Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku maupun bertujuan melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis(keliat,2010)
American Psychological Association, mengemukakan bahwa kekerasan/kemarahan adalah
keadaan emosional yang bervariasi dalam intensitas ringan hingga kemarahan yang intens
(berat) hal ini disertai dengan perubahan fisiologis dan biologis, seperti peringatan denyut
jantung, tekanan darah dan kadar hormone epinerphrine dan norepinerphine.
Perilaku agresif adalah suatu kondisi dimana seseorang mengabaikan hak orang lain,dia
menganggap bahwa harus berjuang untuk kepentingannya dan mengaharapkan perilaku
yang sama dari orang lain, bagi dia hidup adalah pertempuran yang dapat mengakibatkan
kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif sering terjadi akibat kurang kepercayaan diri
(Stuart, 2009)
B. Tahapan Resiko Perilaku Kekerasan
Tahapan resiko perilaku agresif atau resiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009)
a. Tahap 1: Tahap memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir,menghindari kontak
Tindakan perawat : Mengidentifikasi faktor pemicu, mengurangi kecemasan,
memecahkan masalah bila memungkinkan.
b. Tahap : Tahap transisi
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga pembicaraan,
menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak kompromi, mencari dampak
agitasi, meminta bantuan.
c. Tahap 3: Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi gerasakan mengancam, menyerang orang disekitar, berkata
kotor, berteriak
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak pribbadi,
hangat ( tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga komunikasi.
d. Tahap 4 : Perilaku merusak
Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindari, melakukan pengekangan fisik.
e. Tahap 5 : Tahap lanjut
Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destruktif pengurangan
tingkat gairah
Tindakan perawat : Tetap waspada Karen perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan dan balas dendam.
f. Tahap 6 : Tahap peralihan
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutakan focus mengatasi masalah utama
C. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat berfliktusi
dalam rentan adaptif sampai maladaptif. Rentan respon marah menurut Stuart dan Sundeen
(1995) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada
pada rentan respon yang maladaptif.

Skema2.2 rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen (1995)


a. Asertif

Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan merupakan
komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif berbicara dengan
jujur dan jelas. Meraka dapat melihat normal dari individu lainnya dengan tepat sesuai
dengan situasi pada saat berbicara tidak mengancam, postur tegak dan santai, kesan
keseluruhan adalah bahwa individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Permintaan
masukan yang positif juga termasuk perilaku asertif (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009).

b. Pasif
Individu yang sering pasif sering menyampaikan hakya dari persepsinya terhadap hak
orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan berusaha menutupinya
kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada dirinya (Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang
pasif biasanya bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanankan dan kontak mata
yang sedikit. Individu tersebut mungkin dalam proses membungkuk, tangan memegang
tubuh dengan dekat (Stuart, 2009)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang realistis
atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia, 2005).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak mengahragai hak orang lain. Individu harus merasa
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkan seseorang yang agresif didalam
hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan perbal, berlaku agresif pada
dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Stuart, 2009)
e. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang kuat
disertai kehilngan control diri sehingga individu dapat merusak diri, orang lain dan
lingkungan.
D. Proses Terjadinya Masalah
Perilaku kekerasan merepukan salah satu respon mal akdatip dan maraah. Marah adalah
emosi yang kuat; ketika ditolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik seperti sakit
kepala migren, ulcer, radang usus bahkan penyakit jantung koroner, marah dapat merubah
menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan dengan perilaku diri yang negative dan
pasif sampai agresif (Tousend, 2009)
Penyebab kemarahan atau resiko perilaku kekerasan secara umur adalah kebutuhan yang
tidak menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan, model stress
adaptasi struat dari keperawatan jiwa memandang perilaku manusia dalam perspektif yang
holistic terdiri atas biologis,psikologis dan sosial cultural dan aspek aspek tersebut saling
berintergrasi dalam keperawatan komponen biopsikososial dari model tersebut termasuk
sumber koping dan mekanisme koping ( Stuart & Laraya, 2005)
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologi
Faktor biologi secara alami dapat, menjadi salah satu faktor penyebab
(predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Faktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat
dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor risiko yang dapat mempengaruhi peran
dalam menghadapi stressor adapun yang termasuk dalam faktor biologis ini adalah
:
1. Strukutur otak (neuronatomi)
Penelitian telah difokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan
perilaku agresif adalah system limbic, lobus frontal dan hipotalamus.
Neurotransmitter juga di usulkan memeliki peran dalam munculnya perilaku
kekerasan atau penekanan perilaku kekerasan (Stuart & Laria,2005)
Kerusakan strukur pada limbuk dan lobus frontal serta lobus temporal otak
dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresif sehingga
menyebabkan perilaku agresif/kekerasan (Videback, 2008).
System limbic di kaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi
serta tingkah laku manusia seperti makan, agresif dan respon seksual, termasuk
proses pengolahan informasi dan memori. Sintesis informasi dari area lain otak
mempunyai pengaruh pada emosional dan perilaku, perubahan dalam system
limbic daoat menyebabkan peningkatan atau penurunan perilaku agresif. Secara
khusus amigdala bagian dari sitem llimbik menjadi mediasi eskpresi kemarahan
dan ketakutan. Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku
berarti dan berfikir rasional. Lobus ini merupakan bagian otak dimana pikiran
dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal dapat mengakibatkan
gangguan penilaian, perubahan kepribadian, masalah pengambilan keputusan,
ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan agresif. Hipotalamus didasar
otak berfungsi sebagai system alarm/peringatan otak. Kondisi stress menaikan
jumlah steroid,hormone yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal,saraf resptor
untuk hormone ini menjadi kurang sensitif dalam upaya mengkompensasi
peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar pituitary untuk
menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang system berespon
lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa stress
traumatic pada anak secara permanen dapat meningkatkan potensi seseorang
untuk melakukan kekerasan (Stuart, 2009)
2. Genetik
Secara genetic ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisikan individu mengalam skizofrenia (Copel, 2007). Penelitian
lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi
GABA, dimana pada klien sikozofrenia tidak dapat meningkatkan secara
normal sesuia perkembangan pada daerah frontal, dimana bagian ini berfungsi
dalam proses berfikir dan pengambikan keputusan (Stuart,2009).
Semua penelitian ini menunjukan bahwa faktor genetic dapat menjadu
penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menadi perhatian untuk mengetahui
risiko seseorang mengalami skizofernia dilihat dari faktor keturunan.
3. Neurotransmitter
Adalah zat kimia otak yang transmisikan dari dan keseluruh neuron sinapsis,
sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan struktur otak lain.
Peningkatan dan penurunan zat ini dapat mempengaruhi perilaku, perubahan
keseimbangan zat ini dapat mengahambat perilaku agresif. Rendahnya
neurotransmitter serotin dikaitkan dengan perilaku iribilitas, hipersensitifitas
terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu dengan perilaku inplusif,
bunuh diri, dan melakukan pembunuhan, mempunyai serotonin dengan jumlah
rendah daripada rata-rata jumlah asam-hidroxynoleacetik/produk
serotonin(Stuart,2009)
4. Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilakun adalah riwayat
penggunaan obat NAPZA dan frekuensi dirawar. Penggunaan napza akan
mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan perawatan yang
berikatan. Frekuensi dirawat menunjukan seberapa sering individu dengan
perilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Perilaku kekerasan pada
skezoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol, putus obat,
kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu atau situasi yang
menciptakan perilaku kekerasan. (Struat&laraia,2005)
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
3) Lingkungan: panas, padat dan bising
E. Tanda dan Gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kkekerasan:
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot atau pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Wajah memerah dan tegang
f. Postur tubuh kaku
g. Pandangan tajam
h. Jalan mondar mandir

Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya (Kartika Sari, 2015: 138) :

a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam


b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-
debar, rasa tercekik dan bingung
e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
F. Akibat
Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang meakukan tindakan yang dapat
membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami perilaku
kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015:
hal 140) :
Data Subyektif :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
Data Obyektif :
a. Wajah tegang merah
b. Mondar mandir
c. Mata melotot, rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar banyak keringat
f. Mata merah
g. Tatapan mata tajam
h. Muka merah
G. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah
untuk melindungi diri antara lain:
a) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat unutk
suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti
meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah
untuk mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012:
hal 103).
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik, misalnya
seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
c) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa
membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan.
Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
d) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan misalnya
sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan orang tersebut
dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
e) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu
,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman
dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-
perangan dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).

Anda mungkin juga menyukai