan subjek penelitian Wanita
Penjaja seks, didapatkan pada tahun 2003 WPS jalanan sebesar 20% dan
WPS tempat hiburan 16% terinfeksi trikomoniasis (Jazan, 2003).

C. Etiologi (Penyebab) Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal,


dan Trikomoniasis
Di bidang kedokteran, istilah ini mengacu pada penyebab dari suatu
penyakit atau gangguan kesehatan. Ketika suatu etiologi suatu penyakit
tidak dapat ditentukan atau diketahui secara pasti, penyebab penyakit
tersebut disebut idiopatik. Etiologi kadang-kadang merupakan suatu bagian
dari serangkaian sebab-akibat. Suatu agen etiologis mungkin membutuhkan
suatu kofaktor independen yang mendukung untuk menjadi suatu penyebab.
Berikut beberapa penjelasan terkait etiologi penyakit Bacteria Vaginosis,
Kandidiasis Vulvagional, dan Trikomoniasis.

Bacteria Vaginosis (BV)

Ekosistem vagina normal sangat komplek, laktobasilus merupakan


spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur,
tetapi ada juga bakteri lain yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat VB
muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri,
dimana dalam keadaan normal ditemukan dalam konsentrasi rendah. Oleh
karena itu VB dikategorikan sebagai salah satu infeksi endogen saluran
reproduksi wanita. Diketahui ada 4 kategori dari bakteri vagina yang
berkaitan dengan VB, yaitu :

1. G. vaginalis
G. vaginalis merupakan bakteri berbentuk batang gram
negatif, tidak berkapsul dan nonmotile. Selama 30 tahun terakhir,
berbagai literatur menyatakan G. vaginalis berkaitan dengan VB.
Dengan media kultur yang lebih sensitif G. vaginalis dapat diisolasi

13
pada wanita tanpa tanda- tanda infeksi vagina. G.vaginalis diisolasi
sekitar >90 % pada wanita dengan VB. Saat ini dipercaya
G.vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan M.hominis
menyebabkan VB.
2. Bakteri anaerob
Spiegel menganalisis cairan vagina dari 53 wanita dengan
Universitas Sumatera Utara VB menggunakan kultur kuantitatif
anaerob dan gas liquid chromatografi untuk mendeteksi metabolisme
asam organik rantai pendek dari flora vagina. Ditemukan bacteroides
sp (sekarang disebut provotella dan prophyromonas) sebesar 75%
dan peptococcus (sekarang peptostreptococcus) sebesar 36% dari
wanita dengan VB. Penemuan spesies anaerob berkaitan langsung
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada
cairan vagina.
Spiegel menyimpulkan bahwa mikroorganisme anaerob
berinteraksi dengan G.vaginalis dalam menyebabkan VB.
Mikroorganisme anaerob lain yang dikatakan juga memiliki peranan
dalam VB adalah Mobiluncus. Mobiluncus selalu terdapat
bersamaan dengan mikroorganisme lain yang berhubungan dengan
VB.
3. MycoplasmaGenital
M.hominis berperan pada VB, bersimbiosis dengan G.vaginalis
maupun organisme patogen lainnya. Hipotesis ini didukung dengan
penemuan M. hominis pada 63 % wanita dengan VB dan 10 % pada
wanita normal.
4. Mikroorganisme lainnya
Wanita dengan VB tidak mempunyai peningkatan streptokokus grup
B, staphilokokus koagulase negatif, tetapi mempunyai peningkatan
yang bermakna dari bakteri yang merupakan karier vagina yaitu
kelompok spesies streptococcus viridians, streptococcus
asidominimus, dan stresptocccus morbilorum. Suatu analisis

14
multivariat menemukan hubungan antara VB dengan empat kategori
bakteri vagina yaitu ; Mobiluncus spesies, kuman batang gram
negatif anaerob, G.vaginalis dan M.hominis. Prevalensi masing –
masing mikroorganisme meningkat pada wanita dengan VB. Selain
itu organisme – organisme tersebut ditemukan pada konsentrasi 100
– 1000 lebih besar pada wanita dengan VB dibandingkan pada
wanita normal, sedangkan konsentrasi laktobasilus menurun pada
wanita pasien VB.

Kandidiasis Vulvovaginal

Penyebab kandidiasis adalah infeksi oleh genus kandida, yang


merupakan kelompok heterogen dan jumlahnya sekitar 150 spesies jamur
(ragi). Banyak dari spesies kandida merupakan patogen oportunistik pada
manusia, walaupun sebagian besar tidak menginfeksi manusia. Candida
albicans adalah jamur dismorfik yang bertanggung jawab pada 70-80% dari
seluruh infeksi kandida, 14 sehingga Candida albicans merupakan penyebab
tersering dari infeksi kandida yang superfisial dan sistemik.

Kandidiasis vagina 81% disebabkan oleh Candida albicans, 16%


oleh Torulopsis glabarata, sedang 3% lainnya disebabkan oleh Candida
tropicalis, Candida pseudotropicalis, Candida krusei dan Candida
stellatoidea. Kasus kandidemia yang sebagian besar terjadi pada pasien
immunokompromais juga disebabkan oleh Candida albicans, sedangkan
untuk spesies kandida yang lain sebesar 35% dari total infeksi, dan dengan
frekuensi yang lebih sedikit diantaranya disebabkan oleh Candida tropicalis,
Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida lusitaniae, Candida krusei,
Candida dubliniensis, and Candida guilliermondii.

Trikomoniasis
Trichomonas adalah suatu organisme eukariotik yang termasuk
kelompok mastigophora, mempunyai flagel, dengan ordo trichomonadida.
Terdapat lebih dari 100 spesies, sebagian besar trikomonas merupakan

15
organisme komensal pada usus mamalia dan burung. Trichomonas vaginalis
masuk dalam golongan protozoa patogen pada penyakit menular seksual.
Etiologi dari penyakit trikomoniasis ini adalah Trichomonas vaginalis.
Trichomonas vaginalis ini termasuk dalam domain Eukarya, kingdom
Protista, filum Metamonada yang termasuk dalam protozoa yaitu flagellata,
Kelas Parabasilia, ordo genus Trichomonas dan spesies Trichomonas
vaginalis.

Sejak ditemukannya trikomoniasis sebagai penyakit menular


seksual, mereka yang kemungkinan besar menyebarkan trikomoniasis
adalah orang yang meningkatkan aktivitas seksual dan memiliki lebih dari
pasangan. Trikomoniasis kadang-kadang disebut “penyakit ping-pong”
karena pasangan seksual sering menyebarkan kembali. Penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan akan meningkat dan tingkat
kambuh turun ketika pengobatan dilakukan pada pasangan seksual dalam
waktu yang sama.

Organisme T. vaginalis ada di dalam epitel skuamosa dan sangat


sedikit yang berasal dari endoserviks, sedangkan T. vaginalis yang terdapat
di dalam uretra ditemukan 90% dari kasus Trikomoniasis. Dan sangat
sedikit pula ditemukan pada epididimis dan prostat pada pria. Infeksi T.
vaginalis disertai oleh sejumlah besar polymorphonuclear neutrofil (PMNs)
yaitu mekanisme pertahanan diri tubuh yang bersama-sama dengan
makrofag, membunuh organisme tersebut yang disertai atau ditunjukkan
dengan keluarnya cairan dari vagina. Organisme T. vaginalis tidak invasif,
ada yang hidup bebas di dalam rongga vagina atau di dalam epitelnya.
Sekitar 50% kasus trikomoniasis terjadi perdarahan mikroskopis
(menggunakan teknik yang sesuai). IgA lokal biasanya terdeteksi, tetapi
konsentrasi serum antibodi tersebut masih rendah.

16
D. Faktor Risiko Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal, dan
Trikomoniasis
Risk Factor atau Faktor Resiko adalah hal-hal atau variabel yang
terkait dengan peningkatan suatu resiko dalam hal ini penyakit tertentu.
Faktor resiko di sebut juga faktor penentu, yaitu menentukan berapa besar
kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit. Faktor penentu kadang-
kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan resiko terserang sutu
penyakit. Faktor resiko adalah salah satu bagian dari ilmu Epidemiologi.

Faktor resiko merupakan karakteristik, kebiasaan, tanda atau gejala


yang tampak pada seseorang atau populasi sebelum terserang suatu
penyakit. Namun secara keilmuan, faktor resiko memiliki definisi tersendiri,
yaitu karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit yang diderita
induvidu yang mana secara statistic berhubungan dengan peningkatan
kejadian kasus baru berikutnya (beberapa induvidu lain pada suatu
kelompok masyarakat. Berikut beberapa penjelasan terkait faktor risiko
penyakit Bacteria Vaginosis, Kandidiasis Vulvagional, dan Trikomoniasis.

Bacteria Vaginosis (BV)

Beberapa faktor diketahui merupakan faktor risiko terjadinya VB,


yaitu :

1. Aktivitas seksual
Vaginosis Bakterialis lebih jarang pada wanita
paskapubertas tanpa pengalaman seksual dibandingkan yang
mempunyai pengalaman seksual. Amsel dan kawan- kawan
menemukan pada wanita tanpa pengalaman seksual tidak
menderita VB dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada
wanita yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak
69 (24%) menderita VB. Studi kohort longitudinal memberikan
bukti bahwa wanita yang memiliki banyak pasangan seksual pria

17
pasangan seksual pria dalam 12 bulan terakhir berkaitan dengan
terjadinya vaginosis bakterial.
VB juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan
seksual dengan wanita (women sex women/WSW ) dan berkaitan
dengan wanita yang memiliki satu atau lebih pasangan seksual
wanita dalam 12 bulan terakhir Studi pada lesbian memberikan
bukti lebih jauh tentang peranan hubungan seksual dalam
penularan VB. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi klinik
ginekologi sebesar 29 % menderita VB begitu juga pasangan
seksualnya. Kemungkinan wanita menderita VB hampir 20 kali,
jika pasangannya juga menderita VB. Patogenesis terjadinya VB
pada WSW ini masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang
mungkin adalah adanya persamaan antara bakteri anaerob yang
berkaitan dengan gingivitis dan VB.
Kebiasaan seksual melalui anus dikatakan juga memegang
peranan dalam terjadinya VB, transfer perineal atau bakteri pada
rektum ke vagina, telah diketahui menjadi konsekuensi pada
hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu Echerria
coli dan Streptococcus , dan hal ini memungkinkan bahwa VB
dapat ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang
tidak terlindungi , sehingga terjadi translokasi bakteri dari rektum
ke vagina.
2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya VB.
Studi kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya VB
tidak hanya berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi
juga berhubungan dengan penggunaan douching vagina.
Pemakaian douching vagina yang merupakan produk untuk
menjaga higiene wanita bisa menyebabkan VB. Kebiasaan
douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, douches yang
mengandung povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan

18
terhadap laktobasilus vagina dibandingkan yang mengandung air
garam atau asam asetat.
3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan VB dan penyakit IMS
lainnya, dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia,
dikatakan merokok dapat menekan sistem imun, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi serta dapat menekan pertumbuhan
laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksidase. Mekanisme
lain yang menghubungkan antara merokok dan VB adalah,
dikatakan rokok mengandung berbagai zat kimia, nikotin, kotinin,
dan benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat kimia ini ada
pada cairan mukosa servik perokok dan secara langsung dapat
merubah mikroflora vagina atau merusak sel langerhan pada epitel
servik yang menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal. Resiko
terjadinya VB sebanding dengan jumlah rokok yang dihisap tiap
hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin banyak
maka resiko terkena VB juga makin besar.
4. Pengunaan AKDR
VB lebih sering ditemukan pada wanita yang menggunakan
AKDR dibandingkan yang tidak menggunakannya. BV meningkat
diantara pengguna AKDR dibandingkan kontrasepsi oral hal ini
mungkin disebabkan oleh bagian ekor dari AKDR yang ada pada
endoservik atau vagina menyebabkan lingkungan untuk
berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis, yang mungkin
memegang peranan dalam terjadinya VB pada wanita yang
menggunakan AKDR.

Kandidiasis Vulvovaginal

Faktor risiko dari penyakit kandidiasis menurut penelitian Dewi


Puspitorini dkk. pada tahun 2018, yaitu :

19
1) Rentang usia terbanyak didapatkan pada kelompok usia 15 hingga
24 tahun, yaitu sebanyak 19 orang (76%) yang merupakan
kelompok usia dewasa muda.
Rentang usia ini adalah usia reproduktif, pada usia
reproduktif terdapat peningkatan hormon estrogen. Penelitian oleh
Fidel dan Khairnar tahun 2017 menyebutkan bahwa peningkatan
kadar hormon estrogen sangat mendukung peningkatan infeksi
Kandida dan menurunkan kemampuan sel epitel melawan infeksi
Kandida. Rentang usia ini juga merupakan usia seksual aktif dan
bisa didapatkan higiene kewanitaan yang rendah sehingga dapat
meningkatkan kejadian KVV.
2) Dari penelitian, didapatkan 13 pasien (52%) dengan riwayat
penggunaan douching vagina sebagai faktor predisposisi KVV.
Riwayat penggunaan douching vagina merupakan faktor
predisposisi terbanyak pada penelitian ini. Banyaknya pasien yang
menggunakan douching vagina bisa dikarenakan pasien ingin
menjaga higiene kewanitaannya yang membuat pasien
menggunakan produk pembersih vagina, yaitu douching vagina.
Pemakaian douching vagina secara rutin merupakan tindakan yang
tidak tepat karena douching vagina mengandung antiseptik.
Penggunaan antiseptik yang tidak tepat sasaran (tidak sesuai
indikasi) serta penggunaan antiseptik yang lama dan terus menerus
dapat mematikan bakteri komensal vagina dan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan Candida sp. sehingga menyebabkan
KVV.
3) Terdapat data bahwa ketika pasien mengalami kondisi
imunokompromais maka pasien memiliki kecenderungan untuk
terinfeksi dengan penyakit kandidiasis.
Satu pasien (4%) mengalami kondisi imunokompromais,
yaitu pasien dengan kanker payudara. Penyakit imunokompromais
atau imunitas yang menurun bisa didapatkan defek pada fungsi

20
limfosit T yang akan menyebabkan penurunan kemampuan
fagositosis melawan patogen, sehingga dapat mengakibatkan
peningkatan kolonisasi patogen seperti Candida sp. Juga
didapatkan 2 orang menderita diabetes mellitus.
Pasien diabetes mellitus lebih cenderung terpapar infeksi
bakteri dan jamur, termasuk juga oleh infeksi Candida sp. Kondisi
lingkungan tubuh dengan glukosa yang tinggi sangat mendukung
peningkatan pertumbuhan Candida sp. Pasien diabetes mellitus
juga terdapat gangguan respons pertahanan hospes melawan infeksi
Candida sp.
Didapatkan pula 3 orang pasien dengan riwayat KVV
berulang. Hal itu bisa disebabkan terapi yang diberikan tidak
adekuat. KVV berulang bisa juga karena adanya faktor predisposisi
KVV yang masih ada pada pasien. juga menyebutkan 2 orang
dengan riwayat pemakaian antibiotik atau steroid jangka panjang.
Pemakaian antibiotik jangka panjang dapat mematikan bakteri
komensal vagina, yang selanjutnya akan meningkatkan
pertumbuhan Candida sp di area vagina. Penggunaan steroid
jangka panjang juga dapat mengakibatkan penekanan terhadap
sistem imun tubuh yang selanjutnya juga dapat meningkatkan
kejadian KVV.

Trikomoniasis

Risiko tertular infeksi Trichomonas vaginalis didasarkan pada jenis


aktivitas seksual. Wanita yang terlibat dalam aktivitas seksual beresiko
tinggi berada pada risiko lebih besar terkena infeksi. Faktor risiko untuk
infeksi Trichomonas vaginalis meliputi:

 Pasangan baru atau multi pasangan


 Riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS)
 Infeksi Menular Seksual (IMS) yang sedang dialami sekarang
 Kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi

21
 Bertukar seks untuk uang atau obat-obatan
 Menggunakan obat injeksi
 Tidak menggunakan kontrasepsi penghalang (misalnya, karena
kontrasepsi oral)
Dalam sebuah penelitian bahwa faktor risiko trikomoniasis
dipertimbangkan untuk umum, penggunaan narkoba dalam 30 hari
sebelumnya adalah orang yang paling sangat terkait dengan infeksi dan
infeksi dengan kejadian (infeksi baru diamati selama studi). Faktor risiko
yang paling signifikan adalah aktivitas seksual selama 30 hari sebelumnya
(dengan 1 atau lebih pasangan). Wanita dengan 1 atau lebih pasangan
seksual selama 30 hari sebelumnya memiliki 4 kali lebih mungkin
mengalami infeksi Trichomonas vaginalis.
Parasit Trichomonas vaginalis tersebar melalui hubungan seksual
yaitu hubungan penis dengan vagina atau vulva dengan vulva (daerah
kelamin luar vagina) jika kontak dengan pasangan yang terinfeksi. Wanita
dapat terkena penyakit ini dari infeksi pria atau wanita, tetapi pria biasanya
hanya mendapatkan dari wanita yang terinfeksi. Suatu salah pengertian yang
umum adalah infeksi ini dapat ditularkan melalui toilet duduk, handuk basah
atau kolam air panas. Hal ini tidak mungkin karena parasit tidak bisa hidup
lama di benda dan permukaannya.

E. Patofisiologi Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal, dan


Trikomoniasis

Patofisiologi atau physiopathology adalah berasal dari dua kata yaitu


patologi dengan fisiologi. Patologi adalah disiplin medis yang
menggambarkan kondisi yang biasanya diamati selama keadaan penyakit,
sedangkan fisiologi adalah disiplin biologi yang menjelaskan proses atau
mekanisme yang beroperasi dalam suatu organisme. Patologi
menggambarkan kondisi abnormal atau tidak diinginkan, dimana
patofisiologi menjelaskan proses atau mekanisme fisiologis dimana kondisi
tersebut berkembang dan berlanjut.

22
Patofisiologi juga bisa berarti perubahan fungsional yang
berhubungan dengan atau akibat penyakit atau cedera. Definisi lain adalah
perubahan fungsional yang menyertai penyakit tertentu (The American
Heritage medical dictionary, 2007). Menurut Wilson (2005) bahwa
patofisiologi focus pada mekanisme penyakit, atau proses dinamik yang
menampakkan tanda (sign) dan gejala (symptom). Berikut beberapa
penjelasan terkait patofisiologi penyakit Bacteria Vaginosis, Kandidiasis
Vulvagional, dan Trikomoniasis.

Bacterial Vaginalis (BV)

Lingkungan vagina normal digambarkan oleh adanya hubungan


dinamis antara Lactobacillus acidophilus dan flora endogen lain, estrogen,
glikogen, pH vagina dan produk metabolisme flora dan organisme
patogen. Lactobacillus acidophilus adalah hydrogen peroxide (H2O2), yang
menghambat pertumbuhan organisme patogen dan menjaga pH vagina sehat
antara 3.8 dan 4.2. . Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, douching,
stress dan hormone dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan
organisme patogen tumbuh. Pada vaginosis bakterial, dipercayai bahwa
beberapa kejadian yang provokatif dapat menurunkan jumlah hydrogen
peroxide (H2O2) yang diproduksi L. acidophilus organism sehingga
mengakibatkan pertumbuhan kuman atau organisme patogen meningkat
seperti Bacteroides Spp., G.vaginalis, dan M.hominis.

Dengan meningkatnya pertumbuhan kuman, produksi senyawa


‘amine’ oleh kuman anaerob juga bertambah. Senyawa amin yang terdapat
pada cairan vagina yaitu putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin,
fenetilamin, histamin, dan tiramin. Bakteri anaerob dan enzim yang bukan
diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana pH vagina yang meningkat akan
mudah menguap dan menimbulkan bau amis. Senyawa ‘amine’ aromatik
yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah trimetilamin,
suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV.

23
Poliamin asal bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang
terdapat dalam vagina penderita infeksi BV, bersifat sitotoksik dan
menyebabkan eksfoliasi epitel vagina Hasil eksfoliasi yang terkumpul
membentuk sekret vagina. Dalam pH yang alkalis Gardnerella vaginalis
melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan membentuk clue cells.
Secara mikroskopik clue cells nampak sebagai sel epitel yang sarat dengan
kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel yang hampir tidak tampak.

Kandidiasis Vulvovaginalis

Penyakit kandidiasis vulvavagina disebabkan oleh infeksi jamur


Candida, sp. Candida sp. merupakan salah satu flora normal yang terdapat
di kulit manusia. Jamur dapat berkembang menjadi penyakit pada penderita
apabila terdapat kondisi yang mendukung. Contoh kondisi tersebut adalah
penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama, kencing manis yang tidak
terkontrol, hamil, dan imunitas yang rendah. Mekanisme terjadinya KVV
terutama pada kehamilan berlangsung sangat kompleks. Selama kehamilan,
terjadi peningkatan kedua hormon yaitu progesteron dan estrogen.
Progesteron memiliki efek supresi terhadap anti-kandida pada aktivitas
neutrophil, sedangkan estrogen bekerja mengurangi kemampuan sel epitel
vagina untuk menghambat pertumbuhan Candida albicans dan juga
menurunkan immunoglobin pada sekret vagina.

Kondisi ini mendukung terjadinya kolonisasi dari kandida tersebut.


Sehingga meningkatkan kerentanan pada ibu hamil mengalami KVV
(Aslam, Hafeez, et al., 2008). Selain itu, KVV umumnya terjadi karena
perubahan pH dan kandungan gula pada sekret vagina. Peningkatan hormon
estrogen selama kehamilan menyebabkan produksi glikogen lebih banyak
pada vagina. Hal ini memiliki efek langsung pada sel ragi dikarenakan
pertumbuhannya yang cepat dan mudah lengket pada dinding vagina
(Parveen, Munir, et al., 2008).

24
Trichomoniasis

Dengan fisiologi yang sama, setelah seorang gadis menjadi dewasa,


dinding vagina menebal dan laktobasilus menjadi mikroorganisma yang
dominan, PH vagina menurun hingga kurang dari 4,5. Laktobasilus penting
untuk melindungi vagina dari infeksi, dan laktobasilus adalah flora dari
vagina yang dominan (walaupun bukan merupakan stau-satunya flora
vagina). Masa inkubasi sebelum timbulnya gejala setelah adanya infeksi
bervariasi antara 3-28 hari. Selama terjadinya infeksi protozoa Trichomonas
vaginalis, trikomonas yang bergerak-gerak (jerky motile trichomonads)
dapat dilihat dari pemeriksaan dengan sediaan basah karena T.
vaginalis adalah protozoa dengan flagella.

Gambar 4. Alat Gerak T. Vaginalis

PH vagina naik, sebagaimana halnya dengan jumlah lekosit


polymorphonuclear (PMN). Lekosit PMN merupakan mekanisme
pertahanan utama dari pejamu (host/manuasia), dan mereka merespon
terhadap adanya substansi kimiawi yang dikeluarkan trichomonas. T
vaginalis merusak sel epitel dengan cara kontak langsung dan dengan cara
mengeluarkan substansi sitotoksik. T vaginalis juga menempel pada protein
plasma pejamu, sehingga mencegah pengenalan oleh mekanisme alternatif
yang ada di pejamu dan proteinase pejamu terhadap masuknya T vaginalis.

25
F. Tanda Gejala Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal, dan
Trikomoniasis

Vaginitis sangat umum terjadi. Kebanyakan wanita pernah


mengalami vaginitis setidaknya sekali dalam hidup. Kondisi ini dapat terjadi
pada wanita dengan usia berapapun. Vaginitis paling sering terjadi pada
wanita muda yang aktif secara seksual. Akan tetapi, ada beberapa jenis
penyakit vaginitis yang tidak ditandai dengan gejala serius. Berikut
beberapa penjelasan terkait tanda gejala Bacteria Vaginosis (BV),
Kandidiasis Vulvovaginal, dan Trikomoniasis.
Bacterial Vaginalis (BV)

Ada beberapa gejala yang ditemukan pada wanita yang terkena


penyakit Bacterial Vaginalis (BV), yaitu:

1. Tidak ada gejala


Pada 50% dari penderita yang diagnosis dengan penyakit ini tidak
merasakan gejala apapun. Namun pada saat pemeriksaan dari sekret
atau cairan vagina secara mikroskopis dapat ditemukan banyak
bakteri anaerob walaupun penderita tidak menunjukkan gejala
apapun.
2. Bau amis yang tidak sedap
Ini merupakan gejala tersering yang dikeluhkan penderita. Bau amis
makin terasa pada saat setelah berhubungan seksual dan saat
menstruasi.
3. Cairan atau sekret vagina berwarna keabu-abuan
Sekret/cairan vagina yang normal berwarna bening hingga putih.
Perubahan warna pada sekret dari vagina dapat menjadi salah satu
penanda terjadinya peradangan pada vagina.
4. Kadang dapat ditemukan gatal pada kemaluan (Jarang)
5. Tidak ada nyeri dan kemerahan pada kemaluan

26
Kandidiasis Vulvovaginal

Ada beberapa gejala yang dapat ditemukan pada Kandidiasis


vulvavagina, yaitu :

1. Gatal pada kemaluan


Infeksi ini akan menimbulkan rasa gatal yang berlebih sehingga
akan membuat penderita menggaruknya yang dapat menyebabkan
radang hingga luka terbuka. Pada kondisi yang lebih lanjut,
trikomoniasis bisa timbul seperti benjolan merah di bawah kulit
2. Kemerahan pada kemaluan
Penyakit ini ditandai dengan munculnya iritasi atau kemerah-
merahan pada daerah kemaluan. Biasanya kemerah-merahan
tersebut akan muncul bersamaan dengan rasa gatal yang
mengganggu.
3. Sekret atau cairan vagina berwarna putih dan kental
Ketika vagina terinfeksi jamur candida, sp. ini, akan muncul gejala
yakni akan muncul cairan atau sekret vagina yang berwarna putih
atau bahkan warnanya seperti keju yang memiliki tekstur yang
tebal atau kental.
4. Nyeri pada saat berkemih dan berhubungan seksual
Infeksi ini akan menyerang daerah kewanitaan yang bisa
menimbulkan rasa nyeri ketika buang air kecil atau bahkan ketika
berhubungan seksual. Hal ini sangatlah menggangu para penderita.
Trichomoniasis
Gejala yang akan muncul ketika vagina terinfeksi
protozoa Trichomonas vaginalis (Biasanya setelah 5 sampai 28 hari
setelah terinfeksi) :
1. Tidak ada gejala
Sekitar 70% orang yang terinfeksi, baik laki-laki maupun
perempuan, tidak menunjukkan tanda atau gejala. Namun, jika

27
sudah menimbulkan gejala, biasanya penderita bisa mengeluhkan
iritasi ringan maupun peradangan yang cukup berat.
2. Bau busuk yang tidak sedap
Bau pada vagina yang terinfeksi trikomoniasis, biasanya
berkembang dari yang ringan sampai kuat. Bau yang timbul seperti
bau amis dan busuk, terutama setelah mandi atau mencuci area
genital.
3. Sekret atau cairan vagina yang berbusa dan berwarna kuning
hingga kehijauan
Salah satu gejala pertama trikomoniasis pada wanita
adalah keputihan yang tidak seperti biasanya, karena cairan vagina
yang muncul bisa berkisar dari tekstur lembut hingga sedikit
berbusa. Warnanya biasanya kuning, hijau.
4. Dapat disertai dengan iritasi atau kemerahan pada kemaluan
Infeksi ini akan menimbulkan rasa gatal yang berlebih sehingga
akan membuat penderita menggaruknya yang dapat menyebabkan
radang hingga luka terbuka. Pada kondisi yang lebih lanjut,
trikomoniasis bisa timbul seperti benjolan merah di bawah kulit.
5. Nyeri saat berhubungan seksual dan saat buang air kecil
Jika trikomoniasis sudah masuk dalam stadium lanjut, biasanya
terjadi 20 hari atau lebih setelah terpapar, benjolan merah bisa
mulai menyebar di bagian dalam dinding vagina. Hal ini
disebabkan oleh parasit yang semakin berkembang. Benjolan ini
bisa menyebabkan hubungan seksual yang menyakitkan dan juga
sakit perut bagian bawah. Nyeri perut ini umumnya mereda satu
atau dua hari setelah perawatan.

Table 1. Perbandingan gejala Bacteria Vaginosis, Kandidiasis, dan Trikomoniasis

Bakterial
Trikomoniasis Kandidiasis
Vaginosis
Gejala Berbau Nyeri Gatal

28
Tanda Non-Inflamasi Inflamasi Inflamasi
Warna
Abu-abu Kuning/hijau Putih
sekret
Konsistensi
Cair Berbusa Tebal/Kental
sekret
Bau Amis Amis Jamur
pH 5-6 5-6 4-5
Neutrofil, Neutrofil,
Tidak ada neutrofil,
Mikroskopis Trichomonas Pseudohifa,
clue cells
vaginalis Spora
Bacteroides Spp.,
Candida
G.vaginalis,
Kultur T.vaginalis albicans,
M.hominis,
Candida spp,
Peptostreptococcus

G. Prevention dan Treatment Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis


Vulvovaginal, dan Trikomoniasis

Pengobatan radang vagina tergantung pada penyebabnya. Beberapa


pengobatan yang bisa dilakukan termasuk pemberian kortikosteroid topikal
potensi rendah yang diterapkan pada kulit, antiobiotik topikal atau oral,
antijamur atau krim antibakteri. Berikut penjelasan terkait pencegahan dan
penanganan penyakit Bacteria Vaginosis (BV), Kandidiasis Vulvovaginal,
dan Trikomoniasis.
Bacteria Vaginosis (BV)

a) Pencegahan (Prevention)
1. Jangan menyiram atau membersihkan vagina dengan semprotan
air, karena dapat menghilangkan bakteri baik yang melindungi
vagina dari infeksi. Jika bakteri ini hilang, maka akan meningkatkan
risiko vaginosis bakterialis.

29
2. Menurunkan risiko iritasi vagina. Risiko iritasi vagina dapat
diturunkan dengan cara:
 Hindari penggunaan sabun dengan kandungan pewangi untuk
membersihkan bagian luar vagina
 Gunakan celana dalam berbahan katun dan jangan mencuci
celana dalam menggunakan sabun cuci dengan kandungan
kimia keras
 Gunakan pembalut tanpa mengandung pewangi.

3. Mencegah infeksi menular seksual


Melakukan hubungan seksual yang aman, misalnya dengan tidak
berganti-ganti pasangan, atau dengan menggunakan kondom saat
berhubungan seksual.
b) Pengobatan (Treatment)
Pengobatan Vaginosis bakterialis dengan antibiotik, baik dalam bentuk
tablet minum atau tablet yang dimasukkan ke dalam vagina (ovula).
Antibiotik dapat membunuh bakteri yang menyebabkan gejala penyakit
ini. Beberapa jenis antibiotik yang biasa digunakan, antara lain:
 Metronidazole (Flagyl). Obat antibiotik yang paling umum
digunakan dan efektif untuk mengobati penyaklit vaginosis
bakterialis. Metronidazole tersedia dalam bentuk tablet yang
diminum dan ovula. Obat ini memiliki efek samping, antara
lain mual, nyeri perut, dan menurunnya nafsu makan. Untuk
terhindar dari efek samping yang lebih parah, jangan mengonsumsi
minuman beralkohol selama menjalani pengobatan dengan
metronidazole
 Clindamycin. Obat ini berbentuk tablet minum. Clindamycin
adalah antibiotik untuk mengobati berbagai infeksi akibat bakteri.
Obat ini berguna untuk mengobati infeksi di paru-paru, sendi dan
tulang, kulit, darah, organ reproduksi wanita, serta infeksi pada
organ-organ dalam lainnya.Clindamycin biasanya dikonsumsi jika

30
muncul efek samping yang mengganggu ketika mengonsumsi
tablet metronidazole.

Kandidiasis Vulvovaginal

a) Pencegahan (Prevention)
Berikut ini beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya penyakit akibat
bakteri candida :
1. Menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Antibiotik
dapat mengganggu keseimbangan flora normal vagina dan
menyebabkan jamur tumbuh berlebihan.
2. Menggunakan pakaian dalam yang terbuat dari bahan katun dan
tidak ketat. Pakaian dalam yang ketat dapat menyebabkan
kurangnya udara yang masuk, sehingga keringat terjebak dan
daerah vagina menjadi lembab. Hal ini dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh dan menyebabkan infeksi.
3. Memastikan organ intim tetap kering, khususnya setelah
dibersihkan atau sehabis mandi.
4. Menghindari penggunaan sabun yang mengandung pewangi pada
organ intim. Hindari sabun, pembalut, atau tampon yang memiliki
aroma kuat. Jangan lupa mengeringkan vagina untuk mencegah
iritasi.
b) Pengobatan(Treatment)
Kandidiasis vagina biasanya diobati dengan obat antijamur. Untuk
sebagian besar infeksi, pengobatan adalah obat antijamur yang
diaplikasikan di dalam vagina atau dosis tunggal flukonazol yang
diminum. Untuk infeksi yang lebih berat, infeksi yang tidak membaik,
atau terus kembali setelah membaik, perawatan lain mungkin
diperlukan. Perawatan ini termasuk dosis flukonazol yang diminum
melalui mulut atau obat-obatan lain yang diaplikasikan di dalam vagina
seperti asam borat, nistatin, atau flusitosin.

31
Trichomoniasis

a) Pencegahan (Prevention)
Guna mengurangi risiko terinfeksi trikomoniasis dan penyakit menular
seksual lainnya, berikut ini beberapa contoh pencegahannya :
1. Tidak bergonta-ganti pasangan seksual.
2. Menggunakan kondom saat berhubungan intim.
3. Tidak berbagi pakai alat bantu seks, dan membersihkannya setiap
selesai digunakan.
b) Pengobatan (Treatment)
 Untuk pengobatan trikomoniasis sesuai dengan resep dokter.
Dokter akan meresepkan metronidazole. Obat dapat diminum
sebagai dosis tunggal dan besar, atau dikonsumsi 2 kali sehari,
selama 5-7 hari, dengan dosis yang lebih kecil.
 Selama masa pengobatan, pasien dilarang berhubungan seksual
sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Pasien juga harus
menghindari konsumsi minuman beralkohol 24 jam setelah
mengonsumsi metronidazole, karena bisa menyebabkan mual dan
muntah.
 Trikomoniasis biasanya sembuh dalam tujuh hari. Meski demikian,
penderita perlu periksa kembali ke dokter dalam 3 minggu hingga
3 bulan setelah pengobatan, untuk memastikan dirinya tidak
terinfeksi kembali.

H. Analisis Jurnal

Judul : A STUDY OF PREVALENCE OF BACTERIAL VAGINOSIS IN


SEXUALLY ACTIVE FEMALES- A CROSS-SECTIONAL
STUDY IN TERTIARY CARE HOSPITAL, GAYA (J. Evid. Based
Med. Healthc., pISSN- 2349-2562, eISSN- 2349-2570/ Vol. 5/Issue
5/Jan. 29, 2018)

Author : Supriya Krishna , Bijay Krishna Prasad, Chandan Kumar Poddar


, Sandhya Prasad, Rohit Goel, Maheshwar Narayan Singh

32
Keputihan adalah masalah yang sangat umum di kalangan wanita.
Perubahan dalam keseimbangan organisme vagina normal dapat
menyebabkan kelebihan pertumbuhan bakteri yang menciptakan keputihan.
Hal ini umum di kalangan perempuan aktif secara seksual tetapi masih ada
kesenjangan yang tetap dalam pengetahuan kita tentang gangguan menular
ini. Bakteri Vaginosis (BV) ini juga disebut tidak spesifik vaginitis
berkembang ketika peroksida biasanya didominasi memproduksi spesies
Lactobacillus di vagina digantikan oleh anaerobik didominasi Flora
campuran yang terdiri dari gardnerella vaginalis, Mycoplasma Hominis,
spesies dari Mobiluncus, spesies Bakoida, spesies Prevotela, spesies
Peptostreptococcus, spesies Fusobacterium dan spesies Porphyromonas.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi Vaginosis bakteri
pada wanita yang aktif secara seksual datang dengan keluhan keputihan
untuk Obstetri dan Ginekologi OPD Bihar.

Sebanyak 200 wanita sehat dari kelompok usia reproduksi dengan


keluhan keputihan yang berlebihan dimasukkan dalam penelitian ini.
Penelitian ini mengecualikan pasien yang sudah menikah, wanita dengan
penyakit kulit yang dikenal dan pasca-menopause. Normal saline Wet-
Mount persiapan slide dibuat untuk mendeteksi trichomonads motil. Smear
noda gram disiapkan dan dinilai berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan
oleh Nugent. Kehadiran sel ragi pseudohyphae dan/atau pemula dianggap
diagnostik candidal infeksi.

Usia median YIELD dari populasi studi adalah 28 tahun. Penyebab


paling umum adalah bakteri Vaginosis bakteri (positif = 18,5%; Skor
menengah = 19,5%), diikuti oleh kandidiasis (13,5%) dan trikomoniasis
(0,5%). Tidak ada diagnosis etiologi untuk keputihan dapat didirikan pada
sekitar setengah dari perempuan. Hanya satu wanita yang positif dalam
HIV; Salah satunya adalah reaktif oleh VDRL dan TPHA tes. Preparat salin
basah normal dibuat untuk mendeteksi trikomonas motil. Pewarnaan Gram
disiapkan dan diberi skor sesuai klasifikasi yang dikembangkan oleh

33
Nugent. Kehadiran pseudohyphae dan / atau sel ragi yang berkembang
dianggap sebagai diagnostik infeksi candidal.

Dari 200 wanita ini, mayoritas berusia antara 26 hingga 30 tahun 79


(39,5%). Usia rata-rata populasi penelitian adalah 28 tahun (kisaran = 18-36
tahun). Sehubungan dengan tingkat pendidikan, lebih dari sepertiga wanita
buta huruf, dan sangat sedikit yang menyelesaikan kelulusan. Sebagian
besar adalah ibu rumah tangga / penganggur (78,5%). Penyebab paling
umum dari keputihan ditemukan menjadi vaginosis bakteri, dengan hampir
seperlima menunjukkan apusan positif dan 19,5% memiliki skor sedang
sesuai skor Nugent. Kandidiasis Vulvo-vaginal juga merupakan penyebab
umum keputihan. Dari 200 pewarnaan Gram, 59 (29,5%) menunjukkan
adanya ≥ 5 sel nanah / bidang imersi minyak (perbesaran 1000x).

Dalam penelitian ini, peneliti menyatakan bahwa hanya sekitar


sepertiga dari kasus dapat dikonfirmasikan memiliki etiologi infeksi
(bakterial vaginosis, kandidiasis vulvovaginal, dan trikomoniasis). 19,5%
wanita lain memiliki skor sedang untuk vaginosis bakteri. Peneliti
mendeteksi vaginosis bakteri ada kisaran 29,2%, C. albicans pada 11,5%
dan T. vaginalis pada 3,8% wanita yang aktif secara seksual. Demikian pula,
Shah dan lainnya menemukan bahwa dari 183 kasus yang didiagnosis secara
klinis sebagai sindrom keputihan, 38 (20,7%) positif oleh penyelidikan
laboratorium.

Penelitian lain yang dilakukan di sub-Sahara Afrika menemukan


tidak ada hubungan yang signifikan antara gejala IMS yang dilaporkan
pasien dan tes IMS yang dikonfirmasi laboratorium. Selain itu, peneliti juga
menrekomendasikan untuk jaringan layanan laboratorium perlu diperkuat
untuk memastikan ketersediaan layanan diagnostik yang akurat dan
terstandarisasi. Studi ini menunjukkan prevalensi Bacterial Vaginosis yang
lebih tinggi. Ada korelasi yang signifikan antara pH vagina, pengguna
IUCD, riwayat STD, RTI, VDRL dan pasien HIV positif.

34
DAFTAR PUSTAKA

Alfari, N., M. G. Kapantow, dan T. Pandaleke. (2016). Profil Trikomoniasis di


Poliklinik Kulit dan Kelaim RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode 1 Januari 2011-31 Desember 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), 4(2): 2.

Bautista, C.T, E. Wurapa, W. B. Sateren, S. Morris, B. Hollingsworth, dan J. L.


Sanchez. (2016). Bacterial vaginosis: a synthesis of the literature on
etiology, prevalence, risk factors, and relationship with chlamydia and
gonorrhea infections. Military Medical Research, 3(4): 2-4.

Djuanda. (2009). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Fitriani, D. (2013). Pengobatan Mandiri. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Jazan, S. et al. (2003). Prevalensi Infeksi Saliran Reproduksi pada Wanita


Penjaja Seks di Bitung. Jakarta: Direktorat PPM&PPL.

Khazaeian, S. et all. (2018). Comparing the effect of sucrose gel and


metronidazole gel in treatment of clinical symptoms of bacterial vaginosis:
a randomized controlled trial. Trials , 19(585): 1-8.

Koumans, E. H. et all. (2007). The Prevalence of Trichomonas Vaginalis Infection


Among Reproductive-age Women in The United States 2001-2004. Clin
Infect Dis, 45(10): 1319-26.

Krishna, S. et all. (2018). A STUDY OF PREVALENCE OF BACTERIAL


VAGINOSIS IN SEXUALLY ACTIVE FEMALES-A CROSS-
SECTIONAL STUDY IN TERTIARY CARE HOSPITAL, GAYA . J.
Evid. Based Med. Healthc, 5(5): 419-424.

Noor, Nasri Noor. (2000). Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta: PT. RINEKA


CIPTA.

Pujiastuti, A. T., dan D. Murtiastutik. (2014). Studi Retrospektif: Vaginosis


Bakterial. Periodical of Dermatology and Venereology, 26(2): 127-128.

Puspitasari, A., A. P. Kawilarang, E. Ervianti, dan A. Rohiman. (2019). Profil


Pasien Baru Kandidiasis. Periodical of Dermatology and Venereology,
31(1): 24-26.

Putra, B. R. M. (2014). UJI DIAGNOSTIK KRITERIA AMSEL


DIBANDINGKAN DENGAN KRITERIA NUGENT DALAM

35
SKRINING INFEKSI BAKTERIAL VAGINOSIS PADA KEHAMILAN.
. Media Medika Muda, 3(1): 12-13.

The American Heritage. (2007). Medical Dictionary. America: Houghton Mifflin


Company.

World Health Organization. (2008). Global Prevalence and Incidence of Selected


Curable Sexually Transmitted Infections. Geneva: World Health
Organization.

36

Anda mungkin juga menyukai