Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Doni Prasetio

NIM : 20170610182
KELAS :I
DOSEN : Dr. Leli Joko S., S.H., M.Hum
MATA KULIAH : Hukum Perdata Internasional
Negara yang menganut prinsip nasionalitas

Pertama- tama dapat disebut negara Perancis dan negara- negara jajahan Perancis.
Ketentuan yang mengatur pemakaian prinsip kewarganegaraan terdapat dalam Code Civil
(pasal 3 ayat 3). Kemudian dapat disebut negara lain yang seringkali dipandang sebagai
“pahlawan” pula di antara negara- negara dengan prinsip nasionalitas ini, ialah Italia dan
jajahan- jajahan. Ketentuan- ketentuan tentang prinsip kewarganegaraan ini dapat diketemukan
berkenaan dengan berlakunya Code Civil dari tahun 1865, dalam peraturan- peraturan untuk
diberlakukannya Code Civil (Disposizioni Preliminari del Codice Civile, pasal 6), kemudian
berkenaan dengan CC 1938 dalam Disp. Prel. Pasal 7 ayat 1, disusul oleh Code Civil 1942
(dalam Disp. Prel. Pasal 17 ayat 1).

Di Belgia prinsip kewarganegaraan ini dicantumkan pula dalam Code Civil (pasal 3
ayat 3). Juga demikian di Moncao (CC pasal 3 ayat 3). Di negeri Belanda seperti diketahui
ketentuan serupa ini telah dicantumkan dalam Undang- Undang tanggal 15 Mei 1829 S. no. 26
(“Wethoudende Algemeene Bepalingen der Wegeving van het Koninkrijk”, pasal 6 dan 9).
Berdasarkan azas konkordansi kita saksikan bahwa di Hindia Belanda pun diterima ketentuan
yang serupa yakni dalam “Algemeene Bepalingen van Wetgeving” (30 April 1947, S no. 23,
diubah S. 1915, no. 299 jo 652), pasal 16 yang hingga kini masih berlaku untuk Republik
Indonesia. Demikian halnya di jajahan- jajahan Belanda lainnya, Suriname (UU 4 September
1867, pasal 7).

Di Rumania terdapat ketentuan serupa dalam Code Civil (pasal2), demikian di Bulgaria,
Finlandia (UU no. 379 dari 5 Desember 1929, Jerman dengan EGBGB- nya yang sudah
seringkali disebut (pasal 7, 9, 13-15, 17-25) Hungaria berdasarkan hukum kebiasaan,
Liechtenstein dalam Zivilgesetzbuch Personen und gesellschaftsrecht (pasal 23), Montenegro
dalam Code Civil (pasal 788), Polandia dalam UU dari 2 Agustus 1926 tentang HPI (pasal 1
ayat 1), Portugal dalam Code Civil (pasal 24, 27) Spanyol dalam Code Civil (pasal 9), Swedia
(dalam U dari 8 Juli 1904 dan perubahan 27 Juni 1924), Turki (UU 1 Maret 1915 untuk orang-
orang asing), Iran dalam Code ivil (pasal 962), Tiongkok (UU dari 5 Agustus 1918, pasal 5),
Jepang (UU dari 15 Juni 1898 pasal 3).

Dari negara- negara Amerika Latin dapat disebut COSTA Rica (yang memuat
ketentuan bersangkutan dalam Code Civil (pasal 3), Cuba dalam Code Civil (pasal 9), Republik
Dominika dalam Code Civil (pasal 3 ayat 3), Ecuador dalam Code Civil (pasal 14), Haiti dalam
Code Civil (pasal 7), Honduras dalam Code Civil (pasal 13), Mexico dalam Code Civil dari
1884 (pasal 12), Panama dalam Code Civil (pasal 5a), Venezuela dalam Code Civil (pasal 9).
Kemudian kita saksikan pula dianutnya prinsip kewarganegaraan ini dalam perjanjian antara
Columbia-Equador dari 18 Juni 1903 (pasal 2).

Prisip kewarganegaraan ini telah menjadi dasar pula dalam berbagai perjanian-
perjanjian internasipnal di bidang HPI. Dapat disebut di sini, Konvensi- konvensi Den Haag
dari tahun 1902 dan 1905, persetujuan di Lima dari tahun 1878.

Negara yang menganut prinsip domicilie

Dalam kelompok ini dapat disebut : Semua negara- negara Inggris yang menangut
sistim “common low”, Juga scotlandia, Afrika Selatan dan Quebec (pasal 6 C.C.), dapat disebut
di sini; Denmark, Norwegia, Iceland, negara- negara Amerika Latin, Argentina (pasal 6 dan 7
C.C.), Brazilia (pasal 7 UU 1942), Guatemala (pasal XVII UU tentang kekuasaan peradilan,
1936) ; (pasal 17 dan 18 UU orang asing 1936, Nicaragua (pasal pembuka VI, I). Paraguay
(pasal 6,7 C.C), Peru (pasal-pasal pembuka V dari C.C 1936, untuk orang- orang bukan
warganegara Peru.) Dalam persetujuan Montevideo tahun 1839 (antara Argentina, Bolivia,
Paraguay, Peru, Uruguay) pasal 1. (Teks dari 1940, pasal 1, yang diratifikasi oleh Argentina,
Uruguay dan Paraguay).

Negara yang menerima renvoi

Di bawah ini diberikan sekedar tinjauan selayang pandang tentang lembaga renvoi di
negara- negara lain.

P e r a n c i s.

Pertama disebut di sini di Perancis. Renvoi sejak perkara Forgo di tahun 1989 diterima
di Perancis, walaupun ada penulis kenamaan Perancis memperlihatkan kecondongan untuk
menolak Renvoi.
I t a l i a.

Di Italia umumnya ditentang renvoi. Sesuai dengan pengaruh teori Mancini, maka
Nampak adanya hasrat untuk memperlindungi diri terhadap kaidah- kaidah HPI asing. Oleh
karena itu tiap penunjukan dianggap sebagai Sachnorm-verweisung (pasal 30 Code Civil 1942)

J e r m a n.

Di Jerman ternyata ada kencondongan kea rah penerimaan renvoi (pasal 27 EGBGB).
Jika hukum asing yang menurut ketentuan- ketentuan HPI dalam EGBGB (Jerman) harus
diberlakukan menunjuk kembali kearah hukum Jerman, maka hukum intern Jerman- lah yang
akan berlaku. Penulis Jerman terbanyak pun pro renvoi.

S w i s s.

Di Swiss tidak ada peraturan tentang rnevoi yang tegas, tapi ada kecondongan kea rah
penerimaan (pasal 28 dan 31 NAG). Menurut pasal 28 untuk segala soal- soal mengenai hukum
rpbadi, hukum kekeluargaan dan hukum warisan dari orang- orang Swiss yang berada di luar
negeri diberlakukan hukum tempat domisili di luar negeri. Hukum asing dipersilahkan untuk
“jalan lebih dahulu”, tapi jika hukum asing ini tidak mempergunakan tawaran tersebut, maka
hukum intern Swiss akan diberlakukan.

N e d e r l a n d.

Di Nederland yurisprudensi umumnya menentang walaupun sana sini ada keputusan


yang menyimpang. Dlama doktrina para penuls umumnya ditolak.

Negara- Negara Asia- Afrika.

Di Tiongkok sistim HPI yang berlaku di sini terpengaruh oleh EGBGB Jerman, maka
dapat ikatakan menerima renvoi. Demikian juga Jepang yang juga mengoper EGBGB Jerman,
(pasal 29 dari UU tahun 1898 Jepang menerima baik renvoi ini).

T h a i l a n d, M u a n g t h a i, juga mengakui renvoi secara tegas. Pasal 4 dari UU tahun 1939


tentang perselisihan hukum menentukan serupa dengan ketentuan yang berlaku di Jerman.

Di Inggris, kita saksikan suatu cara penyelesaian khusus mengenai soal renvoi yang
dipraktekkan dan sudah lama diterima baik, tapi dalam suatu bentuk yang khusus pula yaitu
yang dinamakan “Foreign Cout Doctrine” atau “Double renvoi” yang berlainan daripada
“Continental renvoi” yang juga kita sebut sistim “single renvoi”.
Renvoi in a more refined form atau “the total” atau “perfect renvoi theory”. Jaid
menurut pendirian ini hakim Inggris dalam mempergunakan hukum asing pada waktu
mengadili suatu perstiwa HPI aka nbersifat seolah- olah ia ini duduk dalam kursi hakim dari
negara asing bersangkutan. (condiser himself sitting in the foreign county)

dan Negara yang tidak menerima renvoi

Anda mungkin juga menyukai