Anda di halaman 1dari 30

TUGAS PENYULUHAN AIR I

Oleh :
1. DIKA SEPTIAN PRATAMA NIM 1851700138

Semester II / KESLING

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA
SUKOHARJO
2018
1. Desinfeksi air adalah proses pengolahan air dengan tujuan membunuh kuman atau bakteri
yang ada dalam air. Proses desinfeksi dilakukan sebelum air bersih didistribusikan. Sehingga air
menjadi aman untuk dikonsumsi. Cara desinfeksi air yang sederhana adalah dengan memasak air
hingga mendidih. Lama waktu yang baik mendidihkan air adalah selama 5 menit sampai 20
menit agar semua bakteri / kuman yang hidup di dalam air mati, sehingga air minum yang akan
kita konsumsi aman tidak menyebabkan gangguan kesehatan pada diri kita. Namun cara ini
memiliki kekurangan yaitu membutuhkan waktu lama dan boros bahan bakar kompor.

Pada zaman modern saat ini proses desinfeksi air terdapat berbagai metode yang dapat
digunakan yaitu menggunakan senyawa klor (baik klorin maupun klorin dioksida), ozon, atau
sinar UV. Mau pilih metode yang mana? Semuanya tergantung pada kebutuhan dan biaya yang
dimiliki. Berikut ini perbandingan dari metode-metode desinfeksi air, baik kelebihan maupun
kekurangan dari tiap metode:

1. Desinfeksi Air Menggunakan Klorin


Klorinasi air adalah proses penambahan klorin (Cl2) atau hipoklorit pada air. Metode ini
digunakan untuk membunuh bakteri dan mikroba tertentu di air keran karena klorin sangat
beracun. Secara khusus, klorinasi digunakan untuk mencegah penyebaran penyakit yang
ditularkan melalui air seperti kolera, disentri, dan tipus.

Keunggulan:
– Teknologi desinfeksi yang sudah dikenal luas dan klorin merupakan desinfektan yang efektif

– Memiliki sisa klor yang dapat dipantau dan diatur kadarnya (sisa klor dapat dijaga pada
perpipaan yang panjang)

– Dapat mengoksidasi sulfide

– Unit klorinasi dapat digunakan untuk keperluan lainnya seperti pengendalian bau maupun
desinfeksi pada sistem pengolahan air bersih

– Relatif murah

– Tersedia dalam bentuk kalsium dan sodium hipoklorit (sebagai alternatif dari penggunaan gas
klor)
Kekurangan:

– Menggunakan zat kimia yang dapat membahayakan operator dan masyarakat sekitar sehinga
perlu standard safety yang tinggi

– Memerlukan waktu kontak yang relatif lebih lama dibandingkan dengan desinfektan lainnya

– Perlu adanya deklorinasi untuk menurunkan toksisitas efluen terolah

– Berpotensi untuk terbentuknya trihalometan dan DBP (disinfectant by products)

– Adanya pembentukan VOC (volatile organic compounds) di tangki kontak

– Dapat mengoksidasi besi, magnesium, zat organik, maupun anorganik sehingga desinfektan
terkonsumsi

– Meningkatkan level TDS pada efluen

– Meningkatkan kandungan klorida

– Menyebabkan air limbah menjadi asam jika alkalinitas tidak memadai

2. Desinfeksi Air Menggunakan Klorin Dioksida

Keunggulan:
– Merupakan desinfektan yang efektif dan lebih efektif jika dibandingkan dengan klorin untuk
menonaktifkan kebanyakan virus, spora, kista, dan ookista

– Kemampuan membunuh mikroorganisme tidak terpengaruh Ph

– Mengoksidasi sulfide

– Memiliki sisa desinfektan

Kekurangan:
– Tidak stabil, harus diproduksi di tempat

– Dapat mengoksidasi besi, magnesium, zat organik, maupun anorganik sehingga desinfektan
terkonsumsi
– Berpotensi untuk terbentuknya DBP

– Terdekomposisi oleh sinar matahari

– Dapat mengakibatkan terbentuknya bau

– Meningkatkan level TDS pada efluen

– Biaya operasional dapat menjadi tinggi karena diperlukan adanya pengujian klorit dan klorat

3. Desinfeksi Air Menggunakan Ozon

Desinfeksi air dengan ozon umumnya disebut ozonisasi. Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari
seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali
diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode desinfeksi air atau sterilisasi pada air minum pada
tahun 1906.

Ozon ditemukan pertama kali oleh Van Marun pada tahun 1785 dengan mengalirkan arus listrik
dalam gas oksigen. Dari peristiwa itu kemudian timbul bau yang aneh dan dapat mengkusamkan
perak. Hal yang sama juga terjadi pada waktu Cruickshank tahun 1801 mengelektrolisa oksigen.
Pada tahun I840, Schonbien menamakan gas yang berbau khas itu dengan nama ozon (dari bahasa
Yunani, “ozo” yang artinya : saya cium). Oleh Soret, 1808 dan juga oleh Ladenberg. 1898; gas
ini dinyatakan mempunyai rumus kimia O3.

Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang


sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan
air minum menggunakan ozonisasi untuk proses desinfeksi air di Amerika. Dewasa ini, metode
ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian peralatan
kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran.

Namun untuk pertama kali penggunaan ozon sebagai proses desinfeksi air dalam skala besar,
diperkenalkan oleh Marius Paul Otto pada tahun 1907 di Nice Perancis. Pada pengolahan pertama
berhasil memproduksi air olahan 22500 m3 per hari dengan dosis pemakaian ozon 0,9 g per meter
kubik. Proses pengolahan ini berhasil menghilangkan warna dan bakteri pathogen tanpa
meninggalkan bau dan rasa.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ozon dalam proses desinfeksin air seperti:
dapat membunuh mikroorganisme yang terdapat di dalam air (bersifat bakterisida, algasida,
fungisida dan virusida); dapat menghilangkan bau dan rasa yang umumnya disebabkan oleh
komponen organik dan anorganik yang terdapat di dalam air, dan tidak menimbulkan bau ataupun
rasa yang umumnya terjadi dengan penggunaan bahan kimia lain sebagai bahan pengolahan.

Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisme seperti
bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisme
patogen lainnya. Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel
mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal
bebas seperti hydrogen peroxida (H2O2) dan hydroxyl radikal (OH) yang terbentuk ketika ozon
terurai dalam air. Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak
diaplikasikan dalam desinfeksi air untuk mengolah limbah cair domestik dan industri.

Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal bebas yang
memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine
(1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa
organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi
oleh hidroksil radikal akan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian
teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih kecil
yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari
proses oksidasi hanya akan didapatkan karbon dioksida dan air.
Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan
dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan bau, dan menghilangkan
warna, mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen yang banyak.

O3 merupakan gas tidak stabil, akan lenyap dalam beberapa menit, tidak meninggalkan sisa
desinfektan selama air berada dalam sistem, hal ini merupakan kesulitan untuk mengontrol dosis
ozon yang digunakan. Hal ini diatasi dengan pemeriksaan bakteriologis yaitu terhadap sampel
sebelum dan sesudah pembubuhan Ozon.

Pembuatan ozon memerlukan pesawat khusus (ozonisator) yang memerlukan energi yang besar,
sehingga biaya investasi dan operasi relatif besar, sehingga desinfeksi air dengan azonisasi menjadi
lebih mahal untuk digunakan. Walaupun demikian ada keuntungan jika Ozon digunakan untuk
mengolah air berwarna alami (mengandung zat humus), karena pemakaian Ozon sebagai
pengganti klor/senyawa klor lebih aman dihubungkan dengan pembentukan halogen terklorinasi
(haloform) yang dikenal dengan trihalometan (THMs). Selain itu desinfeksi air dengan ozon
memiliki keunggulan lainnya yaitu, Oksidan kuat khususnya digunakan untuk menghilangkan Fe
dan Mn, biasanya digunakan untuk pengolahan air minum dengan misi komersial dan air dalam
kemasan botol.

Keunggulan:
– Merupakan desinfektan yang efektif dan lebih efektif jika dibandingkan dengan klorin untuk
menonaktifkan kebanyakan virus, spora, kista, dan ookista

– Kemampuan membunuh mikroorganisme tidak terpengaruh pH

– Memiliki waktu kontak yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan klorin

– Mengoksidasi sulfide

– Area yang diperlukan lebih sedikit

– Dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut

Kekurangan:
– Keberhasilan proses desinfeksi tidak dapat dipantau secara langsung
– Tidak memiliki sisa desinfektan

– Pada dosis rendah akan kurang efektif untuk inaktivasi beberapa jenis virus, spora, dan kista

– Berpotensi membentuk DBP

– Dapat mengoksidasi besi, magnesium, zat organik, maupun anorganik sehingga desinfektan
terkonsumsi

– Relatif mahal dan memiliki kebutuhan energi yang tinggi


– Sangat korosif dan toksik sehingga perlu standard safety yang tinggi

– Perlu kecermatan yang tinggi dalam operasional dan perawatan system

– Memiliki keterbatasan untuk penggunaan tambahan dan semakin terbatas apabila di instalasi
telah terdapat unit pembentukan high-purity oxygen

4. Desinfeksi Air Menggunakan Ultra Violet

Sinar Ultraviolet (UV) merupakan teknologi terbarukan berbasis cahaya yang dapat digunakan
untuk melengkapi standar disinfeksi dan sterilisasi di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan
lainnya. Radiasi Ultraviolet (UV) dapat secara efektif menonaktifkan berbagai mikroorganisme
pathogensehingga dapat mengurangi transmisi infeksi nosokomial di fasilitas kesehatan. Radiasi
UV ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan disinfeksi kimia secara konvensional,
misalnya dengan klorinasi atau ozonisasi. Karena tidak ada penambahan kimia, sehingga tidak
menyebabkan residu, tidak berbahaya (no-harmful disinfection by products formation), dan tidak
menimbulkan resistensi pada bakteri. Panjang gelombang UV merupakan faktor penting untuk
inaktivasi mikroorganisme, dan efektifitasnya tergantung dari variasi mikroorganisme itu sendiri.
Adapun variasi gelombang UV antara lain; UVA (315-400 nm), UVB (280-315 nm) dan UVC
(<280 nm).

Dalam beberapa dekade terakhir, industri UV ini mengalami peningkatan dan perkembangan. UV-
Light Emitting Diodes(LED) telah hadir sebagai sumber baru untuk generasi radiasi UV. LED
adalah perangkat semikonduktor yang memanfaatkan bahansemiconductinguntuk menciptakan
pen junction(hole and electron) untuk memancarkan radiasi. Panjang gelombang radiasi ini
tergantung pada bahan semikonduktor yang diproduksi karena menggunakan bahan yang berbeda.
Bahan yang paling sering digunakan adalah III-nitride, termasuk gallium nitride (GaN),
alumunium gallium nitride (AIGaN) dan alumunium nitride (AIN).

Di berbagai negara maju dan berkembang, UV-LED ini sudah digunakan sebagai disinfeksi dan
sterilisasi di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain. UV-LED ini dapat digunakan sebagai:

1. Air Disinfection

Untuk meningkatkan efektivitas disinfeksi udara, banyak fasilitas kesehatan memilih memasang
lampu disinfeksi UV di tingkat atas ruangan, sehingga udara secara alami dapat bersikulasi dengan
baik sehingga menjadi lebih bersih.

2. Water Disinfection and Wastewater Treatment

Fasilitas juga dapat menggunakan sinar UV untuk mendisinfeksi air dan bahkan untuk pengolahan
air limbah. Karena disinfeksi UV merupakan proses fisik dan tidak perlu menambahkan bahan
kimia ke air untuk membersihkannya, dan ini dapat menjadi pilihan yang sangat aman dan efektif.
Sinar UV dapat mengurangi kejadian seperti cryptosporidiaatau giardiayang dapat menjadi
resisten terhadap desinfeksi kimia.

3. Surface Disinfection

Sinar UV ini juga telah digunakan untuk mendisinfeksi ruang perawatan dan ruangan lainnya di
fasilitas kesehatan. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa, sinar UV ini dapat menghancurkan
virus aktif dan patogen lainnya yang ada di permukaan hanya dalam hitungan detik. Sinar UV ini
menjadi rekomendasi dalam pencegahan infeksi karena lebih efisien dan efektif daripada pilihan
pembersihan dan disinfektan lainnya.

4. Equipment Disinfection

Selain dapat digunakan untuk disinfeksi udara, lantai dan ruangan, sinar UV juga dapat digunakan
untuk disinfeksi alat kesehatan, alat-alat laboratorium atau instrument kesehatan lainnya yang
memiliki risiko tinggi terkontaminasi bakteri.
5. Food and Beverage

Disinfeksi dengan sinar UV telah terbukti secara efektif dalam fasilitas manufaktur makanan
ketika digunakan untuk mendisinfeksi sesuatu yang sulit dibersihkan secara menyeluruh.
Penggunaan sinar UV dalam disinfeksi makanan dan minuman menggabungkan efektivitas sinar
UV pada permukaan cairan, tanpa memperpendek umur peralatan.

Meskipun radiasi UV efektif terhadap sebagian besar mikroorganisme patogen, tetapi setiap
mikroorganisme memiliki respons yang berbeda terhadap radiasi UV yang dapat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan selama proses radiasi, bahkan memungkinkan terjadinya resistensi. Radiasi
sinar UVC diyakini memiliki efek langsung dalam membunuh bakteri melalui penghancuran DNA
dengan pembentukan dimer pirimidin dan mencegah mereka untuk berproduksi kembali. DNA
bakteri dapat menyerap radiasi sinar UV dari panjang gelombang 200-300 nm, terutama pada
puncak absorbansi yaitu sekitar 260 nm, karena pada gelombang tersebut dapat secara efisien
menginaktivasi bakteri. Meskipun DNA bakteri dapat dihancurkan secara langsung dengan sinar
UVC, bakteri dapat melakukan perbaikan DNA (DNA-repair mechanisms) dengan cara photo-
reactivationdan dark repair.

Radiasi sinar UVA kurang diserap dengan baik oleh DNA bakteri sehingga kurang efisien dalam
menyebabkan kerusakan DNA, tetapi sinar UVA ini masih memiliki kemampuan untuk
menonaktifkan mikroorganisme. UVA-LED yang tersedia saat ini memiliki output power yang
jauh lebih tinggi dan energi yang lebih efisien daripada UVC-LED. Mekanisme utama inaktivasi
UVA-LED melibatkan efek tidak langsung olehreactive-intermediatessehingga menghasilkan
Reactive Oxygen Species (ROS), kerusakan oksidatif pada DNA dan komponen seluler lainnya.

Keunggulan:
– Merupakan desinfektan yang efektif dan lebih efektif jika dibandingkan dengan klorin untuk
menonaktifkan kebanyakan virus, spora, kista, dan ookista

– Tidak meninggalkan residu yang bersifat toksik maupun meningkatkan level TDS efluen

– Tidak ada pembentukan DBP

– Memerlukan lahan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan klorinasi


– Menguntungkan dari segi safety karena tidak ada penggunaan bahan kimia

– Efektif menghilangkan senyawa organik persisten seperti NDMA (N-nitrosodimethylamine)

Kekurangan:
– Keberhasilan proses desinfeksi tidak dapat dipantau secara langsung

– Tidak memiliki sisa desinfektan

– Pada dosis rendah akan kurang efektif untuk inaktivasi beberapa jenis virus, spora, dan kista

– Relatif mahal dan memiliki kebutuhan energi yang tinggi– Desain profil hidrolis sangat
penting pada sistem UV

– Membutuhkan lampu UV yang banyak jika sistem low-pressure low-intensity digunakan

– Memiliki keterbatasan untuk penggunaan tambahan

2. FILTRASI PADA PENGOLAHAN AIR BERSIH

Filtrasi adalah suatu proses pemisahan zat padat dari fluida (cair maupun gas) yang
membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk menghilangkan
sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid. Selain dapat mereduksi
kandungan zat padat , filtrasi dapat pula mereduksi kandungan bakteri, menghilangkan zat warna,
rasa, bau, besi dan mangan. Tergantung media yang dilewati oleh fluida yang di filtrasi Media
filter umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan komposisi kimia.

Proses filtrasi biasanya dari hasil koagulasi (klarifier) atau setelah melewati primary filter
untuk menghilangkan suspended solid yang terbentuk pada proses koagulasi. Setelahnya akan
melewati (disaring) media penyaring. Jenis media penyaring ada bermacam tergantung kandungan
apa yang akan dihilangkan untuk proses filtrasi. Bisa menggunakan satu jenis media (single media
filter), dua jenis media (dual media filter), jika lebih dari satu jenis media, dinamakan multi media
filter.
Filter single media, biasanya menggunakan pasir silika, atau dolomit saja. Hasil
penyaringan akan berupa suspended solid terjadi pada lapisan paling atas sehingga harus segera di
cuci bila penyaringan berkurang. Filter dual media, biasanya menggunakan digunakan pasir silica
dan anthrasit. Media pasir kwarsa di lapisan bawah dan anthrasit pada lapisan atas. Antrasit adalah
karbon yang timbul melalui proses metamorfosa dari tumbuhan dengan waktu yang lama. Bermula
dari kayu - lumut - batubara muda - ( lignit ) - batubara - antrasit. Antrasit digunakan
untuk menghilangkan bau dan rasa yang disebabkan oleh senyawa-senyawa organik.

Tujuan Dari Filtrasi

1. memanfaatkan air kotor atau limbah untuk bisa digunakan kembali


2. mengurangi resiko meluapnya air kotor dan limbah
3. mengurangi keterbatasan air bersih dengan membuat filtrasi air
4. mengurangi penyakit yang diakibatkan oleh air kotor
5. membantu pemerintah untuk menggalakan air bersih

Manfaat Filtrasi

1. air keruh yang digunakan bisa berasal dari mana saja,misalnya


sungai,rawa,telaga,sawah,sawah,air kotor lainnya
2. dapat meng ilangkan bau yang tidak sedap pada air yang keruh
3. dapat mengubah warna air yang keruh menjadi lebih bening
4. menghilangkan pencemar yang ada dalam air atau mengurangi kadarnya agar air dapat
dilayak untuk minum
5. cara ini berguna untuk desa yang masih jauh dari kota dan tempat terpencil

Contoh Saringan Pasir Lambat Konvensional

Secara umum, proses pengolahan air bersih dengan saringan pasir lambat konvensional
terdiri atas unit proses yakni bangunan penyadap, bak penampung, saringan pasir lambat dan bak
penampung air bersih . Unit pengolahan air dengan saringan pasir lambat merupakan suatu paket.
Air baku yang digunakan yakni air sungai atau air danau yang tingkat kekeruhannya tidak terlalu
tinggi. Jika tingkat kekeruhan air bakunya cukup tinggi misalnya pada waktu musim hujan, maka
agar supaya beban saringan pasir lambat tidak telalu besar, maka perlu dilengkapi dengan peralatan
pengolahan pendahuluan misalnya bak pengendapan awal dengan atau tanpa koagulasi bahan
dengan bahan kimia.

Biasanya saringan pasir lambat hanya terdiri dari sebuah bak yang terbuat dari beton,
ferosemen, bata semen atau bak fiber glass untuk menampung air dan media penyaring pasir. Bak
ini dilengkapi dengan sistem saluran bawah, inlet, outlet dan peralatan kontrol.

Untuk sistem saringan pasir lambat konvensional terdapat dua tipe saringan yakni :

1. Saringan pasir lambat dengan kontrol pada inlet


2. Saringan pasir lambat dengan kontrol pada outlet

Kedua sistem saringan pasir lambat tersebut mengunakan sistem penyaringan dari atas ke
bawah (down Flow).

Kapasitas pengolahan dapat dirancang dengan berbagai macam ukuran sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan. Biasanya saringan pasir lambat hanya terdiri dari sebuah bak yang
terbuat dari beton, ferosemen, bata semen atau bak fiber glass untuk menampung air dan media
penyaring pasir. Bak ini dilengkapi dengan sistem saluran bawah, inlet, outlet dan peralatan
kontrol.

Gambar 1. Komponen Dasar Saringan Pasir Lambat Sistem Kontrol Inlet

Keterangan :

A. Kran untuk inlet air baku dan pengaturan laju penyaringan


B. Kran untuk penggelontoran air supernatant
C. Indikator laju air
D. Weir inlet
E. Kran untuk pencucian balik unggun pasir dengan air bersih
F. Kran untuk pengeluaran/pengurasan air olahan yang masih kotor
G. Kran distribusi
H. Kran penguras bak air bersih

Contoh Saringan Pasir Cepat

Saringan Pasir Cepat (SPC) atau bahasa kerennya Rapid Sand Filter (RSF) merupakan
saringan air yang dapat menghasilkan debit air hasil penyaringan yang lebih banyak daripada
Saringan Pasir Lambat (SPL). Walaupun demikian saringan ini kurang efektif untuk mengatasi
bau dan rasa yang ada pada air yang disaring. Selain itu karena debit air yang cepat, lapisan bakteri
yang berguna untuk menghilangkan patogen tidak akan terbentuk sebaik apa yang terjadi di
Saringan Pasir Lambat. Sehingga akan membutuhkan proses disinfeksi kuman yang lebih intensif.

Secara umum bahan lapisan saringan yang digunakan pada Saringan Pasir Cepat sama
dengan Saringan Pasir Lambat, yakni pasir, kerikil dan batu. Perbedaan yang terlihat jelas adalah
pada arah aliran air ketika penyaringan. Pada Saringan Pasir Lambat arah aliran airnya dari atas
ke bawah, sedangkan pada Saringan Pasir Cepat dari bawah ke atas (up flow). Selain itu pada
saringan pasir cepat umumnya dapat melakukan backwash atau pencucian saringan tanpa
membongkar keseluruhan saringan.

Gambar 2. Saringan Pasir Cepat


PROSES KOAGULASI DALAM PENGOLAHAN AIR
A. Pengertian Koagulasi
Koagulasi secara umum didefinisikan sebagai penambahan zat kimia (koagulan) ke dalam air
baku dengan maksud mengurangi gaya tolak-menolak antar partikel koloid, sehingga partikel –
partikel tersebut dapat bergabung menjadi flok-flok halus. Koagulasi terpenuhi dengan
penambahan ion-ion yang mempunyai muatan berlawanan dengan partikel koloid. Partikel koloid
umunya bermuatan negatif oleh karena itu ion-ion yang ditambahkan harus kation atau bermuatan
positif. Kekuatan koagulasi ion-ion tersebut bergantung pada bilangan valensi atau besarnya
muatan. Ion bivalen (+2) 30-60 kali lebih efektif dari ion monovalen (+1). Ion trivalen (+3) 700-
1000 kali lebih efektif dari ion monovalen.
B. Proses Koagulasi
Pada proses koagulasi terdiri dari dua tahap besar, yaitu :
1. Penambahan koagulan Aluminium sulfat (Al2(SO4)3.18H2O) dan
2. Pengadukan campuran koagulan-air umpan, yang terdiri dari,
a) Pengadukan cepat
Pengadukan cepat (Rapidmixing) merupakan bagian integral dari proses Koagulasi.
Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan penyebaran zat kimia
melalui air yang diolah, serta untuk menghasilkan dispersi yang seragam dari partikel-partikel
koloid, dan untuk meningkatkan kesempatan partikel untuk kontak dan bertumbukan satu sama
lain
b) Pengadukan pelan.
Pengadukan pelan ini bertujuan menggumpalkan partikel-partikel terkoagulasi berukuran
mikro menjadi partikel-partikel flok yang lebih besar. Flok-flok ini kemudian akan beragregasi/
berkumpul dengan partikel-partikel tersuspensi lainnya (Duliman, 1998). Setelah pengadukan
pelan selesai flok-flok yang terbentuk dibiarkan mengendap. Setelah proses pralakuan koagulasi-
selesai, derajat keasaman (pH) air umpan mikrofiltrasi akan turun. Selanjutnya air umpan jernih
hasil koagulasi dialirkan ke reservoir kedua agar terpisah dari endapan - endapan yang terbentuk.
Air inilah yang kemudian akan diumpankan pada proses mikrofiltrasi oleh membran.
Pada proses koagulasi, juga dibagi dalam tahap secara fisika dan kimia.
1. Secara fisika
Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti:
a. Pemanasan
Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan tumbukan antar partikel-partikel sol dengan molekul-
molekul air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan
koloid. Akibatnya partikel tidak bermuatan. contoh:darah
b. Pengadukan, contoh: tepung kanji
c. Pendinginan, contoh: agar-agar
2. Secara kimia
Sedangkan secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda
muatan, dan penambahan zat kimia koagulan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan koloid
bersifat netral, yaitu:
a. Menggunakan Prinsip Elektroforesis. Proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel
koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang berlawanan. Ketika partikel ini mencapai
elektrode, maka sistem koloid akan kehilangan muatannya dan bersifat netral.
b. Penambahan koloid, dapat terjadi sebagai berikut:Koloid yang bermuatan negatif akan menarik
ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion).
Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu
terlalu dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin
besar muatan ion makin kuat daya tariknya dengan partikel koloid, sehingga makin cepat terjadi
koagulasi. (Sudarmo,2004)
c. Penambahan Elektrolit. Jika suatu elektrolit ditambahkan pada sistem koloid, maka partikel koloid
yang bermuatan negatif akan mengadsorpsi koloid dengan muatan positif (kation) dari elektrolit.
Begitu juga sebaliknya, partikel positif akan mengadsorpsi partikel negatif (anion) dari elektrolit.
Dari adsorpsi diatas, maka terjadi koagulasi.
Dalam proses koagulasi, stabilitas koloid sangat berpengaruh. Stabilitas merupakan daya tolak
koloid karena partikel-partikel mempunyai muatan permukaan sejenis (negatip). Beberapa gaya
yang menyebabkan stabilitas partikel, yaitu:
1. Gaya elektrostatik yaitu gaya tolak menolak tejadi jika partikel-partikel mempunyai muatan yang
sejenis.
2. Bergabung dengan molekul air (reaksi hidrasi).
3. Stabilisasi yang disebabkan oleh molekul besar yang diadsorpsi pada permukaan.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi
a. Suhu air
Suhu air yang rendah mempunyai pengaruh terhadap efisiensi proses koagulasi. Bila suhu air
diturunkan , maka besarnya daerah pH yang optimum pada proses kagulasi akan berubah dan
merubah pembubuhan dosis koagulan.
b. Derajat Keasaman (pH)
Proses koagulasi akan berjalan dengan baik bila berada pada daerah pH yang optimum. Untuk
tiap jenis koagulan mempunyai pH optimum yang berbeda satu sama lainnya.
c. Jenis Koagulan
Pemilihan jenis koagulan didasarkan pada pertimbangan segi ekonomis dan daya efektivitas
daripadakoagulan dalam pembentukan flok. Koagulan dalam bentuk larutan lebih efektif
dibanding koagulan dalam bentuk serbukatau butiran.
d. Kadar ion terlarut
Pengaruh ion-ion yang terlarut dalam air terhadap proses koagulasi yaitu : pengaruh anion lebih
bsar daripada kation. Dengan demikian ion natrium, kalsium dan magnesium tidak memberikan
pengaruh yang berarti terhadap proses koagulasi.
e. Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan yang rendahproses destibilisasi akan sukar terjadi. Sebaliknya pada tingkat
kekeruhan air yang tinggi maka proses destabilisasi akan berlangsung cepat. Tetapi apabila kondisi
tersebut digunakan dosis koagulan yang rendah maka pembentukan flok kurang efektif.
f. Dosis koagulan
Untuk menghasilkan inti flok yang lain dari proses koagulasi sangat tergantung dari dosis
koagulasi yang dibutuhkan Bila pembubuhan koagulan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan maka
proses pembentukan inti flok akan berjalan dengan baik.
g. Kecepatan pengadukan
Tujuan pengadukan adalah untuk mencampurkan koagulan ke dalam air. Dalam pengadukan hal-
hal yang perlu diperhatikan adalah pengadukan harus benar-benar merata, sehingga semua
koagulan yang dibubuhkan dapat bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion yang berada dalam
air. Kecepatan pengadukan sangat berpengaruh terhadap pembentukan flok bila pengadukan
terlalu lambat mengakibatkan lambatnya flok terbentuk dan sebaliknya apabila pengadukan terlalu
cepat berakibat pecahnya flok yang terbentuk
h. Alkalinitas
Alkalinitas dalam air ditentukan oleh kadar asam atau basa yang terjadi dalam air. Alkalinitas
dalam air dapat membentuk flok dengan menghasil ion hidroksida pada reaksihidrolisa koagulan

2.1 KOAGULASI
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid halus
dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat untuk mendispersikan bahan
kimia secara merata. Dalam suatu suspensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil) dan
terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang diperolehnya
dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan sekitar. Pada dasarnya koloid
terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat mudah larut dalam air (soluble) dan koloid
hidrofobik yang bersifat sukar larut dalam air (insoluble). Bila koagulan ditambahkan ke dalam
air, reaksi yang terjadi antara lain:
* Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik di mana gaya van der
walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil bergabung serta
membentuk flok;
* Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup reaktif pada koloid;
* Penangkapan partikel koloid negatif oleh flok-flok hidroksida yang mengendap.
Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah
sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila digunakan dosis koagulan yang terlalu besar
akan mengakibatkan restabilisasi koloid. Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi koloid berada
pada titik dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan proses recycle sejumlah
settled sludge sebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan. Tindakan ini sudah umum dilakukan
pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas pengolahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses koagulasi antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air.
Koagulan yang paling banyak digunakan dalam praktek di lapangan adalah alumunium
sulfat [Al2(SO4)3], karena mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan
jenis koagulan lain. Sedangkan kapur untuk pengontrol pH air yang paling lazim dipakai adalah
kapur tohor (CaCO3). Agar proses pencampuran koagulan berlangsung efektif dibutuhkan derajat
pengadukan > 500/detik, nilai ini disebut dengan gradien kecepatan (G).
Untuk mencapai derajat pengadukan yang memadai, berbagai cara pengadukan dapat
dilakukan, diantaranya:
1. Pengadukan Mekanis
Dapat dilakukan menggunakan turbine impeller, propeller, atau paddle impeller.

2. Pengadukan Pneumatis
Sistem ini menggunakan penginjeksian udara dengan kompresor pada bagian
bawah bak koagulasi. Gradien kecepatan diperoleh dengan pengaturan flow rate udara
yang diinjeksikan.
3. Pengadukan hidrolis
Pengadukan cepat menggunakan sistem hidrolis dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya melalui terjunan air, aliran air dalam pipa, dan aliran dalam saluran. Nilai
gradien kecepatan dihitung berdasarkan persamaan sebelumnya. Sementara besar headloss
masing-masing tipe pengadukan hidrolis berbeda-beda tergantung pada sistem hidrolis
yang dipakai. Untuk pengadukan secara hidrolis, besar nilai headloss yang digunakan
sangat mempengaruhi efektifitas pengadukan. Nilai headloss ditentukan menurut tipe
pengadukan yang digunakan, yaitu terjunan air, aliran dalam pipa, atau aliran dalam saluran
(baffle).
a. Terjunan hidrolis
Metode pengadukan terjunan air merupakan metode pengadukan hidrolis
yang simple dalam operasional. Besar headloss selama pengadukan dipengaruhi oleh
tinggi jarak terjunan yang dirancang. Metode ini tidak membutuhkan peralatan yang
bergerak dan semua peralatan yang digunakan berupa peralatan diam/statis.
b. Aliran dalam pipa
Salah satu metoda pengadukan cepat yang paling ekonomis dan simple adalah
pengadukan melalui aliran dalam pipa. Metoda ini sangat banyak digunakan pada
instalasi-instalasi berukuran kecil dengan tujuan menghemat biaya operasional dan
pemeliharaan alat. Efektivitas pengadukan dipengaruhi oleh debit, jenis dan diameter
pipa, dan panjang pipa pengaduk yang digunakan.
c. Aliran dalam saluran (baffle)
Bentuk aliran dalam saluran baffle ada dua macam, yang paling umum
digunakan yaitu pola aliran mendatar (round end baffle channel) dan pola aliran
vertikal (over and under baffle).
Gambar 2.1 Koagulasi (Rapid Mixing)
Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan koloid padatan tersuspensi
termasuk bakteri dan virus, dengan suatu koagulan. sehingga akan terbentuk flok-flok halus yang
dapat diendapkan. Pengadukan cepat (flash mixing) merupakan bagian integral dari proses
Koagulasi. Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan penyebaran
zat kimia melalui air yang diolah.
Pengadukan cepat yang efektif sangat penting ketika menggunakan koagulan logam seperti
alum dan ferric chloride, karena proses hidrolisnya terjadi dalam hitungan detik dan selanjutnya
terjadi adsorpsi partikel koloid. Waktu yang dibutukan untuk zat kimia lain seperti polimer
(polyelectrolites), chlorine, zat kimia alkali, ozone, dan potassium permanganat, tidak optimal
karena tidak mengalami reaksi hidrolisis.
Jenis koagulan yang sering dipakai adalah :
a. Alumunium Sulfat (Alum)
Alumunium sulfat [Al2(SO4)3.18H2O] adalah salah satu koagulan yang umum digunakan
karena harganya murah dan mudah didapat. Alkalinitas yang ada di dalam air bereaksi dengan
alumunium sulfat (alum) menghasilkan alumunium hidroksida sesuai dengan persamaan:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(HCO3)2 → 3 CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 6 CO2 + 14 H2O
Bila air tidak mangandung alkalinitas untuk bereaksi dengan alum, maka alkalinitas perlu
ditambah. Biasanya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida (Ca(OH)2) dengan reaksi:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(OH)2 → 3 CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 14 H2O
Alkalinitas bisa juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan natrium
karbonat. Nilai pH optimum untuk alum sekitar 4,5-8,0.
b. Ferrous Sulfate (FeSO4)
Ferrous Sulfate membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar menghasilkan
reaksi yang cepat. Senyawa Ca(OH)2 dan NaOH biasanya ditambahkan untuk meningkatkan pH
sampai titik tertentu dimana ion Fe2+ diendapkan sebagai Fe(OH)3.
Reaksinya adalah:
2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + ½ O2 → 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O
Agar reaksi diatas terjadi, pH harus dinaikkan hingga 7.0 sampai 9,5. Selain itu, ferrous sulfate
digunakan dengan mereaksikannya dengan klorin dengan reaksi:
3FeSO4.7H2O + 1,5Cl2 → Fe2(SO4)3 + FeCl3 + 21H2O
Reaksi ini terjadi pada pH rendah sekitar 4,0.
c. Ferric Sulfate dan Ferric Chloride
Reaksi sederhana ferric sulfate dengan alkalinitas bikarbonat alam membentuk ferric
hydroxide dengan reaksi:
Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Sedangkan reaksi ferric chloride dengan alkalinitas bikarbonat alami yaitu:
2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Apabila alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, Ca(OH)2 ditambahkan untuk membentuk
hidroksida. Reaksinya adalah:
2FeCl3 + 3Ca(OH)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaCl2

Operasional dan Pemeliharaan bak koagulasi seperti:


* Pemeriksaan kualitas air baku di laboratorium instalasi sangat diperlukan untuk
menentukan dosis koagulan yang tepat, pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya
mengukur kekeruhan air (turbidity) dan derajat keasaman (pH) air baku. Dosis koagulan
ditentukan berdasarkan percobaan jar-test, sedangkan pH air baku ditentukan dengan
komparator pH;
* Pengontrolan debit koagulan yang masuk ke splitter box dilakukan setiap jam oleh operator
instalasi;
* Pemeriksaan clogging pada saluran/pipa feeding dan pompa pembubuh larutan koagulan
dilakukan setiap harinya oleh operator instalasi, dan pemeriksaan clogging pada orifice
diffuser.

2.2 FLOKULASI
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses penggabungan
flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel yang telah distabilkan
selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan membentuk flok yang
ukurannya makin lama makin besar serta mudah mengendap. Gradien kecepatan merupakan faktor
penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradien terlalu besar maka gaya geser yang timbul
akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai gradien terlalu rendah/tidak memadai
maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan terjadi dan flok besar serta mudah
mengendap akan sulit dihasilkan. Untuk itu nilai gradien kecepatan proses flokulasi dianjurkan
berkisar antara 90/detik hingga 30/detik. Untuk mendapatkan flok yang besar dan mudah
mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga kompartemen, dimana pada kompertemen pertama
terjadi proses pendewasaan flok, pada kompartemen kedua terjadi proses penggabungan flok, dan
pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan flok.
Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan metoda yang
sama dengan pengadukan cepat pada proses koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai gradien
kecepatan di mana pada proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding gradien kecepatan
koagulasi.

Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses koagulasi yaitu:
 Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari pengolahan fisik.
 Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah industri.
 Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif.
 Sebagai pretreatment untuk proses pembentukan secondary effluent dalam filtrasi.
Gambar 2.2 Flokulasi (Slow Mixing)
Operasional dan Pemeliharaan bak flokulasi seperti:
* Penyisihan schum yang mengapung pada bak flokulasi dilakukan setiap hari secara manual
menggunakan alat sederhana (jala), biasanya dilakukan pada pagi hari;
* Pengontrolan ukuran flok yang terbentuk melalui pengamatan visual;
* Pemeriksaan kemungkinan tumbuhnya algae pada dinding tangki dan baffle;
* Pengontrolan kecepatan mixer jika pengadukan dilakukan menggunakan mechanical
mixer. Pengoperasian mixer membutuhkan perawatan yang lebih besar dari penggunaan
flokulator baffle.
Gambar 2.3 Flokulasi Partikel Koloid

2.3 PENENTUAN DIMENSI UNIT PAKET INSTALASI PENGOLAHAN AIR


2.3.1 Unit koagulasi (pengaduk cepat)
Dimensi unit koagulasi (pengaduk cepat) dapat ditentukan dengan rumus:
a. Tipe hidrolis dengan jenis pengaduk statis

dengan pengertian:
Q adalah Kapasitas pengolahan (m3/detik)
D adalah diameter pinstalasi pengolahan air (m)
v adalah kecepatan aliran (m/det)
hf adalah kehilangan tekanan pada pinstalasi pengolahan air dan
perlengkapannya (m kolom air)
g adalah gravitasi (9,81 m/detik)
f adalah koefisien kehilangan melalui pinstalasi pengolahan air (0,02 - 0,26)
k adalah koefisien kehilangan melalui perlengkapan pinstalasi pengolahan
air (0,7 -1)
μ adalah viskositas kinematik air (m2/detik)
C adalah kapasitas bak (m3)
Cn adalah koefisien kekasaran pinstalasi pengolahan air
S adalah kemiringan hidrolis (m/m)
R adalah jari-jari hidrolis (m)
ρ adalah masa jenis air (g/cm3)

b. Tipe hidrolis dengan jenis pengaduk mekanis

dengan pengertian:
P adalah tenaga yang diperlukan (g.cm/det.)
n adalah putaran (rpm)
gc adalah faktor konversi Newton
D adalah diamater impeller (cm)
K adalah konstanta experimen (1.0 – 5.0)
ρ adalah masa jenis air (g/cm3)
2.3.2 Unit flokulasi (pengaduk lambat)
Dimensi unit flokulasi (pengaduk lambat) dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
a. Tipe hidrolis dengan jenis pengaduk statis

dengan pengertian:
Q adalah kapasitas pengolahan (m3/detik)
p adalah panjang bak(m)
l adalah lebar bak (m)
d adalah tinggi (m)
td adalah waktu tinggal (detik)
G adalah gradien, G (detik-1)
hf adalah kehilangan tekanan pada pinstalasi pengolahan air dan perlengkapannya (m kolom
air)
μ adalah viskositas kinematik air (m/detik)
g adalah gravitasi (9,81 m/detik2)

b. Tipe hidrolis dengan jenis pengaduk mekanis

dengan pengertian:
P adalah tenaga yang diperlukan (g.cm/det.)
n adalah putaran (rpm)
gc adalah faktor konversi Newton
D adalah diamater impeller (cm)
K adalah konstanta experimen (1.0 – 5.0)
ρ adalah masa jenis air (g/cm3)

2.4 PROSES KOAGULASI-FLOKULASI


Cara mendestabilkan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi
muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini lazim disebut
sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada partikel untuk saling
bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan cara pengadukan, dan disebut
sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC. Di
dalam air PAC akan terdisosisi melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan zeta potensial dari
partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan
gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan
dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih besar.
Menurut Von Smoluchowski (Fair, et al, 1968), kecepatan penggabungan dua partikel
dengan diameter berbeda akan sebanding dengan konsentrasi partikel, gradien kecepatan dan
jumlah jari-jari dari partikel yang bergabung.

Dalam persamaan diatas, Jkl adalah banyaknya tumbukan (volume per waktu), nk dan nl
adalah banyaknya partikel k dan l, dk dan dl adalah diameter partikel k dan l, serta dv/dz adalah
gradien geseran yang dapat diganti dengan G (gradien kecepatan).
Koagulasi dan flokulasi adalah proses fisika-kimia dimana diperlukan energi dan waktu
agar proses dapat berlangsung, Camp dan Stein mengembangkan persamaan untuk menghitung
besar energi dan waktu dengan konsep gradien kecepatan (G) sebagai berikut (Reynold,1982):

dimana:
G = Gradien kecepatan, detik–1
P = daya yang diberikan, kg m2/dtk3 , (J/detik)
μ = viskositas absolut zat cair, kg/m/detik
C = kapasitas reaktor, m3
ε = total daya yang ditimbulkan per satuan massa cairan
ρ = massa jenis air, kg/m3
g = kecepatan gravitasi, m/detik2
hf = kehilangan tekanan yang terjadi, m
td = waktu detensi, detik
Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi, dimana mikroflok hasil koagulasi
mulai menggumpalkan partikel menjadi flok-flok yang besar (makroflok) dan dapat diendapkan.
Proses penggumpalan ini tergantung dari waktu dan pengadukan lambat dalam air.
Flokulator yang sering digunakan dalam pengolahan air berdasarkan sumber energi yang
digunakan adalah: hidrolis, pnuematis dan mekanis. Secara umum flokulator pneumatis dan
mekanis lebih fleksibel dalam power input. Sedangkan flokulator hidrolis tidak fleksibel dalam
power input, dimana diperlukan lahan yang luas walaupun mempunyai keunggulan pada sisi yang
lain. Kriteria desain untuk masing –masing jenis flokulator disajikan dalam tabel 1. Energi input
dari masing-masing jenis flokulator dihitung dengan rumus yang berbeda. Harga gradien
kecepatan mempunyai jangkauan yang hampir sama, antara 20 – 70 / detik. Kecepatan aliran
bervariasi antara 0,5 – 2,5 fps. Tekanan udara yang dibutuhkan untuk flokulator pneumatis antara
50 – 75 psi.

Tabel. Kriteria desain yang umum digunakan dalam rancangan flokulator.


dimana:
P = energi yang dibutuhkan, hp;kw
Q = debit, m3/dtk
ρ = massa jenis air, kg/m3
g = kecepatan grafitasi, m/dt2
h = kehilangan tekan, m
Qa = debit udara, m/dtk
CD = koefisien drag
A = luas pengaduk, m2
v = kecepatan aliran, m/dtk
Pada umumnya flokulasi hidrolis mempunyai kekurangan dalam hal fleksibilitas
pengaturan hf yang diperlukan sebagai energi untuk proses. Selain itu pada flokulator hidrolis,
perbedaan kecepatan aliran yang terjadi pada bagian tepi dan tengah reaktor sangat besar, sehingga
seringkali flok yang terjadi pecah kembali. Notodarmodjo et al (1998) telah meneliti kemungkinan
penggunaan aliran melalui kerikil sebagai media untuk flokulator dengan hasil yang sangat baik.
Armundito (2000) meneliti lebih jauh kemungkinan penggunaan media kerikil sebagai flokulator
dan memperoleh hasil bahwa ukuran butir kerikil tidak berpengaruh secara nyata bagi
pembentukan flok.

1. Proses koagulasi dan flokulasi adalah suatu proses pemisahan partikel-partikel halus
penyebab kekeruhan dari dalam air. Proses koagulasi dan flokulasi berlangsung dalam dua
tahap, yaitu proses pengadukan cepat dan lambat. Pengadukan cepat dimaksudkan untuk
meratakan campuran antara koagulan dengan air baku, sehingga diperoleh suatu kondisi
campuran yang homogen. Pengadukan lambat bertujuan mendapatkan partikel-partikel
flokulen yang lebih besar dan lebih berat, sehingga dapat mempercepat proses
pengendapan.
2. Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid halus
dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat (rapid mixing) untuk
mendispersikan bahan kimia secara merata. Waktu operasinya antara 30 – 90 detik. Rapid
mixing:
 Hidrolis : terjunan atau hidrolik jump
 Mekanis : menggunakan batang pengaduk
3. Pada proses koagulasi dilakukan pembubuhan bahan kimia yang disebut koagulan,
misalnya tawas. Koagulan adalah zat kimia yang dapat menggumpalkan partikel-partikel
koloid dalam proses koagulasi.
4. Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi, dimana mikroflok hasil koagulasi
mulai menggumpalkan partikel menjadi flok-flok yang besar (makroflok) dan dapat
diendapkan. Terjadi pembentukan dan pembesaran flok. Pada flokulasi dilakukan
pengadukan lambat (slow mixing). Waktu operasinya antara 15 – 30 menit. Slow mixing:
 Pneumatis
 Mekanis
 Hidrolis
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi adalah: pH, kecepatan
pengadukan, gradient kecepatan, waktu pengadukan, suhu, komposisi kimia air baku, dan
konsentrasi koagulan.

4. Sedimentasi yaitu proses pemisahan padatan dan air berdasarkan perbedaan berat jenis
dengan cara pengendapan. Tipe bak sedimentasi terdiri dari bak persegi (aliran
horizontal), bak persegi aliran vertikal (menggunakan pelat/tabung pengendap), bak
bundar (aliran vertikal – radial dan kontak padatan), serta tipe clarifier. Kedalaman bak
berkisar antara 3 – 6 meter (bak persegi dan bak bundar) serta 0,5 – 1 meter (clarifier).
Waktu retensi 1 – 3 jam (untuk tipe bak persegi horizontal dan bak bundar), 0,07 jam
(waktu retensi pada pelat/tabung pengendap), dan 2 – 2,5 jam (tipe clarifier).

Anda mungkin juga menyukai