Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu amphi (dua atau rangkap) dan bios
(hidup). Kelompok hewan ini mampu hidup di “dua alam”, yaitu saat fase larva atau berudu
hidup di air sedangkan umumnya ketika dewasa sebagian besar hidupnya dihabiskan di darat
(Zug, 1993). Nenek moyang mereka yaitu lobe-finned fish (Sarcoppterygii) yang teradiasi di
habitat air tawar dan laut muncul pada Periode Devonian. Fosil yang diketahui sebagai awal
mula tetrapoda yaitu Acanthostega dan Ichthyostega (akhir Periode Devonian) merupakan
hewan akuatik namun telah memiliki empat tungkai (Vitt & Cadwell, 2009).
Amfibi telah mampu untuk terdistribusi luas di darat meskipun masih memilih habitat
yang dekat dengan sumber air. Perubahan habitat dari akuatik ke darat merupakan hal yang
ekstrim dan perlu terjadi perubahan untuk dapat hidup di lingkungan yang baru. Amfibi yang
hidup di darat saat ini sebagai bentuk suksesnya adaptasi hewan “akuatik” menyesuaikan
kondisi lingkungan yang berubah saat itu. Upaya adaptasi tersebut dapat berupa perubahan
struktur anatomi, morfologi, fisiologi, dan perilaku yang sesuai dengan kehidupan darat. Pada
makalah ini, penulis akan mengkaji dengan runut mengenai evolusi Amphibia sebagai hewan
pertama terestrial sejati hingga dengan keadaan mereka saat ini.

1
ISI

I. Awal Mula Tetrapoda

Transisi dari ikan (akuatik) menjadi tetrapoda (terestrial) merupakan salah satu
tahapan dalam sejarah evolusi yang sangat penting. Hal ini menjadi tahap awal vertebrata
untuk mampu terdistribusi secara meluas di dunia. Penemuan fosil tetrapoda awal yaitu
Ichthyostega (Ichthyo: fish dan stega: roof), Acanthostega dan fragmen-fragmen fosil lainnya
yang berasal dari Periode Devonian menjadi menarik untuk diteliti. Studi mengenai fosil ini
dipermudah dengan alat Computed Tomography Scanning untuk menginterpretasikan apa
yang terjadi pada masa itu (Vitt & Cadwell, 2014).
Hasil dari penelitian dari penemuan fosil tersebut menjelaskan bahwa yang awalnya
dikatakan bahwa tetrapoda berasal dari ikan Osteichtyes (lobe-finned fish) yang naik
kedaratan karena terjadi kekeringan selama Devonian. Penemuan fosil Acanthostega pada
tahun 1980-an lah yang menjelaskan bahwa Acanthostega merupakan tetrapoda namun bukan
hewan terestrial. Pada fosilnya telah terdapat empat tungkai yang berjari namun tanpa
pergelangan dan tungkai tersebut belum mampu untuk menopang tubuhnya untuk hidup di
darat. Selain itu, hasil interpretasi ulang mengenai fosil Ichthyostega (ikan yang bertungkai)
menjelaskan bahwa tungkai yang dimiliki digunakan untuk pergerakan hewan tersebut saat
berada di habitat rawa dan lumpur, yang kemudian memungkin keturunan mereka akan
menuju ke daratan (Pough et al., 1998).
Setelah penemuan tersebut, semakin banyak lagi fosil dari Periode Devonian yang
ditemukan dan telah dideskripsikan 13 genus dari fosil-fosil tersebut. Sekitar 30-40 juta tahun
setelah munculnya tetrapoda pertama, amfibi mulai “muncul” di bumi. Kemunculan amfibi
tentu bersamaan dengan munculnya spesies tetrapoda lainnya. Namun spesies yang muncul
saat itu dapat mengalami kepunahan pada periode-periode tertentu sejalan dengan umur bumi
(Pough et al., 1998).
Untuk dapat lebih memamahi sejarah munculnya tetrapoda, berikut adalah tujuh fosil
yang dikatakan sebagai key fossil yang dapat mengilustrasikan apa yang terjadi pada masa
lampau menurut Vitt & Cadwell (2014):
a. Eustenoptheron: merupakan kelompok ikan Tristrichopterid yang muncul pada tengah
dan akhir Periode Devonian. Hewan ini memiliki karakter yang mirip dengan

2
tetrapoda yaitu dengan adanya sirip pectoral yang memipih dan besar, moncong yang
memanjang. Ikan ini merupakan predator yang hidup di air dangkal.
b. Panderichthys: merupakan ikan yang diketahui sebagai transisi prototetrapod yang
hidup 385 juta tahun yang lalu. Ikan ini memiliki kepala yang pipih, moncong yang
panjang dan mata yang menuju ke arah dorsal. Humerus yang mirip pada tetrapoda
memipih secara dorsoventral, kemungkinan membantu untuk menyokong tubuhnya
meskipun sirip belum terstruktur menjadi digiti.
c. Elpistostege: muncul pada akhir Devonian dan fosilnya di temukan di Kanada.
Berkerabat dekat dengan Tiktaalik. Diperkirakan berhabitat di muara, hal ini
mengindikasikan bahwa kelompok ikan ini mapu mengeksplor habitat yang bervariasi.
d. Tiktaalik: memiliki karakter primitif yaitu sisik yang tumpang tindih berbentuk belah
ketupat, sirip pelvic dan pectoral yang berselaput dan lekungan insang yang
berkembang dengan baik, menjelaskan bahwa kelompok hewan ini hidup secara
akuatik seperti Panderichthys. Namun Tiktaalik memiliki juga karakter derivat seperti
tubuh yang memipih, mata terletak di dorsal, tengkorak yang besar, dan tulang leher
yang dapat digerakkan. Terdapat pula sirip depan yang kokoh dan tulang gelang bahu
yang mengindikasikan bahwa Ia mampu menopang tubuhnya untuk dapat bergerak di
atas substrat.
e. Acanthostega: memiliki tungkai depan dengan 8 digiti, namun belum terdapat
pergelangan atau sendi yang mampu menopang berat tubuhnya. Hal ini menujukkan
bahwa Ia telah berevolusi dengan memiliki digiti namun karena masih berhabitat di
akuatik, belum sepenuhnya digunakan. Acanthostega memiliki 30 tulang rusuk
presacral namun berukuran pendek dan tidak menyatu, rahang bawah melubangi baris
gigi bagian dalam pada tulang coronoid (karakter yang membedakan tetrapoda dengan
ikan). Hewan ini masih memiliki sirip dengan selaput dan insang sesuai dengan
habitatnya di Sungai.
f. Ichthyostega: memiliki tungkai depan dengan 7 digiti, dengan 4 digiti pertama
disatukan dengan selaput membentuk dayung dan 3 digiti yang lebih kecil membentuk
leading edge. Memiliki ekor dan sirip dengan selaput, namun memiliki kemampuan
untuk bergerak ke daratan. Berdasarkan morfologi tulangnya, Ichthyostega memiliki
tulang belakang yang fleksibel dapat bergerak kearah dorsoventral. Saluran
pendengarannya teradaptasi untuk mendengar di dalam air.

3
g. Tulerpeton: Berasal dari Periode Devonian. Tungkai depan dan belakang masing-
masing memiliki 6 digiti. Sendi pada bahu yang kuat dan bentuk digiti yang ramping
menunjukkan bahwa Tulerpeton hidupnya lebih jarang berada di air dibandingkan
Acanthostega dan Ichthyostega.

Gambar 1. Hubungan, bentuk tubuh dan struktur tungkai pada 7 key fosil yang menjelaskan
mengenai evolusi tetrapoda ( Glyptolepis sebagai outgroupnya) (Vitt & Cadwell,
2014)

II. Perubahan Struktur pada Tetrapoda

Adaptasi merupakan salah satu mekanisme evolusi. Hasil adaptasi hewan yang telah
mampu bertahan hidup di darat (terestrial) dapat dilihat dari beberapa aspek seperti
morfologi, anatomi, fisiologi dan embriologi. Paru-paru telah muncul pad ahewan ikan tulang
sejati, jauh sebelum terdapat ikan yang teradaptasi untuk hidup di darat. Belum banyak bukti
fosil mengenai ini, karena paru-paru merupakan organ yang lunak sehingga kemungkinan
tidak terawetkan. Awalnya paru-paru berkembang sebagai alat bantu untuk pertukaran gas
dalam air yang kondisi oksigen rendah. Paru-paru berbentuk seperti kantong yang berada di
ventral luar dari faring. Ikan tersebut akan muncul ke permukaan untuk menhirup udara dan

4
kemudian kembali menyelam. Ketika posisi kepala berada lebih dibawah dibandingkan
tubuhnya maka udara akan terdorong ke paru-paru. Kemudian seiring berjalannya waktu,
perubahan struktur organ pernafasan ditandai dengan berkembangnya paru-paru sebagai
organ pernafasan utama di habitat terestrial. Berkembangnya paru-paru terlihat dari
peningkatan ukuran yang disertai peningkatan vaskularisasi. Paru-paru yang semakin
berkembang membutuhkan perlindungan, sehingga tulang rusuk yang melindungi paru-paru
semakin berkembang dan menutup sempurna pada bagian dada (Vitt & Cadwell, 2014).
Perubahan pada organ lokomosi diawali dengan munculnya ikan sarcopterygii yang
memiliki sirip berdaging, tidak hanya itu didalamnya terdapat tulang dan otot yang mampu
untuk menggerakkan sirip. Sirip yang menyerupai struktur tungkai tersebut awalnya tidak
digunakan untuk menopang tubuh dan berjalan diatas substrat, karena hewan tersebut masih
hidup di dalam air, struktur tersebut digunakan untuk membantu memberi dorongan saat ia
berenang. Pada tahap selanjutnya terlihat dari berkembangnya sirip menjadi tungkai yang
disertai digiti yang ditemukan pada tungkai Ichtyostega (Zug et al., 2003). Struktur tungkai
ini mendukung pergerakan di terestrial.
Perubahan struktur kulit pada larva amfibi dan ikan masih serupa. Terdapat lapisan
epidermis sekitar 2-3 lapis dan dilindungi oleh lendir yang disekresikan oleh kelenjar mukosa
uniseluler. Kulit amfibi dewasa berbeda dari ancestralnya. Lapisan epidermis meningkat
ketebalannya sekitar 5-7 lapis dan lapisan basal 2 lapis. Lapisan kulit terluar mengalami
keratinisasi dan mucoid kutikula berada di antara lapisan basal dan keratin. Keratinisasi
diperkirakan muncul sebagai perlindungan terhadap abrasi, karena habitat di darat bagian
ventral tubuh hewan akan bergesekan dengan substrat (Zug et al., 2003).

Gambar 2. Asal mula Tetrapoda (Vitt & Cadwell, 2014).

5
III. Amphibia Purba
Pengamatan pada seluruh anggotanya baik yang telah punah dan yang masih hidup
hingga saat ini, Amfibi memiliki karakter unik yaitu (1) permukaan pada artikular dari tulang
atlas (cervical vertebra) cembung; (2) tulang exoccipital memiliki sutura, artikulasi dengan
tulang dermal bagian atas; dan (3) tungkai depan (manus) memiliki empat digiti dan tungkai
belakang (pes) lima digiti. Karakter lainnya yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi
amfibi berlaku khusus untuk Lissamphibia (extant amfibi), meskipun beberapa dari karakter
tersebut mungkin terdapat pada semua Amphibia, namun karena berupa jaringan lunak, maka
tidak meninggalkan fosil. Tiktaalik merupakan hewan yang paling dekat kemiripan
karakteristiknya antara osteolepiformes dan amfibi. Amfibi pertama yang tercatat adalah
Labyrinthodonts, yaitu dicirikan dengan gigi yang memiliki lapisan dentin dan enamel
membentuk struktur yang mirip dengan labirin. Ada 2 kelompok utama amfibi primitif, yaitu
Ichthyostegalia dan Temnospondyli (Zug, 1993).

Gambar 3. Hasil rekonstruksi fosil Tiktaalik

Anggota Ordo Ichthyostegalia adalah tetrapoda pertama yang dapat meninggalkan


air. Hewan ini muncul di Periode Devon akhir . Memiliki kepala lebar dan besar, tungkai
yang pendek dan hidup di air ataupun semiakuatik. Mereka mampu bergerak ke darat
menggunakan ekor yang berotot dengan selaput pada siripnya yang mirip dengan ikan.
Ichthyostegalia memiliki garis di lateral (organ sensorik yang memungkinkan ikan untuk
mendeteksi getaran dan gerakan bawah air) dan mampu bernapas melalui kulit (karakter yang

6
juga dimiliki amfibi yang hidup saat ini). Telur yang dihasilkan oleh Ordo Ichthyostegalia
diletakkan di dalam air, yang kemudian menjadi berudu dan mengalami proses metamorfosis
untuk menjadi dewasa seperti amfibi saat ini (Zug et al., 2003).

Gambar 4. Skeleton Ichthyostega dan Acanthostega: Anggota Ordo Ichthyostegalia

Temnospondyli adalah kelompok yang paling beragam dari amfibi primitif dan itu
bertahan sampai Periode Cretaceous awal, sekitar 120 juta tahun yang lalu. Temnospondyli
sangat bervariasi dalam bentuk, ukuran dan gaya hidup. Kebanyakan dari mereka adalah
pemakan daging, beberapa predator terestrial, beberapa semi akuatik dan beberapa kembali
sepenuhnya ke air. Pada anggota Ordo ini reproduksinya terjadi secara eksternal seperti pada
amfibi yang hidup sekarang. Salah satu spesies dari Ordo Temnospondyls terdapat amfibi
terbesar yang pernah hidup, yaitu Prionosuchus. Memiliki panjang diperkirakan 4,5 meter
dan beratnya sekitar 300 kg (Zug et al., 2003).

Gambar 5. Hasil rekonstruksi Prionosuchus

7
IV. Lissamphibia (Amfibi Modern)

Berdasarkan penelitian terkini, diketahui bahwa amfibi yang hidup pada saat ini
merupakan monofiletik. Ditemukannya fosil Gerobatracus hottoni dari Permian
mengindikasikan bahwa salamander dan katak berasal dari nenek moyang yang sama sekitar
290 juta tahun yang lalu. Gerobatrachus merupakan salamander yang memiliki tengkorak
yang menyerupai katak. Sesilia merupakan clade yang lebih tua lagi, dan merupakan sister
clade dari salamander dan katak. Beberapa karakter sangat mendukung teori monofiletik dari
Lissamphibia. Karakter tersebut berupa respirasi kulit, sepasang sensor papillae di telinga
bagian dalam, dua saluran transmisi suara di telinga bagian dalam, sel visual khusus dalam
retina, gigi pedicellate, kehadiran dua jenis kelenjar kulit, dan beberapa ciri unik lainnya(Vitt
& Cadwell, 2009).

Gambar 6. Contoh bentuk dewasa dari Amfibi yang hidup saat ini (Vitt & Cadwell, 2009).

Tiga struktur, insang, paru-paru, dan kulit, merupakan organ yang membantu
pernapasan pada Lissamphibia. Amfibi akuatik (umumnya pada fase larva) menggunakan

8
insang dan saat dewasa hidup di darat menggunakan paru – paru untuk pernapasannya. Kulit
berperan penting dalam transfer oksigen dan karbon dioksida. Salamander dari kelompok
Plethodontid yang sepenuhnya hidup secara terestrial, paru – parunya telah mereduksi
sehingga dalam pernapasannya sangat bergantung pada respirasi kulit. Terdapat 2 jenis
kelenjar yang terdapat pada kulit amfibi yang hidup saat ini yaitu kelenjar mukosa dan
granular (racun). Kelenjar mukosa akan terus menghasilkan mukopolisakarida, yang menjaga
permukaan kulit untuk tetap lembab. Hal ini terkait dengan fungsi kulit sebagai alaat bantu
pernapasan (difusi oksigen dan karbondioksida) pada amfibi. Struktur kelenjar racun identik
pada semua amfibi, namun kadar toksisitas sekresinya beragam (Vitt & Cadwell, 2009).

Gambar 7. Hubungan kekerabatan antar Ordo Anura yang masih hidup hingga saat ini (Vitt
&Cadwell, 2014)

9
Sistem pendengaran amfibi memiliki 2 macam saluran yaitu saluran papilla stapes-
basilar dan saluran papilla opercular-amfibi yang memungkinkan penerimaan suara frekuensi
rendah (<1000 Hz). Kepemilikan dua jenis reseptor terdapat pada katak karena mereka
mampu bervokalisasi. Untuk sebagian besar salamander tidak dapat bervokalisasi, sehingga
sistem pendengaran tidak berkembang seperti pada katak. Salamander dan katak memiliki sel
batang hijau di retina namun belum diketahui fungsi khusus dari sel tersebut. Struktur ini
mungkin tidak ada pada sesilia, karena mereka memiliki mata yang mereduksi dan hidup
secara fossorial. Katak dan salamander adalah satu-satunya vertebrata mampu mengangkat
dan menurunkan mata mereka. Tulang orbital semua amfibi membuka ke atap mulut. Otot
khusus membentang di atas bukaan. Tulang rusuk amfibi tidak mengelilingi tubuh (Vitt &
Cadwell, 2009).

Gambar 8. Hubungan kekerabatan antar (a) Ordo Gymnophiona (Sesilia) dan (b) Ordo
Urodela (Salamander) yang masih hidup hingga saat ini (Vitt &Cadwell, 2014)

10
SIMPULAN

Amfibi merupakan tetrapoda darat pertama yang masih memiliki karakteristik nenek
moyangnya Ichthyostega. Karakter tersebut seperti respirasi kulit, sepasang sensor papillae di
telinga bagian dalam, dua saluran transmisi suara di telinga bagian dalam, sel visual khusus
dalam retina, gigi pedicellate, dan kehadiran dua jenis kelenjar kulit. Amfibi akan melakukan
adaptasi dengan lingkungan darat sehingga terjadi perubahan baik secara morfologi, anatomi,
dan fisiologinya. Karakter yang didapatkan sebagai hasil adaptasi yaitu pada saat fase berudu,
amphibi bernafas dengan insang karena hidupnya di perairan dan bergerak menggunakan
ekor; fase dewasa, bernafas dengan paru-paru dan dibantu dengan kulitnya yang tipis, tidak
berambut, lembab serta kaya akan kapiler darah yang mampu menyerap oksigen dari
lingkungannya; memiliki kelopak mata dan membrane nictictans yang berfungsi untuk
melindungi mata ketika berenang; memiliki ekstrimitas (4 tungkai) kecuali pada Ordo
Gymnophiona (Sesilia); serta jantungnya memiliki 3 ruang yaitu atrium kanan dan kiri serta 1
ventrikel.

11
DAFTAR PUSTAKA

Pough, F. H., R.M.Andrews, J.E.Cadle, M.L. Crump, A.H. Savitzky & K.D. Wells. 1998.
Herpetology. Prentice-Hall, Inc. New Jersey, USA.
Vitt, Laurie J. & J.P. Caldwell. 2009. Herpetology 3th ed. : An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Academic Press: London.
Vitt, Laurie J. & J.P. Caldwell. 2014. Herpetology 4th ed : An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Academic Press: London.
Zug, G.R. 1993. Herpetology : An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles.
Academic Press: London
Zug, G.R., L.J. Vitt & J.P. Caldwell. 2003. Herpetology 2nd ed : An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Academic Press: London.

12

Anda mungkin juga menyukai