LANDASAN TEORI
Phlebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang terjadi karena
komplikasi pemberian terapi intra vena ( IV) yang di tandai dengan bengkak, kemerahan
sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah insersi kanula dan penurunan
kecepetan tetesan infus (Brooker et all, 2006).
Infusion Nursing Society (INS 2010), phlebitis merupakan peradangan pada tunika
intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi
infus.
Phlebitis adalah Pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai, dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2003).
Kesimpulan : Phlebitis adalah Peradangan pada tunika intima vena yang terjadi karena
komplikasi pemberian dan pemasangan terapi intravena sehingga masuknya
mikroorganismes saat penusukan.
1.2. Etiologi
Menurut Francombe (1998) dalam Brooker dan Gould (2003) mengatakan, flebitis
(peradangan vena), merupakan penyulit tersering yang berkaitan dengan terapi intravaskular,
biasanya terjadi akibat iritasi kimiawi atau mekanis. Faktor predisposisi utama adalah infus
larutan hipertonik dan adanya benda berbentuk partikel yang berasal dari obat yang belum
larut sempurna, potongan karet atau kaca dari vial, dan plastik dari kanula. Terbentuk eritema
di bagian proksimal dari tempat fungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh
bakteri, tetapi septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang mengalami flebitis.
1.3. Patofisiologi
Di dalam proses pembentukan plebitis terjadi peningkatan permeabilitas kapiler,
dimana protein dan cairan masuk ke dalam intertisial. Selanjutnya jaringan yang
mengalami trauma teriritasi secara mekanik, kimia, dan bakteri. Sistem imun
menyebabkan leukosit berkumpul pada bagian yang terinflamasi. Saat leukosit dilepaskan,
pirogen juga merangsang sum-sum untuk melepaskan leukosit dalam jumlah besar.
Kemerahan dan ketegangan meningkat pada tahap plebitis.
Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara lain:
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika
intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan
dapat terjadi akibat dari:
a. Jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. Ada
kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah
terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang
mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi
parenteral lebih bersifat flebitogenik
b. Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama
kejadian phlebitis.
c. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai
resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau
poliuretan (INS,2006).
2. Mechanical Phlebitis
a. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis,
oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak
dan meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar
pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease
Control and Prevention, 2002).
b. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan 9
hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi
pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil.
c. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada
dinding vena perifer .
3. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan tehnik aseptic. Area
yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan
mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor harus dibersihkan dahulu dengan sabun
dan air sebelum diberikan larutan antiseptic. Lama pemasangan katheter infus sering
dikaitkan dengan insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005) melaporkan hasil, di mana
mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien
menyebabkan bebas flebitis.
Faktor yang berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :
Tabel VIP score ( Visual Infusion Phlebitis score ) oleh Andrew Jackson.
1.6. Komplikasi
a. Emboli Paru
b. DVT(Deep Venous Thrombosis)
b. Hasil pemeriksaan kecepatan aliran Doppler terdapat aliran tambahan yang kurang
tekanan pada distal dan proksimal
c. Hasil pemeriksaan Pletismografi, ukuran kenaikan volume didalam paha atau tubuh
bagian inferior berimbas pada gangguan aliran keluar vena oleh inflamasi dibagian
paha atau inferior (kapital maksimum). Ukuran dari kecepatan aliran vena dikurangi
oleh volume pada paha atau tubuh bagian inferior. Abnormalnya terdapat pada aliran
vena yang lambat.
d. Hasil Test venografi untuk melihat kecepatan dipembuluh darah, penentuan lokasi x-
ray dan luas gumpalan pembengkakan menggunakan perbandingan media untuk
digaris penuh bagian yang rusak. Perkembangan dari sirkulasi didefinisikan sejajar.
1.8.Penatalaksanaan
Non farmakologi
a. Berikan kompres hangat untuk menghilangkan nyeri.
Menurut Price (2005) dalam Fauziyah (2013) kompres hangat adalah memberikan
rasa hangat kepada pasien untuk mengurangi nyeri dengan menggunakan cairan
yang berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah
lokal. Menurut Triyanto (2007:129) pasien yang mengalami phlebitis dinilai skala
phlebitis dengan metode baxter scale. Selanjutnya diberikan tindakan kompres
hangat (350derajat C) selama 15 menit.
b. Pasien tirah dengan peninggian ekstremitas yang terlibat (untuk memperkecil
tekanan edema) yaitu posisi semifowler.
c. Pemeriksaan Doppler : Dipakai untuk menentukan kecepatan aliran darah dan
pola aliran dalam sistem vena dalam dan permukaan. Teknik-teknik Doppler
memungkinkan penilaian kualitatif terhadap kemampuan katup vena dalam,
permukaan dan penghubung. Teknik ini tidak mahal tetapi memerlukan
kemampuan teknik tinggkat tinggi dan pengalaman untuk menjamin keakuratan.
Farmakologi
a. Berikan 325 mg aspirin 4x sehari atau satu obat anti inflamasi non steroid untuk
mengurangi radang
b. Terapi antikoagulan jangka singkat bisa digunakan.
c. Heparin & Hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL,
mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko plebitis yang
berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine,
dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu,
seperti hidrokortison.
2. Intervensi Keperawatan
Darah dimaksudkan untuk mengalir, jika ia menjadi mandek ada potensi untuknya untuk
membeku/menggumpal. Darah dalam vena-vena secara terus menerus membentuk bekuan-
bekuan yang mikroskopik yang secara rutin diuraikan oleh tubuh
2.3. Patofisiologi
Trombosis adalah pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh darah, dalam hal
DVT bekuan darah terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah dalam, bisa terjadi terbatas
pada sistem vena kecil saja namun juga bisa melibatkan pembuluh vena besar seperti Vena
Iliaka atau Vena Kava. Seperti dibahas sebelumnya, mekanisme yang mengawali terjadinya
trombosis berdasar “trias Vircow” ada 3 faktor pendukung yakni:
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya
ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis
vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat
menimbulkan emboli paru yang tidak jarang menimbulkan
kematian.Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat
menimbulkan Homan’s sign yaitu nyeri pada betis atau fosa
poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif
namun tidak spesifik.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala
apabila menimbulkan :
a. Bendungan aliran vena.
b. Peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
c. Emboli pada sirkulasi pulmoner.
2.5.Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. D-dimer
Tes darah yang mungkin digunakan sebagai tes
penyaringan ( screening ) untuk menentukan
apakah ada pembekuan darah. D-dimer adalah
kimia yang dihasilkan ketika bekuan darah dalam
tubuh secara berangsur-angsur larut atau terurai. Tes
digunakan sebagai indikator positif dan negatif. Jika
hasil negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes
D-dimer positif, itu tidak perlu berarti bahwa deep
vein thrombosis hadir karena banyak situasi-
situasi akan mempunyai hasil positif yang
diharapkan ( contohnya : dari operasi, jatuh, atau
kehamilan ). Untuk sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan secara selektif. Pengujian
darah lainnya mungkin dipertimbangkan berdasarkan pada penyebab yang potensial untuk
deep vein thrombosis.
b. Pencitraan
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan
tetapi teknik pemeriksaannya relatif sulit. Mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan
terbentuknya trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip
pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan
kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca.
2. Flastimografi impendas
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai.
Pemeriksaan ini lebih sensitif pada trombosis vena femorlis dan iliaca dibandingkan vena di
betis.
3. Ultra sonografi ( USG )
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis
vena dapat dideteksi dengan USG, terutama USG doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil
sensiviti 60.6 % dan spesifiti 93,3 %. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus
trombosis vena yang berulang. Yang sukar dideteksi dengan cara objektif lain.
Pemeriksaan USG terbagi menjadi 3 teknik untuk DVT :
Kompresi ultrasound : dengan memberikan tekanan pada lumen pembuluh darah
jika tidak ada sisa lumen saat dilakukan tekanan ini mengidikasikan bahwa tidak
adanya trombosis pada vena.
Colour flow duplex : menggunakan teknik duplex ultrasonografi tetapi dengan
tambahan warna pada doppler sehingga dengan muda mengidentifikasikan
pembuluh darah.
Dupplex scanning : teknik B-mode ultrasonografi ini mampu melihat aliran,
gerakan katup, adanya bekuan darah / thrombuse, membedakan bekuan lama atau
baru, perubahab dinding pada sistem vena. Duplex scanning adalah kombinasi dari
real-time dan Doppler ultrasonografi, memiliki angka spesifitas 86-95%,
sensitifitas 88-98% dalam mendeteksi trombisis vena dalam. Walupun dengan
demikian harus diingat hasil pemeriksaan Dupplex scanning tergantung operatornya
( operator dependent, hasil pemeriksaan seorang operator ahli dapat berbeda dengan
hasil operator lainnya ).
4. CT-scan dan MRI
Dengan CT-scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena dalam dan jaringan lunak sekitar
tungkai yang membengkak. Sedangkan MRI sangat sensitif dan dapat mendiagnostik
kecurigaan adanya trombosis pada vena iliaca atau vena cava inferior.
2.6. Diagnosa
Untuk mendiagnosa penderita DVT dengan benar diperlukan pemeriksaan dan evaluasi
pada penderita secara hati-hati dan seksama, meliputi keluhan dan gejala klinis serta adanya
faktor resiko terjadinya trombosis vena yang didapat pada penderita sebagaimana dijelaskan
pada gambaran klinis di depan. Namun karena keluhan dan gejala klinis penyakit vena tidak
spesifik dan sensitif untuk menegakkan diagnosis sebagai DVT maka perlu ditambah dengan
metode-metode evaluasi noninvasif maupun invasif. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk
mendeteksi dan mengevaluasi obstruksi atau refluks vena melalui katup-katup yang tidak
berfungsi baik.
Scarvelis dan Wells tahun 2006 mengemukakan nilai probabilitas untuk penderita DVT
yang dikenal dengan Wells score, guna menunjang arah diagnosa. Adapun skor yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
No Jenis Kriteria Nilai
1. Menderita kanker aktif mendapat terapi 6 bl terakhir atau perawatan paliatif 1
Edema tungkai bawah > 3cm (diukur 10 cm bawah tuberositas tibial,
2. bandingkan dengan sisi sehat) 1
3. Didapat kolateral vena permukaan (non varises) 1
4. Pitting edema 1
5. Bengkak seluruh tungkai bawah 1
6. Nyeri disepanjang distribusi vena dalam 1
7. Kelemahan, kelumpuhan atau penggunaan casting pada tungkai bawah 1
Bedridden > 3hr, atau 4 minggu pasca operasi besar dengan anestesi general
8. atau regional 1
9. Penegakan diagnosa alternative 2
Interpretasi skor dari Wells adalah jika didapat minimal 2 point maka mengarah DVT dan
disarankan dengan pemeriksaan penunjang radiologis. Apabila skornya kurang dari 2 belum
tentu DVT, dipertimbangkan dengan pemeriksaan D-dimer untuk meniadakan diagnosa
DVT.
Selanjutnya ada pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa trombosis vena dalam antara lain:
a. Tes dari Homan (Homan’s test) yakni dengan melakukan dorsofleksi pada kaki
maka akan didapatkan peningkatan rasa nyeri pada betis belakang. Nilai diagnostik
pemeriksaan ini rendah dan harus hati-hati karena bisa menjadi pemicu terlepasnya
trombus.
b. Tanda dari Pratt (Pratt’s sign), dilakukan squeezing pada otot betis maka akan
timbul peningkatan rasa nyeri.
Setelah penderita dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang mengarah terjadinya
DVT selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya:
a. Pemeriksaan D-Dimer
b. Doppler ultrasound
c. Duplex ultrasonic scanning
d. Pletismografi vena
Teknik ini mendeteksi perubahan dalam volume darah vena di tungkai. Teknik pletismograf
yang umum mencakup:
1. Impedance plethysmography yakni arus listrik lemah ditransmisikan melalui
ekstremitas dan tahanan atau resistensi dari arus diukur. Karena darah adalah
penghantar listrik yang baik tahanan akan turun bila volume darah di ekstremitas
meningkat sewaktu pengisian vena. Tahanan atau impedansi diukur melalui
elektroda-elektroda pada suatu sabuk yang dipasang keliling pada anggota tubuh.
2. Strain gauge plethysmography (SGP) yakni mendeteksi perubahan dalam
ketegangan mekanik pada elektroda yang menunjukkan adanya perubahan volume
darah.
3. Air plethysmography adalah dengan mendeteksi perubahan volume melalui
perubahan tekanan di dalam suatu manset berisi udara yang melingkari anggota
gerak, saat volume vena bertambah maka tekanan di dalam manset akan bertambah
pula.
4. Photoplethysmography (PPG) adalah teknik baru yang bergantung pada deteksi
pantulan cahaya dari sinar infra merah yang ditransmisikan ke sepanjang
ekstremitas. Proporsi cahaya yang akan terpantul kembali ke transduser tergantung
pada volume darah vena dalam jaringan pembuluh darah kulit.
e. Venografi
Merupakan teknik yang dianggap paling dipercaya untuk evaluasi dan perluasan penyakit
vena.Tetapi ada kelemahan mengingat sebagai tes invasif dibanding noninvasif yakni lebih
mahal, tidak nyaman bagi penderita, resiko lebih besar.
2.7. Tanda Dan Gejala Penyakit Deep Vein Thrombosis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika trombosis
menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran darah, otot betis akan membengkak
dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba hangat. Pergelangan kaki,
kaki atau paha juga bisa membengkak, tergantung kepada vena mana yang terkena.
Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan parut, yang bisa
merusak katup dalam vena. Sebagai akibatnya terjadi pengumpulan cairan (edema) yang
menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki. Jika penyumbatannya tinggi, edema
bisa menjalar ke tungkai dan bahkan sampai ke paha. Pagi sampai sore hari edema akan
memburuk karena efek dari gaya gravitasi ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam
edema akan menghilang karena jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka pengosongan
vena akan berlangsung dengan baik.
Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat pada kulit, biasanya diatas
pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang
ke dalam kulit.Kulit yang berubah warnanya ini sangat peka, cedera ringan pun (misalnya
garukan atau benturan), bisa merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus,
borok).Trombosis vena dalam merupakan keadaan darurat yang harus secepat mungkin
didiagnosis dan diobati, karena sering menyebabkan terlepasnya trombus ke paru dan
jantung. Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan berupa :
a. Pembengkakan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada
ekstremitas bawah. Rasa nyeri ini bertambah bila dipakai berjalan dan tidak berkurang
dengan istirahat.
b. Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai dikeataskan atau ditekuk.
c. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
d. Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu
2.8. Penatalaksanaan Penyakit Deep Vein Thrombosis
1. Terapi Nonfarmakologi
a. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah
vena
b. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular .
c. Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi,
menggengam, dan lain-lain. Tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di
vena-vena yang masih terbuka (patent)
d. Pemakaian kaus kaki elastis (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan
aliran darah vena.
2. Terapi Farmakologi
Pada thrombosis vena superficial hanya diperlukan istirahat, peninggian letak tungkai
dan pemanasan local. Pengobatan yang lebih serius ditujukan pada thrombosis vena dalam.
Pada thrombosis vena dalam diperlukan terapi dengan antikoagulan sistemik seperti heparin
dan warfarin.
a. Terapi heparin
Terapi heparin harus diberikan dengan loading dose dati 10.000 unit diikuti dengan
infuse continuous yang awalnya berkecepatan 1.000 unit/jam. Dosis ini harus dapat
mempertahankan Partial Thromboplastin Time (PTT) antara 1,5 dan 2 kontrol waktu.
Manfaat setelah pemberian heparin ini adalah menjaga tingkat kesamaan dari antikoagulan
dan memperkecil manisfestasi perdarahan. Pada pasien yang tidak dapat menerima terapi
warfarin, heparin dapat diberikan 10.000 unit subkutan selam >12 jam untuk
mempertahankan PTT 1,5 kontrol waktu, 6 jam setelah pemberian heparin.
Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah dan meningkatkan proses
fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan antikoagulan oral tunggal sebagai
terapi awal untuk DVT, karena antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli
disebabkan inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan
eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah activated PTT 1,5 sampai 2,5 kali lipat untuk
mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai dengan dosis heparin ≥30.000
U/hari atau >1250 U/jam.
Metode yang sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti dengan infus
heparin kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga efektif. Pada
tahun 1991 Cruikshank dkk mempublikasikan normogram standar untuk dosis heparin.
Menurut protokol ini, pasien diberikan bolus inisial 5000 U UFH diikuti dengan 1280 U/jam
UFH. Dosis heparin dititrasi menurut nilai aPTT selanjutnya. Pada penelitian Cruikshank
tersebut nilai aPTT sasaran tercapai dalam 24 sampai 48 jam.
Untuk sebagian besar pasien dengan DVT, heparin harus diberikan ≥5 hari dan tidak
dihentikan sampai INR (internationalized normalized ratio) pada kisaran terapeutik ≥2 hari.
Low molecular weight heparin (LMWH) juga efektif terhadap DVT, bila dibandingkan
dengan UFH, maka LMWH lebih mempunyai keuntungan yaitu pemberian subkutan satu
atau dua kali sehari dengan dosis yang sama dan tidak memerlukan pemantauan
laboratorium. Keuntungan yang lain yaitu kemungkinan risiko perdarahan yang lebih sedikit
dan dapat diberikan dengan sistem rawat jalan di rumah tanpa memerlukan pemberian
intravena kontinu. Komplikasi termasuk perdarahan, osteopenia, reaksi hipersensitivitas,
trombositopenia, dan thrombosis. Reaksi heparin dinetralisir/dihambat oleh pemberian
protamin sulfat IV; 1 mg protamin sulfat akan menetralisir sekitar 100 unit heparin.
b. Terapi warfarin
Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan untuk tatalaksana
jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat produksi
faktor II, VII, IX dan X, protein C dan protein S. Efek warfarin dimonitor dengan
pemeriksaan protrombin time (PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized
ratio (INR). Terapi warfarin harus dimulai segera setelah PTT berada pada level terapeutik,
baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran INR yang ingin dicapai adalah
2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah 5 mg dan biasanya mencapai INR sasaran pada
hari ke-4 terapi. Dosis warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR.
Dokumentasi :
Catat ringkasan pulang
Penyuluhan Klien
Status atau pencapaian hasil
3.Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah keperawatan telah
teratasi,tidak teratasi,atau teratasi sebagian dengan mengacu pada kriteria evaluasi.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Phlebitis adalah suatu peradangan pada pembuluh darah vena yang disebabkan
karena iritasi kimia,mekanik dan bakteri.
Phlebitis disertai dengan gejala nyeri yang terlokalisasi,pembengkakkan,kulit kemerahan
timbul dengan cepat diatas vena,pada saat diraba terasa hangat,panas suhu tubuh cukup
tinggi.
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama
pada tungkai bawah.
Penyebab dari deep vein thrombosis adalah :
Imobilitas (Keadaan Tak Bergerak)
Hypercoagulability (Pembekuan darah lebih cepat daripada biasanya)
Trauma pada vena
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan berupa :
a. Pembengkakan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada
ekstremitas bawah. Rasa nyeri ini bertambah bila dipakai berjalan dan tidak berkurang
dengan istirahat.
b. Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai dikeataskan atau ditekuk.
c. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
d. Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu
Faktor-faktor penyebab pada trombosis vena dikenal dengan virchow triad (tiga
serangkai Virchow) yaitu perubahan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah
dan perubahan komposisi darah
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terbagi dua, yaitu penatalaksanaan secara
nonfarmakologi maupun penatalaksanaan secara farmakologi (misalnya pemberian
heparin dan weafrin).
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan untuk pasien penderita deep vein
thrombosis adalah :
Hipertermi
Nyeri akut
Kurang pengetahuan
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan defisiensi
pengetahuan tentang pemberat (gaya hidup kurang gerak,trauma)
Kerusakan integritas kulit
Gangguan citra tubuh
Resiko cidera
B. SARAN
Deep vein trhombosis dan phlebitis merupakan penyakit yang sering terjadi di
masyarakat. Penyakit ini bahkan hanya dapat disebabkan oleh kurangnya pergerakan atau
mobilitas. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui seluk beluk penyakit ini, misalnya
penyebab, tanda dan gejala, serta pengobatannya, sehingga diharapkan dapat melakukan
tindakan pencegahan agar terhindar dari penyakit deep vein thrombosis. Dan kita sebagai
calon perawat harus memerhatikan pentingnya prosedur tindakan pemberian terapi cairan
atau pemasangan infus sehingga tidak terjadi penyakit Phlebitis.
DAFTAR PUSTAKA