Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG KETETAPAN MPR

RI

Disusun oleh :

NAMA : AZMI ANDIANA H DG. MATONA


NIM : AKM1218058
KELAS : B18

POLITEKNIK KESEHATAN MUHAMMADIYAH


MAKASSAR
TA 2018/2019
KATA PENGANTAR

Senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih

memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang

luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah tentang “Ketetapan

MPR RI” Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita

semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama

Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh

alam semesta.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas mata kuliah

Pendidikan pancasila. saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

bagi setiap pembaca.

Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, saya meminta kesediaan pembaca untuk

memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah ini.

Makassar, 21 Mei 2019

Azmi andiana H dg, matona

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar belakang ............................................................................................................. 1

B. Rumusan masalah ....................................................................................................... 2

C. Tujuan.......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

A. Kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ...................................... 3

B. Ketetapan MPR RI ....................................................................................................... 5

C. Tujuan pembentukan ketetapan MPR RI ..................................................................... 7

D. Proses pembentukan ketetapan MPR RI ..................................................................... 8

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................10

A. Kesimpulan .................................................................................................................10

B. Saran ..........................................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan lembaga MPR

muncul pertama kalinya pada saat sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dewasa ini MPR mempunyai andil yang cukup

besar dalam menjalankan fungsi kepemerintahan RI. Salah satu produk hukum yang

dikenal lahir dari lembaga negara tersebut ialah Ketetapan MPR / TAP MPR . Namun

TAP MPR dalam beberapa dekade terakhir mengalami suatu kondisi yang kontradiktif.

Sebelumnya, dalam UU No. 10/2004 TAP MPR dikeluarkan dari hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat masuk ke dalam

hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX

Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari

hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004. Namun , Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat

(1) UU 12/2011, Tap MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-

undangan yakni sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

1
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Keadaan tersebut menimbulkan suatu keadaan kegamangan mengenai bagaimana

kedudukan tap MPR tersebut setelah amandemen UUD 1945 . Mengapa bisa terjadi hal

demikian ? . Apa yang menyebabkan TAP MPR kembali dimasukkan kedalam Hirarki

perundang-undangan di Indonesia.

Serta bagaimana pula apabila TAP MPR itu sendiri yang dikeluarkan oleh MPR

bertentangan dengan UUD RI 1945 dan juga bila UU bertentangan dengan TAP MPR.

Lembaga manakah yang berwenang untuk menguji materiel dalam menanggapi

fenomena tersebut. Hal tersebutlah yang akan kami bahas didalam bentuk makalah

formal berikut sebagai bentuk kritis dalam hal menanggapi tentang TAP MPR RI

dewasa ini.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaran Indonesia?

2. Apa itu ketetapan MPR RI?

3. Apa tujuan pembentukan ketetapan MPR RI?

4. Bagaimana proses pembentukan ketetapan MPR RI?

C. Tujuan

1. Untuk mengtahui apa itu ketetapan MPR RI

2. Untuk mengtahui proses pemebntukan ketetapan MPR RI

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam benak rakyat Indonesia sudah

sangat dikenal dan melekat di hati sanubari hampir seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan MPR sudah dikumandangkan sejak berdirinya Republik ini dan secara

resmi telah disebut dalam UUD 1945. Pada awalnya MPR diposisikan sebagai lembaga

representatif penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang kedaulatan rakyat

yang berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR berwenang memilih dan

mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya Presiden bertanggungjawab

kepada MPR karena Presiden sebagai mandataris MPR. Lembaga ini juga berwenang

merubah dan menetapkan undang-undang dasar, serta menetapkan garis-garis besar

haluan negara. Pada masa reformasi, posisi MPR telah mengalami reposisi dengan

dilakukannya perubahan UUD 1945. MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga

tertinggi negara tetapi berkedudukan sebagai lembaga negara yang statusnya menjadi

tidak jelas antara sebagai joint session ataukah permanent body. MPR hanyalah

sebuah perkumpulan anggota DPR dan anggota DPD yang terjadi secara rutin untuk 5

tahun sekali atau bila ada kejadian-kejadian insidental yang menyangkut penyimpangan

tugas yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasar Undang-Undang

Dasar atau bila terjadi hal yang menyebabkan tidak berfungsinya Presiden dan/atau

Wakil Presiden seperti sebab berhalangan tetap atau sudah tidak memenuhi syarat lagi.

3
Kewenangan MPR yang lain yang masih dipertahankan adalah MPR berwenang

mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Kewenangan MPR inipun sifatnya

insidental, artinya tidak secara rutin dilakukan dan hanya bila ada kemauan politik saja

untuk menjalankan kewenangan ini. Dengan demikian tugas rutin MPR hanyalah

dilakukan setiap 5 tahun sekali, dan tugas kesehariannya tidak ada, oleh karenanya

diusulkan agar MPR dibubarkan saja seperti halnya DPA.

Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat

perubahan kedudukan dan kewenangan MPR pula. Setidaknya terdapat 3 (tiga)

implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan

MPR, antara lain :

1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 ayat

2 UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia.

MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan

lembaga tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka

MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi “joint sesion”

antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga

konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.

Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan

dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ

4
MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau

functie-nya sedang dilaksanakan Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut

oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada

ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.

3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat

mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan

kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking).

Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan

Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang

bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi

berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun

1945 yang bersifat mengatur.

Sejalan dengan point ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR

tidak bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang

bersifat regeling (pengaturan) Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR

boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan

sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima dan

dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945

B. Ketetapan MPR RI

Ketetapan MPR mempunyai arti bahwa Suatu bentuk Keputusan yang

dikeluarkan oleh MPR serta mempunyai kekuatan Hukum mengikat ke luar dan ke

dalam MPR. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, adalah Ketetapan Majelis

5
Permusyawaratan Rakyat tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum

Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Ketetapan MPR yang masih berlaku, adalah :

1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 tentang Pembubaran Partai Komunis

Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia

bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan

atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka

Demokrasi Ekonomi.

3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.

4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.

(dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang

Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan)

5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas KKN.

6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.

7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan

Nasional.

8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia

dan Kepolisian Negara Indonesia.

9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

6
10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan

Sumber Daya Alam.

C. Tujuan pembentukan ketetapan MPR RI

Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan

status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi)

dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk

151t u151g kepastian hukum. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh

Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam

enam pasal Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013 152 (kategori) sesuai dengan

materi dan status hukumnya. Kategori I yakni TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku (delapan ketetapan), Kategori II yakni TAP MPRS/TAP MPR

yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (tiga Ketetapan) dan Kategori III yakni

TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (delapan Ketetapan). Kategori IV yakni TAP

MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-

Undang (11 Ketetapan), Kategori V yakni TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih

berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil

Pemilu 2004 (lima Ketetapan). Kategori VI yakni TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan

7
tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig),

telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)(ant)

D. Proses pembentukan ketetapan MPR RI

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan

wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,

kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara

lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK). TAP MPR sudah tidak

dibentuk lagi:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Status Ketetapan MPR yang Lalu

Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003, MPR menetapkan Ketetapan MPR RI

Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan

MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Tujuan

pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status hukum

setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP

MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi

kepastian hukum.

Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan

Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai

dengan materi dan status hukumnya.

Kemudian, apabila kita menanyakan bagaimana bentuk penyelesaian masalah

apabila munculnya pertentangan antara TAP MPR terhadap UUD RI 1945 dan

8
pertentangan antara UU terhadap TAP MPR ? Maka jawabannya adalah apabila timbul

pertentangan antara TAP MPR terhadap UUD RI 1945, Mahkamah Konstitusi

sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap TAP MPR. Hal tersebut dapat kita

lihat pada ketentuan pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang secara tersirat telah

menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk UU yang diharuskan untuk dibuat

sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya. Kecuali, TAP MPR

yang disebutkan dalam pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah Konstitusi

tidak berwenang mengujinya sebab ketentuan pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan

perubahan atau pencabutan melalui UU sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pasal

4.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sebelum dilakukan atas perubahan UUD 1945, MPR dikonstruksikan sebagai

wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus

tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan konstitusionalnya.

2. Secara yuridis, MPR itu sendiri sebagai lembaga baru menjadi ada apabila

menjalankan salah satu dari keempat kewenangan tersebut.

3. Dalam tata tertib MPR tahun 1998 dan tatib MPR seterusnya (sampai sekarang)

kata “keputusan” dalam kalimat norma tatib tersebut diganti dengan kata “putusan”.

4. Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan

status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan

(eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan

datang, serta untuk memberi kepastian hukum.

5. Lembaga negara yang dapat menentukan status hukum dan materi kedelapan

ketetapan MPRS tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga negara yang

mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan, perubahan, atau pembatalan

undang-undang.

10
B. Saran

1. Mengamati reaksi segenap elemen masyarakat yang semakin banyak menuntut

perubahan kembali UUD melalui amandemen ulang atau amandemen ke V

dengan berbagai tuntutan dan pertimbangan, maka alangkah baiknya MPR

yang memiliki kewenangan konstitutif agar segera melaksanakan kewenangan

tersebut guna menghasilakan amandemen ulang atau amandemen ke V.

2. Mencermati kendala yang dihadapi MPR dalam melaksanakan kewenangan

konstitutifnya, maka akan sebaiknya di masa depan kewenangan tersebut tidak

lagi diberikan kepada MPR mengingat prinsip supremasi konstitusi yang

menyatakan pendulum kekuasaan dalam negara yang sesungguhnya adalah

konstitusi. Sehingga, kewenangan konstitutif dalam mengubah dan menetapkan

UUD 122 sebaiknya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai cara

amandemen yang dikembangkan K.

3. Wheare yaitu penafsiran yudisial (judicial interpretation). c. Melihat upaya-upaya

yang dilakukan MPR untuk mencapai kesepakatan guna kembali melakukan

amandemen ulang atau amandemen ke V, maka sebaiknya MPR secara

hubungan eksternal lebih intens lagi melakukan kegiatan-kegiatan penyerapan

aspirasi melalui sosialisasi seperti metode FGD dan MPR goes to Campus serta

memanfaatkan sarana-sarana media massa dan media sosial. Selain itu, secara

hubungan internal MPR agar lebih giat melakukan konsilidasi dukungan parpol

sehingga fraksi-fraksi di MPR dapat mencapai kesepakatan untuk kembali

melakukan amandemen.

11

Anda mungkin juga menyukai