Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Masa Praaksara ialah suatu masa dimana mayoritas masyarakat belum mengenal
tulisan, serta dalam pengungkapan sejarah nya masih secara lisan. Ciri-ciri daripada
masa ini ialah, belum mengenal tulisan, pengungkapan sejarah dilakukan secara lisan,
dan Masa Praaksara sering disebut sebagai tradisi lisan.

Dan Masa Praaksara ini sering dikatakan mendahului tradisi tulis/ Masa Aksara.
Jejak sejarah dalam tradisi lisan/ Masa Praaksara dapat diikuti dalam sumber-sumber
sejarah yaitu sbb, Folkor, Mitos, Legenda, Upacara-upacara Adat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sebelum Mengenal Tulisan

Dilakukan melalui tradisi lisan, dimana pengertian tradisi lisan itu sendiri
adalah sebagai berikut.

 Tradisi lisan merupakan tradisi yang terkait dengan kebiasaan/ adat istiadat,
menggunakan bahasa lisan dalam menyampaikan pengalaman sehari-hari dari
seseorang kepada orang lain.

 Tradisi lisan dapat juga diartikan sebagai penggungkapan lisan dari satu
generasi ke generasi yang lain,dst.

 Menurut Kuntowijoyo,tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam


masa lampau masyarakat manusia.

Tradisi sejarah masyarakat sebelum menggenal tulisan merupakan tradisi


dalam mewariskan pengalaman masa lalu serta pengalaman hidup sehari-hari yang
terkait dengan adat istiadat, kepercayaan, nilai moral pada generasi mereka sendiri
dan generasi yang akan datang melalui tradisi lisan, peringatan-peringatan berupa
bangunan serta alat hidup sehari-hari. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian
sejarah, nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayalan, peribahasa, lagu
dan mantra, serta petuah leluhur.

Tradisi lisan ada sejak manusia memiliki kemampuan berkomunikasi


meskipun belum mengenal tulisan tetapi mereka telah mampu merekam pengalaman
masa lalunya.

Sebagai contoh tradisi lisan:

ü Aktivitas bercocok tanam sampai sekarang masih ada karena diwariskan secara
bertahap dan turun temurun dari nenek moyang kita kepada generasi selanjutnya.

ü Aktivitas membuat gerabah yang mulai dikenal pada masa bercocok tanam yang
semakin berkembang, Bagaimana cara mereka mewariskan keahliannya?
B.Terbentuknya Kepulauan Indonesia

Pulau-pulau cikal bakal dari kepulauan Indonesia mulai terbentuk sekitar 50 juta
tahun lalu (Mya).Pada Periode Quaternary (sekitar 2 juta tahun yang lalu- sekarang)
itulah proses utama pembentukan kepulauan Indonesia. sekitar 1 juta tahun yang lalu,
pada saat Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Borneo masih menyatu
dengan Semanjung Asia, disebut dengan “Paparan Sunda”.

Paparan sunda ini terpisah oleh naiknya permukaan air laut, mulai dari 20,000 tahun
yang lalu sampai sekarang, dengan permukaan air laut yang naik/turun karena
dipengaruhi oleh suhu Bumi dan Glacier, beberapa kali pulalah Paparan sunda ini
terpisah menjadi beberapa pulau, kemudian menyatu kembali, dan terpisah kembali
secara berulang-ulang, sampai kita lihat pada saat sekarang ini.

Dengan demikian asal usul dari pulau-pulau yang terdapat di Indonesia berbeda-beda.
Pulau Papua yang berasal dari craton Australia dahulunya, dan telah terbentuk
beberapa juta tahun lalu, sebelum terbentuknya pulau lain di Indonesia.

Pulau Sumatra, Jawa dan Borneo yang merupakan bagian dari craton China Utara,
yang kemudian akibat pergerakan kulit bumi membentuk daratan Asia, dan pada
Periode Tertiary, pulau Sumatra, Jawa dan Borneo terpisah.

Berdasarkan rekonstruksi ini, kita bisa melihat dari mana asal Fauna dan Flora yang
terdapat di Indonesia. sehingga Fauna yang terdapat pad pulau Sumatra, Jawa dan
Borneo memiliki karakter yang sama dengan yang terdapat di benua Asia, begitu juga
denga pulau Papua yang berasal dari craton Australia.

Sedangkan pulau unik Sulawesi yang terbentuk dari gabungan beberapa daratan Asia,
Australia dan beberapa pulau dari Samudara Pasifik, menyebabkan pulau ini memiliki
fauna yang unik dan khas.

Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas
tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut
berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin
tinggi.

Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian
dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini terus menerus bergejolak
mempertahankan cairan sejak
jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk
lava cair.

Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari ribuan derajat
menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini cairan lava akan
membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) dan
kerak samudera selalu bergerak secara dinamis akibat tekanan magma dari perut
bumi. Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.

Sebagian wilayah di Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga


lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan
Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut dapat berupa
subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan
kolisi (tumbukan lempeng).

Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-


lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng tersebut masih
terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut
menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Namun semuanya telah menyebabkan
wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif
dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.

Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan


Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih
merupakan bagian dari samudera yang sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi.
Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu,
kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempenglempeng
Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.

Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis (orogenesa laramy), sehingga


menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang
terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk
pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa
Tenggara Barat dan Kepulauan Banda.

Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke
utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sebagian
Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut
telah mengakibatkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis
yang sangat aktif dan kuat menyebabkan terbentuknya Kepulauan Indonesia pada
masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan dan Jawa telah tenggelam
menjadi laut dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan laut atau
transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah
mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi laut
dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu gamping.
Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan tektonis yang
sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi
dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin
lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural seperti perbukitan besar
(gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang gugusan
perbukitan itu.
Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yang
dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini berlangsung
di seluruh Kepulauan Indonesia.

Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian
barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga
Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang
sepanjang Sulawesi Selatan dan Utara.

Pembentukan daratan yang semakin luas itu merupakan proses terbentuknya


Kepulauan Indonesia pada kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah
berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Jadi
pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara
dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun
tektonis.

C. Mengenal Manusia Purba


1. Sangiran

Situs Warisan Dunia UNESCO


Tipe Budaya

Kriteria iii, vi
Nomor identifikasi 593

Kawasan UNESCO Asia Pasifik


Tahun pengukuhan 1996 (sesi ke-20)

Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia.[1] Menurut laporan UNESCO


(1995) "Sangiran diakui oleh para ilmuwan untuk menjadi salah satu situs yang
paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs
Zhoukoudian (Cina), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan
Sterkfontein (Afrika Selatan), dan lebih baik dalam penemuan daripada yang lain."[2]

Daerah terdiri dari sekitar 56 km² (7km x 8 km). Lokasi ini terletak di Jawa Tengah,
sekitar 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo.
Secara administratif, kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten: Kabupaten
Sragen (Kecamatan Gemolong, Kecamatan Kalijambe, dan Plupuh) dan Kabupaten
Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo). Fitur penting dari situs ini adalah geologi
daerah. Awalnya kubah terbentuk jutaan tahun yang lalu melalui kenaikan tektonik.
Kubah itu kemudian terkikis yang mengekspos isi dalam kubah yang kaya akan
catatan arkeologi.[3]

Sejarah eksplorasi

 1883: Situs sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C schemulling. Ketika
aktif melakukan eksplorasi pada akhir abad ke-19, Eugene Dubois pernah
melakukan penelitian di sini, namun tidak terlalu intensif karena kemudian ia
memusatkan aktivitas di kawasan Trinil, Ngawi.

Stegodon trigonocephalus - Molar

 1934: Ahli antropologi Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai


penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai
penemuan balung buta ("tulang buta/raksasa") oleh warga dan
diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan
tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa") oleh
Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di
lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran. Dengan dibantu
tokoh setempat, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk
mencari balung buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya,
hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada
sekitar 60 lebih fosil H. erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang
besar, termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs
tersebut dan kawasan sekitarnya. Selain manusia purba, ditemukan pula
berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata),
seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil),
berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern).

 1977: Pemerintah Indonesia ditunjuk seluas 56 km2 di sekitar Sangiran


sebagai Daerah Cagar Budaya.[4]

 1988: Sebuah situs museum dan konservasi laboratorium lokal sederhana


didirikan di Sangiran.

 1996: UNESCO mendaftarkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia di


Daftar Warisan Dunia sebagai Sangiran Early Man Site.[5]

 2011: Museum saat ini dan pusat pengunjung dibuka oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pada tanggal 15 Desember.

 2012: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi museum pada


bulan Februari didampingi 11 menteri kabinet.

Seiring waktu, setelah pekerjaan awal oleh Dubois dan von Koenigswald di Sangiran,
sarjana lain termasuk arkeolog Indonesia melakukan pekerjaan di lokasi tersebut.
Sarjana Indonesia termasuk Teuku Jacob, Etty Indriati, Sartono, Fachroel Aziz, Harry
Widianto, Yahdi Zaim, dan Johan Arif.[6]

Museum Purbakala Sangiran

Penggalian oleh tim von Koenigswald yang berakhir 1941 dan koleksi-koleksinya
sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di
Sangiran, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi
pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich.

Sebuah museum yang sederhana ada di Sangiran selama beberapa dekade sebelum
modern, yang berfungsi dengan baik sebagai museum dan pusat pengunjung dibuka
pada Desember 2011. Gedung baru, sebuah museum modern, berisi tiga ruang utama
dengan menampilkan luas dan diorama mengesankan daerah Sangiran yang diyakini
seperti sekitar 1 juta tahun yang lalu. Beberapa pusat lainnya berada di bawah
konstruksi serta (awal 2013), sehingga pada 2014 diharapkan akan ada empat pusat di
tempat yang berbeda dalam keseluruhan situs Sangiran. Empat pusat direncanakan
adalah:[7]

 Krikilan: situs yang ada dengan pusat pengunjung utama dan museum.
 Ngebung: mengandung sejarah penemuan situs Sangiran.
 Bukuran: untuk memberikan informasi tentang penemuan fosil manusia
prasejarah di Sangiran.
 Dayu: untuk menyajikan informasi tentang penelitian terbaru.

Museum saat ini dan pusat pengunjung memiliki tiga ruang utama. Ruang pertama
berisi sejumlah diorama yang memberikan informasi tentang manusia purba dan
hewan yang ada di situs Sangiran sekitar 1 juta tahun yang lalu. Ruang kedua, yang
lebih luas, menyajikan banyak bahan rinci tentang berbagai fosil yang ditemukan di
Sangiran dan tentang sejarah eksplorasi di situs. Ruang ketiga, dalam presentasi yang
mengesankan terpisah, berisi diorama besar yang memberikan pandangan seluruh
wilayah keseluruhan Sangiran, dengan gunung berapi seperti Gunung Lawu di latar
belakang dan manusia dan hewan di latar depan, seperti yang dibayangkan sekitar 1
juta tahun yang lalu. Beberapa presentasi di aula ketiga ini menarik pada karya
pematung paleontologis internasional Elisabeth Daynes.

Sosial dan isu-isu lain

Pengembangan Situs Sangiran secara keseluruhan bukan tanpa kontroversi.


Penggalian yang tidak terkontrol dan perdagangan fosil ilegal telah terjadi di berbagai
kesempatan sejak situs ini pertama kali ditemukan. Dalam beberapa periode,
penduduk desa warga di daerah yang sering menggali dan menjual kepada pembeli
fosil lokal. Setelah diberlakukannya UU Nasional Nomor 5 Tahun 1992 tentang
benda cagar budaya, ada kontrol yang kuat pada kegiatan ini.[8] Namun, kegiatan
ilegal kadang-kadang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.[9] Pada tahun 2010,
misalnya, warga negara Amerika yang mengaku sebagai seorang ilmuwan ditangkap
di dekat Sangiran saat bepergian dengan truk yang berisi 43 jenis fosil dalam kotak
dan karung dengan nilai pasar sekitar $ 2 juta.[10]

Baru-baru ini, ada diskusi di media Indonesia tentang cara pengembangan situs
Sangiran yang telah gagal untuk membawa manfaat yang nyata yang signifikan
terhadap masyarakat pedesaan di daerah setempat.[11]
2. TRINIL, NGAWI, JAWA TIMUR
Asal-usul manusia memang sudah lama dipertanyakan, mungkin sejak
manusia itu sendiri ada. Namun, bagi arkeologi, pertanyaan tentang asal usul manusia
sebenarnya baru menjadi fokus kajian setelah Charles Darwin menerbitkan bukunya
The Descent of Man (1871), menyusul terbitan bukunya yang terkenal The Origin of
Species (1858). Di bukunya itulah Darwin menyebut adanya “the missing link”, mata
rantai yang hilang dari proses evolusi primata menuju manusia sejati. Sejak itu, para
ahli paleoantropologi dan arkeologi seakan berlomba untuk mendapatkan bukti-bukti
“the missing link”.
Dorongan itu pula yang membawa Eugene Dubois untuk meninggalkan
kehidupan yang mapan di Belanda untuk berburu fosil di Indonesia. Tahun 1891,
Dubois mengaku telah menemukan fosil “the missing link” dalam penggalian di
tepian Bengawan Solo, di desa kecil Trinil, tidak jauh dari Ngawi, Jawa Timur
(Shipman, 2001).
Museum Trinil atau Kepurbakalaan Trinil terletak di dukuh Pilang, desa
Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi
ke arah Barat daya, pada KM 10 jalan Raya Ngawi -Solo ada pertigaan belok ke arah
Utara. Dan Sepanjang 3 km perjalanan baru sampailah pada Museum Trinil. Dan
Letaknya sendiri di Pinggiran kali Bengawan Solo, dan layaknya situs-situs
kepurbakalaan yang ada di tanah air memang cenderung dipinggiran sungai. Seperti
halnya situs Sangiran atau situs sambung macan Sragen juga dibantaran sungai
Bengawan solo.
Disebelah Barat daya di halaman Museum terdapat bangunan berupa
Monumen yang didirikan oleh Eugene Dubois yang pertama kali menemukan situs
ini. Di monumen itu dituliskan angka tahun pertama kali penemuan fosil manusia
purba yang diberi Nama Pithecanthropus Erectus. Disamping manusia purba
didalam museum sendiri juga banyak ditemukan berbagai macam fosil binatang
purba, yang paling terkenal adalang ditemukan gading Gajah Purba yang sangat besar
sekali jika dibandingkan dengan ukuran gading gajah biasa.
Dan manusia purba ini diperkirakan berada pada jaman pleistosin tengah atau
1 juta tahun yang lalu. Dari berbagai temuan adalah: Golongan primate
1. Pithecanthropus Erectus Dubois
2. Pithecanthropus Soloensis
3. Pongo Pygmaeus Hoppins
4. Symphalangus Syndoctylus Raffles
5. Hyaobates Ofmeloch Andebert
6. Nacaca Fascicalois

Dan masih banyak golongan flora ataupun fauna yang lainnya.


Museum Trinil merupakan warisan kepurbakalaan dunia yang semestinya harus
dirawat dan dijaga demi perkembangan pengetahuan.
Demikian pula Bengawan-dalam bahasa Jawa berarti sungai besar-Solo yang
membentuk aliran air hingga sejauh 600 kilometer. Di sekitar aliran sungai ini, yakni
di Desa Trinil, sekitar 11 kilometer dari Kota Ngawi, Jawa Timur (Jatim), seorang
berkebangsaan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil tulang "manusia monyet"
(Pithecanthropus erectus) pada tahun 1891. Penemuan itu menjadi bukti betapa
sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut menjadi tumpuan hidup nenek moyang ras
manusia sejak ratusan ribu tahun silam.
Namun, apakah temuan itu telah menjawab tentang asal-usul manusia sejati?
Apakah misteri “the missing link” telah terpecahkan? Ternyata tidak!!! Malahan,
fosil-fosil yang ditemukan Dubois seakan menjadi pemicu debat baru di antara para
ahli yang akhirnya menyadarkan mereka untuk tidak sekedar mencari dan
menemukan “the missing link”, tetapi juga memikirkan kembali apa yang dimaksud
dengan “the missing link”. Perdebatan dan fokus kajian pun lalu bergeser. Kalau
semula perdebatan hanya berkutat di sekitar : apakah fosil dari Trinil adalah benar-
benar “the missing link”, pada tahap berikutnya para ahli mulai bertanya-tanya : apa
atau siapakah “the missing link” itu ? Apakah ia adalah satu jenis makhluk yang
menjadi perantara dalam proses evolusi dari kera menuju manusia, sehingga E.
Haeckel menyebutnya Pithecanthropus (pithecos = kera, dan anthropos = manusia) ?
Atau, “the missing link” adalah sosok-sosok makhluk yang proses evolusinya ada di
antara kera dan manusia ? Rupanya, hasil penelitian arkeologi dan paleoantropologi
cenderung mendukung adanya beberapa makhluk perantara dalam proses evolusi dari
makhluk mirip kera (pithecoid) menjadi manusia. Namun, ketika sejumlah fosil “the
missing links” (jamak) sudah ditemukan, toh perdebatan tidak berhenti sampai di situ.
Asal-usul manusia sejati (Homo sapiens) belum juga terpecahkan.
Masalahnya, para ahli tetap saja berdebat “makhluk fosil” mana yang punah dan
mana yang terus menjadi manusia. Karena itu, terdapat sejumlah pohon kekerabatan
manusia yang berbeda-beda (lihat skema di bawah) dan teori asal-usul Homo sapiens
pun beragam. Dua di antara teori asal-usul Homo sapiens yang kini masih marak
diperdebatkan adalah Teori Kesinambungan Setempat (Multi Regional Continuity)
dan Teori Penggusuran (Replacement Theory). Teori yang disebut pertama
beranggapan homo sapiens muncul di berbagai tempat di dunia dari hasil evolusi
homo erectus di kawasan masing-masing, sedangkan teori yang kedua meyakini
homo sapiens muncul hanya di Afrika dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru
dunia untuk menggusur homo erectus yang kemudian punah (Gamble, 1993).
Oleh karena itu, dicarilah bentuk kegiatan lain yang bisa mengingatkan warga
Solo akan peranan Bengawan Solo sebagai induk peradaban. Upaya ini bukan
sekadar menghadirkan romantisme. Lebih jauh lagi, upaya itu adalah perjuangan
untuk menyadarkan masyarakat modern agar menghargai sungai, menghargai induk
peradaban besar ras mereka.
Sejarah geologi wilayah Pegunungan Seribu, menurut ahli geologi Dr. Tony
Djubiantono, terbentuk pada kala Miosen atau Pleistosen Tengah (jutaan tahun yll),
dimana saat itu terjadi perubahan yang spektakuler ketika dasar laut di daerah tsb
terangkat ke atas. Pada proses terangkatnya dasar laut yang semula berupa teluk
besar, berlangsung pembentukan koloni berupa bukit-bukit yang kemudian menjadi
bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah tsb hingga saat ini secara jelas
memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bahkan di
sejumlah tempat dengan mudah ditemukan fosil-fosil binatang laut (yang
menunjukkan bahwa daerah tsb dahulunya merupakan dasar lautan).
Konon Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Panjangnya
mencapai sekitar 600 km.

Asal-usul manusia memang sudah lama dipertanyakan, mungkin sejak


manusia itu sendiri ada. Namun, bagi arkeologi, pertanyaan tentang asal usul manusia
sebenarnya baru menjadi fokus kajian setelah Charles Darwin menerbitkan bukunya
The Descent of Man (1871), menyusul terbitan bukunya yang terkenal The Origin of
Species (1858). Di bukunya itulah Darwin menyebut adanya “the missing link”, mata
rantai yang hilang dari proses evolusi primata menuju manusia sejati. Sejak itu, para
ahli paleoantropologi dan arkeologi seakan berlomba untuk mendapatkan bukti-bukti
“the missing link”.
Dorongan itu pula yang membawa Eugene Dubois untuk meninggalkan
kehidupan yang mapan di Belanda untuk berburu fosil di Indonesia. Tahun 1891,
Dubois mengaku telah menemukan fosil “the missing link” dalam penggalian di
tepian Bengawan Solo, di desa kecil Trinil, tidak jauh dari Ngawi, Jawa Timur
(Shipman, 2001).
Museum Trinil atau Kepurbakalaan Trinil terletak di dukuh Pilang, desa
Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi
ke arah Barat daya, pada KM 10 jalan Raya Ngawi -Solo ada pertigaan belok ke arah
Utara. Dan Sepanjang 3 km perjalanan baru sampailah pada Museum Trinil. Dan
Letaknya sendiri di Pinggiran kali Bengawan Solo, dan layaknya situs-situs
kepurbakalaan yang ada di tanah air memang cenderung dipinggiran sungai. Seperti
halnya situs Sangiran atau situs sambung macan Sragen juga dibantaran sungai
Bengawan solo.
Disebelah Barat daya di halaman Museum terdapat bangunan berupa
Monumen yang didirikan oleh Eugene Dubois yang pertama kali menemukan situs
ini. Di monumen itu dituliskan angka tahun pertama kali penemuan fosil manusia
purba yang diberi Nama Pithecanthropus Erectus. Disamping manusia purba
didalam museum sendiri juga banyak ditemukan berbagai macam fosil binatang
purba, yang paling terkenal adalang ditemukan gading Gajah Purba yang sangat besar
sekali jika dibandingkan dengan ukuran gading gajah biasa.
Dan manusia purba ini diperkirakan berada pada jaman pleistosin tengah atau
1 juta tahun yang lalu. Dari berbagai temuan adalah: Golongan primate
1. Pithecanthropus Erectus Dubois
2. Pithecanthropus Soloensis
3. Pongo Pygmaeus Hoppins
4. Symphalangus Syndoctylus Raffles
5. Hyaobates Ofmeloch Andebert
6. Nacaca Fascicalois

Dan masih banyak golongan flora ataupun fauna yang lainnya.


Museum Trinil merupakan warisan kepurbakalaan dunia yang semestinya harus
dirawat dan dijaga demi perkembangan pengetahuan.
Demikian pula Bengawan-dalam bahasa Jawa berarti sungai besar-Solo yang
membentuk aliran air hingga sejauh 600 kilometer. Di sekitar aliran sungai ini, yakni
di Desa Trinil, sekitar 11 kilometer dari Kota Ngawi, Jawa Timur (Jatim), seorang
berkebangsaan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil tulang "manusia monyet"
(Pithecanthropus erectus) pada tahun 1891. Penemuan itu menjadi bukti betapa
sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut menjadi tumpuan hidup nenek moyang ras
manusia sejak ratusan ribu tahun silam.
Namun, apakah temuan itu telah menjawab tentang asal-usul manusia sejati?
Apakah misteri “the missing link” telah terpecahkan? Ternyata tidak!!! Malahan,
fosil-fosil yang ditemukan Dubois seakan menjadi pemicu debat baru di antara para
ahli yang akhirnya menyadarkan mereka untuk tidak sekedar mencari dan
menemukan “the missing link”, tetapi juga memikirkan kembali apa yang dimaksud
dengan “the missing link”. Perdebatan dan fokus kajian pun lalu bergeser. Kalau
semula perdebatan hanya berkutat di sekitar : apakah fosil dari Trinil adalah benar-
benar “the missing link”, pada tahap berikutnya para ahli mulai bertanya-tanya : apa
atau siapakah “the missing link” itu ? Apakah ia adalah satu jenis makhluk yang
menjadi perantara dalam proses evolusi dari kera menuju manusia, sehingga E.
Haeckel menyebutnya Pithecanthropus (pithecos = kera, dan anthropos = manusia) ?
Atau, “the missing link” adalah sosok-sosok makhluk yang proses evolusinya ada di
antara kera dan manusia ? Rupanya, hasil penelitian arkeologi dan paleoantropologi
cenderung mendukung adanya beberapa makhluk perantara dalam proses evolusi dari
makhluk mirip kera (pithecoid) menjadi manusia. Namun, ketika sejumlah fosil “the
missing links” (jamak) sudah ditemukan, toh perdebatan tidak berhenti sampai di situ.
Asal-usul manusia sejati (Homo sapiens) belum juga terpecahkan.
Masalahnya, para ahli tetap saja berdebat “makhluk fosil” mana yang punah dan
mana yang terus menjadi manusia. Karena itu, terdapat sejumlah pohon kekerabatan
manusia yang berbeda-beda (lihat skema di bawah) dan teori asal-usul Homo sapiens
pun beragam. Dua di antara teori asal-usul Homo sapiens yang kini masih marak
diperdebatkan adalah Teori Kesinambungan Setempat (Multi Regional Continuity)
dan Teori Penggusuran (Replacement Theory). Teori yang disebut pertama
beranggapan homo sapiens muncul di berbagai tempat di dunia dari hasil evolusi
homo erectus di kawasan masing-masing, sedangkan teori yang kedua meyakini
homo sapiens muncul hanya di Afrika dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru
dunia untuk menggusur homo erectus yang kemudian punah (Gamble, 1993).
Oleh karena itu, dicarilah bentuk kegiatan lain yang bisa mengingatkan warga
Solo akan peranan Bengawan Solo sebagai induk peradaban. Upaya ini bukan
sekadar menghadirkan romantisme. Lebih jauh lagi, upaya itu adalah perjuangan
untuk menyadarkan masyarakat modern agar menghargai sungai, menghargai induk
peradaban besar ras mereka.
Sejarah geologi wilayah Pegunungan Seribu, menurut ahli geologi Dr. Tony
Djubiantono, terbentuk pada kala Miosen atau Pleistosen Tengah (jutaan tahun yll),
dimana saat itu terjadi perubahan yang spektakuler ketika dasar laut di daerah tsb
terangkat ke atas. Pada proses terangkatnya dasar laut yang semula berupa teluk
besar, berlangsung pembentukan koloni berupa bukit-bukit yang kemudian menjadi
bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah tsb hingga saat ini secara jelas
memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bahkan di
sejumlah tempat dengan mudah ditemukan fosil-fosil binatang laut (yang
menunjukkan bahwa daerah tsb dahulunya merupakan dasar lautan).
Konon Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Panjangnya
mencapai sekitar 600 km.

3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus


Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori
evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan
perdebatan itu seperti berikut. Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang
dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan
perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi
Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan
moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah
benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha
yang berciri modern itu berasal dari satu individu Sementara orang menduga bahwa
tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik
Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusiamodern Lima puluh tahun kemudian
terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan
ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang
tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.

Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois


mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada
tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British Zoology Society di
London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang tidak ingin melihat
temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu,
hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-
temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah
lahir di Indonesia.

Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia.
Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang
ontogenesa dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori
foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-
link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa
peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus.
Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat
terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs
Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang
diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha
tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.

Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan


memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang
berbeda dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses
evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah
perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini
maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk
mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat
pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan
manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai
hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Manusia yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia
purba. Manusia purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu
zaman ketika manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya manusia purba karena
adanya fosil dan artefak. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari zamannya yaitu
zaman palaeolitikum, zaman mezolitikum, zaman neolitikum, zaman megalitikum,
zaman logam dibagi menjadi 2 zaman yaitu zaman perunggu dan zaman besi. Ada
beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah
Indonesia Meganthropus Paleojavanicus yaitumanusia purba bertubuh besar
tertua di Jawa danPithecanthrophus adalah manusia kera yang berjalan tegak.
Corak kehidupan prasejarah indonesia dilihat dari segi hasil kebudayaan
manusia prasejarah menghasilkan dua bentuk budaya yaitu : bentuk budaya yang
bersifat spiritual dan bersifat material; segi kepercayaan ada dinamisme
dan animisme; pola kehidupan manusia prasejarah adalah bersifat nomaden (hidup
berpindah-pindah dan bersifat permanen (menetap); sistem bercocok tanam/pertanian;
pelayaran; bahasa; food gathering dan menjadi food producing.

3.2 Saran

3.2.1 Diharapkan agar masyarakat dapat memahami maksud dari makalah ini dan
bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang kehidupan manusia purba pada
zaman dahulu.

3.2.2 Diharapkan bagi penulis lain untuk mencari referensi yang lebih relevan
sebagai bahan dalam pembuatan makalah guna menciptakan karya tulis yang lebih
bermanfaat mengenai kehidupan manusia homo sapiens pada zaman dahulu.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.plengdut.com/2013/03/Manusia-Purba-Indonesia-yang-Hidup-pada-
Masa-Praaksara.html

http://indonesiaindonesia.com/f/89905-manusia-purba-indonesia/

http://www.info-asik.com/2012/10/sejarah-manusia-purba.html

http://marhadinata.blogspot.com/2013/01/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://smpn1sdk91bubun2013.blogspot.com/2013/03/sejarah-manusia-purba.html

http://yessicahistory.blogspot.com/2013/04/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://zulfahmigo.blogspot.com/2013/01/manusia-purba-pithecanthropus-
erectus.html

http://jagoips.wordpress.com/2012/12/28/kehidupan-manusia-pra-aksara/

http://cahayawhyra.blogspot.com/2013/06/makalah-manusia-purba-dan-homo-
sapiens.html

http://bimonugraha18.blogspot.com/2013/12/contoh-makalah-asal-usul-dan-
persevaran.html

http://brainly.co.id/tugas/496331

http://sejarahkelasx.blogspot.com/2014/06/teknologi-manusia-indonesia-pada-
zaman_7198.html

Anda mungkin juga menyukai