Anda di halaman 1dari 6

MATAKULIAH EKOLOGI POPULASI

TUGAS II

Full Term Paper

Pengaruh Perubahan Habitat Terhadap Perilaku Orangutan

Nama: Vestidhia Yunisya Atmaja


NIM: 16/401983/PBI/01432

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS BIOLOGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ABSTRAK
Meningkatnya populasi dan kebutuhan manusia mendorong terjadinya perubahan
struktur hutan alami, termasuk hutan hujan tropis di Sumatra dan Borneo. Degradasi habitat
disebabkan oleh beberapa faktor: hutan logging, alih fungsi lahan (perkebunan warga dan
perkebunan komersial), serta kebakaran hutan. Perubahan habitat akan berdampak pada
organisme yang menempati, salah satunya yaitu Orangutan. Orangutan melakukan perubahan
perilaku, menyesuaikan dengan hutan yang terdegradasi. Dalam term paper ini menunjukkan
bahwa, terdapat perubahan pada aktivitas harian dan pemilihan tempat bersarang. Durasi
untuk bergerak mencari makan meningkat dan untuk beristirahat menurun dibandingkan saat
kondisi dihutan alami. Ketinggian kanopi tempat Orangutan beraktivitas berada pada
ketinggian 0-20 m dan jarang pada ketinggian 20-40 m. Penggunaan tipe pergerakan
quadrupedal walk lebih jarang digunakan pada hutan terdegradasi. Pohon yang digunakan
sebagai sarang pada hutan terdegradasi adalah Famili Anacardiaceae, Dipterocarpaceae,
Leguminosae dan Moraceae. Sarang dibuat dngan bentuk dan bahan yang sederhana.
Pemilihan tempat bersarang berdasarkan ketersediaan jenis pohon, kenyamanan, dan jarak
dengan sumber makanan. Perubahan perilaku ini disebabkan oleh sumber makanan yang
jaraknya berjauhan dan berkurangnya jumlah pohon berukuran besar.

Kata kunci: hutan terdegradasi, perubahan perilaku, aktivitas harian, sarang

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang mampu menyokong kehidupan berbagai
jenis flora dan fauna. Kondisi terkini hutan hujan tropis di Sumatra dan Borneo, mengalami
degradasi habitat yang disebabkan oleh beberapa faktor: hutan logging, alih fungsi lahan
(perkebunan warga dan perkebunan komersial), serta kebakaran hutan. Degradasi habitat ini
terjadi karena adanya desakan pertumbuhan populasi dan meningkatnya kebutuhan manusia.
Orangutan terdistribusi secara geografi di Borneo dan Sumatra. Kondisi terkini,
Orangutan terdata dalam kategori Critically Endangered menurut IUCN dalam Hardus et al.
(2011). Orangutan sangat bergantung pada habitatnya: (a) Orangutan merupakan hewan
arboreal yang membutuhkan pohon untuk pergerakannya, (b) termasuk hewan frugivorous
(pemakan buah), makanannya bergantung pada struktur vegetasi hutan, dan (c) bersarang
diatas pohon. Degradasi habitat memberikan dampak negatif terhadap Orangutan. Respon

1
yang dilakukan Orangutan yaitu perubahan perilaku untuk menyesuaikan diri dengan habitat
terdegradasi.
Untuk menambah pemahaman mengenai pengaruh degradasi habitat terhadap
Orangutan, penulisan term paper bertujuan untuk mempelajari perubahan berbagai perilaku
Orangutan sebagai upaya bertahan hidup menanggapi degradasi habitat. Perubahan perilaku
Orangutan yang diangkat dalam term paper ini yaitu aktivitas harian (durasi yang dibutuhkan
untuk mencari makan, durasi membuat sarang, durasi istirahat, dan ketinggian kanopi tempat
Orangutan beraktivitas) dan pemilihan tempat bersarang di habitat yang terdegradasi
(Ancrenaz et al. 2004; Cheyne et al. 2013; Hardus et al. 2011; Rao dan van Schaik 1997;
Russon et al. 2015; Russon et al. 2007).

PEMBAHASAN
Terdapat perbedaan aktivitas harian Orangutan di hutan primer dan hutan terdegradasi.
Durasi pencarian makan berbeda signifikan antara hutan primer dan hutan terdegradasi
(logging dan kebakaran) (Hardus et al.2011; Rao dan van Schaik 1997; Russon et al. 2015).
Sumber makanan di hutan terdegradasi lebih menyebar dengan jarak yang berjauhan,
sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkannya. Sumber makanan lebih
menyebar karena berkurangnya jumlah pohon besar, pohon Ara dan liana. Buah dari pohon
Ara merupakan makanan utama Orangutan. Ketika tidak tersedia, mereka akan mencari
makanan alternatif seperti daun muda. Namun, alternatif makanan ini memiliki nutrisi yang
lebih rendah dibandingkan dengan buah. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya energi yang
digunakan dengan energi yang masuk ke dalam tubuh.
Durasi yang digunakan untuk makan tidak berbeda secara signifikan antara hutan
primer dan hutan terdegradasi (Hardus et al.2011; Rao dan van Schaik 1997; Russon et al.
2015). Makanan yang tersedia di suatu lokasi tidak melimpah, meskipun menghabiskan
banyak energi ketika mencari makanan, energi yang masuk ke dalam tubuh tidak bertambah .
Durasi yang dihabiskan untuk beristirahat berbeda sedikit signifikan antara hutan primer dan
hutan terdegradasi (Hardus et al.2011; Rao dan van Schaik 1997; Russon et al. 2015). Durasi
untuk istirahat berkurang karena waktu harian lebih banyak dihabiskan untuk mencari makan
karena letaknya yang jauh. Berkurangnya pohon besar mengakibatkan Orangutan bergerak
lebih banyak secara terestrial. Akibatnya, mereka lebih terkespos oleh predator dan waktu
istirahat berkurang untuk menghindari predator.

2
Ketinggian kanopi tempat Orangutan beraktivitas berada pada ketinggian 0-20 m dan
>20 m. Berbeda signifikan antara hutan primer dan hutan terdegradasi. Ketika orangutan
berada dihutan terdegradasi, mereka lebih banyak beraktivitas pada ketinggian 0-20 m dan
jarang pada ketinggian 20-40 m (Hardus et al.2011; Rao dan van Schaik 1997; Russon et
al.2015). Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah pohon besar dihutan tersebut.
Penggunaan jenis pergerakan terdapat perbedaan antara hutan alami dan hutan terdegradasi.
Penggunaan tipe pergerakan quadrupedal walk lebih jarang digunakan pada hutan
terdegradasi. Tipe pergerakan branchiating dan descending tidak terdapat beda nyata.
Pergerakan tipe quadrupedal walk biasa digunakan oleh Orangutan ketika berjalan secara
horizontal pada cabang pohon Ara untuk memakan buahnya(Hardus et al.2011; Russon et
al.2015). Keseluruhan perubahan aktivitas harian pada hutan terdegradasi menggunakan
energi yang tidak efisien dan dapat mempengaruhi kebugaran Orangutan (Hardus et al.2011;
Rao dan van Schaik 1997; Russon et al.2015).
Pada tahap pembuatan sarang Orangutan akan memilih (lokasi, jenis pohon, posisi di
pohon), kemudian membangun fondasi (membengkokkan, mematahkan dan menjalin cabang
dengan arahmelintang), membuat bentuk melingkar (menekukan ranting kecil dalam pola
melingkar), kemudian membuat lapisan (memilih dan menambahkan cabang berdaun,
biasanya dalam jangkauan sarang). Pada hutan alami, terdapat perilaku yang dilakukan
Orangutan dalam membuat sarang. Ketika daun yang dibutuhkan untuk membuat sarang tidak
tersedia di area tersebut, Orangutan akan mencari daun dan membawa ke area bersarang. Pada
hutan terdegradasi perilaku tersebut tidak dilakukan oleh Orangutan. Hal ini disebabkan oleh
jauhnya jarak pohon yang daunnya dapat digunakan untuk membuat sarang. Orangutan akan
menggunakan daun yang ada diarea sekitar. Bentuk sarang menjadi lebih sederhana, alas tidur
dengan daun yang tidak dianyam, menggunakan sisa-sisa daun dan tanaman merambat di
tajuk pohon yang digunakan (Ancrenaz et al. 2004; Cheyne et al. 2013)
.Penentuan tempat pembuatan sarang Orangutan pada hutan alami mencakupi kriteria,
(a) memilih pohon yang menjadi sumber makanannya untuk efektivitas pengeluran energi, (b)
pohon yang tinggi dan berukuran besar untuk antisipasi terhadap predator nocturnal (saat
waktu Orangutan beristirahat, kewaspadaan menurun), dan (c) intensitas pengunaan sarang
yang sama pada jangka waktu tertentu sangat jarang. Pada hutan yang terdegradasi, memiliki
ciri vegetasi yaitu hanya terdapat beberapa pohon besar, basal area berukuran kecil, dan
celah antar kanopi yang jauh. Orangutan memilih pohon berdasarkan kemilimpahannya di

3
area tersebut. Famili pohon yang melimpah dan digunakan oleh Orangutan sebagi sarang
yaitu Famili Anacardiaceae, Dipterocarpaceae, Leguminosae dan Moraceae. Empat Famili
tersebut memiliki tinggi tidak lebih dari 40m di hutan terdegradasi sedangakan pada hutan
alami dapat mencapai 50m. Selain itu, pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang
memiliki 40% bagian tumbuhan yang dapat dimakan oleh Orangutan. Pada saat musim
berbuah, sarang akan banyak ditemukan pada pohon Ficus sp. , Lithocarpus sp. dan
Dracontomelon sp. (Ancrenaz et al. 2004; Cheyne et al. 2013; Russon et al. 2007).
Sebagian besar sarang yang dijumpai di hutan terdegradasi berada pada ketinggian 10-
20 m diatas permukaan tanah dan berada pada bagian atas tajuk pohon. Pemilihan ketinggian
pohon tidak berdasarkan respon terhadap predator seperti saat kondisi di hutan alami.
Pemilihan ketinggian ini lebih mementingkan pada efektivitas kenyamanan, melindungi dari
hujan dan angin, mengurangi guncangan yang disebabkan oleh angin, dan mengurangi
terkena sinar matahari langsung. Selain itu, untuk mengurangi resiko pohon tumbang
(istirahat lebih nyaman), Orangutan di hutan terdegradasi lebih sering mengunakan kembali
sarang yang lama dalam jangka waktu beberapa tahun. Perilaku ini disebabkan oleh
berkurangnya jumlah pohon berukuran besar (Ancrenaz et al. 2004; Cheyne et al. 2013;
Russon et al. 2007).

PENUTUP
Terdegradasinya hutan alami sebagai habitat , mempengaruhi Orangutan untuk
mengubah perilakunya. Perubahan yang dilakukan agar dapat bertahan hidup dengan kondisi
vegetasi yang tersedia. Perubahan perilaku yang dilakukan meliputi aktivitas harian: (a) durasi
mencari makan lebih lama, (b) durasi untuk beristirahat lebih sedikit, (c) ketinggian tempat
beraktivitas pada 0-20 m diatas permukaan tanah, dan (d) intensitas penggunaan tipe
pergerakan quadrupedal walk lebih jarang. Pemilihan tempat bersarang di hutan terdegradasi
lebih mementingkan pada kenyamanan, melindungi dari hujan dan angin, tidak terkena
matahari langsung, dan memilih pohon yang bagian tubuh pohon tersebut dapat dimakan.
Perubahan kriteria dalam pemilihan termpat bersarang disebabkan oleh terbatasnya
ketersediaan jenis pohon di jutan yang terdegradasi.

DAFTAR ACUAN
Ancrenaz, M., R. Calaque, and I. Lackman-Ancrenaz. 2004. Orangutan nesting behavior in
disturbed forest of Sabah, Malaysia: Implications for nest census.International Journal
of Primatology 25(5): 983 - 1000.

4
Cheyne, S. M., D. Rowland, A. Hoing, and S. J. Husson. 2013. How orangutans choose where
to sleep: comparison of nest-site variables. Asian Primates Journal 3(1): 13-17
Hardus, M. E., A. R. Lameira, S. B. J. Menken, and S. A. Wich. 2012. Effects of logging on
orangutan behaviour. Biological Conservation 146: 177 –187.
Rao, M. and C. P. van Schaik. 1997. The behavioral ecology of sumatran orangutans in
logged and unlogged forest. Tropical Biodiversity 4(2): 173-185.
Russon, A. E., P. Kuncoro, and A. Ferisa. 2015. Orangutan Behavior in Kutai National Park
After Drought and Fire Damage: Adjustments to Short- and Long-Term Natural Forest
Regeneration.American Journal of Primatology77: 1276 - 1289.
Russon, A. E., D. P. Handayani, P. Kuncoro, and A. Ferisa. 2007.Orangutan leaf-carrying for
nest-building: Toward unravelingcultural processes. Animal Cognition10:189–202.

Anda mungkin juga menyukai