Oleh :
1. Rifky Wisnuardi Waskito (B04160133) _____
2. Sarasvathi Cecile (B04160135) _____
3. Irena Ivania (B04160154) _____
4. M. Nabil Ramadhan (B04160156) _____
5. Siti Nurhasanah (B04160157) _____
Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang
simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,
penglihatan, dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang
hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula
spinalis secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan
kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. Gejala
keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher.
Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada
stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi
konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya
kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik (Sunaryo 1995).
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui gejala klinis dan penanggulangan
pada hewan coba yang keracunan striknin.
TINJAUAN PUSTAKA
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah spuid 1mL,
stopwatch, dan kendang hewan, 1 ekor tikus, sediaan striknin, dan sediaan farelax.
Prosedur Kerja
Pemeriksaan fisiologis dilakukan pada tikus normal (posisi tubuh, reflex, rasa
nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Striknin disuntikkan pada tikus secara
subkutan dengna dosis sub letal. Diamati perubahan fisiologis tikus setiap 10 menit
sampai terjadi konvulsi pada tikus. Setelah terjadi konvulsi segera diinjeksi farelax
secara IP.
Hasil
0’ - + - + 80 240 -
Pembahasan
Praktikum ini digunakan seekor tikus yang terlebih dahulu diamati prilaku
normalnya dimana juga diukur denyut jantung dan frekuensi napasnya. Kemudian
tikus disuntikkan striknin sebanyak 0,5 mL secara subcutan untuk kemudian dihitung
onset serta durasi dari striknin hingga timbul gejala konvulsi. Pada saat yang
bersamaan disiapkan antidota dari striknin yaitu sediaan farelax sebanyak 0,5 mL.
Setelah terjadi konvulsi pada tikus, segera disuntikkan farelax secara intra peritoneal
dengan dosis yang sama dengan pemberian striknin.
Menit ke-0 hingga menit ke-10 setelah penyuntikan striknin, tikus masih
menunjukkan prilaku normal disertai dengan frekuensi napas dan denyut jantung
yang normal. Pada menit ke-16 tikus mulai bersikap kifosis disertai dengan gejala
konvulsi aspontan yang mulai terlihat ketika diberikan sentuhan fisik pada tubuh
tikus. Menit ke-16 juga oleh praktikan diberikan antidota farelax dikarenakan onset
striknin yang telah dimulai. Pasca penyuntikan antidota tikus tidak memperlihatkan
perbaikan keadaan, tepatnya dimenit ke-18 gejala konvulsi semakin jelas terlihat dan
akhirnya pada menit ke-20 diberikan kembali farelax sebanyak 0,5 mL dan pada saat
itu juga tikus mati. Durasi striknin yang tercata yaitu selama 4 menit.
Antidota yang diberikan kepada tikus ketika keracunan stiknin tidak efektif
atau tidak berkhasiat dikarenakan pemberian striknin yang diatas LD 50 yang
menyebabkan tikus mati hanya dengan durasi 4 menit.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Katzung BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. Jakarta (ID): EGC.
Medicastore. 2008. Kejang Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.
Jakarta (ID): Mediastore
Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi
Ed.IV. Jakarta (ID) : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.