Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AL-QAWAID

Disusun Oleh :
THALIA SINTA
Semester : I (Satu)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


LATA TANSA MASHIRO RANGKASBITUNG
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama pamungkas dari seluruh agama samawi
diturunkan di negeri Arab sehingga bahasa manusia yang digunakan untuk
menyampaikan Kitab pedoman pemeluknya, Alqur’an, pun menggunakan
bahasa Arab sebagaiman surat Thaha:113,Fusshilat: 44, Syu’ara:198-199.
Dan memang karena Rasul umat Islam berbangsa Arab sehingga mudah
untuk menyampaikan maksud-maksud Allah SWT sebagai syari’ (pemilik
syari’at. Bagi agama Islam, Kitab ini merupakan sumber utama dari hukum
yang diterapkan lalu disusul oleh As-Sunnah.
Namun, tidak semua pemeluk agama Islam merupakan bangsa Arab
yang merupakan native speaker (penutur asli) namun ada juga yang
‘ajamiyyah (non-Arab) sehingga tidak semua orang Islam bisa memahami
bahasa Arab dengan baik. Orang Arab asli pun, meski paham bahasa Arab
tetapi tidak semua paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini
merupakan problema tersendiri karena kebutuhan untuk memahami agama
dengan baik merupakan salah satu hal yang paling mendasar. Dan itu bisa
dilakukan terutama apabila seorang muslim memahami Alqur’an dan As-
Sunnah, sebagai sumber hukum utama yang berbahasa Arab, dengan
baik.Dan orang yang berusaha memahami Al-qur’an dan As-Sunnah pun
menghadapi perbedaan-perbedaan hasil pemahaman antara satu dengan yang
lainnya. Maka disinilah perlu adanya kaidah-kaidah bahasa hukum yang
standard supaya lebih mudah dan relatif mempersempit peluang perbedaan
yang terjadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Al Qawa’idul fiqhiyyah
2. Apa Sumber Pengambilan Qaidah Fiqhiyyah
3. Apa definisi Al Qawa’id al Khomsah

1
C. Tujuan Pembahasan.
1. Untuk mengetahui Definisi Al Qawa’id fiqhiyyah
2. Untuk mengetahui Sumber pengambilan Kaidah fiqhiyyah
3. Untuk mengetahui Al Qawa’id Al khomsah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al Qawa’idul Fiqhiyyah
Qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas, seperti tersebut
dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 127: “dan (ingatlah), ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitulllah bersama Isma’il(seraya
berdo’a) ‘ya Tuhan kami terimalah dari pada kami (amalan kami)
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’
Menurut pengertian ahli nahwu (gramatika bahasa Arab) qa’idah
berarti suatu yang tepat (dlabith), magsudnya ialah:aturan umum yang
mencakup(bersesuaian) dengan semua bagian-bagiannya. Berarti ketentuan
aturan itu tetap dan tepat, seperti pada kedudukan fa’il itu marfu’ dan seperti
maf’ul itu mansub.
Sedangkan menurut, Abu Zahrah: kaidah fiqh dengan, “Kumpulan
hukum – hukum yang serupa yang kembali kepada suatu qiyas yang
mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya”.
H. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah
fiqhiyyah dengan; “Kaidah-kaidah kulliyah itu tiada lain dari pada prinsip-
prinsip umum yang melengkapi kebanyakanjuz’iyyah-nya”.

B. Sumber Pengambilan Qaidah Fiqhiyyah


1. Dasar formil
Qa’idah fiqhiyyah adalah hukum-hukum furu’ yang
dikumpulkan dalam satu untaian kalimat yang sempurna yang
pengertiannya dapat mencakup banyak satuan hukumfuru’ yang
sejenis,misalanya soal niat. Dalam ibadah niat merupakan salah satu
kriteriasah atau tidaknya perbuatan.
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu Qa’idah yang
memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nask, baik dari Al-
Qur’an maupun as Sunnah. Seperti Firman Allah dalam Surah Al-
Bayyinah ayat 5 dan Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari

3
Sahabat Umar bin Khatab: “ innamal a’malu binniyat” diistimbatkan
hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan
niat mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dimagsudkan
Qa’idah Fiqhiyyah : “al-Umuru bimaqaasidiha”
Melakukan istinbath dan ijtihad dalam penerapan hukum
berdasarkan firman Allah antara lain ayat 2 surat al Hayr dan hadist Nabi
yang terkenal dengan Hadist Mu’adz.
Mahmoud Sjaltout dalam penjelasanya mengenai dalil ar-Ra’yu,
bahwa dalil itu merupakan metode berfikir dalam memahami Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah
yang tidak ada nash-nya, juga metode untuk menetapkan Qa’idah
kuliyyah yang diambilkan dari berbagai ayat untuk dasar menetakan
hukum bagi masalah yang akan datang.
Perumusan Qa’idah fiqhiyyah itu berdasarkan al-Qur’an dan as-
Sunnah agar mempermudah dalam pelaksanaan istinbath dan ijtihad yang
dirumuskan dalam sub sistem ilmu ushul fiqh yang masuk dalam sistem
ilmu fiqih.
Dengan kata lain,dasar formil penyusunan qa’idah fiqhiyyah
ialah dasar-dasar ulama yang digunakan dalam melakukan istinbath dan
ijtihad. Dan dalam melakukan istinbath dan ijtihad memerlukan sarana
atau alat, maka Qa’idah Fiqhiyyah juga dapat digunakan pada sarana
untuk mempermudah melacak hukum furu’ suatu masalah.
2. Dasar Materiel
Adapun dasar materiel yang dijadikan rumusan kata-kata
Qa’idah adakalanya dari nash hadist, seperti Qa’idah yang berbunyi “la
dhoror wala dhiror”. Qi’idah yang berasal dari Hadist tersebut berlaku
untuk semua lapangan hukum, baik ibadah, mu’amalah, munakahat,
maupun jinayah. Hal inidapat dipastikan bahwa Qa’idah Fiqhiyyah
merupakan hasil rumusan para ulama yang kebanyakan sukar siapa
perumusnya

4
C. Al Qawa’id Al Khomsah
ِ َ‫ااْلُ ُم او ُر بِ َمق‬
‫اص ِد َها‬
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
‫االيَ ِق اينُ ْلَيَ َزا ُل ِبالش َِّك‬
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
ُ ‫شقَّةُتَجا ِل‬
‫ب التَّ ايس َِر‬ َ ‫ا ال َم‬
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
َّ‫ُﻞاَزُي ُراَرالﻀ‬
“Kesulitan harus dihilangkan”.
‫ا العَا َدةُ ُمحا َك َمة‬
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

1. Kaedah yang berkaitan dengan keyakinan


Kedah ini membicarakan tentang masalah keyaqinan dan
keraguan.Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada
kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang
artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.Sedangkan
menurut Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang
bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan
sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti
Adapun ‫ الشَك‬secara bahasa artinya adalah keraguan. juga bisa
diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut
istilah:
a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
b. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu
bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin
ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa
ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
c. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya”.

5
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara
dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya,
namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak
dinamakan dengan ‫الشَك‬.

Adapun yang yang dimaksud dengan ( yakin ) ialah:


‫اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليﻞ‬
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau
dengan adanya dalil”

Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:


‫الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ‬
‫دون ترجيح أحدهما على األخر‬
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana
pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
ditarjihkan salah satunya”.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini
terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat
dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu).

Qa’idah ini disimpulkan berdasarkan Hadist:


“jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan
salat dan tidak tahu berapa raka’at ia telah shalat, apakah telah
mengerjakantiga atau empat raka’at, maka hedaklah menghilangkan
keraguan itu dan tetap dengan apa yang diyakininya (HR, muslim ra)
“Dilaporkan kepada Rosulullah saw. Tentang seorang laki-laki
yang selalu merasa hadast dalam shalatnya. Maka Nabi saw. Bersabda:’
jangan meninggalkan shalat sehingga mendengar suara (kentut) atau
mencium baunya’.( HR.Muslim dari sahabat Sa’id bin Missayab)
Dari batasan ini dapat dipahami, bahwa seseorang dapat
dikatakan telah meyakini terhadap suatu perkara, manakala terhadap

6
perkara itu telah ada bukti/ keterangan yang ditetapkan oleh pancaindra
atau pikiran,
Sedangkan yang dimaksud “syak” adalah: “suatu yang berada
antara ketetapan dan ketidak tetapan, diman perentangan tersebut berada
dalam posisi yang sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
dapa dikuatkan salah satunya.
Jadi magsud dari Qa’idah ini ialah. Apabila seseorang telah
meyakini suatu perkara, maka keyakinan ini tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan(syak).

Dari Qa’idah ini dapat dikemukakan beberapa qa’idah:


‫اْلءصﻞ برا ءة الذمة‬
“hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab”

Pada hakikatnya manusia dilahirkan bebas dari segala hutang


kewajiban atau pertanggung jawaban. Adanya suatu kewajiban
pertanggungjawaban itu adalah karena adanya hak yang telah dimiliki,
yang datangnya tiada lain,karena adanya sebab-sebab yang timbul setelah
manusia itu lahir.
Pengertian lebih lanjut dari pada qa’idah ini dimuat dalam
qa’idah ini dimuat dalam qa’idah:
‫اْلصﻞ فىالصفات العارضة العدم‬
“yang menjadi dasar pada sifat-sifat yang mendatang kemudian adalah
tidak ada”
Yang dimaksud dengan sifat”aridlah” ialah: sifat yang tidak
terdapat pada asal mulanya, atau sifat yang datang kemudian.
Jika dalam suatu perkara terdapat keraguan karena datangnya
sifat seperti di atas, maka ditetapkan hukumnya seperti seperti
sediakalanya , yakni sifat-sifat seperti itudianggap tidak pernah ada.
‫اْلصﻞ بقاءماكان عﻞ ماكان‬
“yang menjadi dasar adalah tetap apa yang telah ada atas apayang telah
ada”

7
Qa’idah ini identik dengan dalil istishab yang digunakan oleh ulama usul
fiqh, yakni memperlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan atau
telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada
hukum lain yang merubahnya,karena apa yang telah ada lebih dapat
diyakini.
‫ْلعبرة بالظن البين خطؤه‬
“tidak dapat diterima/ diperhitungkan sesuatu yang didasarkan pada dhan
yang jelas salahnya”
Yang dimaksud dengan “dhan “ialah suatu pendapat yang
cenderung kepada tetapnya atau benarnya dari pada tidak tetap atau
salahnya. Sedangkan qa’idah ini ialah bahwa suatu keputusan hukum
yang didasarkan kepada keadaan dhan, tetapi kemudia jelas terdapat
kesalahan, maka hukumtersebut tidak berlaku /batal.
2. Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan
Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT :
َّ ‫ َو َما أ ُ ِم ُروا إِ َّْل ِليَ اعبُدُوا‬: 5
‫َّللاَ ُم اخ ِل ِصينَ لَهُ ال ِدينَ ُحنَفَا َء …البينة‬
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
‫انما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى‬
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya
bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Qa’idah ini memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan
seseorang itu diukur menurut niatnya. Untuk mengetahui sejauh mana
niat seseorang haruslah dilihat dari qarimah-qarimah yang dapat
dijadikan petunjuk untuk mengetahui niat.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan
antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk
menentukan tingkat ibadah satu sama lain.

8
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah
maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta
untuk zakat apabila tidak dibarengi
Qa’idah ini memberikan pedoman kita untuk membedakan
perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan ibadah. Baik ibadah
mahdlah maupun ammah.
Perbuatan ibadah mahdlah, tanpa niat tidak memenuhi sebagian
rukun dari ibadah tersebut. Sehingga tidak sah, akibatnya tidak mendapat
pahala bagi yan melakukannya. Sedangkan ibadah ‘ammah, yang berasal
dari perbuatan duniawi tetapi mempunyai kemanfaatan, bila disertai niat
mengerjakan dalam memenuhi panggilan Tuhan untuk menciptakan
kemaslahatan duniawi, akan meimbulkan pahala bagi yang melakukan.
Dan apabila dalam melaksanakan perbuatan tidak disertai dengan niat
ibadah, maka perbuatan itu tetap sebagai perbuatan duniawi dan tidak
menimbulkan pahala.
“ yang dianggap (dinilai) dalam aqad adalah maksud-maksud dan
makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan.”
Dalam hal tersebut, bila terjadi perbedaan dalam suatu aqad
transaksi antara maksud dengan lafadh yang diucapkan, maka yang harus
dipegang adalah maksud pembuat transaksi, selama maksud itu
diketahui.

3. Kemudlaratan itu harus dihilangkan


َّ‫ُﻞ َازُي ُراَرالﻀ‬
Redaksi kata-kata dalam qa’idah ini, menunjukan bahwa
kemudlaratan yang telah terjadi, wajib untuk dihilangkan. Qa’idah ini
berasal dari hadist: “tidak boleh membuat kemudlaratan dan membalas
dengan kemudlaratan”( H.R. Ibnu Majah,r.a)
Arena kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar masalah-
masalah fiqh. Diantaranya ialah mengembalikan barang yang telah di beli
dikarenkan adanya cacat.Berdasarkan qa’idah ini pula ,tidak

9
diperbolehkan memberikan waqaf, jika ia di mahsudkan untuk
memedlaratkan (menghilangkan hak) para pemberinya.
Dari qa’idah ini dapat dikemukakanbeberapa qa’idah
1. “kemudhlaratan yang terjadi tidak dapat dianggap sesuatu yang telah
lama adanya”
Qa’idah ini untuk membatasi qa’idah” yang telah ada pada
Tuhan tidak ditinggalkan atas kedahuluannya”
Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai adalah
yang tidak terdapat kemadhlaratan yang dilarang oleh syara’ yang
bila demikian halnya harus kemadhlaratan itu dihilangkan dan tidak
boleh dibiarkan ,berdasar telah ada sejak dulu.
2. “kemudhlaratan itu harus dihindarkan sedapat mungkin”
Magsudnya ialah kewajiban menghidar terjadi
kemudhlaratan. Diantara tindakan yang berdasarkan qa’idah ini
adalah : usaha abu bakar untuk mengadakan penulisan Al-Qur’an
agar jangan sampai ada yang hilang atau terlupakan. Juga yang
dilakukan ustman bin affan dalam melakukan pengumpulan mushaf
al-qur’an dalam satu mushaf.
3. “kemudhlaratan yang lebih berat dapat dihilangkan dengan
mengerjakan kemudhlaratan yang lebih ringan”
4. “kemadhlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemadhlaratan yang
sebanding”
Qa’idah ini merupakan kelanjutan qa’idah “kemadhlaratan
yang lebih berat dapat dihilangkan denganmengerjakan
kemadhlaratan yang lebih ringan”. Sebab apabila kemadhlaratan
yang lebih berat harus dihilangkan dengan kemadhlaratan yang lebih
ringan, maka sebagai kelanjutan ialah bahwa kemadhlaratan tidak
boleh dihilangkan dengan perbuatan yang mendatangkan
kemadhlaratan yang sepadan.karena itu hanya perbuatan yang sia-
sia.

10
4. Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.Hal ini sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh
muslim maka baik pula disisi Allah”. Contohnya : hukum syari’ah
menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan
berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya di kembalikan
pada kebiasaan. Selain itu qa’idah ini dirumuskan pada Firman Allah:
‫وامر بالحرف واعرض عن الجا هلين‬
“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari
orang yang bodoh ( QS.7:91)
Adapun sampai dimana suatu peristiwa, yang terjadi dalam
masyarakat dapat disebut adat, para Fuqaha memberikan definisi “ urf
ialah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga
dinamakan adat. Dan dikalangan ulama’ syari’at tidak ada perbedaan
antara ‘urf dengan Adat.”
Atau juga dikatakan:
“adat adalah segala apa yang telah dikenal manusia, sehingga
hal itu menjadai suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka
baik perkataan atau perbuatan”
Suatu kejadian dalam masyarakat, manakala telah dapat
dikatakan atau dikategorikan dalam definisi di atas, dapat dijadikan
sebagai sumber hukum, asal saja tidak bertentangan dengan Nash dan
Jawa Syari’at.
Diantara furu’iyyah yang hukumnya ditetapkan berdasarkan
adat ialah, sebagaimana diterangkan dalam hadist yanga artinya:
“ketika Nabi SAW. Datang ke Madinah, mereka (penduduk
madinah)mencengkrami pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau
dua tahun, maka Nabi SAW. Bersabda: barangsiapa yang pinjam
meminjam pada buah kurma, maka pinjam meminjam dengan
takaranyang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu tang
tertentu.(HR. Bukhari,r.a)

11
Adat yang berlawanan dengan nash dan jiwa syari’at yang oleh
karenanya tidak boleh dijadikan sumber hukum, diantaranya adat yang
menghilangkan hak waris wannita, adat yang boleh mengawini bekas
istri ayah(ibu tiri) dan sebagainya.

12
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam
bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas
(dasar atau pondasi), sumber-sumber pengambilan qa’idah fiqhiyyah
meliputi dasar formil dan materiel.
Kaidah fiqh tersebut adalah :Al Qawa’id Al Khomsah:Perbuatan /
perkara itu bergantung pada niatnya,Kenyakinan tidak hilang dengan
keraguan,Kesulitan mendatangkan kemudaha,Kesulitan harus
dihilangkan,Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum

B. SARAN
Mengingat sangat terbatasnya kemampuan Penulis dalam menelaah
berbagai literature usul fiqh sehingga muatan dan pembahasan makalah ini
sangat tidak sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharap kepada
pihak pembaca makalah ini sudi kiranya untuk memberi kritikan, masukan,
perbaikan, dan penyempurnaan seperlunya. Terima kasih atas partisipasinya

13
DAFTAR PUSTAKA

http://ahmadsabiq.com/2010/02/24/sesuatu-yang-yakin-tidak-bisa-hilang-dengan-
keraguan/ On Line 10 Maret 2012, 16.00 wib.

14
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-Qawaid” ini dengan tepat waktu.
Dalam menulis makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi
oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini walaupun
dengan banyak kekurangan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada dosen
pembimbing mata kuliah yang telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan
makalah ini.
Terimah kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada berbagai
pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan perbaikan dalam menyusun
makalah kedepannya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lebak, 10 Desember 2018


Penulis,

15

Anda mungkin juga menyukai